ReKoMeNDASI DAN ACTION PLAN 94

Pendokumentasian ini bertujuan untuk mengukur sejauhmana hasil dan dampak pemberdayaan perempuan yang diseleng- garakan baik oleh PSW-UIN Yogyakarta mau- pun Putroe Kandee itu bagi para pesertanya. Pendokumentasian ini dilakukan oleh lem- baga peneliian independen, PUSKUMHAM UIN Jakarta dari November 2008 sampai Februari 2009, dan berlanjut sampai Juli 2009 untuk proses konirmasi dan publika- si. Informasi dikumpulkan dengan metode peneliian lapangan di mana data diolah berdasarkan hasil wawancara mendalam, FGD serta bacaan dokumen. Cakupan wilayah pendokumentasian ini adalah Provinsi Aceh Putroe Kandee, Su- matera Barat dan Sulawesi Selatan PSW UIN. Keiganya merupakan representasi dari beberapa provinsi yang dipilih sebagai wilayah kerja mereka. Sebagai metodologi dalam ilmu–ilmu sosial, jender digunakan untuk membuka cara pan- dang baru yang secara khusus digunakan untuk melihat keimpangan akses dan kon- trol lelaki dan perempuan terhadap sumber daya. Ia bermanfaat untuk menelisik sekali- gus mencari jalan keluar atas keimpangan relasi itu serta akibat yang diimbulkannya. Dalam suatu sistem sosial yang lebih meng- utamakan peran dan kedudukan lelaki, dina- mika relasi sosial antar lelaki dan perem- puan ini terbuki membuahkan sejumlah keimpangan. Keimpangan-keimpangan itu dapat diukur dari ingginya kekerasan ber- basis prasangka jender, termarjinalkannya peran poliik dan ekonomi perempuan, bertambahnya beban kerja mereka baik di dalam maupun di luar rumah tangga, serta rendahnya penghargaan kumulaif atas sta- xviii The purpose of this documentaion is to measure the results and impact of the pro- grams for empowerment of women, as con- ducted by both PSW-UIN Yogyakarta and Putroe Kandee, on the paricipants. This do- cumentaion was created by an independent research insituion, Puskumham Center for Consituion, Law and Human Rights Studies, Pusat Studi Konsitusi Hukum dan HAM of UIN Jakarta, between November 2008 and February 2009, and coninuing unil July 2009 for the processes of conirmaion and publicaion. Informaion was gathered through ield research methods: data was processed based on the results of in-depth interviews, Focus Discussion Groups FGD and reading of documents. The geographical scope of this documenta- ion is the provinces of Aceh Putroe Kan- dee, West Sumatra and South Sulawesi PSW UIN. These three provinces are repre- sentaive of the several provinces selected as the two insituions’ areas of acivity. Using social science methodologies, gender is used to open up new perspecives that are then employed speciically to examine the inequaliies in men’s and women’s access to and control of resources. It is useful to ques- ion and at the same ime seek ways out of these imbalanced relaions and the impacts they create. In a social system that emphasizes the roles and status of men, the dynamics of social re- laions between men and women have been shown to produce a number of inequaliies. These inequaliies can be seen in the level of violence based on gender prejudice, the poliical and economic marginalizaion of women, the greater workloads for women tus mereka. Keimpangan-keimpangan itu dalam bebe- rapa dekade ini dipersoalkan karena terbuki memunculkan keidakadilan yang secara umum bermuara pada indakan diskrimi- nasi berbasis prasangka jender yang sangat merugikan. Di dunia peradilan, manifestasi keimpangan itu bisa saja mewujud dalam putusan pengadilan yang dianggap idak adil yang disebabkan oleh cara pandang dan metode pengambilan keputusan yang bias jender. Karenanya, peningkatan sensiivitas jender melalui proses edukasi dimaksudkan untuk peningkatan kemampuan peserta dalam meneropong keimpangan akses dan kontrol antar jenis kelamin terhadap sejumlah sum- berdaya yang terkait dengan hukum. Dalam konteks kerja kedua mitra Asia Foundaion itu, fokus pemberdayaan ini diutamakan kepada para aparatur yang melayani peme- nuhan keadilan jender baik di KUA maupun di Peradilan Agama Mahkamah Syar`iyah. Secara umum, di Indonesia upaya untuk melakukan improvisasi dan legislasi hukum untuk membela kesetaraan status dan hak- hak perempuan terus menerus dilakukan. Misalnya, pada tahun 1957 calon mahasiswi diberi kesempatan mengambil studi hukum pada Fakultas Syariah dan mempersiapkan mereka menjadi hakim agama Islam setara dengan hakim laki-laki. Begitupun, lahirnya Undang-undang Perkawinan, No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 di mana berbagai pasalnya berusaha memberi perlindungan terhadap perem- puan meskipun belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan maksimal. Dengan ala- san ini, belakangan produk-produk hukum xix both within and outside the home, and the low cumulaive appreciaion for their sta- tus. Over the past few decades, these unequal posiions have become an