5
PENDAHULUAN
yurisdiksi Pengadilan Agama pasca Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 itu bertambah
dengan memasukkan perekonomian syariah seperi: bank syariah, lembaga keuangan mi-
kro syariah, asuransi syariah, reasuransi sya-
riah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pega- daian syariah, dana pensiun lembaga keu-
angan syariah dan bisnis syariah. Dengan pertambahan yurisdiksi semacam ini, Pe-
ngadilan Agama di Indonesia idak lagi men- jadi pengadilan keluarga tetapi berkembang
ke arah pengadilan sipil khusus bagi umat Islam.
Perkembangan paling menonjol dari seluruh proses perubahan yang terjadi pada peradil-
an agama berlangsung di Aceh. Bersamaan dengan proses penerapan formal syariat Is-
lam sejak disahkannya Undang-undang No-
mor 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam, Pengadilan Agama di Aceh bu-
kan hanya bergani nama dari Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, tetapi
juga kewenangan memeriksa perkara-perka- ra bertambah luas mencakup pelanggaran-
pelanggaran pidana ringan jinayah seperi berjudi, konsumsi minuman keras dan khal-
wat, yaitu berdua-duaan dengan lain jenis kelamin yang bukan muhrim. Kewenangan
baru Mahkamah Syar’iyah ini selanjutnya
diperteguh oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Semua perubahan spesiik ini hanya ber- laku bagi peradilan agama di Aceh. Dengan
perkembangan ini, peradilan agama di Aceh
melangkah melampaui kewenangan peradi- lan agama di luar Aceh.
3. Hakim Agama dan Sensiivitas Jender
Insitusi peradilan agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional memiliki kon-
tribusi pening dalam mempengaruhi dan membentuk prakik dan kebiasaan yang
terjadi dalam hubungan hukum antara laki- laki dan perempuan. Hal ini karena hampir
semua kompleksitas persoalan relasi antara
laki-laki dan perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kom-
petensi peradilan agama. Peradilan agama dengan demikian merupakan sarana yang
efekif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-material
yang berkeadilan jender. Dalam konteks ini, hakim agama sebagai aktor sentral dalam
insitusi peradilan agama memegang peran pening. Hakim agama idak hanya sekadar
berindak sebagai aparatur penegak hukum dan keadilan tetapi juga dapat menjadi agen
perubahan hukum untuk mengatasi ma- salah-masalah diskriminasi jender di dalam
lingkup domesik keluarga.
Upaya hakim agama untuk melakukan im- provisasi hukum dalam membela keseta-
raan status dan hak-hak perempuan kian terasa urgen, khususnya keika berbagai
produk hukum dan kultur hukum di Indone-
sia masih belum sepenuhnya mengandung sensiivitas jender yang mampu menempat-
kan perempuan pada posisi yang sepatut- nya. Sembari menani upaya amandemen
ataupun judicial review terhadap sejumlah
peraturan perundang-undangan yang diang- gap bermasalah dari perspekif jender, per-
ubahan pola pikir dan cara pandang hakim melalui serangkaian pelaihan peningkatan
sensiivitas jender dapat menjadi terobosan dan pilihan yang dianggap strategis.
Melalui strategi edukasi, hakim agama di- harapkan akan memiliki wawasan dan
pengetahuan memadai untuk menghadapi
6
DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN
situasi keidakadilan jender di hampir se- gala ranah hukum. Dengan perspekif jen-
der semacam itu, hakim agama terlegiimasi dan termoivasi untuk melakukan ijihad,
menafsirkan teks-teks perundang-undangan yang mengandung bias keidakadilan, atau
malah pergi lebih jauh ke balik teks hukum
beyond legal texts untuk menemukan ke- adilan di sana.
Akibat lanjutan dari kebijakan itu Pengadilan Agama yang kala itu bernama Majelis Hakim
Agama harus membuka diri kepada para ma-
hasiswi lulusan Fakultas Syariah untuk men- duduki jabatan hakim agama
1
.
C. METODOLOgI DAN URgENSI PENULISAN DOKUMENTASI
Dokumentasi ini dilakukan para penelii PUS- KUMHAM yang dipimpin sendiri oleh direk-
turnya, Dr. Arskal Salim. Tim ini bekerja in- tensif selama 6 bulan sejak September 2008
sampai Februari 2009, ditambah beberapa
bulan untuk revisi setelah dilakukan kon- sultasi dengan para pengguna dokumentasi
ini. Bagi PUSKUMHAM, pendokumentasian ini pening setelah Dr. Salim mengamai dari
dekat terjadinya perubahan-perubahan cara pandang hakim yang ia telii dalam konteks
peneliian yang berbeda
2
. Sebagai penelii yang pernah inggal di Aceh dan bekerja un-
tuk IDLO
3
, ia melihat berbagai perubahan yang sangat signiikan terkait dengan cara
pandang hakim terhadap perkembangan so- sial dan jender.
1 Abdurrahman Wahid, “Dilema Budaya Wani-
ta Islam Indonesia”, dalam Wanita Indonesia dalam Teks dan Konteks
, INIS, 1993. 2
Lihat Arskal Salim, Challenging The Secular
State: The Islamization of Law in Modern In- donesia,
Honolulu: Hawai’i University Press, 2008;
Praktik Penyelesaian Formal dan Infor- mal Masalah Pertanahan, Kewarisan dan Per-
walian Pasca Tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar, Banda Aceh: International Development
Law Organization, 2006.
3 International Development Law Organization
IDLO merupakan lembaga yang berpusat di Roma, Italy, dan sejak akhir tahun 2005, aktif
berkiprah di Aceh memberikan fasilitas dan du- kungan legal bagi para anggota keluarga korban
tsunami dan masyarakat Aceh pada umumnya.
Reaksi para hakim yang pro-kontra atau
opimis dan skepis atas adanya gagasan
gender mainstreaming ini dianggap pening
untuk diamai, dicatat dan didokumentasikan,
terutama karena dampaknya yang
sangat langsung kepada keluarga melalui
lembaga peradilan
Bagi Indonesia upaya untuk meletakkan perempuan setara di depan hukum telah
berlangsung bersama tumbuhnya negeri ini sebagai suatu negara yang merdeka. Ta-
hun 1957, segera setelah Fakultas Syariah
berdiri, misalnya, para pelajar putri lulusan pesantren diterima untuk belajar di Fakultas
Syariah sebagai konsekuensi atas dibukanya pintu pendidikan bagi perempuan. Padahal
di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperi Mesir, penerimaan mahasiswi baru di
Universitas Al Azhar Kairo baru dimulai tahun
1960 dengan dibukanya Kuliyyah al-Banat.