Poligami Buku demi keadilan dan kesetaraan

77 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS Hakim Zakian yang pernah bertugas di Takengon, Aceh Tengah, mengakui pernah menyelesaikan perkara permohonan izin po- ligami. Seorang suami mengajukan permohonan izin poligami ke pengadilan. Suami idak punya alasan jelas untuk poligami. Biasanya lelaki mengajukan izin poligami karena kesehatan istri tak memungkinkan untuk melayani kebutuhan seks suami. Na- mun dalam kasus ini, si istrinya dalam keadaan sehat dan tak ada gangguan untuk memenuhi kewajibannya. Keika pemerik- saan berlangsung, suami menghadirkan istri yang dalam sidang itu menyatakan dirinya rela suaminya menikah lagi. Hakim men- duga pasi ada pemaksaan dari pihak suami. Namun hakim idak punya buki yang memadai, meskipun telah mengkonirmasi beberapa kali kepada istri. Hakim akhirnya memberikan izin ke- pada suami untuk menikah lagi. Namun pada penetapan yang sama dinyatakan juga bahwa harta bersama berupa sebuah rumah kediaman pasangan itu menjadi hak milik istri. Si suami ternyata menerima keputusan hakim ini. Ketua Mahkamah Syariyah NAD, Saleh Puteh, mengisahkan bahwa ia pernah menangani perkara poligami yang pada ininya menunjukkan betapa pening hakim untuk bersikap waspada terutama terkait dengan izin poligami. Seorang istri mengaku terpaksa menandatangani surat izin poligami karena dibohongi. Ceritanya, sang istri dibangunkan tengah malam dan diberitahu oleh suaminya jika tandatangan istri diperlukan untuk mengu- rus uang di bank. Tanpa mempelajari dokumen yang disodorkan suaminya, ia lantas menandatangani dokumen itu. Belakangan istri baru tahu bahwa itu ternyata dokumen untuk permohonan izin poligami. Hakim Saleh Puteh menyatakan bahwa pada ke- nyataannya banyak sekali poligami yang dilakukan dengan idak mengindahkan ketentuan hukum. Poligami dilakukan secara sembunyi sembunyi, dengan melakukan pemalsuan dokumen dan tanpa ada persetujuan dari istri terdahulu. Permintaan izin dari istri juga seringkali idak dilakukan dengan mengedepankan hak-hak istri untuk menolak, melainkan dengan cara paksa dan inimidasi serta memanfaatkan posisi rentan istri. Istri yang i- dak memiliki sumber penghasilan, misalnya, pasi idak punya pilihan lain kecuali menyetujuinya. Menurut Hakim Saleh Puteh, Hakim dan Penanganan Izin Poligami 78 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN seorang hakim dituntut untuk sensiif terhadap situasi si istri yang idak ada pilihan itu. Basir, seorang hakim dari Pengadilan Agama Sungguminasa, Su- lawesi Selatan menjelaskan bahwa dalam mengadili perkara per- mohonan izin poligami, ia sering memulai dengan mengingatkan laki-laki untuk berpikir ulang atas keputusannya, kalau perlu dia meminta agar jangan berpoligami. Dalam nasihatnya itu, ia sering menyelipkan pesan-pesan agama dan moral dengan, mis- alnya, menguipkan cerita yang diambilnya dari riwayat-riwayat ”hadis” yang menjelaskan bahwa orang yang berpoligami itu kelak di akhirat akan berjalan miring di jembatan shiratal mus- taqim karena berlaku idak adil terhadap istri-istrinya. Ia meya- kini melalui nasihat yang ia sampaikan di persidangan itu, le- laki pemohon izin dapat berpikir ulang tentang kemampuannya bersikap adil. Memang, seperi diakui Hakim Basir, idak mudah untuk menggoyahkan tekad kebanyakan pihak pemohon dalam urusan ini. Tapi dalam beberapa kasus, nasihatnya ternyata am- puh sehingga membuat seorang pemohon izin poligami meng- urungkan niatnya. Kalaupun pihak pemohon terus bersikeras, Hakim Basir selalu memeriksa semua buki yang ada secara telii dan sangat hai-hai. Dengan cara itu, para suami idak dengan mudah melakukan poligami seperi yang di bayangkannya dalam memperoleh izin poligami. Abdul Hakim, hakim dari Sumatera Barat menceritakan pendapatnya tentang izin poligami. Menurutnya, dalam