important issue because they have been shown to create in- jusice, which generally leads to highly detri- mental acts of discriminaion based on gen- der prejudices. In the court system, these inequaliies may manifest themselves in the form of court verdicts seen as unfair, which are produced by gender-biased perspecives and decision-making methods. Therefore, upgrading gender sensiivity through educaional processes is an acivity intended to raise the paricipants’ ability to accurately perceive the imbalance between the sexes in access to and control of various resources related to the law. In the context of the work of these two Asia Foundaion partners, the focus of this empowerment is mainly on state oicials who deal with gen- der jusice, both in the KUA and the religious court system Peradilan Agama Mahkamah Syar`iyah. Generally speaking, coninuous eforts have been made in Indonesia for legal improvi- saion and legislaion to defend the rights and equal status of women. For example, as early as 1957 female students were granted the opportunity to undertake legal studies in shariah law faculies to prepare them to become Islamic religious court judges on an equal level with male judges. Likewise, se- veral aricles in the Marriage Law Law No. 1 of 1974 and in the Compilaion of Islamic Law 1991 try to provide some protecion to women, though the expectaions and inten- ions have not been enirely fulilled. For this tersebut dituntut untuk terus diperbarui agar mampu merespon berbagai perubahan sosial yang muncul yang berdampak pada perubahan relasi perempuan dan laki-laki, yang pada kenyataannya tak stais. Upaya-upaya ini dianggap urgen, khususnya keika berbagai produk hukum dan kultur hukum di Indonesia dipersoalkan karena dianggap idak selalu mencerminkan relasi jender yang dibutuhkan untuk menempat- kan perempuan pada posisi yang lebih adil dalam situasi yang terus berubah. Sembari menani upaya amandemen ataupun judi- cial review terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan yang dipersoalkan, perubahan cara pandang hakim melalui se- rangkaian pelaihan peningkatan sensiivitas jender ini dianggap dapat menjadi tero- bosan dan pilihan strategis. Melalui strategi edukasi ini, hakim agama mendapatkan wawasan tambahan yang diharapkan dapat digunakan untuk meng- hadapi situasi keidakadilan jender di ham- pir segala ranah hukum. Dengan berbekal perspekif semacam itu, hakim agama ter- legiimasi dan termoivasi untuk melakukan ijihad menafsirkan teks-teks perundang- undangan yang mengandung bias keidak- adilan, atau malah pergi lebih jauh ke balik teks hukum beyond legal texts untuk me- nemukan ini keadilan di sana. II Laporan ini terbagi ke dalam lima bab. Bab pertama menguraikan tentang latar be- lakang kegiatan pendokumentasian ini dan metodologi yang digunakan serta uraian in- formasi yang cukup lengkap tentang kondisi faktual Peradilan Agama di Indonesia serta xx reason, demands have recently emerged for coninuing revision and reinement of these legal products so that they will respond to the many social changes that have occurred and have afected the dynamic relaions bet- ween women and men. These eforts are considered urgent, paricu- larly so because many of the legal products, and the legal culture, in Indonesia are seen as causing problems because they do not always relect the gender relaions needed to place women in a fairer posiion in con- inually changing situaions. While awaiing amendment or judicial review of the most problemaic laws and regulaions, changing the perspecive of judges through a series of trainings to upgrade gender sensiivity is seen as both a breakthrough and a highly strategic choice. Through this strategy of educaion, religious court judges gain a broader perspecive, which, it is hoped, they can use when facing the gender injusice that arises in nearly all types of legal situaions. Armed with this new perspecive, religious court judges are legiimized and moivated to employ ijihad in interpreing the texts of laws and regula- ions that contain injusice and bias, or even to go further, beyond legal texts, to discover the essence of jusice. II The report is divided into ive chapters. The irst chapter describes the background to the aciviies documented herein and the methodology used, together with extensive descripive informaion on the actual condi- ions of the Religious Court system in Indo- nesia and the background to the expansion latar belakang perluasan yurisdiksi Peradilan Agama terutama di Aceh. Pada bab kedua, dijelaskan cakupan per- soalan-persoalan yang didokumentasikan, sementara bab keiga menguraikan tentang pelaksaan kegiatan yang diselenggarakan kedua lembaga tersebut. Mengingat latar belakang persoalan jender yang ditemui di iga wilayah itu berbeda, maka dalam kedua bab ini dijelaskan tentang