Materi dan Metodologi Pembelajaran PSW

43 PELAKSANAAN TRAININg Narasumber untuk isu Islam dan jender, Prof. Dr. Hamim Ilyas membedah isu jender dengan teori ushul ikih, bahasa dan tafsir al- Qur’an. Contoh-contoh bagaimana perem- puan diposisikan dalam Islam pada masa Nabi dihadirkan untuk menjelaskan prinsip- prinsip dasar Islam dalam meletakkan posisi perempuan baik dalam keluarga, masyara- kat dan negara. Melalui contoh-contoh itu, peserta dikenalkan pada berbagai metodolo- gi untuk pembacaan ulang atas teks-teks ke- agamaan yang tatkala bicara dalam konteks kekinian menjadi bias jender. Selain rancangan kurikulum dan metode penjelasannya yang idak satu arah, PSW berusaha membangun empai peserta seba- gai bagian dari strategi pengelolaan kelas. Tak sedikit peserta yang tergugah atas fakta kekerasan yang dialami perempuan setelah mereka bertemu langsung dengan korban atau melihat cara kerja lembaga-lembaga yang menangani korban kekerasan seperi rumah sakit atau WCC sebagaimana dilaku- kan PSW. Untuk menjelaskan tentang fungsi reproduksi misalnya, narasumber yang di- hadirkan PSW menggunakan alat peraga berupa gambar alat reproduksi yang dikena- kan menyerupai pemakaian celemek. Cara ini diakui peserta sangat menggugah panda- ngan mereka. Seorang peserta dari Sulawesi Selatan mengemukakan pendapatnya: “Meskipun saya telah berkeluarga sela- ma 30 tahun baru kali ini saya tahu alat dan fungsi reproduksi perempuan, saya sangat berterima kasih kepada nara- sumber yang telah mencerahkan saya. Saya harus semakin menghargai kaum perempuan”. Muhajir, Kepala KUA. Pendokumentasian ini mencatat bahwa peserta terlihat masih bersikap ambivalen terhadap isu jender dan kesetaraan yang hendak diusung. Di satu pihak mereka me- ngakui adanya keimpangan jender dalam masyarakat dan karenanya sangat menga- pre-siasi usaha PSW dalam menjelaskan isu ini, tapi di lain pihak mereka menganggap bahwa di wilayah mereka terutama Minang perempuan tak menghadapi masalah terse- but dengan alasan karena secara kultural kaum perempuan telah diberi tempat dan posisi yang inggi seperi dalam sistem ke- kerabatan matrilinial itu. Dalam situasi ini, PSW telah berusaha menjelaskan bahwa meskipun kaum perempuan terlindungi secara kultural, namun pada kenyatannya kaum perempuan sedang berhadapan de- ngan perubahan besar di mana posisi mere- ka semakin termarjinalkan dalam sistem kekerabatan matrilinial ini baik karena ma- suknya modernisasi pertanian, pembangu- nan hukum dan ekonomi yang bertumpu pada cara pandang patriarkal, maupun aki- bat perubahan-perubahan hukum posiif yang tak mengakomodasi keutamaan mere- ka secara adat. gambar 8 Budi Wahyuni sedang menjelaskan alat reproduksi dalam workshop yang diselenggarakan oleh PSW UIN Yogyakarta 44 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN

2. Fasilitator, Narasumber, dan Paniia Pendukung

Karena PSW mengelola sendiri kegiatan ini, maka dalam pelaksanaannya PSW tak ter- gantung kepada fasilitator atau narasumber dari luar. Tentu saja dalam pelaihan yang dikelola PSW, peran fasilitator dan nara- sumber adalah sentral. Pada pelaihan PSW fasilitator kadangkala juga berfungsi sebagai narasumber. Karenanya, secara bersamaan fasilitator dan narasumber ini senaniasa mendampingi peserta sepanjang pelaihan berlangsung. Peran yang juga pening dalam suksesnya kegiatan training PSW adalah para pimpi- nan Pengadilan Agama setempat dan du- kungan dari Direktur Jendedral Badilag Drs. Wahyu Widyana M.A. Mereka berindak se- bagai narasumber baik lokal maupun pusat yang sekaligus pemberi legiimasi kegiatan. Demikian halnya PSW IAINSTAIN lokal yang