62
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Hal lain yang juga sangat membantu, anali- sis jender dapat digunakan untuk memaha-
mi bahwa cara kerja kekerasan berbasis jen- der jauh lebih parah efeknya dibandingkan
dengan kekerasan berbasis suku, ras dan agama misalnya. Justru, karena kejadiannya
di dalam rumah tangga yang tak nampak
dari luar dan dianggap tak mungkin terjadi dibandingkan dengan iga jenis kekerasan
lainnya itu, kekerasan di dalam rumah tangga sering terabaikan. Lebih dari itu, kekerasan
berbasis jender dapat memanipulasikan
pandangan agama yang seolah-olah mem- benarkan indakan kekerasan sehingga kor-
ban pun menerima keadaan tersebut karena adanya pembenaran religius semacam itu.
Konsep siklus kekerasan dalam rumah tang- ga itu benar-benar pening untuk dipahami
oleh hakim. Sebab, dengan itulah hakim dapat mengeri mengapa seorang perem-
puan iba-iba membatalkan tuntutannya meskipun buki telah sangat kuat menunjuk-
kan terjadinya kekerasan isik. Tanpa pema- haman tentang siklus kekerasan itu, hakim
bisa keliru memahami fenomena ini dengan menganggap sang istri itu telah mampu un-
tuk bersikap lebih sabar atau sang suami telah berubah insyaf. Padahal yang sesung-
guhnya berlangsung adalah si istri sema-
kin masuk ke dalam lingkaran setan daur kekerasan itu. Yang kerap terjadi, gugatan
yang dibatalkan sendiri oleh istri itu antara
lain disebabkan oleh suami yang mengan- cam dan akan memperlakukan istri lebih bu-
ruk lagi, dengan misalnya memisahkannya dari anaknya, atau menakui-nakui akan
sulitnya hidup dengan menyandang status janda. Setelah pelaihan, para hakim dapat
memahami bahwa permintaan pembata- lan itu disebabkan adanya siklus kekerasan.
Dengan pengetahuan tentang siklus itu, ha- kim kini lebih waspada untuk idak dengan
serta merta mengiyakan dan menganggap persoalan kekerasan itu telah selesai.
Adalah pening bagi hakim untuk memiliki pegangan bagaimana mengakhiri indakan
kekerasan, baik dengan meminta rujuk kem-
bali dan membatalkan tuntutan ataupun meminta mereka berpisah. Semua pilihan
itu harus mengarah pada tujuan yang satu yaitu mengakhiri indakan kekerasan dengan
memberikan perlindungan secara hukum.
Perlindungan juga bisa dilakukan dalam pro- ses awal peradilan, misalnya dengan mene-
rapkan konsep kompetensi relaif. Sudah sejak lama kompetensi relaif yang memihak
perempuan berlangsung di wilayah jurisdiksi Mahkamah Syar’iyah Aceh. Bila ketentuan
hukum acara dalam peraturan perundang-
undangan mengatur bahwa pengadilan yang berwenang memeriksa suatu perkara adalah
pengadilan yang berada di tempat inggal tergugat, hakim agama di Aceh telah men-
tradisikan bahwa Mahkamah Syar’iyah yang berwenang memeriksa perkara perceraian
adalah Mahkamah Syar’iyah yang berada di wilayah tempat inggal pihak istri sekalipun
kedudukannya adalah sebagai penggugat. Salah satu tujuan di balik prakik hukum ini
adalah untuk melindungi pihak isteri yang seringkali idak berdaya secara ekonomi un-
tuk melakukan perjalanan jauh ke wilayah kabupatenkota tempat inggal suami. Kom-
petensi relaif seperi ini menjadi terlegii- masi lebih-lebih apabila kasus perceraian itu
mengandung alasan kekerasan dalam rumah tangga KDRT.
