Materi dan Metodologi Pembelajaran

33 PELAKSANAAN TRAININg ”Di pelaihan ini saya senang karena hakim-hakim perempuan diberi kesem- patan untuk mengemukakan pendapat- nya. Memang mereka tak selalu ak- if bicara dalam forum besar seperi peserta laki-laki, tapi mereka mengikui debat-debat yang berlangsung selama pelaihan. Dalam diskusi kecil mereka akif mengemukakan pendapat, bisa mendengar pendapat orang lain ten- tang persoalan persoalan yang sehari harinya juga mereka hadapi”. Hakim Rita Nurini. Rancangan kurikulum yang dibangun Putroe Kandee tampaknya cukup disukai peserta. Hal itu antara lain karena kurikulum terse- but dianggap sistemais dengan mendahu- lukan aspek penyamaan pemahaman dan persepsi seperi penyamaan konsep jender atau kekerasan berbasis jender. ”....termasuk pengerian yang selama ini belum dipahami yaitu soal jender. Dengan datangnya ibu Lies, semua su- dah angguk-angguk. Oh itu rupanya jender. Selama ini jender kami pahami, seperinya perempuan mau sama rata dengan pria, naik pohon sama-sama, begitulah jender. Tapi setelah ada pela- ihan itu perubahan persepsi itu sangat nampak. Cara yang diberikan oleh ibu Lies dengan alat peraganya sangat mengena buat kami.” Hakim Zakian. Setelah konsep jender terjelaskan, Putroe Kandee mengajak peserta melakukan iden- iikasi persoalan yang dihadapi oleh hakim dalam pekerjaan mereka sehari hari yang mereka asumsikan bersinggungan dengan keimpangan jender. Pembatasan persoalan hanya pada wilayah kerja mereka dimak- sudkan agar isu yang diangkat idak melebar pada persoalan-persoalan yang meskipun pening namun tak akan cukup waktu untuk dibahas dalam pelaihan dengan waktu yang sangat terbatas ini. ”Pelaihan seperi ini sangat memban- tu kami dalam upaya pencerahan men- terjemahkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an ke dalam masyarakat sesuai dengan kondisi se- karang. Dari segi pematerinya kami ni- lai sangat bagus. Narasumber ahli dan narasumber dari Mahkamah Agung sangat membantu kami bagaimana seharusnya seorang hakim memutus- kan perkara, ini terus terang sangat membantu kami untuk memprakik- kannya di lapangan.” Hakim Yuniar A. Hanaiah. Pendokumentasian ini juga mencatat bahwa salah satu faktor yang menentukan keber- hasilan training ini adalah karena ranca- ngan kurikulum dan metodenya dibangun sedemikian rupa mendekai kebutuhan peserta sehingga pelaihan dinilai sangat bermanfaat untuk seidaknya menambah wawasan. “Saya mengambil program S2, saya harus akui sampai beberapa semester belum tentu kami mendapatkan materi selengkap dan sejelas ini. Saya sangat senang dengan cara fasilitator menga- tur materi yang mengkombinasikan antara pengalaman kami di lapangan dengan teori-teori. Meskipun teori- teori itu sebetulnya cukup berat tapi kami tetap semangat karena narasum- ber dan fasilitatornya telah menguasai baik isi maupun teknis penyampaian- 34 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN nya. Coba saja perhaikan jarang sekali peserta yang lari dari kelas atau jatuh terkantuk-kantuk. Sesekali memang ada yang terkantuk-kantuk, tapi bi- asanya karena mereka semalaman ngobrol dengan hakim lain yang lama idak berjumpa atau melanjutkan dis- kusi. Hakim Khurriyah. Metode lain yang dikembangkan dalam proses pembelajaran di Putroe Kandee adalah membangun empai peserta. Cara ini tak hanya digunakan untuk membangun keberpihakan peserta tetapi bahkan diguna- kan untuk menjelaskan konsep yang abstrak seperi konsep jender. Untuk menunjukkan adanya keimpangan relasi antara ureung inong perempuan berhadapan dengan ureung agam laki-laki, peserta terlebih da- hulu diposisikan sebagai korban dalam isu konlik. Dengan menjelaskan situasi orang Aceh di masa DOM Daerah Operasi Militer yang diperhadapkan dengan kekuatan mi- liter, atau Aceh sebagai anak bangsa yang mengalami diskriminasi akibat prasangka- prasangka negaif yang muncul mengiringi konlik, peserta diperkenalkan pada cara kerja stereotype yang secara kolekif