poli- gami harus ada alasan yang jelas mengapa melakukan poligami. Dalam prakiknya, izin dari istri dianggap yang paling prinsipil dan menentukan. Jadi, jika ada izin dari istri, meski alasan- alasan yang membolehkan poligami idak ada, hakim biasanya sering mengabulkan permohonan izin poligami tersebut. Sebab, jikapun pihak pemohon idak diberi izin, sementara istri sudah memberikan izinnya, maka poligami akan tetap dilakukan oleh suami dan perkawinannya itu akan menjadi perkawinan yang idak tercatatkan. Menurutnya, hal ini akan memunculkan ma- salah lain lagi. Akan tetapi, bila terlihat istri setengah-setengah dalam memberi izin, majelis hakim akan memproses dan me- nyelidikinya lebih lanjut sebelum memutuskan mengabulkan atau menolak permohonan itu. Basir, S.H. 79 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS Analisis Perkara izin poligami yang ditangani para hakim di iga wilayah ini tampaknya selalu memperimbangkan kepeningan istri dan anak yang akan menerima dampak poli- gami. Dengan segala daya, para hakim akan melakukan yang terbaik untuk menghindari terjadinya poligami. Namun jika pun pada akhirnya terjadi, sedapat mungkin mereka telah memberikan perlindungan maksimal kepada keluarga. Dalam pelaihan di Aceh, para hakim me- nyepakai bahwa poligami bisa merupa- kan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kesimpulan itu mereka ambil dari pengalaman mereka di persidangan yang menunjukkan betapa banyaknya ka- sus di mana istri dan anak-anak mengalami penderitaan lahir bain atas kelakuan suami, atau ayah, yang berpoligami itu. Izin poligami menurut beberapa hakim pada dasarnya bukan hak, tetapi sebagai jalan darurat yang ditempuh karena keterpak- saan. Jika idak ada kondisi darurat, izin itu sangat boleh jadi ditutup. Perspekif jender membantu hakim untuk memaknai apa ari kondisi darurat itu. Sebab, hal itu bisa men- jadi pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai kehendak suami. Analisis jender membantu hakim untuk mengeser patokan dari me- menuhi keinginan suami ke perlindungan maksimal bagi istri. Hakim juga dapat men- gukur sejauhmana poligami tak memuncul- kan proses pemiskinan marginalisasi istri yang diinggal poligami seperi istri pertama. Apa yang dilakukan hakim Zakian dalam ka- sus di atas, misalnya, menunjukan upaya minimal hakim agar sang istri idak terlantar oleh suaminya yang melakukan perkawinan poligami. Tentu penyelesaian perkara semacam itu, seperi diungkapkan oleh hakim Zakian, amat bergantung pada keberanian istri un- tuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Dan dalam hal ini, kejelian dan kesabaran hakim untuk mengajak sang istri menyatakan pendapatnya sangat pening. Di sini hakim harus dapat membuat istri merasa nyaman untuk menceritakan apa yang ditakutkan- nya, termasuk ketakutannya bila suaminya berkehendak menceraikannya. Ada dua hal terkait sensiivitas jender yang sepatutnya dimiliki oleh hakim dalam kasus permohonan izin poligami. Pertama, sikap kehai-haian hakim untuk idak begitu saja mempercayai pengakuan izin yang diberikan istri di depan persidangan. Faktanya, hakim sampai harus berulang-ulang bertanya ke- pada istri untuk memasikan idak adanya unsur ancaman dalam pemberian izin poli- gami tersebut. Kedua, sikap empai kepada istri yang mungkin saja akan dirugikan atau terabaikan setelah suaminya menikah lagi. Untuk menganisipasi hal ini, hakim berini- siaif memasukkan persoalan pembagian harta bersama dalam amar penetapan izin poligami. Hakim juga dapat memberi informasi bahwa dengan berpoligami istri bisa sangat rentan terpapar penyakit menular seksual. Apalagi jika pasangan yang dinikahinya itu telah per- nah kawin dengan pria lain. Meskipun dari sisi iqih perkawinan itu sah namun dari sisi yang lain poligami dapat memunculkan ke- mudaratan berupa penularan penyakit sek- sual.