aspek-aspek yang terkait dengan proses edukasi itu seperi cakupan kurikulum, metodologi yang dikem- bangkan, peran fasilitator, dukungan kepa- niiaan lokal serta dampak kemanfaatan program. Dalam bab-bab ini akan dijumpai kuipan-kuipan pendapat para informan se- bagaimana terkumpul baik dari FGD maupun wawancara mendalam tentang pelaksanaan dan manfaat kegiatan ini untuk mereka. Bab keempat merupakan ini dari laporan ini. Di dalamnya dimuat sembilan tema yang merupakan batu uji sejauhmana sensiivitas jender para hakim agama dalam mengha- dapi persoalan-persoalan tersebut. Analisis jender disertakan agar dapat digunakan se- bagai patokanpanduan untuk mengukur sensiivitas jender dimaksud. Tema-tema yang dipilih ini merupakan tema-tema yang dianggap paling krusial terkait dengan ke- mungkinan adanya bias jender dalam proses ajudikasi di pengadilan agamamahkamah syar’iyah. Tema-tema itu adalah: 1 Pernika- han yang melipui isu Wali Nikah, Pencatatan Pernikahan dan Itsbat Nikah; 2 Perceraian; 3 KDRT dan Alasan Perceraian; 4 Mut’ah dan Nakah ‘Iddah; 5 Pemeliharaan Anak; 6 Pembagian Harta Bersama; 7 Poligami; 8 Kewarisan; dan 9 Khalwat, perkara khu- sus yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah di Aceh. xxi of jurisdicion of the Religious Courts, par- icularly in Aceh. The second chapter describes the scope of the issues being documented, while the third chapter describes the implementa- ion of the aciviies conducted by the two insituions. Since the background of gen- der problems difers between the three re- gions, these two chapters describe aspects related to the educaional process, such as curricular scope, methodologies developed, the role of facilitators, support from local or- ganizing commitees, and the impact of the programs’ implementaion. These chapters also contain opinions from the informants, gleaned from both the FGD and the in-depth interviews, on the implementaion and the beneits of these aciviies for them. The fourth chapter is the core of the report. It contains nine themes that are the key crite- ria used to measure the gender sensiivity of religious court judges in facing these issues. Gender analysis is included so that it can be used as a benchmark or a guideline to mea- sure gender sensiivity. The themes selected are ones that are considered most crucial in connecion with possible gender bias in the adjudicaion process in the religious courts or mahkamah syar’iyah. These themes are: 1 Marriage, including the issues of Wali Ni- kah male relaiveguardian for bride, Mar- riage Registraion, and Isbat Nikah marriage [re]conirmaion; 2 Divorce; 3 Domesic Violence and Reasons for Divorce; 4 Mut’ah alimony and Nakah Iddah support during period immediately following divorce when ex-wife is not permited to marry; 5 Child Rearing; 6 Division of Marital Property; 7 Polygamy; 8 Inheritance; and 9 Khalwat close proximity between diferent sexes Bab kelima berisi kesimpulan yang menyaji- kan analisis dan rekomendasi dari im penu- lis tentang kelanjutan program penguatan sensiivitas jender bagi para aparat penegak hukum serta pihak-pihak yang dapat men- dukung kegiatan ini seperi lembaga donor dan pemerintah. III Berdasarkan pengalaman Putroe Kandee dan Pusat Studi Wanita tercatat beberapa catatan pembelajaran mulai dari i alokasi waktu; ii strategi pendekatan dan rekrut- men narasumber; iii penentuan wilayah sasaran; hingga iv cakupan kurikulum, se- bagai berikut: 1. Untuk menumbuhkan pemahaman ten- tang jender dibutuhkan waktu, tenaga, dan usaha yang idak sedikit. Satu hal yang secara signiikan berpengaruh pada keberhasilan kegiatan ini adalah curahan waktu dan intensitas perjumpa- an pemikiran antara peserta dan fasilita- tornarasumber. Pendokumentasian ini mencatat bahwa jarang sekali peserta mampu menyerap seluruh konsep jen- der secara utuh hanya dari satu kali ke- giatan training dengan waktu terbatas 4-5 hari. Oleh karena itu, baik PSW mau- pun Putroe Kandee merancang program pelaihan ini minimal untuk 2-6 kali per- temuan melipui training ingkat dasar, training ingkat lanjutan, diskusi-diskusi temaik, pertemuan monitoring dan pe- nyebaran informasi melalui media 2. Upaya untuk meningkatkan wacana, pemahaman dan kesadaran peserta tentang sensiivitas jender membutuh- kan strategi pendekatan dan rekrutmen narasumber yang secara matang diper- xxii who have no kin or spousal relaionship, a case that exclusively falls under the autho- rity of the Mahkamah Syar`iyah in Aceh. The ith chapter contains conclusions and presents the analysis and recommendaions from the team of writers on further steps for programs to strengthen gender sensiivity in law enforcement oicials and paries that could support these aciviies, such as donor agencies and governments. III The experiences of Putroe Kandee and the Women’s Studies Center