mereka pernah rasakan. Melalui cara itu fasilitator menganalogikan penderitaan kolekif mere- ka dengan penderitaan kaum perempuan akibat adanya prasangka dan stereotype jen- der. Demikian halnya keika menjelaskan ten- tang konsep diskriminasi dan kekerasan yang merupakan konsep paling pening dalam konsep jender dikaitkan dengan kerja hakim. Kedua konsep ini dijelaskan oleh fasilitator dengan menganalogikan cara kerja diskrimi- nasi dan kekerasan berbasis suku, ras dan agama. Dengan teknik analogi serupa itu peserta dimudahkan untuk paham bahwa dalam semua basis-basis diskriminasi itu terdapat satu jenis diskriminasi yang lintas basis, yaitu diskriminasi yang berangkat dari prasangka jender. Dan semua bentuk dis- kriminasi itu menghasilkan pelanggaran ter- gambar 6 Proses training yang diselenggarakan oleh Putroe Kandee, Aceh 35 PELAKSANAAN TRAININg hadap hak dan martabat manusia, sesuatu yang dengan nyata pernah mereka lihat atau mereka alami di masa konlik. Cara lain yang digunakan adalah mengang- kat contoh-contoh kasus yang terkait de- ngan metodologi pembacaan teks, seperi yang dilakukan K.H Husein Muhammad. Ia menyajikan sejumlah contoh yang hampir sama yaitu bagaimana ulama-ulama klasik melakukan ijihad dalam bidang hukum ikih. Dan contoh-contoh yang diambil tak terbatas pada perisiwa di masa lampau di zaman Nabi dan Sahabat tetapi juga di masa lampau para ulama Nusantara. Misalnya, contoh yang diambil dari konsep waris Prof. Hazairin seorang guru besar hukum Islam dari Universitas Indonesia yang telah me- letakkan hak anak perempuan dan laki-laki secara seimbang dengan menimbang peran perempuan dalam mengelola atau mengusa- hakan ekonomi keluarga. Contoh yang kerap digunakan adalah iji- had yang dilakukan Sayidina Umar yang membatalkan aturan tentang ucapan talak iga sebagai talak iga melainkan sebagai talak satu. Keputusan Sayidina Umar ini pada dasarnya berbeda dengan aturan yang telah digariskan Nabi Muhammad SAW yang menetapkan hal yang sebaliknya di mana talak yang diucapkan iga kali dianggap sah sebagai talak iga, dan karenanya mengha- langi pasangan yang bercerai itu untuk rujuk langsung. Melalui contoh itu peserta diajak untuk memahami latar belakang munculnya sebuah aturanhukum ikih. Dan iik tekan dari pengambilan contoh-contoh itu adalah untuk memahami maqasid syari’ah atau tu- juan hukumnya dan bukan penerapan hasil akhirnya yang terlepas dari konteksnya. Narasumber dan fasilitator juga mengambil contoh lokal Indonesia, seperi aturan ten- tang pembacaan perjanjian perkawinan atau talik talaq, pembagian harta bersama gono gini hareuta seharkat yang idak dikenali dalam ikih klasik serta upaya-upaya lain dari ulama-ulama Nusantara dalam melaku- kan kontekstualisasi atau pribumisasi ikih. Hal yang ditekankan dari proses ini adalah bagaimana inovasi di bidang hukum itu dijelaskan dari sisi metodologinya dengan menggunakan prinsip-prinsip kerja teori ilmu ushul ikih untuk membaca keidak- adilan jender atau membangun pandangan yang lebih adil. Peserta umumnya mengapresiasi cara kerja para narasumber dalam mendemonstrasi- kan bagaimana ilmu ushul ikih teori hukum Islam digunakan untuk mengkriisi hadis- hadis dan ketentuan-ketentuan legalisik yang terdapat di dalam kitab-kitab ikih yang cenderung dipahami secara bias jender. Narasumber lain dari Aceh seperi Prof. Rusjdi Muhammad dan Dr. Hamid Sarong dari IAIN Ar-Raniry menghadirkan contoh-contoh yang diprakikkan sebagai hukum adat lokal. Satu hal yang menarik dari contoh-contoh lokal itu adalah bahwa kendaipun hukum adat itu tak senaniasa sejalan dengan hu- kum ikih, tetapi ulama dan masyarakat telah menerimanya sebagai hukum yang diprakikkan dan dianggap sebagai sesuatu yang didasarkan pada ajaran agama. Salah satu yang dicontohkan misalnya tentang pemberian hareuta peunulang yaitu hibah harta kepada anak perempuan baik berupa rumah dan pekarangan seperi dalam adat Aceh Besar, termasuk juga di Pidie, atau sawah