Fasilitator, Narasumber dan Paniia Pendukung
38
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
“Kami ini Bapak-bapak yang sudah makan asam garam rumah tangga.
Menasihai perkawinan itu hal yang bi- asa, membujuk agar orang tak berce-
rai juga makanan kami sehari hari.Kok ini kami diajari anak muda tentang
bagaimana seharusnya kami bering- kah laku kepada perempuan kepada
isteri,macam kami ini tak tahu adat diajar-ajari begitu”
Hakim A. Jalil, Idi. Narasumber lain dari Jakarta juga mendapat
tanggapan yang kurang lebih sama dalam training lain dan membuat suasana train-
ing sempat dibuat keruh. Pasalnya, materi yang disajikan melampaui apa yang diminta
Putroe Kandee terkait dengan hukum yang berperspekif perempuan. Narasumber ini
membahas soal kawin beda agama, Undang-
undang Kesehatan yang membahas tentang aborsi dan Rancangan Undang-undang Por-
nograi yang keika itu sedang hangat diba- has. Semula, Putroe Kandee berharap nara-
sumber dapat menjelaskan hukum yang berperspekif perempuan dan implikasinya
kepada perempuan. Namun contoh-contoh yang diangkat narasumber dianggap tak re-
levan untuk konteks Aceh. Dalam pelaihan yang lain Putroe Kandee mengundang nara-
sumber yang lebih senior seperi Nursyah- bani Katjasungkana. Meskipun narasumber
ini berasal dari luar Aceh, kehadirannya tak memunculkan penolakan berari.
Belajar dari pengalaman itu, pelaihan-pela- ihan Putroe Kandee berikutnya berusaha
lebih selekif dalam memilih narasumber. Di luar narasumber dari Mahkamah Agung,
Putroe Kandee lebih banyak mengundang narasumber lokal, seperi Syarifah Rahma-
illah dari MiSPI. Kehadirannya sangat diterima oleh para peserta meskipun tema
yang disampaikan tetap sama yaitu bias jen- der dalam hukum. Dengan mengambil con-
toh proses legislasi berbagai Qanun, Direktur
MiSPI yang memiliki pengalaman luas dalam isu perempuan di Aceh ini berhasil menjelas-
kan di mana letak bias gender dari proses itu, sehingga menarik perhaian peserta karena
penggunaan isilah-isilah lokal dan contoh- contoh yang mudah dipahami peserta.
Dalam konteks narasumber ini para peserta dari Aceh juga mengajukan usulan yang cu-
kup pening. Menurut mereka, Putroe Kan- dee dianggap kurang memberi perhaian
kepada kelompok dan cara pandang ulama dayah. Beberapa hakim mengaku telah me-
nyarankan agar para ulama dayah ikut di- hadirkan. Dengan cara itu, diharapkan akan
terjadi dialog atau saling mendengarkan
cara pandang yang berbeda dalam melihat teks yang sama khususnya dalam kaitannya
dengan ikih tentang relasi suami dan isteri.
”Maunya tafsiran ikih yang diberi- kan Kyai Husein digandeng dengan
ikih klasik yang dipahami oleh para Teungku dan Abu-Abu kita di dayah.
Itu selalu saya sarankan kepada Putroe
Kandee tapi belum terlaksana juga ru- panya. Karena kalau idak, kita idak
akan pernah ketemu. Sementara Kyai Husein meroket sampai ke bulan, kami
tetap di sini, kami tak mau jatuh. Mau- nya saya, mereka itu digandeng, ayo
sama-sama. Kemudian materi ikih perempuan; dulu-dulunya kan ikih
perempuan ini idak dibedakan, idak ada garis pemisahnya. Fikih ya ikih.
Datang pelaihan ini kami lihat seka- rang, rupanya begitu dalil-dalil ikih
yang adil jender itu. Nah menurut
39
PELAKSANAAN TRAININg
saya semua pandangan ikih yang me- nyangkut keperempuanan itu harusnya
menjadi satu”. Hakim Raiuddin.
Para hakim di Aceh menilai bahwa para fasilitator umumnya dianggap berhasil me-
madukan perspekif baru seperi kesadaran jender, hak-hak perempuan, isu kekerasan
dengan perspekif lama sebagaimana ter- muat dalam pandangan teologis berbasis
ikih. Perpaduan antara perspekif jender dengan ikih mampu menggugah cara pan-
dang mereka terhadap produk ikih yang semula diyakini sebagai sesuatu yang baku
dan harga mai. Melalui penyajian fakta- fakta yang menunjukkan terjadinya pe-
rubahan relasi jender yang berimplikasi
pada munculnya sejumlah masalah kepada kaum perempuan, para peserta diajak untuk
menggunakan kaidah-kaidah ushul ikih atau penafsiran teks dengan cara pembacaan
baru sehingga mampu digunakan untuk me- lihat keimpangan itu dan sekaligus mencari
solusinya. Kepiawaian para fasilitator dan narasumber juga ditunjang oleh sensiivitas
mereka dalam menggunakan isilah yang mudah dipahami, contoh-contoh lokal, dan
isilah-isilah yang biasa digunakan dalam khazanah klasik serta penggunaan bahasa
yang idak provokaif.
