Mut’ah dan Nakah ‘Iddah

67 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS ini kepada pihak istri setelah perceraian ter- jadi. Penegasan tentang adanya upaya untuk mewajibkan pihak suami yang menceraikan istrinya memberi uang mut’ah ini, diairma- si oleh semua hakim yang mengikui FGD. Menurut mereka, dengan menekankan pada aspek pewajiban pemberian mut’ah ini, ke- peningan perempuan dapat terlindungi. Laki-laki akan merasa hak mereka mencerai- kan istrinya idak semudah yang dibayang- kan karena adanya beban untuk memberi- kan kepada mantan istri sejumlah dari harta kekayaan ekonomi mereka. Analisis Penggunaan perspekif jender yang paling nampak di pengadilan terkait dengan hak- hak istri yang diceraikan suaminya adalah dari pemenuhan mut’ah, kiswah dan nakah. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada eksekusi. Namun dengan berbagai cara, ha- kim-hakim di iga daerah itu telah melakukan upaya-upaya inovasi agar kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya dapat di- penuhi. Ada beberapa cara untuk menggunakan analisis jender dalam isu ini. Pertama-tama soal cerai gugat. Analisis jender dapat mem- bantu hakim untuk memahami bahwa cerai yang diajukan istri idak dengan serta merta dimaknai sebagai sikap nusyuz istri. Logi- kanya adalah hampir idak mungkin seorang istri mengajukan cerai jika keadaan rumah tangganya tentram, damai dan idak ada ke- kerasan. Hanya karena situasinya yang be- gitu buruk maka jalan yang paling beratpun terpaksa mereka tempuh yaitu cerai gugat. Dengan menggunakan cara pandang em- pai ini, hakim dapat menelii lebih seksama mengapa istri melakukan cerai gugat. Sebagaimana telah diprakikkan oleh para hakim di iga wilayah itu, pemberian mut’ah dan uang ‘ iddah kepada istri, apapun je- nis perceraiannya, merupakan suatu upaya yang nyata dalam menerapkan keadilan jen- der pasca perkawinan. Hakim dan ikhiar mengeksekusi uang mut’ah dan ‘iddah Hakim Nadirah mengisahkan upayanya di Pengadilan Makassar, Sulawesi Selatan, terkait eksekusi uang mut’ah kepada seorang suami yang hendak menceraikan istrinya. Yang ia lakukan adalah menahan hak talak seorang laki-laki terhadap mantan istrinya sampai sang suami mampu menyerahkan uang mut’ah sebesar enam juta rupiah. Laki-laki tersebut diberi batas waktu maksimal enam bulan. Nadirah menegaskan, jika dalam waktu yang telah di- tentukan itu suami idak menyerahkan uang mut’ah maka haknya untuk menceraikan istrinya menjadi batal. Keberanian hakim Nadirah dalam menahan hak talak suami itu karena dia melihat ada celah dalam KHI yang bisa dia manfaatkan untuk melindungi perempuan. Celah itu adalah aturan KHI yang menyatakan bahwa mut’ah merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami kei- ka menceraikan istrinya. Namun dalam KHI idak ada aturan batas 68 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN waktu had, dan atas dasar itu, hakim Nadirah berinisiaif untuk memberi waktu yang wajar yaitu enam bulan untuk mengum- pulkan enam juta sebagai uang mut’ah. ”...sebenarnya aturan itu menafsirkan batas waktu pem- bayaran uang ‘iddah masuk daerah kekuasaan hakim, ing- gal tergantung kepada hakimnya mau memperimbangkan itu atau idak. Kalau diantara kita yang sudah mengikui pelaihan, upaya itu jelas kami lakukan karena diseman- gai oleh apa yang didapatkan dari pelaihan...”Hakim Nadirah Menurut Amri, seorang hakim yang bertugas di Mahkamah Syar’iyah Langsa, sensiivitas jender seorang hakim tereleksi- kan dengan baik bila ia dapat mengeri dan memahami kebutu- han dasar yang diperjuangkan oleh istri dalam hal uang mut’ah dan nakah ‘iddah. Hakim Amri menuturkan pengalamannya saat menangani cerai gugat karena rumah tangga sering cek- cok syiqaq. Menurut si istri, penyebab syiqaq karena suami melakukan poligami tanpa izin. Istri berkeras tak mau dimadu, dan suami pun menyetujuinya dengan mengajukan izin men- jatuhkan talak. Dalam persidangan, istri meminta kepada majelis agar sesudah bercerai nani ia memperoleh nakah ‘iddah sebe- sar iga juta rupiah seiap bulan dan uang mut’ah dari mantan suaminya bukan dalam bentuk tunai, tetapi sebuah rumah yang sekarang menjadi tempat kediaman pasangan itu. Dalam sidang berikutnya, suami bukan hanya