dan kerbau dalam adat Lamno dan 36 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN wilayah pesisir Aceh Barat lainnya. Melalui contoh-contoh itu narasumber dan fasilitator mengajak peserta untuk mema- hami kontekstualisasi hukum. Lalu contoh- contoh lokal itu oleh fasilitator dinaikkan ke ingkat metodologi yang lebih abstrak untuk menjelaskan bagaimana reinterpre- tasi teks dapat dilakukan dengan tujuan ke- maslahatan. Pengungkapan contoh-contoh itu dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa hukum pada dasarnya senaniasa berkembang secara dinamis sesuai dengan konteksnya. Analisis jender dihadirkan dalam konteks ini untuk membantu menganlisa bagaimana perubahan hukum itu hendaknya bertu- juan untuk kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Dan analisis jender sangat berguna untuk dijadikan parameter dengan mengu- kur sejauhmana suatu produk hukum mem- buahkan maslahat. Parameter jender yang digunakan itu adalah bagaimana hukum diputuskan idak didasarkan pada prasangka dan diskriminasi stereotype , idak berakibat memiskinkan salah satu pihak marjinalisasi, idak me- munculkan kekerasan baik isik maupun non-isik kekerasan berbasis jender, idak didasarkan pada anggapan bahwa salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih rendah dihadapan Allah dan di antara sesama ma- nusia subordinasi.

2. Fasilitator, Narasumber dan Paniia Pendukung

Dalam konteks pelaihan yang diselenggara- kan Putroe Kandee di Aceh, peran fasilita- tor dan narasumber adalah sentral. Meski- pun ada narasumber, fasilitator senaniasa mendampingi peserta sepanjang pelaihan berlangsung untuk menjaga perkembangan proses belajar. Untuk peran itu, kadangkala fasilitator menempatkan diri dalam posisi peserta dan ikut mengajukan pertanyaan ke- pada narasumber dengan memformulasikan pertanyaan yang menjadi pokok perdebatan dalam diskusi sebelumnya. Selain fasilitator, peran yang juga pening adalah paniia pen- dukung. Peran mereka bukan hanya pada pengaturan logisik semata tetapi lebih se- bagai co-fasilitator. Dalam pelaihan di Pu- troe Kandee, peran paniia pendukung ini sepenuhnya dijalankan oleh staf Putroe Kan- dee dibantu staf dari Mahkamah Syar’iyah provinsi. Dalam pelaksanaannya, paniia pendukung Putroe Kandee berperan sejak perencanaan kegiatan dengan menghubungi kantor Mah- kamah Syar`iyah untuk bersama-sama me- nyeleksi calon peserta. Berbekal surat dari Mahkamah Syar`iyah peserta kemudian di- hubungi. Pengelompokan peserta umumnya didasarkan pada klaster geograi. Dari 23 ka- bupatenkota itu, Putroe Kandee membagi- nya ke dalam 4 klaster. Agar tak mengganggu akivitas pelayanan publik, kegiatan pelai- Parameter jender yang digunakan itu adalah bagaimana hukum diputuskan ... idak didasarkan pada anggapan bahwa salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih rendah dihadapan Allah dan di antara sesama manusia subordinasi. 37 PELAKSANAAN TRAININg han dilakukan di ujung akhir pekan dan dari iap satu kantor Mahkamah Syar’iyah paling banyak diikui oleh 4 peserta. Karenanya, se- lama 2 tahun kegiatan hampir 90 dari se- luruh hakim di Privinsi NAD telah mengikui kegiatan ini. Pada hari-hari kegiatan berlangsung peran co-fasilitator bertambah. Sebelum kegiatan harian dimulai, mereka menyiapkan format ruangan yang disesuaikan dengan kebu- tuhan pada hari itu, penyediaan fotokopi referensi yang akan dibagikan, pengecekan peralatan audio visual, sound system , LCD, pendokumentasian rekaman proses dan se- jenisnya. Seiap harinya mereka hadir satu jam lebih awal dan pulang paling akhir dan menjadi ime keeper. Kesuksesan fasilitator dalam memfasilitasi kegiatan di Putroe Kan- dee prakis sangat bergantung kepada peran tenaga pendukung ini. Putroe Kandee nampaknya berusaha meng- gunakan fasilitator dan narasumber yang sama untuk semua pelaihan mereka. Di luar itu mereka juga mengundang narasumber tamu untuk mengisi acara dalam jam-jam ter- tentu sesuai perkembangan proses