berperan sebagai penyelenggara. Peran mereka bukan saja untuk pengaturan logis- ik tetapi juga sebagai co-fasilitator. Apresiasi peserta di Sumatera Barat dan Su- lawesi Selatan terhadap narasumber yang menyampaikan materi dalam kegiatan train- ing sensiivitas jender yang diselenggarakan PSW UIN Yogyakarta sangat baik sebagaima- na terungkap dalam pernyataan peserta berikut ini: ”Menurut saya narasumber sanggup dan mempunyai kapasitas untuk juru- san seperi itu. Antara lain memberikan modul, memberikan bantuan dana, kunjungan juga sosialisasi, dan itu memberikan pengaruh kepada peserta dan itu terasa efekif dengan adanya evaluasi-evaluasi yang telah dilakukan. Cuma masalahnya adalah ingkat ke- bawah itu yang belum tersentuh begi- tu. Perlu dicari formulasinya bagaima- na gagasan ini sampai kebawah itu yang perlu diindaklanjui...”. Hakim Nahiruddin. gambar 9 Salah satu aktivitas dalam Workshop “Hak-hak dalam Kelu- arga” di Padang 45 PELAKSANAAN TRAININg Para narasumber yang dianggap kapabel dan sangat menguasai bidangnya adalah Prof. Dr. Hamim Ilyas dan Prof. Amin Abdullah soal kerangka teologis dan ilosois bagaimana seharusnya Islam dipahami. Kepala KUA, Muhajir, mengatakan: ”menurut pendapat saya penyampaian narasumber sudah cukup kena, selain itu metode ceramah itu sudah kena”. Hakim Basir menambahkan, ”saya kira dari konteks tersebut [penguasaan ma- teri] kepada beliau kita angkat jempol, te- man-teman merasa bahwa beliau-beliau itu memang menguasai bidangnya utamanya dalam mempersentasikan materi...”. Begitu besarnya apresiasi banyak peserta terhadap narasumber, terutama Prof. Ha- mim Ilyas, mereka meminta agar paniia memberi tambahan waktu untuk diskusi dan tanya jawab. Di Sulawesi Selatan, kehadiran narasumber ingkat nasional tetapi mempu- nyai pertalian dengan daerah setempat juga sangat diapresiasi seperi Prof. Dr. Musdah Mulia atau Prof. Dr. Nasaruddin Umar yang keduanya memang berasal dari Sulawesi Se- latan. Sebagaimana di Aceh, perdebatan alot de- ngan narasumber juga berlangsung dalam pelaihan yang diselenggarakan PSW di Padang dan Makassar. Dari evaluasi inter- nal, PSW melihat sangatlah pening peserta terlebih dahulu mendapatkan pemahaman tentang problem-problem yang dihadapi perempuan yang terkait dengan peran jen- dernya. Karenanya, pada pelaihan berikut- nya PSW tak lagi menempatkan narasumber yang menjelaskan kerangka teoriis pada sesi awal melainkan di bagian akhir dengan maksud untuk membingkai konsep Islam yang lebih ramah terhadap perempuan. Dalam kaitannya dengan penjelasan soal konsep jender di Sumatera Barat, terdapat perbedaan pandangan di antara peserta se- bagaimana terungkap dari FGD yang dilaku- kan oleh PUSKUMHAM. Sebagian peserta menyatakan sudah mendapatkan penjela- san tentang konsep jender, dan, karenanya memahami jender adalah konstruksi sosial yang diciptakan manusia. Sebagian yang lain me-nganggap bahwa penjelasan ten- tang konsep dasar jender serupa itu telah mengabaikan satu wilayah keyakinan yang mereka anggap idak mungkin berubah. Karenanya, kelompok kedua ini menyim- pulkan bahwa isu jender yang dibawa oleh PSW UIN Yogyakarta itu merupakan konsep Barat yang merela-ikan semua hal terma- suk peran sosial lelaki dan perempuan yang pada dasarnya telah ditentukan oleh agama sebagai ketentuan yang tak dapat berubah. Pembelajaran yang dicatat dalam pendoku- mentasian ini adalah bahwa isu jender bu- kanlah isu yang cukup mudah untuk dijelas- kan, terutama karena di dalamnya terkait dengan wilayah agama sebagai salah satu elemen yang mengkonstruksikannya. Pem- bahasan isu agama karenanya sangat fun- damental untuk