63
SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS
Ibu Rosmawardani, hakim perempuan yang juga pengurus Yayasan Putroe Kandee menuturkan pengalamannya bagaima-
na dia memaknai sensiivitas jender itu dalam memutus perkara gugat cerai akibat KDRT. Seorang istri menggugat cerai suaminya
dengan alasan suami sering idak memberi nakah lahir bain dan sering idak pulang dalam jangka waktu yang panjang. Seka-
linya pulang dan menetap sang istri akan hamil lagi. Tapi belum lagi anak lahir sang suami akan merantau lagi. Hal ini telah ber-
langsung berulang kali hingga memiliki lima orang anak. Istri mengakui, suaminya tak pernah melakukan indakan kekerasan
isik, idak juga terjadi keributan atau perselisihan yang terus menerus. Jadi hampir idak ada alasan kuat yang bisa digunakan
istri untuk meminta cerai. Namun sang istri benar-benar sudah idak tahan hidup bersama suami yang dianggapnya idak ber-
tanggung jawab itu. Bagi Rosmawardani, yang saat ini menja- bat sebagai wakil ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho, masalah
yang merundung perempuan itu sungguh nyata namun dari segi hukum cukup dilemais. Di satu sisi dari perundang-undangan
idak ditemukan alasan kuat yang secara eksplisit bisa digunakan sebagai pasal untuk memutuskan pernikahan perempuan itu.
Namun, pada sisi lain, perempuan itu sudah idak bahagia lagi dengan kehidupan rumah tangganya dan memilih cerai. Dalam
keadaan inilah, hakim Rosmawardani melakukan improvisasi hu- kum dengan menjatuhkan putusan bahwa hubungan pernikahan
pasangan itu dapat diakhiri oleh pengadilan. Putusan majelis ha- kim yang dipimpin Rosmawardani itu didasarkan pada KHI pasal
116 ayat d. Satu hal yang menarik, walaupun ketentuan dalam pasal itu menyebutkan alasan perceraian adalah ’penganiayaan
berat’, hakim Rosmawardani berani melampaui bunyi peraturan dengan memberi tafsiran penganiayaan berat yang lebih bersifat
‘mental dan rohani’ yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam perkara tersebut. Upaya terobosan penafsiran hukum yang
dilakukan hakim Rosmawardani ini pada mulanya idak disepakai oleh dua orang anggota majelis hakim yang dipimpinnya, karena
merupakan sebuah hal yang tak lazim. Namun, setelah Ros- mawardani meyakinkan mereka dengan argumentasi tentang
konsep kekerasan non isik yang berperspekif jender, akhirnya interpretasi hukum semacam itu dapat diterima dan menjadi
keputusan kolekif hakim.
Hakim dan Penanganan Kasus Kekerasan
Dra. Hj. Rosmawardani, S.H.
64
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
Perkara menarik sehubungan dengan alasan perceraian diung- kapkan pula oleh Raiuddin, ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho.
Raiuddin menceritakan bahwa ia pernah menangani kasus yang menurutnya sangat memerlukan kejelian hakim dalam memu-
tus perkara, dan perspekif jender sangat membantunya untuk menangani kasus ini secara adil. Kasusnya, seorang perempuan
mengajukan cerai gugat dengan alasan suaminya senang berjudi, mabuk-mabukan dan pelaku indak kekerasan. Dalam pemerik-
saan, suami mengakui bahwa ia memang pernah satu dua kali memukul istrinya, tetapi menolak bila dirinya dikatakan suka judi.
Menurut pengakuannya, ia hanya sering duduk-duduk bersama teman-temannya yang hobi berjudi. Sedangkan untuk tuduhan
bermabuk-mabukan, sang suami idak menolaknya. Majelis ha- kim yang dipimpin oleh Raiuddin pada waktu itu mengarahkan
untuk proses mediasi agar kedua belah pihak berdamai. Namun, mediator yang ditunjuk oleh hakim rupanya gagal mencapai tu-
juan itu. Pada saat majelis hakim ingin melanjutkan memeriksa perkara cerai gugat ini, sang suami selaku tergugat mengajukan
permintaan khulu’, yaitu permintaan tebusan 16 mayam emas
atau senilai 14 juta rupiah sebagai penggani iwadh ikrar talak yang secara sukarela akan diucapkan oleh suami di depan penga-
dilan. Sesungguhnya, keika suami mengajukan khulu’ dan istri menerimanya, perkara perceraian akan sangat mudah disele-
saikan karena idak memerlukan pembukian lanjutan.
