Pemeliharaan Anak Buku demi keadilan dan kesetaraan

71 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS Senada dengan para hakim agama di Suma- tera Barat dan Aceh, hakim agama dari Su- lawesi Selatan memandang bahwa dalam memutuskan masalah pemeliharaan anak, yang dijadikan rujukan adalah ketentuan hukum yang ada dalam KHI. Semua hakim menyatakan bahwa proses peradilan yang terkait dengan pemeliharaan anak dikem- balikan kepada ketentuan yang ada dalam KHI, seperi telah diutarakan di atas. Mereka mengungkapkan bahwa dalam kasus anak di bawah umur, orang tua laki-laki hanya akan diberikan hak pengasuhan jika si ibu berbe- da agama atau keluar dari Islam, keputusan ini diambil demi kepeningan masa depan anak. Seperi halnya di Aceh dan Sumatera Barat, para peserta di Sulawesi Selatan berpendapat bahwa jika ada benturan antara kepeningan ibu dengan anaknya, maka yang lebih diuta- makan adalah kepeningan anak. “... sebelum pelaihan kami sudah pun- ya dasar-dasar aturan tentang peme- liharaan anak yang ditetapkan seperi itu, bahwa pengasuhan anak itu idak dibebankan pada kepeningan orang tuanya, tetapi harus melihat selalu ke kepeningan anaknya. Dengan ad- anya pelaihan dan juga seperi yang kemarin, semakin menambah pema- haman kita, bahwa yang harus kita li- hat dalam hal ini adalah kepeningan anak. Ada contohnya seperi di daerah sini waktu itu, saya lihat kondisinya si anak sudah melekat pada bapaknya sejak umur 2 tahun, malah sebelum 2 tahun. Pada umur 5 tahun keika gu- gatan cerai dilakukan mamanya sam- pai meneteskan air mata meminta hak asuh anak, tapi idak bisa dibukikan keterikatan secara lahiriyah dengan si anak...” Muhajir, Kepala KUA Analisis Dalam hal pengasuhan anak, yang pertama- tama harus diperhaikan adalah kepening- an anak. Analisis jender depat membantu mengeliminasi kemungkinan adanya stereo- type jender yang seolah-olah memandang seiap perempuan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memelihara anak, atau sebaliknya seolah-olah laki-laki tak me- miliki kemampuan itu. Namun adalah benar karena selama ini secara adat dan sosio-kul- tural pengasuhan anak ada dibawah ibunya, hubungan anak dan ibu umumnya jauh lebih dekat sebagai kelanjutan dari fungsi biolo- gisnya yang melahirkan dan menyusuinya. Dalam konteks itu, KHI nampaknya meng- gunakan alasan kebiasaan dan kelaziman kan kepada ibunya tanpa harus melihat aturan di KHI. Bukan saja karena hubungan emosional anak dengan ibunya yang umumnya selalu lebih erat dibandingkan bapaknya, tetapi karena dalam tradisi masyarakat Minang yang matrilinial, pengasuhan anak memang selalu diberikan kepada ibunya atau keluarga garis ibu. Bahkan jika si ibu meninggal, pengasuhan anak di bawah umur selalu dberikan kepada keluarga dari pihak ibunya. 72 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN anak berada dalam asuhan ibunya terutama dibawah umur 12 tahun. Seorang hakim dapat menggunakan analisis jender untuk mendudukkan posisi dan kepeningan anak, dengan mengeliminasi stereotype tentang perempuan dan laki-laki terkait dengan kemampuankeidakmampuan mengasuh anak yang seolah-olah bersifat permanen. Jika memang tanpa tekanan seorang ibu me- lepaskan hak asuh anak kepada bapak, maka sangat boleh jadi memang sang bapak me- miliki kemampuan dan kesanggupan untuk memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian. Demikian juga sebaliknya. Meskipun si anak telah berusia diatas 12 tahun, anak bisa saja masih me- miliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya. Dalam hal yang semacam ini, sensi- ivitas jender dapat membantu hakim untuk memupuskan stereoptype tentang peran ibu dan bapak dalam pengasuhan anak. Pegang- an utama hakim adalah bagaimana memberi perlindungan dan kebaikan bagi anak.