8. Kewarisan

Persoalan keadilan jender dalam masalah kewarisan Islam selalu menjadi isu kontro- 80 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN versial. Hal ini disebabkan oleh doktrin yang sudah diterima tanpa dipertanyakan lagi taken for granted bahwa hak waris anak perempuan setengah dari hak waris anak laki-laki. Karenanya, seiap upaya penerapan hukum yang berbeda dari doktrin ini secara normaif dipandang sebagai langkah yang bertentangan dengan ketentuan hukum Is- lam. Namun upaya untuk menafsirkan ketentu- an itu tak heni-heninya dilakukan seperi oleh para pemikir dan ulama kontemporer. Semuanya itu merupakan ikhiar mencari solusi bagaimana rasa keadilan dapat dite- rapkan. Dan, jika rasa keadilan idak ter- penuhi, tak mengherankan bila masyarakat pergi ke pengadilan untuk meminta peneta- pan atau putusan yang adil. Fikih Indonesia sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam KHI telah menawarkan kon- sep kesetaraan kedudukan antara anak laki- laki dan anak perempuan. Keinginan itu i- dak lantas terjelma dalam kesetaraan porsi yang harus diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan dalam warisan, tetapi dapat terlihat pada kesamaan kedudukan dalam menghalangi pihak lain untuk menerima warisan dari orang tua mereka. Meski idak mengakomodasi ketentuan satu banding satu bagi anak laki-laki dan perempuan, KHI menetapkan bahwa anak, tanpa menye- butkan jenis kelaminnya, dapat mengha- langi saudara pewaris untuk memperoleh warisan. Ketentuan kesetaraan kedudukan anak lelaki dan perempuan ini dipahami dari aturan KHI yang menetapkan bahwa saudara pewaris baru berhak menerima warisan manakala pewaris idak mempunyai anak. Aturan ini memberikan pemahaman bahwa jika ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka saudara pewaris dikelu- arkan dari lingkaran kelompok yang berhak atas warisan. Ketentuan ini merupakan salah satu upaya KHI untuk menempatkan keseta- raan posisi perempuan dengan laki-laki. Sangatlah menarik bahwa secara normaif para hakim di iga daerah ini selalu berpegang pada ketentuan yang digariskan Al Qur’an dan penafsiran para ulama klasik yang tak beranjak jauh dari ketentuan Al Qur’an, yaitu 2:1 bagi masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Namun di ingkat pelaksanaan selalu ada upaya-upaya parsial yang bertu- juan menerapkan hukum waris secara kon- tekstual. Para hakim mahkamah Syar’iyah Aceh, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengikui aturan hukum ke- warisan Islam sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab ikih klasik. Namun, seperi diakui oleh para hakim, pembagian waris yang diatur oleh hukum adat seperi pemberian hibah kepada anak perempuan berupa tanah rumah dan pe- karangannya yang diprakikkan dalam ma- syarakat Aceh Besar, Pidie dan Lamno mere- ka terima sebagai ketentuan yang idak bertentangan dengan aturan agama. Patut kiranya dicatat bahwa terdapat se- buah yurisprudensi di lingkungan Mahka- mah Syar’iyah ingkat provinsi yang memu- tuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang idak habis dibagi kepada seorang ahli waris anak perempuan satu- satunya yang masih hidup. Sesungguhnya dalam kasus sejenis, setelah anak perem- puan itu memperoleh seperdua harta wari- san, sisanya akan diberikan kepada paman wali yang masih hidup. Akan tetapi, ber- dasarkan yurisprudensi tersebut, persentase