PSW have pro- duced a number of important lessons re- garding 1 ime allocaion; 2 strategies for approaching and recruiing resource people; and 3 determining target regions; and scope of curriculum. The following are some of the speciic indings: 1. Fostering a proper understanding of gender takes ime, energy, and no litle efort. One aspect that signiicantly af- fects the success of these aciviies is the great amount of ime and the intensity of intellectual interacion between the par- icipants and the facilitators. Paricipants are very rarely able to fully absorb all the concepts of gender from a single training program limited to only four or ive days. Therefore, both PSW and Putroe Kandee design their training programs to include at least two to six meeings, including basic-level training, advanced train- ing, themaic discussions, monitoring meeings, and disseminaion of informa- ion through the media. 2. Eforts to build discourse and enhance paricipants’ understanding and aware- hitungkan agar tak memunculkan resis- tensi atau penolakan yang idak perlu. Kedua lembaga ini mendemonstrasikan strategi pendekatan dan proses pembe- lajaran yang diarahkan oleh fasilitator dan narasumber terpilih sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghindari re- sistensi dalam pembahasan isu agama sebagai salah satu unsur yang meng- konstruksikan peran jender, kedua lem- baga ini menghadirkan narasumber yang sangat handal dalam bidangnya untuk menjelaskan makna pengerian dan fungsi jender serta menghubungkannya dengan ilmu tafsir dan usul ikih. Lebih dari itu, para narasumber dan fasilitator juga mengelola kelas dengan metode pembelajaran akif-interakif yang me- manfaatkan semaksimal mungkin bera- gam media dan alat bantu belajar. 3. Putroe Kandee diuntungkan oleh pi- lihan wilayah yang relaif homogen yang secara kebudayaan sangat dikenali oleh Putroe Kandee. Bagaimanapun, ini memudahkan Putroe Kandee untuk masuk dan mendekai peserta sehinga dapat mengurangi resistensi yang idak perlu. PSW sebaliknya bekerja di ba- nyak wilayah, termasuk dua di Suma- tera Barat dan Sulawesi Selatan. Sebagai ”orang luar”, PSW harus bekerja lebih keras untuk membangun kepercayaan peserta. Namun begitu, baik Putroe Kan- dee maupun PSW bekerja berdasarkan mandat baik dari Direktorat Peradilan Agama di Mahkamah Agung maupun Pengadilan AgamaMahkamah Syari’yah ingkat Provinsi yang juga berperan se- bagai penanggung jawab dari kegiatan ini sehingga kegiatan mereka mendapat- kan legiimasi yang kuat. xxiii ness of gender sensiivity require a care- fully thought-out strategy for approach to and recruitment of resource persons, in order to avoid unnecessary resistance or rejecion. To prevent resistance when discussing religious issues that can con- tribute to the construcion of gender roles, the two organizing insituions have brought in resource persons with strong experise in their ields. These resource people are then able to explain the meaning, deiniion and funcions of gender and to relate this to tafsir the science of textual interpretaion and usul ikh principles of Islamic jurispru- dence. Furthermore, the resource per- sons and facilitators also manage the classes using interacive “acive learning” methods that make maximum use of various media and teaching aids. 3. Putroe Kandee was lucky to have a rela- ively homogeneous region whose cul- ture Putroe Kandee knows extremely well. This certainly made it easier for Putroe Kandee to become involved with and approach paricipants, thereby re- ducing unnecessary resistance. PSW, in contrast, worked in many regions, in- cluding two in West Sumatra and South Sulawesi. As “outsiders,” PSW had to work extra hard to gain paricipants’ trust. Nevertheless, both Putroe Kandee and PSW worked based on mandates from the Directorate of Religious Courts under the Supreme Court and from the provincial-level Religious CourtsMahka- mah Syar’iyah, which also took respon- sibility for the aciviies, thereby giving them strong legiimacy. 4. Perbedaan konten kurikulum antara Putroe Kandee dan PSW pada umum- nya disebabkan oleh perbedaan ideni- ikasi persoalan yang dilihat oleh kedua lembaga itu di masing-masing daerah. Putroe Kandee berangkat dari persoa- lan hukum dan implikasinya terhadap perempuan pasca tsunami dan konlik. Dari segi cakupan kurikulum Putroe Kan- dee berkonsentrasi pada metodologi pembacaan teks klasik dengan perspek- if jender dan memampukan hakim un- tuk melakukan improvisasi hukum atas persoalan-persoalan keimpangan jen- der yang dihadapi hakim sehari-hari di pengadilan. Walaupun cakupan isu jen- der pada kenyataannya sangatlah luas, Putroe Kandee tak melangkah jauh dari isu-isu itu. Akibatnya, pengetahuan lain terkait isu jender sangat terbatas. Kuri- kulum Putroe Kandee juga tak menyasar secara sistemais pada isu-isu