dibedah mengiringi pem- bahasan isu jender itu. Dan wilayah yang seharusnya diurai dengan sangat terbuka adalah wilayah kerja ikih. Sejalan dengan situasi itu, beberapa hakim Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan meni- lai bahwa kompetensi sebagian narasumber lebih terarah kepada isu jender yang tampak bersikeras demi penyeimbangan hak-hak le- laki dan perempuan. Sebagian narasumber oleh beberapa peserta dianggap hanya ber- tahan dalam kerangka pemikiran modern dan tak mau masuk ke dalam bahasan ikih kla- 46 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN sik. Padahal menurut mereka isu-isu yang dibicarakan terkait dengan ikih. Dalam pandangan mereka, wacana substanif jen- der kontemporer terlihat berseberangan de- ngan isu substanif jender dari ikih klasik. ”... dari segi materi kami nilai sudah sangat bagus. Cuma antara materi dengan kemampuan peserta dengan pengantar menjadi persoalan. PSW ini pada visi dan misi menerapkan ke- setaraan jender berdasarkan isu HAM internasional berdasarkan isu modern. Kalau hanya standar pendidikan S1 atau S2 tanpa ilmu hadis dan segala macamnya maka akan terjadi benturan. Sebab kajian klasik yang lama-lama itu tak sejalan dengan HAM internasional yang ingin diterapkan sesuai menu- rut visi dan misi PSW. Ini jelas akan menimbulkan benturan yang sa-ngat keras sebab kajian klasik itu sangat lama dan kuat dianut masyarakat. Hakim Pelmizar. Dalam memperkuat penilaiannya itu, peserta tersebut mengajukan contoh salah seorang narasumber yang mengungkapkan panda- ngannya tentang hak perempuan menjadi wali dalam perkawinan. Pandangan itu di- anggap idak bijaksana bahkan narasumber dianggap tak paham latar belakang hikmah dari penunjukkan lelaki sebagai wali. Peserta menganggap pandangan itu bertujuan hen- dak mengubah tatanan hukum yang sudah baku. Dan atas dasar itu, narasumber di- anggap kurang memiliki kearifan, padahal menurutnya kearifan itu sering menjadi per- imbangan para hakim dan tokoh masyara- kat dalam menyelesaikan perkara. Para hakim di Sumatera Barat menilai bahwa substansi materi isu jender yang disampai- kan sangat maju dalam upayanya memberi- kan nuansa perubahan pemikiran. Namun mereka menganggap materi yang diberikan itu kurang memberi ruang atas ikih klasik atau pemahaman tradisional ulama. Ke- nyataan tersebut, dalam catatan pendoku- mentasian ini cenderung membuka ruang ‘kepanikan’ kepada para hakim. Untuk itu, mereka memandang bahwa perlu disusun muatan kurikulum yang lebih mengako- modir ‘tahapan’ gradually strengthening pada seiap pemahaman muatan substanif dari sensiivitas jender. Di sini terlihat peserta nampaknya membu- tuhkan rasa aman tentang mengapa peru- bahan itu pening dan mendasar dalam kon- teks keadilan dalam Islam dan sejauhmana proses belajar ini akan berimplikasi kepada implementasinya kelak dalam keseharian mereka sebagai hakim, sesuatu yang tak cu- kup terjelaskan dalam training ini. Sebagaimana terjadi di Aceh, para peserta di Sumatera Barat juga mengeluhkan soal kesulitan mereka dalam melakukan penge- jawantahan materi menjadi sesuatu yang aplikaif-rekonstrukif. Mereka merasa idak mendapatkan panduan bagaimana sensi- ivitas jender dapat diaplikasikan ke dalam putusan-putusan Peradilan Agama, khusus- nya jika dikaitkan dengan hukum materiel seperi KHI dan Undang-undang Perkawinan ataupun adat isiadat budaya lokal. Keluhan ini dapat dipahami sebab baik kuri- kulum yang dibangun PSW UIN Yogyakarta maupun Putroe Kandee memang idak me- masukkan keterampilan dalam mengaplika- sikan sensiivitas itu ke dalam materi hukum atau prosedur peradilan yang telah baku.