Al-Aql Peran Daya-Daya Ruhani dalam Menentukan Baik dan Buruk.
141
bab haid, hadis nomor 293, 795, 1113, 1369, 3656 dan hadis nomor 5943. Pada kitab
Shāhih Muslim hadis nomor 89 bab janaiz, hadis nomor 19, 114 dan 2464. Lihat, A.J. Wensinck, Et, Mensing, 1962 :. 698-701.
Hubungannya dengan kemampuan memahami, maka antara aql dan qalb memiliki perbedaan makna yang siqnifikan. Kata aql lebih
fokus pada rasional empiriskonkret yang menggunakan kekuatan pikir dalam memahami sesuatu, sementara al-
qālb lebih cenderung pada rasional emosional yang menggunakan kekuatan zikir dalam
memahami realitas spiritual. Keduanya merupakan daya rūhani manusia untuk memahami kebenaran. Dan bila keduanya menyatu
dalam sebuah
pemahaman untuk
mencari kebenaran
dengan menggunakan fasilitas masing-masing, maka akan diperoleh sebuah
kekuatan pikir dan zikir. Artinya, dalam pikir ada zikir, dan dalam zikir ada piker.
Begitu pentingnya daya ini bagi manusia, Al- Qur’an memberikan
penghargaan yang tinggi terhadapnya, bahkan tidak ada penghargaan kitab suci lain yang lebih tinggi terhadap aqal, melebihi penghargaan Al-
Qur’an. Al-aql merupakan daya pikir dalam diri manusia, yang dengannya
segala sesuatu dapat diserap. Ia adalah anugerah Allah Swt. yang tidak dimiliki makhluk lain. Dengannya, manusia dapat membedakan yang benar
dan yang baik, yang bersih dan yang kotor, bermanfaat dan mudarat, serta baik dan buruk Harun Nasution, 1986 : 5.
Abbas Mahmud al-Aqqad berpendapat bahwa al-aql adalah penahan hawa nafsu, untuk mengetahui amanat dan beban kewajiban, pemahaman dan
pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, yang membedakan antara hidayah dan kesesatan, atau kesadaran batin yang
berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
9
Abi al-Fida Ismail ibn Katsir al-Qurasyi al-damasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I Makkah al-Mukarramah:
Al-Maktabah al-Tijariyah, 1986, h. 493. Kata aqal yang sudah menjadi kata Indonesia akal, berasal dari kata
Arab al-aql yang dalam bentuk kata benda, tidak terdapat dalam Al- Qur’an,
yang ada yaitu kata kerjanya ’aqaluhu, ta’qilun, naqil, yaqiluha, dan lainnya.
Kata-kata itu dipakai dalam arti paham dan mengerti.
10
Sebagai contoh dapat dijumpai pada ayat-ayat Q.S. al-Bagarah, 2:75 dan 242; al-Hajj, 22:46; al-
Mulk, 57:10, dan al-Ankabut, 29:43. Selain itu, di dalam Al-
Qur’an terkadang kata aqal diidentikkan dengan kata lub jamaknya al-albab, sehingga kata ulu al-bab dapat diartikan dengan
orang-orang yang beraqal. Hal ini misalnya dapat dijumpai pada ayat yang tersebut dibawah ini Ahmad Musthafa tp. th.. 160.:
142
ابْل ْْا يل ْ تايَ ا هنلا لْيهللا فَت ْخا ضْ ْْا تا ا هسلا قْلخ يف هنإ
190
ني هلا م انهب ضْ ْْا تا ا هسلا قْلخ يف ن هكفتي ْم ب نج ىلع اًد عق اًمايق هَ ن كْ ي
ا لخ
اهنلا ا ع انقف ك احْبس ًَ اب ا ه ْق
191 Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka
” QS : Ali-Imran, ayat 190-191. Pada ayat tersebut terlihat bahwa orang yang beraqal Ulu al-Bab
adalah orang yang melakukan dua hal, yaitu tadzakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur, memikirkan ciptaan Allah. Sementara Imam Abi al-
Fida Ismail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulu al-Abab adalah orang-orang yang aqalnya sempurna dan bersih, yang dengannya dapat
ditemukan berbagai keistimewaan dan keagungan mengenai sesuatu, tidak seperti orang yang gagu yang tidak dapat berpikir Ibrahim Madkur,1979 : 120.