yang dapat menggugah peserta melakukan peru- bahan sikap di ingkat pribadi, meskipun pada akhirnya cukup banyak efek pela- ihan yang berimplikasi ke arah itu. PSW, di lain pihak memperkenalkan isu-isu jender secara komprehensif, termasuk hal- hal yang ditujukan untuk menggugah kesa- daran dan sikap personal pesertanya, an- tara lain melalui isu kesehatan reproduksi. Peserta juga dibekali keterampilan teknik advokasi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. PSW pada dasarnya berangkat dari persoalan keimpangan jender seba- gaimana terideniikasi secara umum baik di Sumatera Barat maupun Sulawesi Selatan. Namun training PSW juga dirancang untuk merespon isu-isu lokal manakala isu-isu itu muncul ke permukaan meskipun tema-tema dimaksud tak secara spesiik dirumuskan 4. Diferences in curriculum content bet- ween Putroe Kandee and PSW arose mainly from diferent ideniicaion of problems as perceived by the two insi- tuions in their respecive regions. Pu- troe Kandee started from legal problems and their implicaions for women in the wake of the tsunami and the conlict. In terms of curriculum scope, Putroe Kan- dee concentrated on the methodology for reading classical texts using a gender perspecive and on enabling judges to undertake legal improvisaion on the is- sues of gender inequality that they face in court every day. Although the scope of gender issues is very broad, Putroe Kandee did not stray far from these ba- sic issues. As a result, knowledge regard- ing other gender issues remains quite limited. Putroe Kandee’s curriculum also did not systemaically target issues that might require paricipants to change at- itudes and behaviors on a personal le- vel, though eventually the efects of the training did have signiicant implicaions in this direcion. PSW, in contrast, introduced gender issues more comprehensively, including topics aimed speciically at challenging the parici- pants’ awareness and personal aitudes, for example regarding reproducive health is- sues. Paricipants were also equipped with advocacy techniques and skills to struggle for women’s rights. At a fundamental level, PSW began from the problems of gender in- equality generally ideniied in both West Su- matra and South Sulawesi. However, PSW’s trainings were also designed to respond to local issues when and as they arose, even if these themes were not speciically for- mulated in the curriculum, for example by xxiv dalam kurikulum, seperi membedah tema- tema yang secara langsung dihadapi hakim terkait dengan isu di pengadilan. Dari sisi ini materi yang ditawarkan PSW jauh lebih kaya dan beragam, sementara Putro Kandee ter- batas namun mendalam. IV Didasarkan dari pengalaman kedua lembaga itu, pendokumentasian ini merekomendasi- kan kepada lembaga yang berbeda-beda un- tuk persoalan yang juga berbeda yang meru- pakan rekomendasi untuk indak lanjut: Bagi lembaga Penyelenggara PSW UIN dan Yayasan Putroe Kandee dan Lembaga lain yang sejenis: • Pemantauan secara lebih terprogram indak lanjut kegiatan, sehingga apa yang sudah disemaikan, terutama yang berkenaan dengan gender sensiivity dapat terus ditumbuhkan dan diimple- mentasikan dalam proses ajudikasi. • Penyusunan instrumen-instrumen kese- taraan dan keadilan jender yang lebih prakis sehingga dapat digunakan dalam proses ajudikasi di pengadilan. Cara ini diharapkan dapat menjadi blueprint yang akan menjadi rujukan bagi lembaga sejenis dalam mengembangkan training gender sensiivity dan training analisis jender serupa. Bagi Lembaga Pemegang Kebijakan Peme- rintah Pusat dan Daerah: • Melakukan perubahan pada aspek regu- lasi yang masih bias jender. Hal ini akan membantu hakim untuk mencari tero- bosan hukum, terutama bagi mereka analyzing themes directly faced by judges in connecion with cases in court. From this perspecive, the material ofered by PSW was far richer and more varied, while Putroe Kandee’s was limited but in-depth. IV Based on the experiences of these two insi- tuions, this documentaion makes recom- mendaions for further acion to various in- situions regarding various diferent issues, as follows: For the execuing insituions PSW UIN and Yayasan Putroe Kandee and other similar insituions: • Aciviies should be undergo follow-up monitoring in a more speciically-pro- grammed way, so that what has been sown, paricularly with regard to gender sensiivity, can be further culivated and implemented in the adjudicaion pro- cess. • These organizaions should formulate of more pracical instruments for gender equality and jusice that can be used in the adjudicaion process in the courts. It is hoped that this method will become a blueprint that will serve as a refer- ence for other insituions in developing similar training on gender sensiivity and gender analysis. For policy-making insituions central and local