Ini bukan berari tak terjadi perdebatan yang hangat antara fasilitator atau narasumber
dengan peserta. Dalam beberapa kali perte- muan di Aceh, Kyai Husein mengaku sering
dibuat gemas karena tak merasa cukup puas
untuk menjelaskan pandangan dan meto- dologinya. Sebaliknya, pihak peserta merasa
bahwa narasumber terkesan memaksakan
pendapat dan memilih hadits atau argumen yang menunjukan keberpihakannya kepada
perempuan tanpa memperhaikan pendapat umum yang berlaku di masyarakat. Kare-
nanya, pandangan-pandangan Kyai Husein atau Moqsith dianggap mengejutkan dan di
luar kelaziman cara berpikir awam. Mereka juga menganggap Kyai Husein sering idak
cukup sabar untuk menjelaskan konsepnya
atau tak kunjung menjelaskan apa yang hendak disampaikan dengan penyajian se-
jumlah contoh bias jender dalam teks. Atas pengalaman itu, dalam pelaihan berikutnya
Kyai Husein berusaha lebih sistemais dalam penyampaian presentasinya. Sebagaimana
dikemukakan beberapa peserta, Kyai Hu- sein tampaknya telah mengubah alur pre-
sentasinya dengan terlebih dahulu meng- kontraskan pandangan yang merendahkan
perempuan dengan pandangan yang mem- beri keutamaan pada perempuan di mana
kedua-duanya termaktub dalam teks klasik. Setelah tampak kontradiksinya, Kyai Husein
kemudian memasukkan tawaran pandang-
an dan cara pembacaan baru atas teks-teks yang dianggap bermasalah dari sisi keadilan
jendernya. Tawaran itu bisa berupa kriik ba- hasa, kriik atas kualitas teks, perbandingan
teks dengan teks lain yang lebih inggi kuali- tasnya, dan lain-lain.
Metodologi lain yang juga dipakai untuk menawarkan cara baca yang digunakan oleh
Kyai Husein di Aceh adalah menggunakan
Perpaduan antara perspekif jender dengan
ikih mampu menggugah cara pandang mereka
terhadap produk ikih yang semula diyakini
sebagai sesuatu yang baku dan harga mai.
40
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
kaidah ushul ikih seperi nasikh mansukh satu ayat menyempurnakan ayat yang lain.
Bersamaan dengan itu, dikemukakan prin-
sip-prinsip dasar tentang kesetaraan relasi antar manusia, antar jender yang merupa-
kan prinsip universal dan abadi qath’i se-
peri mu’asyarah bil ma’ruf saling berinter- aksi dalam kebaikan,
musawah setara dan ‘adalah adil .
Beberapa peserta mengaku sempat dibuat terkaget-kaget atas pemaparan pandangan-
pandangan narasumber seperi yang diakui peserta dari Aceh. Resistensi terhadap Kyai
Husein dan atau Moqsith pada mulanya tak jarang terjadi. Meski tak secara lang-
sung dianggap radikal, beberapa peserta
secara diam-diam mengaku melakukan pengecekan ingkat akurasi referensi yang
dikuip oleh narasumber. Di sini terlihat bah- wa sikap kehai-haian peserta disalurkan
dengan cara yang sangat dewasa dan posiif, sehingga proses dialog pemikiran berlang-
sung dengan sehat dan didasarkan pada trust.
Penguasaan narasumber dan fasilitator pada isu ikih dan ushul ikih serta ilmu alat seperi
bahasa Arab dan referensi kitab klasik yang relevan menurut peserta dari Aceh sangat
membantu untuk memahami jender dari referensi klasik yang mereka kenal. Seba-
gian peserta Aceh adalah juga ulama dayah
pesantren yang lahir dan tumbuh besar di dayah. Penguasaan mereka akan teks kla-
sik menurut Moqsith sangat mengagumkan dibandingkan dengan yang ia jumpai di luar
Aceh.
Di Aceh dampak yang paling nyata adalah tumbuhnya keinginan untuk membuat buku
panduan hakim yang berisi parameter-pa- rameter yang terukur tentang sensiivitas
jender hakim di ruang pengadilan. Di luar itu mereka akif melakukan sosialisasi ten-
tang hukum yang berperspekif jender dan melakukan penerangan hukum di kampung-
kampung. Kegiatan ini dilakukan dalam kerangka kerjasama dengan LSM lokal teru-
tama untuk isu-isu yang sangat relevan. Di antara LSM yang saat ini telah bekerjasama
dengan mereka adalah MiSPI, LBH APIK Lhokseumawe dan PPSW.