Namun, Hakim Raiuddin berpikiran lain dan berpendapat untuk mengabaikan permintaan
khulu’ sang suami. Ia justru melanjut- kan pemeriksaan buki-buki yang diajukan oleh istri untuk men-
dukung gugatannya. Bagi Raiuddin, indakannya untuk menolak permintaan
khulu’ suami adalah sebuah bentuk pembelaannya kepada perempuan yang menjadi korban. Raiuddin melihat bah-
wa sungguh merupakan hal yang idak adil bila istri yang sudah mengalami derita isik seperi itu harus mengeluarkan uang yang
jumlahnya cukup besar untuk sekedar mendapatkan sehelai akta cerai. Persidangan selanjutnya berupa pemeriksaan buki-buki
dengan menghadirkan saksi-saksi oleh penggugat menunjukkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh istri memang benar adanya.
Dan atas dasar ini majelis hakim kemudian mendapatkan dasar
hukum dan keyakinan untuk mengakhiri hubungan pernikahan pasangan tersebut secara resmi.
Rafiuddin, SH
65
SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS
4. Mut’ah dan Nakah ‘Iddah
Pemberian mut’ah dan nakah ‘iddah pasca
perceraian sering dijadikan tolak ukur sen- siivitas jender hakim dalam penyelesaian
perkara perceraian. Terkait penilaian ini, seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh,
Karim, misalnya, mengungkapkan bahwa menurutnya sensiivitas jender seorang ha-
kim dalam memeriksa perkara perceraian
dapat dilihat sejauhmana hakim dapat men- jamin tersedianya uang
mut’ah dan nakah ‘
iddah bagi istri. Karim berpendapat bahwa dirinya idak akan segan-segan untuk me-
ngabulkan permohonan sita jaminan yang diajukan seorang istri atas harta milik sua-
minya dalam kasus perkara perceraian. Hal ini dilakukan untuk menggaransi agar uang
mut’ah dan nakah ‘iddah dapat dibayarkan oleh suami dengan baik dan tepat waktu ke-
pada mantan i strinya. Karim memiliki pema- haman bahwa proses berjalannya hukum Is-
lam dari waktu ke waktu senaniasa bersifat dinamis dan menyesuaikan diri dengan kon-
teks perubahan zaman. Karim mempunyai latar belakang pendidikan dayah yang luas,
ia idak kaku dalam memahami masalah- masalah hukum kontemporer yang idak
memiliki referensi langsung dalam sumber- sumber hukum Islam. Menurutnya, dalam
konteks semacam itulah, terdapat peluang
hakim Mahkamah Syar`iyah untuk melaku- kan ijihad, membuat inovási dan improvisa-
si sesuai dengan adat isiadat dan budaya lokal yang menyertainya.
Pandangan Karim ini idak mengherankan. Dalam pengalamannya sebagai hakim ia
seringkali melihat kenyataan betapa berat- nya nasib perempuan pasca perceraian. Pa-
dahal ia sangat meyakini bahwa perempuan
mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Keyakinan itu bukan saja datang
dari ajaran agama, tetapi juga karena dia melihat ketauladan orang tuanya. Ia meya-
kini nilai-nilai kesetaraan dalam Islam, tetapi
ia juga menyadari adanya kesenjangan an- tara realitas dan idealitas.
Masalah uang mut’ah dan nakah ‘iddah
juga menjadi perhaian hakim lain seperi di Padang maupun Makassar. Satu hal menarik
tentang putusan pemberian uang ‘ iddah dan
mut’ah bagi istri dalam lingkungan Mahka- mah Syar’iyah Aceh adalah bahwa putusan
tersebut idak terbatas hanya untuk kasus cerai talak saja seperi yang diisyaratkan
dalam Kompilasi Hukum Islam KHI, tetapi juga untuk perkara cerai gugat. Padahal, ke-
tentuan yang terdapat dalam KHI pasal 152 menyatakan bahwa idak ada mut’ah dan
nakah ‘iddah bagi istri yang mengajukan cerai karena dinilai melakukan
nusyuz. Seba- gian hakim di Aceh tetap mewajibkan suami
memberikan uang ‘ iddah dan mut’ah bagi
mantan istrinya. Prakik ini sesungguhnya telah dilakukan oleh beberapa hakim jauh
sebelum terlibat dalam program sensiivitas jender ini. Bedanya adalah saat ini hakim
memiliki argumentasi kuat dan mendasar
tentang keputusan itu, yaitu pemenuhan minimal hak-hak istri pasca perceraian.