governments: • Government insituions must efect changes in regulaions that are sill gen- der-biased. This will help judges make legal breakthroughs, paricularly for xxv yang sangat terikat oleh pandangan le- gal posiivisik dan cenderung pasif dan rigid dalam merujuk dan menggunakan ketentuan dan kepasian hukum tertu- lis. • Menindaklanjui hasil pelaihan ini me- lalui cara memberikan sebanyak mung- kin kesempatan para hakim untuk men- jadi mediator-mediator berbagai konlik yang berakar dari keimpangan jender sejak dari ingkat keluarga hingga komu- nitas, dan menyelesaikan persoalan itu dengan menggunakan ilmu-ilmu yang mereka dapai dari pelaihan ini. • Memasikan terbentuknya kebijakan publik yang sensiif jender; antara lain melalui promosi pejabat publik yang lebih memiliki kesadaran jender; perlu- asan parisipasi kaum perempuan dalam proses perumusan kebijakan; penyu- sunan anggaran daerah dan perancang- an regulasi yang naninya akan mem- pengaruhi ingkat kualitas kehidupan perempuan. • Dalam aspek hukum sangatlah pening untuk menjaga agar regulasi yang dila- hirkan idak justru makin jauh dari regu- lasi yang sensiif jender, dan karenanya, memanfaatkan para alumni sebagai narasumber dalam penyusunan regu- lasi yang diharapkan lebih sensiif jender akan sangat berguna. Bagi Lembaga Donor Nasional dan Interna- sional: • Pelaihan peningkatan sensiivitas jender sepatutnya tak dirancang sebagai pro- gram yang berdiri sendiri. Peningkatan sensiivitas jender untuk aparat hukum harus dilakukan sebagai strategi yang didasarkan pada keyakinan bahwa anali- those who feel strongly bound by posi- ivisic legal perspecives and tend to be passive and rigid in referring to and using the provisions and certainies of writen law. • These insituions should follow up on the results of these trainings by provid- ing as many opportuniies as possible for the judges to serve as mediators in con- licts rooted in gender inequality, from the family level to the community level, and to resolve these problems using the knowledge and skills they gained from this training. • These insituions must ensure the cre- aion of gender-sensiive public policies; for example, through promoion of pub- lic oicials with greater gender aware- ness; expansion of women’s paricipa- ion in policy formulaion processes; and preparaion of local budgets and design of regulaions so as to posiively impact the quality of women’s lives. • From a legal standpoint, it is essenial to ensure that any enacted regulaion does not run opposite to gender-sensiive re- gulaions; therefore, it will be very useful to make use of alumni of this training as resource persons when drating regula- ions that are expected to be more gen- der sensiive. For donor agencies naional and interna- ional: • Training to upgrade gender sensiivity should not be designed as a stand-alone program. Enhancement of gender sen- siivity for legal oicials should be done based on a strong belief that gender analysis has been proven efecive in improving the efeciveness and uility xxvi sis jender terbuki dapat meningkatkan hasil gunakemanfaatan program pem- bangunan di sektor apapun. Investasi melalui proses edukasi merupakan cara yang cukup strategis di mana analisisnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pola-pola hubungan yang adil dan de- mokrais yang pada gilirannya akan sa- ngat bermanfaat untuk mengurangi kon- lik, meningkatkan apresiasi terhadap perempuan, penghargaan pada eksis- tensi keduanya lelaki dan perempuan di mana pun mereka berkiprah serta se- cara langsung mengurangi ingkat pen- deritaan perempuan akibat keimpang- an jender. • Pelaihan serupa ini masih membutuh- kan dukungan, bukan hanya bagi para hakim melainkan bagi para aparat lain- nya di lingkungan lembaga penegakan hukum, misalnya polisi, jaksa dan pe- ngacara. Ini pening agar secara efekif dan sistemais semua jajaran penegak hukum mendukung terwujudnya keseta- raan dan keadilan jender dalam seiap tahap proses hukum. • Upaya mendorong kesetaraan jender mu- dah memunculkan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan kemunduran dari upaya pemberdayaan perempuan. Kare- nanya, sangat pening bagi donor untuk mengetahui peta persoalan jender yang relevan bagi wilayah tersebut. Agenda donor untuk mendorong kesetaraan jen- der harus dibarengi dengan kemampuan untuk mengukur apa yang mungkin dan idak mungkin dilakukan dalam konteks yang berbeda. Karenanya, bekerja de- ngan insitusi lokal menjadi sangat pen- ing. Asia Foundaion memperlihatkan bagai-mana hal ini bisa dilakukan tanpa harus menghindari substansi persoalan. of development programs in all sectors. Investment in educaional processes is a highly strategic way to use this method of analysis to foster just and democraic paterns of relaionships that, in turn, are very beneicial in reducing