6. Harta Bersama

Pembagian harta bersama atau gono-gini hareuta sehareukat dalam bahasa Aceh merupakan perkara yang muncul sebagai akibat lanjutan dari perceraian. Dalam per- soalan ini para hakim pada dasarnya meng- gunakan ketentuan KHI, di mana harta yang diperoleh dalam ikatan perkawinan harus dibagi keika pernikahan putus, baik kare- na perceraian maupun karena salah satu pasangan meninggal dunia. Persoalannya, seberapa besar bagian untuk kedua belah pihak yang dianggap adil, hakim tak selalu punya pandangan yang sama. Meskipun hu- kum materil, seperi KHI sudah memberikan aturan yang berperspekif kesetaraan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, dalam pelaksanaannya kerap muncul penaf- siran yang berbeda. Jika mengacu kepada KHI, perempuan mendapat ½ dari harta yang diperoleh selama berumah tangga, walaupun ia idak bekerja di wilayah publik yang menghasilkan uang. Namun, bukan i- dak mungkin bila ada hakim yang menerap- kan pembagian dua banding satu, dengan asumsi lelaki bekerja lebih banyak sehingga hasilnya pun lebih banyak. Dengan perhi- tungan seperi itu, satu bagian bagi istri su- dah dianggap merupakan penghargaan atas jerih payahnya mengelola rumah tangga. Anggapan semacam ini tak jarang dicarikan jusiikasinya yaitu dengan mengacu kepada konsep pembagian waris sebagaimana dia- tur dalam Al Qur’an. Terkait hal ini, para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh nampak mengakomodasi aturan KHI secara jelas dan kongkrit. Bagi mereka, status istri yang bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga sama peningnya dengan status suami yang bekerja di luar rumah tangga. Perannya sebagai ibu rumah tangga memberi kontribusi pening dalam proses penciptaan harta bersama suami is- tri selama masa pernikahan mereka, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta ber- sama itu terdatar. Oleh karenanya, dalam penyelesaian kasus harta bersama para hakim di Aceh memberikan hak seperdua bagian kepada istri. Bagi mereka idak ada unsur apapun yang dapat menghalangi di- penuhinya hak istri terkait harta bersama. Kontrak atau perjanjian yang tercermin dalam akad pernikahan sudah cukup dijadi- kan buki adanya kerjasama suami dan istri dalam perolehan harta bersama. 73 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS Abdullah Tgk. Nai adalah seorang hakim yang berdinas di Mah- kamah Syar’iyah Lhokseumawe. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah memeriksa perkara cerai yang di dalamnya tersangkut pula masalah harta bersama. Si istri mengajukan cerai gugat dari suaminya, karena idak tahan terus menerus menerima tuduhan bahwa istri telah berbuat serong dengan seorang pria lain. Suami bersedia menceraikan istrinya asalkan istri berse- dia menandatangani surat pernyataan bahwa ia idak akan menuntut harta bersama. Surat yang disiapkan oleh suami itu ditandangani si istri dan dibawa ke pengadilan sebagai barang buki. Akan tetapi, hakim Abdullah memandang surat per- nyataan yang ditandatangani di bawah materai tersebut idak sah. Pertama, karena kesepakatan itu dilakukan di luar persi- dangan sebelum ada pemeriksaan. Kedua, ia menilai bahwa hak perempuan terhadap harta bersama setelah perceraian tetap harus diperhitungkan, terlepas apapun penyebab dan alasan terjadinya perceraian itu. Penyelesaian kasus harta bersama di Sulawesi Selatan cukup mengindikasikan kuatnya keberpihakan hakim kepada perem- puan dalam pembagian harta bersama pasca perceraian. “… ada pernah kasus di Maros, suaminya idak mempu- nyai pekerjaan tetap, sementara istrinya pengusaha ho- tel. Mereka bersepakat untuk mengakhiri perkawinan dan pergi ke pengadilan. Suaminya minta setengah daripada harta