Lihat juga Jamil Shaliba, 1979 : 84-93.
Dengan berpikir seseorang sampai kepada hikmah yang berada di balik proses mengingat tadzakkur dan
berpikir tafakkur, yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya
menunjukkan adanya Sang Pencipta.
Selanjutnya, melalui pemahaman yang dilakukan para mufassir terhadap ayat tersebut di atas akan dapat dijumpai peran dan fungsi aqal
secara lebih lugas. Objek-objek yang dipikirkan aqal dalam ayat tersebut adalah al-khalq yang berarti batasan dan ketentuan yang menunjukkan
adanya keteraturan dan ketelitian; al-samawat, yaitu segala sesuatu yang ada di langit dan terlihat dengan mata kepala; al-ardl, yaitu tempat di mana
kehidupan berlangsung di atasnya; ikhtilaf al-lail wa al-nahar, artinya pergantian siang dan malam secara beraturan; al-ayat, artinya dalil-dalil
yang menunjukkan adanya Allah dan kekuasaan-Nya Abbas Mahmud al- Aqqad, 1973 : 22.1.
Semua itu menjadi obyek atau sasaran dimana aqal memikirkan dan mengingatnya. Tegasnya bahwa di dalam penciptaan langit dan bumi serta
keindahan ketentuan dan keistimewaan penciptanya, serta adanya pergantian siang dan malam , waktu detik per-detik sepanjang tahun, yang pengaruhnya
di perubahan fisik dan kecerdasan yang disebabkan pengaruh panasnya matahari dan dinginnya malam, serta pengaruhnya pada binatang dan tumbuh-
tumbuhan dan sebagainya adalah menunjukkan bukti ke-Esaan Allah dan kesempurnaan ilmu dan kekuasaan-Nya. Abbas Mahmud al-Aqqad,. 1973 :
143
162. Kajian terhadap peran dan fungsi aqal sebagaimana dikemukakan pada
ayat tersebut dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah Saw. hingga awal kekuasaan Bani Umayyah penggunaan aqal
demikian besar, melalui apa yang dalam ilmu fikih disebut ijtihad.
15
Hasil ijtihad ini muncul dalam bentuk ilmu-ilmu agama seperti Tafsir, Hadis, Fikih,
Ilmu Tata Bahasa, Qiraat dan sebagainya. Secara harfiah ijtihad artinya berusaha keras menfungsikan akal. Sedangkan dalam pengertian yang
dikemukakan para ahli Ushul Fiqh, ijtihad adalah mengerahkan segenap daya dan kesanggupan baik fisik, akal pikiran dan hati nurani untuk melahirkan
keputusan hukum dengan berpedoman pada Al-
Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan metode berpikir tertentu Abd A-Wahab Khalaf, 1987 : 23.
Penggunaan aqal pikiran mengalami peningkatan yang luar biasa pada masa kekuasaan Bani Abbas khususnya zaman al-Makmun. Pada masa
ini terjadi kontak umat Islam dengan pemikiran Yunani yang dijumpai pada beberapa wilayah yang sudah dikuasai Islam.
16
Ilmu-ilmu yang muncul pada masa Rasulullah hingga awal Bani Umayyah adalah ilmu-ilmu
agama murni, yaitu belum terkena pengaruh filsafat Yunani. Ilmu-ilmu agama yang demikian itu dikategorikan sebagai pemikiran salafiyah Munawwar
Khalil, 1975 : 145. Pada zaman inilah muncul para filosof Muslim seperti al- Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, Ibn Rusyd, Ibn Baja, Ibn Tufail dan sebagainya.