conlict, increasing appreciaion of women, en- hancing respect for both men and wom- en in whatever they do, and directly reducing the level of women’s sufering due to gender inequality. • Training like this requires further sup- port, so that it can be available not only for judges but also for other oicials within law enforcement insituions such as the police, prosecutors and at- torneys. This is important so that law enforcement personnel at all levels will systemaically and efecively support the achievement of gender equality and jusice in all stages of the legal process. • Eforts to promote gender equality can easily give rise to misunderstandings that can lead to setbacks in the eforts to empower women. It is therefore neces- sary for donors to understand the map of relevant gender issues in each par- icular region. Donors’ agendas to pro- mote gender equality must be accom- panied by the ability to measure ‘what is’ and ‘what is not’ possible in diferent contexts. Thus, working with local in- situions is essenial. The Asia Founda- ion has this behavior without having to avoid substanive issues. xxvii • Untuk memperluas jangkauan impact program sensiivitas jender, kiranya di- perlukan upaya-upaya untuk memper- luas keterlibatan mitra kerjasama yang mempunyai latar belakang yang berbeda dan fokus sasaran yang beragam. Dalam konteks penegakan hukum ini, program pelaihan sensivitas jender bagi para pemangku adat, pimpinan lokal dan bagi tokoh agama dan ulama perlu diperim- bangkan untuk diselenggarakan. Bagi Para Hakim dan Aparat Penegak Hukum lainnya • Untuk memperluas jangkauan impact sensiivitas jender, para hakim perlu membuka dan mengembangkan jejaring antar hakim, sehingga terjadi proses ber- bagi informasi dan pengalaman dalam mewujudkan proses peradilan yang sen- siif jender di tempat masing-masing. • Untuk terus menggali metodologi pem- bacaan hukum yang memampukan para hakim keluar dari cara baca yang kaku terhadap teks hukum yang jelas-jelas bias jender. Untuk ini mereka hendaknya di- mampukan untuk melanjutkan pemba- caan referensi yang menawarkan pema- haman konsep keadilan jender. Dengan menggunakan analisis jender, seyogya- nya mereka dapat terus melakukan ka- jian dan releksi atas perkara-perkara hukum yang mereka tangani sehingga proses ajudikasi dan putusan pengadilan yang bias jender dapat dihindari. [ ] • To expand the reach and impact of gen- der sensiivity programs, eforts may be needed to expand involvement to include partners with diferent backgrounds and more varied targets. In the context of law enforcement, gender sensiivity training programs for leaders of tradiional com- muniies, local community leaders, and religious igures and scholars should also be considered. For judges and other law enforcement oi- cials • To expand the reach and impact of gen- der sensiivity, judges need to create and develop networks to enable a process of sharing of informaion and experiences in achieving gender-sensiive judicial processes in their respecive regions. • Judges should coninue to explore me- thodologies for reading the law that will enable escape from rigid readings of legal texts that are obviously gender-biased. To this end, they should be endlessly challenged to coninue their reading of works that ofer a fresh understanding of the concepts of gender jusice. By using gender analysis, they should be able to coninue their study of and relecion on the legal cases they handle so that gen- der-biased adjudicaion processes and decisions can be avoided. [ ] xxviii 1 Pendahuluan 2 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN

A. PENgANTAR

B uku ini merupakan hasil pendokumentasian pengalaman Pusat Studi Wanita PSW Universitas Islam Negeri UIN Sunan Kalijaga Yogya- karta dan Yayasan Putroe Kandee Aceh dalam menyelenggarakan ke- giatan pemberdayaan perempuan atas dukungan Asia Foundaion. Secara terpisah kedua lembaga ini bekerja untuk kegiatan yang sama yaitu peningkatan sensiivitas jender para hakim dan petugas KUA di beberapa wilayah di Indonesia. Peningkatan sensiivitas jender dimaksud adalah menum- buhkembangkan cara pandang dan kesadaran peserta atas realitas relasi sosial le- laki dan perempuan yang pada kenyatannya sangat dinamis, kontekstual, dipenga- ruhi dan berpengaruh kepada aspek sosial, poliik, ekonomi, budaya dan agama. Melampaui sangkaan orang yang kerap menganggap bahwa relasi jender itu ter- batas di lingkup rumah tangga, pada kenyataannya dinamika sosial antar jenis kelamin itu merambah ke berbagai aspek kehidupan dan dalam ingkatan yang berbeda-beda mulai pada ingkatan keluarga, masyarakat, negara hingga tatanan masyarakat global. Masalahnya, dalam suatu sistem sosial yang lebih mengutamakan peran dan kedudukan lelaki, dinamika relasi sosial antar lelaki dan perempuan ini terbuki membuahkan