Hakim di Aceh juga mewajibkan suami yang hendak mengucapkan talak agar membawa
tunai uang ‘ iddah dan mut’ah pada hari
pelaksanaan ikrar talak. Dalam FGD ter- ungkap bahwa jika suami idak membawa
uang yang telah ditetapkan dalam putusan
sebagai uang ‘ iddah dan mut’ah, mereka
idak akan mengizinkan suami melafalkan ikrar talak. Namun hakim lain menyatakan,
aturan ini sangat tergantung pada kondisi
pasangan itu, sebab, ada kalanya si suami memang belum sanggup membayar uang
66
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
‘ iddah dan mut’ah atau si istri tak mau lagi
menunggu lebih lama. Bagi istri, penundaan ikrar talak hanya akan memperpanjang pen-
deritaan. Dalam situasi demikian, atas izin istri, hakim akan meminta suami mengu-
capkan ikrar talak dan meminta mereka bersepakat soal teknis pembayaran uang
‘ iddah dan mut’ah. Situasi ini menurut ha-
kim di Aceh jauh lebih baik daripada proses perceraian terlunta-lunta.
Dalam perkara cerai gugat, hakim agama di Aceh menuturkan bahwa mereka sulit me-
maksa dan memasikan para suami untuk membayar uang ‘
iddah dan mut’ah setelah putusan cerai dikeluarkan oleh majelis ha-
kim. Hakim juga idak dapat mengetahui apakah pada akhirnya suami yang mencerai-
kan istri itu akan membayarkan uang ‘ iddah
dan mut’ah di luar persidangan. Menurut
beberapa hakim di Sumatera Barat dan Su- lawesi Selatan, keadaan yang sama juga
terjadi di wilayah mereka. Penyebabnya, karena idak adanya suatu mekanisme yang
dapat menjalankan eksekusi putusan hakim
yang memerintahkan suami wajib mem- bayar uang ‘
iddah dan mut’ah kepada man- tan istrinya.
Upaya lain dilakukan oleh hakim di Suma- tera Barat dalam rangka memberikan per-
lindungan kepada calon janda yang masih dalam proses perkara yang berkepanjangan
dengan membolehkan istri mengajukan gu- gatan provisi. Dalam periode interval antara
statusnya yang masih sebagai istri dan sta-
tusnya sebagai janda ini, ia masih berhak mendapatkan nakah penuh dengan meng-
ajukan provisi. Gugatan provisi ini diatur untuk menjamin kesejahteraan istri agar ia
idak terkatung-katung dalam masa proses perceraiannya itu.
Sebagaimana di Aceh, problem yang diha- dapi hakim di Sumatera Barat adalah sulit-
nya mengawasi jalannya eksekusi baik dalam putusan provisi maupun putusan pemenuh-
an hak-hak istri setelah perceraian. Secara teknis, kesulitan ini biasanya disebabkan
keberadaan suami yang idak jelas dan idak adanya sanksi yang diatur dalam undang-
undang atas indakan suami yang menolak menunaikan kewajiban itu.