berkeberatan mengabulkan per- mintaan istri atas rumah sebagai mut’ah, tetapi juga idak mau membayar sebesar jumlah nakah ‘iddah perbulan yang diminta oleh istri. Suami tersebut hanya bersedia memberi uang ‘iddah sebanyak satu juta rupiah perbulan. Menyikapi persoalan ini, majelis hakim yang dipimpin Amri akhirnya menjatuhkan putu- san bahwa suami diharuskan membayar nakah ‘iddah sebesar satu juta rupiah perbulan selama masa ‘ iddah dan rumah yang dimaksud diberikan kepada mantan istri sebagai mut’ah. Putu- san pengadilan ini akhirnya mendapat kekuatan hukum yang tetap setelah masa 14 hari terlewai dan suami idak mengaju- kan banding dalam periode itu. Tidak adanya banding suami atas putusan pengadilan membuat hakim Amri yakin bahwa apa yang telah diputuskan oleh majelis telah mencerminkan keadil- an bagi kedua belah pihak. Drs. Amri, S.H. 69 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS

5. Pemeliharaan Anak

Pemeliharaan anak hadhanah merupakan salah satu isu pening yang imbul dalam perkara perceraian bagi pasangan yang telah dikaruniai anak. Peraturan perundang-un- dangan Indonesia, seperi antara lain terlihat jelas dalam Kompilasi Hukum Islam KHI, mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa. Anak dalam KHI diideniikasi dengan dua kondisi. Pertama, anak di bawah umur ghair mumayyiz, yang di dalam KHI ditetap- kan di bawah 12 tahun, dan kedua, anak di atas 12 tahun mumayyiz. Peraturan peme- liharaan anak dalam KHI idak diembel-em- beli dengan syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini berbeda dengan aturan ikih yang menetapkan bahwa seorang pen- gasuh harus memenuhi beberapa kriteria, jika ia ingin mendapatkan hak asuhnya. Para hakim di keiga wilayah setuju dengan aturan KHI tersebut. Para hakim di Aceh me- mahami bahwa secara yuridis, anak-anak yang masih berada di bawah usia 12 tahun harus berada dalam pengasuhan ibunya, sementara anak-anak di atas 12 tahun dibe- baskan untuk memilih antara ikut atau dia- suh ayah atau ibunya. Meski mereka menilai bahwa sensiivitas jender dalam ketentuan peraturan ini masih dapat diperdebatkan, sebagian besar hakim Aceh melihat bahwa aturan itu sudah memenuhi keadilan bukan hanya bagi ibu tetapi juga untuk anak, khu- susnya bila anak berusia di bawah 12 tahun. Bertolak dari pandangan ini, para hakim agama di Aceh dalam memeriksa sengketa pemeliharaan anak memberi perhaian yang besar kepada hak istri untuk mengasuh anaknya yang masih berusia di bawah 12 tahun. Sementara di Minangkabau, aturan KHI ini merupakan pengukuhan atas tradisi setempat yang memberikan hak asuh secara ekslusif kepada keluarga pihak perempuan apapun kondisinya. Drs. Zakian, MH. Hakim dan Upaya Perlindungan Anak Hakim Zakian, yang pernah bertugas di Takengon Aceh Tengah, menuturkan kisahnya terkait dengan kasus hadhanah yang di- tanganinya. Sepasang suami istri memiliki anak berumur 7 ta- hun. Keika gugat cerai disidangkan dan berujung pada hak pemeliharaan anak, Zakian melihat bahwa meskipun dalam KHI hak pengasuhan harus jatuh pada sang ibu, tetapi dari pemerik- saan saksi-saksi ternyata si anak cenderung lebih dekat kepada ayahnya. Keika majelis hakim memeriksa dan bertanya tentang keadaan ibu apakah ia mempunyai perbuatan tercela, sebetul- nya idak ada jawaban yang dapat merugikan posisi ibu. Hakim Zakian sebenarnya ingin memutuskan memberikan hak peng- asuhan anak itu kepada ibu, tetapi di persidangan si istri me- nyatakan bahwa demi si anak, dia merelakan anak ikut bapaknya karena hubungannya yang begitu dekat dengan bapaknya. Ha- 70 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN kim Zakian menyatakan bahwa dia bukan tak ingin membela si Ibu sebagaimana tertera dalam KHI, namun pada kenyataannya hubungan emosional anak lebih dekat dengan bapaknya. Kasus serupa dipaparkan Hakim Raiuddin dari Jantho. Dalam kasus ini, si hakim memberi dukungan bagi istri yang mendapat tekanan dan inimidasi dari pihak keluarga suami agar melepas- kan pengasuhan anaknya yang masih balita kepada ayahnya. Raiuddin menceritakan: “Si Istri rela melepaskan anak berusia 2,5 tahun untuk dia- suh suami, dengan catatan diberi waktu untuk [bertemu dan] melihat. Di sini saya curiga, kenapa ada kerelaan, tetapi