Berbagai ilmu agama Islam seperti Fikih, Ilmu Kalam, Filsafat dan sebagainya yang muncul pada periode ini dipengaruhi oleh pandangan yang memberikan
apresiasi dan penghargaan terhadap aqal sebagaimana tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu, kajian terhadap istilah aqal yang dijumpai di dalam Al-
Qur’an semakin ditingkatkan. Dalam Lisan al-Arab misalnya dijelaskan bahwa al-aql berarti al-bijr yang menahan dan mengekang hawa
nafsu. Seterusnya diterangkan pula bahwa al-aql mengandung arti kebijaksanaan al-nuha, lawan dari lemah pikiran al-humq. Selanjutnya
disebutkan pula bahwa al-aql juga mengandung arti qalb al-qalb. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kata
’aqala mengandung arti memahami. Demikian pula dalam kamus-kamus Arab, dapat dijumpai kata
‘aqala yang berarti mengikat dan menahan. Menjelang kedatangan Islam, sebagian
wilayah di Timur Tengah sudah dikuasai oleh Alexander The Great yang merupakan murid dari Filosof Yunani, Sokrates. Di kemudian hari, ketika
pusat-pusat kebudayaan dan filsafat Yunani yang berada di Athena dihancurkan oleh raja zalim yang berkuasa saat itu, banyak para filosof yang
pindah ke TimurTengah.
Berbagai pengertian tentang aqal sebagaimana tersebut di atas terjadi dikarenakan pengaruh dari pemikiran filsafat Yunani, yang banyak
menggunakan aqal pikiran. Seluruh pengertian aqal tersebut adalah menunjukkan adanya potensi yang dimiliki oleh aqal itu sendiri, yaitu selain
berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan,
144
mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah seperti halnya
dikemukakan pada ayat tersebut di atas, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan
membawa dirinya dekat dengan Allah. Di lain hal, melalui proses menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada
di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Dalam pemahaman Izutzu, sebagaimana dikutip Harun Nasution, bahwa kata aql di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis
practical intellegence yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah problem solving capacity. Orang beraqal
menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan
selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa ini dihargai oleh orang Arab zaman jahiliah
Nasution, 1994 6. Orang yang beraqal akan memiliki kesanggupan untuk mengelola
dirinya dengan baik, agar selalu terpelihara dari mengikut hawa nafsu, berbuat sesuatu yang dapat memberikan kemudahan bagi orang lain dan
sekaligus orang yang tajam perasaan batinnya untuk merasakan sesuatu di balik masalah yang dipikirkannya. Dalam kaitan inilah, maka di dalam Al-
Qur’an, sebagaimana dijelaskan pada ayat 22 surat al-Hajj ayat 46, bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui qalb yang berpusat
di dada, sebagaimana ayat berikut:
ْعَ ت ََ اَه نِإَف اَهِب َنوُعَمْسَي ٌناَذآ ْوَأ اَهِب َنوُلِقْعَ ي ٌبوُلُ ق ْمُهَل َنوُكَتَ ف ِضْرَْْا يِف اوُريِسَي ْمَلَ فَأ
ُراَصْبَْْا ىَم يِف يِتلا ُبوُلُقْلا ىَمْعَ ت ْنِكَلَو
ِروُدصلا
ُ 64
َ
Artinya : “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati
yang berada di dalam dada QS : Al-Hajj, ayat 46.
Dengan kata lain, ketika aqal melakukan fungsinya sebagai alat untuk memahami apa yang tersirat di balik yang tersurat, dan dari padanya ia
menemukan rahasia kekuasaan Tuhan, lalu ia tunduk dan patuh kepada Allah, maka pada saat itulah aqal dinamai pula al-qa1b. Aqal dalam pengertian
yang demikian itu dapat dijumpai pada pemakaiannya di dalam surat al- Kahfi :
145
ِهْيَعاَرِذ ٌطِساَب ْمُهُ بْلَكَو ِلاَمِشلا َتاَذَو ِنيِمَيْلا َتاَذ ْمُهُ بِلَقُ نَو ٌدوُقُر ْمُهَو اًظاَقْ يَأ ْمُهُ بَسْحَتَو اًبْعُر ْمُهْ نِم َتْئِلُمَلَو اًراَرِف ْمُهْ نِم َتْيلَوَل ْمِهْيَلَع َتْعَلطا ِوَل ِديِصَوْلاِب
ُ 81
َ
Artinya : “Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka
tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu
menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi oleh ketakutan
terhadap mereka
” QS : Al-Kaffi, ayat 18. Aqal dalam pengertian yang demikian itulah yang kini disebut dengan
istilah kecerdasan emosional, yaitu suatu mengelola diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh prestasi akademisnya di sekolah, melainkan juga oleh kemampuannya
mengelola diri.