sebagai harta gono-gini. Tapi teman-teman hakim memiliki perimbangan lain. Adalah betul bahwa hukum harta gono-gini harus dibagi dua, tapi pembagian sama rata itu harus ada dasarnya. Misalnya, si istri menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga, kita menilai pekerjaannya [adalah] sepening pe- kerjaan suaminya. Tapi dalam kasus ini, si suami idak ikut baning tulang dan tak pula urus rumah tangga. Bagaima- na dia mau mendapatkan ity-ity? Kami putuskan saat pembagian harta bersama bukannya ity-ity, tapi lebih banyak perempuan…” Hakim dan Upaya Pembagian Harta Bersama Secara Adil 74 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Para hakim di Sumatera Barat pada dasarnya setuju dengan aturan KHI soal harta bersama. Namun pada prakiknya, mereka cenderung untuk lebih mengutamakan hak-hak perem- puan atas dasar untuk melindungi masa de- pan kehidupannya dan anak-anaknya yang secara pasi berada dalam tanggung jawab- nya, apapun status perkawinannya kelak. Para hakim Sumatera Barat ini menilai bah- wa pembagian harta bersama dalam kasus tertentu bisa menyimpang dari aturan hu- kum, di mana aset bersama idak dibagikan rata. Dalam kasus istri yang mencari nakah, sementara suami sama sekali idak bekerja, maka rasio pembagian harta bersama bisa idak satu banding satu. Istri, dalam kondisi seperi itu, bisa mendapat porsi lebih ban- yak. Seorang hakim pernah menyelesaikan perkara dengan memberikan ¾ dari harta bersama kepada istri. Penafsiran dan sikap para hakim ini merupakan hasil pembacaan mereka atas kenyataan tentang beratnya tanggung jawab istri pasca perceraian. Dan untuk itu mereka tak merasa telah melang- kahi KHI, melainkan memanfaatkan peluang yang diatur KHI. Dalam KHI, pembagian 1:1 itu idak mempermasalahkan siapa yang bekerja di luar, melainkan soal perlindungan bagi perempuan pasca perceraian. Penerjemahan dari aturan KHI terkadang dapat terjadi dalam bentuk lain. Misalnya, harta bersama idak dibagikan dengan ala- san bahwa harta yang dicari semuanya di- peruntukkan bagi anak. Terlebih jika rumah dibangun oleh suami dan istri di atas tanah harta pusako inggi. Analisis Sekilas terlihat bahwa para hakim telah sedemikian rupa mengupayakan untuk memberikan perlindungan kepada perem- puan pasca perceraian. Bentuk perlindung- an itu diberikan dalam menerapkan konsep gono-gini yang diatur KHI. Terlihat bahwa analisis jender telah digunakan keika me- reka berargumentasi tentang berapa bagian yang diberikan kepada istri dan alasannya. Alasan yang mereka kemukakan dengan jelas menunjukan sensiivitas mereka bahwa se- cara de facto istri ikut bekerja dengan meng- urus rumah tangga sehingga harta bisa di- kumpulkan sepanjang usia rumah tangga berlangsung. Para hakim telah menilai de- ngan adil bahwa pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga dalam bentuk menge- lola rumah tangga sebanding dengan suami yang bekerja di luar rumah. Dalam konteks itu, adalah sangat adil secara jender bila hakim memutuskan perempuan mendapat bagian yang sama dengan lelaki yang ber- cerai. Demikian halnya keika hakim mem- beri bagian lebih banyak kepada istri yang bekerja. Analisis jender membantu mereka untuk memahami bahwa keika istri bekerja di luar rumah —sangat jarang suami men- gambil alih pekerjaan rumah tangganya. Dengan demikian, istri pada dasarnya telah bekerja rangkap melakukan produksi seka- ligus reproduksi. Atas dasar itulah, menjadi sangat layak jika mereka berpisah si istri akan mendapat ¾ bagian dan suaminya ¼ bagian. Para hakim telah menilai dengan adil bahwa pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga dalam bentuk mengelola rumah tangga sebanding dengan suami yang bekerja di luar rumah.