Pembahasan nakah ‘iddah dan mut’ah dalam kasus perceraian juga menyita perha-
ian para hakim agama di Sulawesi Selatan. Mereka menilai bahwa secara normaif, hu-
kum yang ditegaskan dalam Kompilasi Hu- kum Islam KHI tentang mut’ah ini adalah
sunnah. Arinya, pemberian uang mut’ah dalam proses perceraian itu idak dianggap
wajib untuk dipenuhi, tetapi baik untuk di- lakukan. Ketentuan normaif ini umumnya
diprakikkan para hakim sebelum mereka mengikui training sensiivitas jender. Bah-
kan, mereka mengaku idak berani untuk menahan ikrar talak meskipun uang
mut’ah bagi istri belum tersediakan. Namun setelah
mengikui pelaihan, muncul kesadaran yang kuat untuk menjadikan pelaksanaan pem-
bayaran uang mut’ah sebagai jaminan hak
perempuan yang ditalak. Sejalan dengan pemahaman baru ini, para
hakim memberikan penekanan ingkat sun- nah menjadi
muakkadah dalam memberikan mut’ah dan ‘iddah sebagaimana disebutkan
dalam KHI tersebut. Arinya, ketentuan pem- berian
mut’ah yang dulunya hanya bersifat non-imperaif ghairu muakkadah, diing-
katkan menjadi semi imperaif muakkadah. Dengan cara itu maka dalam seiap perkara
permohonan cerai, suami disyaratkan secara
mutlak untuk membayar uang kompensasi
67
SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS
ini kepada pihak istri setelah perceraian ter- jadi. Penegasan tentang adanya upaya untuk
mewajibkan pihak suami yang menceraikan
istrinya memberi uang mut’ah ini, diairma-
si oleh semua hakim yang mengikui FGD. Menurut mereka, dengan menekankan pada
aspek pewajiban pemberian mut’ah ini, ke-
peningan perempuan dapat terlindungi. Laki-laki akan merasa hak mereka mencerai-
kan istrinya idak semudah yang dibayang- kan karena adanya beban untuk memberi-
kan kepada mantan istri sejumlah dari harta kekayaan ekonomi mereka.
Analisis
Penggunaan perspekif jender yang paling nampak di pengadilan terkait dengan hak-
hak istri yang diceraikan suaminya adalah dari pemenuhan
mut’ah, kiswah dan nakah. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada
eksekusi. Namun dengan berbagai cara, ha- kim-hakim di iga daerah itu telah melakukan
upaya-upaya inovasi agar kewajiban mantan
suami terhadap mantan istrinya dapat di- penuhi.
Ada beberapa cara untuk menggunakan analisis jender dalam isu ini. Pertama-tama
soal cerai gugat. Analisis jender dapat mem- bantu hakim untuk memahami bahwa cerai
yang diajukan istri idak dengan serta merta dimaknai sebagai sikap
nusyuz istri. Logi- kanya adalah hampir idak mungkin seorang
istri mengajukan cerai jika keadaan rumah tangganya tentram, damai dan idak ada ke-
kerasan. Hanya karena situasinya yang be- gitu buruk maka jalan yang paling beratpun
terpaksa mereka tempuh yaitu cerai gugat. Dengan menggunakan cara pandang em-
pai ini, hakim dapat menelii lebih seksama mengapa istri melakukan cerai gugat.
Sebagaimana telah diprakikkan oleh para hakim di iga wilayah itu, pemberian mut’ah
dan uang ‘ iddah kepada istri, apapun je-
nis perceraiannya, merupakan suatu upaya yang nyata dalam menerapkan keadilan jen-
der pasca perkawinan.
Hakim dan ikhiar mengeksekusi uang mut’ah dan ‘iddah
Hakim Nadirah mengisahkan upayanya di Pengadilan Makassar, Sulawesi Selatan, terkait eksekusi uang
mut’ah kepada seorang suami yang hendak menceraikan istrinya. Yang ia lakukan adalah
menahan hak talak seorang laki-laki terhadap mantan istrinya sampai sang suami mampu menyerahkan uang
mut’ah sebesar enam juta rupiah. Laki-laki tersebut diberi batas waktu maksimal
enam bulan. Nadirah menegaskan, jika dalam waktu yang telah di- tentukan itu suami idak menyerahkan uang mut’ah maka haknya
untuk menceraikan istrinya menjadi batal. Keberanian hakim Nadirah dalam menahan hak talak suami itu karena dia melihat
ada celah dalam KHI yang bisa dia manfaatkan untuk melindungi perempuan. Celah itu adalah aturan KHI yang menyatakan bahwa
mut’ah merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami kei- ka menceraikan istrinya. Namun dalam KHI idak ada aturan batas