perolehan harta warisan anak perempuan 81 SENSITIvITAS jENDER DALAM SIKAP DAN PERILAKU HAKIM: ANALISIS digenapkan menjadi penuh seratus persen. Dengan kata lain, seorang anak perempuan tunggal, walaupun ia masih mempunyai pa- man, dapat menerima seluruh harta pening- galan pewaris. Yurisprudensi ini seolah-olah bertentangan secara diametral dengan bu- nyi pasal 176 KHI yang menyatakan: anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri, dan duaperiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Namun dari penjelasan hakim yang menangani perkara ini yaitu seorang hakim perempuan, Haidzah, kita mendapatkan penjelasan yang sangat logis. Sebagai anak tunggal, anak perem- puan itu mendapatkan separuh dari haknya. Tapi, karena idak ada saudara yang lain, dia memperoleh hak atas sisanya sebagai zawil furud. Ketentuan ini idak menggu- nakan aturan-aturan terkait zawil arham, yang mana saudara dari si pewaris diang- gap berhak karena hanya ada satu-satunya ahli waris anak perempuan yang masih hid- up. Penafsiran seperi ini merupakan suatu terobosan hukum ijihad yang dipandang mampu mengatasi persoalan keimpangan pembagian porsi harta warisan pada pihak anak perempuan. Para hakim Sumatera Barat nampaknya setuju dengan apa yang secara umum dipa- hami para hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh terkait masalah kewarisan. Namun dalam aturan yang menentukan anak perempuan setara dengan anak laki-laki yang dapat menghalangi hak saudara dari si pewaris, mereka idak seluruhnya bersepakat. Me- reka menyatakan bahwa anak perempuan hanya dapat menghalangi hak saudara laki- laki pewaris, manakala ia bukan anak tung- gal. Arinya, jika kebetulan anak perempuan itu tunggal, maka ia idak bisa menghalangi paman dan bibi saudara orang tuanya un- tuk memperoleh hak warisan. Apa yang dikemukakan para hakim Su- matera Barat ini nampaknya merupakan pemahaman yang secara ketat akan mereka terapkan manakala berhadapan dengan ka- sus-kasus semisal. Mereka mendasarkan si- kapnya karena khawair melakukan penyim- pangan dari doktrin ikih. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka bisa menerima penyim- pangan semacam itu bila anak perempuan jumlahnya lebih dari satu. Arinya, ahli waris anak-anak perempuan yang jumlahnya lebih dari satu itu, yang secara muasalnya hanya berhak atas dua pertiga atas harta wa- risan, dapat menghalangi hak saudara dari si pewaris untuk menerima sisa warisan yang inggal seperiga itu. Ini memang masih merupakan wacana pe- mikiran hukum. Apakah sikap yang diambil oleh hakim di Sumatera Barat akan mencer- minkan wacana tersebut bila memeriksa dan memberi putusan atas kasus semacam itu, tentu belum bisa dijelaskan saat ini, mengi- ngat perkara kewarisan sejenis ini teramat ja- rang, untuk idak mengatakan idak pernah, masuk ke dosir perkara pengadilan agama di Sumatera Barat. Lagi-lagi karena sistem ke- kerabatan yang mereka anut membendung masuknya perkara kewarisan ke penga- dilan. Berpijak pada sistem kekerabatan yang dianut, aset rumah tangga yang terkumpul akan diberikan kepada yang diinggalkan, is- tri dalam hal ini, untuk kemudian dialihkan kepada anak perempuan. Keengganan para hakim beranjak dari aturan ikih waris dan beberapa aturan kewarisan yang ditetapkan dalam KHI teramai juga di kalangan hakim Sulawesi Selatan. Perlu di- catat bahwa penanganan kasus kewarisan di