sejumlah keimpangan. Keimpangan-keimpangan itu dapat dike- nal dan diukur dari ingginya kekerasan berbasis prasangka jender, marjinalnya peran poliik dan ekonomi perempuan, bertambahnya beban kerja di dalam dan Pendahuluan 1 3 PENDAHULUAN di luar rumah tangga, serta rendahnya peng- hargaan kumulaif atas status mereka. Ke- impangan-keimpangan itu dalam beberapa dekade ini dipersoalkan karena terbuki me- munculkan keidakadilan yang secara umum disebabkan oleh indakan diskriminasi ber- basis prasangka jender. Karenanya, peningkatan sensiivitas jen- der dalam konteks ini berari peningkatan kemampuan peserta dalam meneropong keimpangan akses dan kontrol antar je- nis kelamin terhadap sejumlah sumberdaya yang terkait dengan hukum. Cara ini diya- kini dapat mempengaruhi tercapainya rasa keadilan baik laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks kerja kedua mitra Asia Foun- daion itu, fokus pemberdayaan ini diuta- makan kepada para aparatur yang melaya- ni pemenuhan keadilan bagi mereka yang datang ke Balai Nikah keika bahtera rumah- tangga hendak didayung atau ke ruang pe- ngadilan keika bahtera bersimpang haluan dan perkawinan terpaksa diakhiri. Selain menjelaskan tentang bagaimana pro- gram pemberdayaan ini dijalankan, doku- mentasi ini juga memuat contoh-contoh dari proses membangun kesadaran itu. Sebagai sebuah karya yang dikonstruksikan dengan kaedah-kaedah keilmuan yang dapat diuji keabsahannya dan agar karya ini bisa diper- tanggungjawabkan, buku ini juga menyaji- kan penjelasan metodologi pengumpulan data dan penulisannya. Cakupan wilayah peneliian untuk pendoku- mentasian ini adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Keiganya merupakan representasi dari beberapa provinsi yang dipilih sebagai wilayah kerja Putroe Kandee dan PSW UIN Yogyakarta. Untuk Putroe Kandee pendoku- mentasian ini hanya melipui Aceh karena Putroe Kandee hanya bekerja di wilayah ini. Sementara untuk PSW UIN Yogyakarta, pen- dokumentasian ini secara purposif memilih Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.

b. LATAR bELAKANg KEgIATAN DOKUMENTASI PROgRAM

Kegiatan dokumentasi program ini dilaku- kan oleh Pusat Studi Konsitusi, Hukum dan HAM PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dasar pikir dari pendokumentasian ini antara lain sebagai berikut:

1. Kondisi Faktual Peradilan Agama di In- donesia

Tidak ada satu lembaga pun yang berpenga- ruh sangat besar kepada masyarakat Muslim kecuali lembaga perkawinan. Karenanya, sangatlah dimengeri, keberadaan lembaga yang mengatur bagaimana keluarga dibentuk atau diakhiri menjadi pening. Keberadaan peradilan agama merupakan fenomena khas yang terdapat di sejumlah negara berpen- duduk mayoritas Muslim. Di Indonesia, cikal bakal peradilan agama sudah muncul sejak zaman kesultanan Muslim pada abad ke-15 M di beberapa wilayah Nusantara. Kedudu- kan peradilan agama selanjutnya bahkan mendapat pengakuan dari kolonial Belanda pada abad ke-19 M. Namun, sungguhpun mempunyai status yuridis sejak 1882, ke- beradaan peradilan agama hingga hampir 50 tahun Indonesia merdeka lebih bersifat semu dan tetap berada di posisi marjinal. Padahal kedudukan dan peran mereka sa- ngatlah sentral dalam tatanan masyarakat di Indonesia. 4 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Lahirnya Undang-undang UU Nomor 7 Ta- hun 1989 tentang Peradilan Agama telah membuka babak baru bagi proses pe- nguatan yang signiikan untuk struktur dan kapasitas yurisdiksi peradilan agama. Boleh dibilang bahwa sejak dekade 1990-an, kon- solidasi peradilan agama berlangsung de- ngan cukup intensif dan mengalami perkem- bangan insitusional yang pesat dari waktu ke waktu. Integrasi struktur peradilan agama sejak tahun 2004 yang sebelumnya berada di bawah koordinasi Departemen Agama, ke dalam wilayah administrasi Mahkamah Agung mendorong percepatan proses kema- juan di berbagai bidang, termasuk pening- katan anggaran belanja tahunan dan kuali- tas sumberdaya manusia.

2. Perluasan Yurisdiksi Peradilan Agama

Perkembangan mutakhir berkenaan dengan Peradilan Agama adalah upaya struktural untuk beranjak tak terbatas sebagai pen- gadilan keluarga. Hal ini antara lain ditandai dengan lahirnya ketentuan baru tentang per- luasan cakupan yurisdiksi peradilan agama sebagaimana terdapat di dalam Undang-un- dang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peruba- han Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebelum tahun 2006, yurisdiksi peradilan agama hanya me- lipui masalah-masalah keluarga seperi: a perkawinan; b kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan c wakaf dan shadaqah. Ruang lingkup gambar 1 Gedung Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Peradilan agama merupakan sarana yang efekif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non- material yang berkeadilan jender.