belajar. Para hakim Aceh menilai bahwa narasumber dianggap sudah memadai pada aspek kapa- sitas dan kapabiliias. Bahkan narasumber dan fasilitator utama masih sangat berkesan bagi para hakim seperi KH. Husein Muham- mad dan Dr. Moqsith Ghazali. ”Kami terus terang mengakui bahwa pemateri yang sudah dipilih oleh Pu- troe Kandee ini sangat memuaskan. Tapi yang paling banyak dibicarakan adalah materi yang disampaikan oleh Dr. Moqsith dan KH Husein.” Hakim Amri. Namun respon berbeda mengemuka untuk beberapa narasumber tamu yang didatang- kan dari luar Aceh. Dalam training pertama yang diselenggarakan Putroe Kandee mi- salnya, narasumber tamu dari sebuah LSM perempuan dinilai sangat mengecewakan. Seorang peserta menyatakan kekesalannya: gambar 7 Lies Marcoes ketika jadi narasumber dalam in-house training di Aceh 38 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN “Kami ini Bapak-bapak yang sudah makan asam garam rumah tangga. Menasihai perkawinan itu hal yang bi- asa, membujuk agar orang tak berce- rai juga makanan kami sehari hari.Kok ini kami diajari anak muda tentang bagaimana seharusnya kami bering- kah laku kepada perempuan kepada isteri,macam kami ini tak tahu adat diajar-ajari begitu” Hakim A. Jalil, Idi. Narasumber lain dari Jakarta juga mendapat tanggapan yang kurang lebih sama dalam training lain dan membuat suasana train- ing sempat dibuat keruh. Pasalnya, materi yang disajikan melampaui apa yang diminta Putroe Kandee terkait dengan hukum yang berperspekif perempuan. Narasumber ini membahas soal kawin beda agama, Undang- undang Kesehatan yang membahas tentang aborsi dan Rancangan Undang-undang Por- nograi yang keika itu sedang hangat diba- has. Semula, Putroe Kandee berharap nara- sumber dapat menjelaskan hukum yang berperspekif perempuan dan implikasinya kepada perempuan. Namun contoh-contoh yang diangkat narasumber dianggap tak re- levan untuk konteks Aceh. Dalam pelaihan yang lain Putroe Kandee mengundang nara- sumber yang lebih senior seperi Nursyah- bani Katjasungkana. Meskipun narasumber ini berasal dari luar Aceh, kehadirannya tak memunculkan penolakan berari. Belajar dari pengalaman itu, pelaihan-pela- ihan Putroe Kandee berikutnya berusaha lebih selekif dalam memilih narasumber. Di luar narasumber dari Mahkamah Agung, Putroe Kandee lebih banyak mengundang narasumber lokal, seperi Syarifah Rahma- illah dari MiSPI. Kehadirannya sangat diterima oleh para peserta meskipun tema yang disampaikan tetap sama yaitu bias jen- der dalam hukum. Dengan mengambil con- toh proses legislasi berbagai Qanun, Direktur MiSPI yang memiliki pengalaman luas dalam isu perempuan di Aceh ini berhasil menjelas- kan di mana letak bias gender dari proses itu, sehingga menarik perhaian peserta karena penggunaan isilah-isilah lokal dan contoh- contoh yang mudah dipahami peserta. Dalam konteks narasumber ini para peserta dari Aceh juga mengajukan usulan yang cu- kup pening. Menurut mereka, Putroe Kan- dee dianggap kurang memberi perhaian kepada kelompok dan cara pandang ulama dayah. Beberapa hakim mengaku telah me- nyarankan agar para ulama dayah ikut di- hadirkan. Dengan cara itu, diharapkan akan terjadi dialog atau saling mendengarkan cara pandang yang berbeda dalam melihat teks yang sama khususnya dalam kaitannya dengan ikih tentang relasi suami dan isteri. ”Maunya tafsiran ikih yang diberi- kan Kyai Husein digandeng dengan ikih klasik yang dipahami oleh para Teungku dan Abu-Abu kita di dayah. Itu selalu saya sarankan kepada Putroe Kandee tapi belum terlaksana juga ru- panya. Karena kalau idak, kita idak akan pernah ketemu. Sementara Kyai Husein meroket sampai ke bulan, kami tetap di sini, kami tak mau jatuh. Mau- nya saya, mereka itu digandeng, ayo sama-sama. Kemudian materi ikih perempuan; dulu-dulunya kan ikih perempuan ini idak dibedakan, idak ada garis pemisahnya. Fikih ya ikih. Datang pelaihan ini kami lihat seka- rang, rupanya begitu dalil-dalil ikih yang adil jender itu. Nah menurut