minta waktu untuk melihat anak. Ternyata setelah diperiksa secara terpisah saya melihat adanya indikasi tekanan keras dari keluarga suami. Karena istri merasa tertekan dan idak berdaya sehingga melepaskan anaknya yang masih balita. Di sini kami mengambil kesimpulan bah- wa idak ada satupun alasan suami [yang dapat diterima] bahwa istri idak berhak merawat anak. Kami [akhirnya] memutuskan anak...bersama ibu dan biaya [pemelihara- an] dibebankan kepada ayah si anak.” Yuniar, hakim perempuan dari Banda Aceh menceritakan kasus- nya. Dalam kasus hak pengasuhan anak yang ditanganinya dia berhadapan dengan persoalan batas umur sebagaimana diatur dalam KHI. Dalam KHI diatur bahwa untuk anak di atas 12 tahun diberikan sebuah pilihan bagi anak itu sendiri; ia ingin berada di bawah pengasuhan siapa, ayah atau ibunya. Hakim Yuniar me- milih jalan lain untuk menafsirkan aturan KHI itu. Meskipun anak itu telah berumur 13 tahun, anak itu merupakan anak bungsu yang sangat dekat dengan ibunya. Di tambah lagi, karena bapak- nya melakukan poligami secara diam-diam, yang menjadi alasan perceraian ayah dan ibu kandungnya, psikologi anak tersebut i- dak siap untuk inggal bersama ibu irinya. Maka dari itu, hakim Yuniar idak memberikan pilihan pengasuhan kepada anak itu sendiri, tetapi langsung menetapkan bahwa anak itu diasuh oleh ibu kandungnya. Di Sumatera Barat, hakim Pelmizar dan hakim Abdul Hakim menceritakan bahwa di Minang pengasuhan anak selalu diberi- Dra. Yuniar AH, S.H. 71 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS Senada dengan para hakim agama di Suma- tera Barat dan Aceh, hakim agama dari Su- lawesi Selatan memandang bahwa dalam memutuskan masalah pemeliharaan anak, yang dijadikan rujukan adalah ketentuan hukum yang ada dalam KHI. Semua hakim menyatakan bahwa proses peradilan yang terkait dengan pemeliharaan anak dikem- balikan kepada ketentuan yang ada dalam KHI, seperi telah diutarakan di atas. Mereka mengungkapkan bahwa dalam kasus anak di bawah umur, orang tua laki-laki hanya akan diberikan hak pengasuhan jika si ibu berbe- da agama atau keluar dari Islam, keputusan ini diambil demi kepeningan masa depan anak. Seperi halnya di Aceh dan Sumatera Barat, para peserta di Sulawesi Selatan berpendapat bahwa jika ada benturan antara kepeningan ibu dengan anaknya, maka yang lebih diuta- makan adalah kepeningan anak. “... sebelum pelaihan kami sudah pun- ya dasar-dasar aturan tentang peme- liharaan anak yang ditetapkan seperi itu, bahwa pengasuhan anak itu idak dibebankan pada kepeningan orang tuanya, tetapi harus melihat selalu ke kepeningan anaknya. Dengan ad- anya pelaihan dan juga seperi yang kemarin, semakin menambah pema- haman kita, bahwa yang harus kita li- hat dalam hal ini adalah kepeningan anak. Ada contohnya seperi di daerah sini waktu itu, saya lihat kondisinya si anak sudah melekat pada bapaknya sejak umur 2 tahun, malah sebelum 2 tahun. Pada umur 5 tahun keika gu- gatan cerai dilakukan mamanya sam- pai meneteskan air mata meminta hak asuh anak, tapi idak bisa dibukikan keterikatan secara lahiriyah dengan si anak...” Muhajir, Kepala KUA Analisis Dalam hal pengasuhan anak, yang pertama- tama harus diperhaikan adalah kepening- an anak. Analisis jender depat membantu mengeliminasi kemungkinan adanya stereo- type jender yang seolah-olah memandang seiap perempuan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memelihara anak, atau sebaliknya seolah-olah laki-laki tak me- miliki kemampuan itu. Namun adalah benar karena selama ini secara adat dan sosio-kul- tural pengasuhan anak ada dibawah ibunya, hubungan anak dan ibu umumnya jauh lebih dekat sebagai kelanjutan dari fungsi biolo- gisnya yang melahirkan dan menyusuinya. Dalam konteks itu, KHI nampaknya meng- gunakan alasan kebiasaan dan kelaziman kan kepada ibunya tanpa harus melihat aturan di KHI. Bukan saja karena hubungan emosional anak dengan ibunya yang umumnya selalu lebih erat dibandingkan bapaknya, tetapi karena dalam tradisi masyarakat Minang yang matrilinial, pengasuhan anak memang selalu diberikan kepada ibunya atau keluarga garis ibu. Bahkan jika si ibu meninggal, pengasuhan anak di bawah umur selalu dberikan kepada keluarga dari pihak ibunya.