Pemahaman terhadap potensi berpikir yang dimiliki aqal sebagaimana tersebut di atas memiliki hubungan yang amat erat dengan pendidikan.
Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam merumuskan tujuan pendidikan. Bloom, membagi tujuan pendidikan dalam tiga ranah domain, yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik. Tiap-tiap ranah dapat dibagi lagi dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik yang hierarkis. Ranah kognitif dan afektif
tersebut sangat erat kaitannya dengan fungsi kerja dari aqal. Dalam ranah kognitif
terkandung fungsi
mengetahui, memahami,
menerapkan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi
Nasution,1994. 7. Fungsi-fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi aqal pada aspek
berpikir tafakkur. Sedangkan dalam ranah afektif terkandung fungsi memperhatikan, merespon, menghargai, aqal pada aspek mengingat
tadzakkur. Jadi akal bukanlah otak tetapi potensi yang dimiliki manusia untuk berpikir rasional, logis, mengidentikasi dan menganalisis sebuah
permasalah yang diperankan oleh nafsu untuk dimenej, dikelola dan didorong untuk menjadi pikiran yang positif. Dan manusia dengan akalnya akan dapat
memcapai puncak keunggulan dari makluk lain, sehingga manusia bisa menilai secara jernih mana yang baik dan buruk, benar dan salah, sehingga
menjadi makhluk unggulan dalam menilai bahwa perbuatan itu baik dan buruk
Nasution, 1994 : 50. 3.
Al-qalb.
Secara bahasa, al-qalb berasal dari akar kata yang artinya membelokkan sesuatu ke arah lain, sebagaimana dalam QS. al-Ankabut29:
21. Al-qalb yang ada pada manusia sering berbolak balik, terkadang senang,
146
terkadang sedih, suatu saat setuju dan pada saat lain menolak. Kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada kemampuan khusus dalam diri manusia,
seperti rūh al-Ahzab33:10, ilmu pengetahuan Qaf50:37, keberanian al-
Anfal8: 10 dan lain-lain. Sedangkan kata qulub dalam QS. al-Hajj22:46, bisa bermakna al-aql dan bisa juga bermakna al-
rūh.
21
Kata qalb juga bermakna hati dalam arti fisik. Lihat M. Ismail Ibrahim,
Mu’jam, h. 433 Al- Baqi, Al-
Mu’jam, h. 697-700. Al-
Qur’an cukup banyak menggunakan kata al-qālb, baik dalam bentuk tunggal, maupun jamak. Kata al-
qālb dalam bentuk tunggal disebutkan sebanyak 19 kali, dan bentuk jamaknya disebutkan sebanyak 112 kali. Dengan
demikian, secara keseluruhan berjumlah 131 kali.
22
Kata al- qālb juga
bermakna hati dalam arti fisik. Lihat M. Ismail Ibrahim, Mu’jam, h. 433.
Secara bahasa, kata ini terambil dari akar kata yang membelokkan sesuatu ke arah lain. Qalb manusia dinamakan demikian disebabkan ia sering
berbolak balik, kadang senang, kadang sedih, suatu saat setuju dan pada saat lain menolak, seperti QS. Ar-
Ra’ad 13 : 28 berbunyi:
ُبوُلُقْلا نِئَمْطَت ِهللا ِرْكِذِب َََأ ِهللا ِرْكِذِب ْمُهُ بوُلُ ق نِئَمْطَتَو اوُنَمآ َنيِذلا
ُ 81
َ
Artinya: “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-
lah hati menjadi tenteram” QS : Ar-Ra’ad 13, ayat 28. Al-qalb juga dipergunakan untuk menunjuk kepada potensi-potensi
khusus dalam diri manusia, seperti rūh al-Ahzab33:10, ilmu pengetahuan
Qaf50:37, keberanian al-Anfal8: 10 dan lain-lain. Sedangkan kata qulub dalam QS. al-Hajj22:46, bisa bermakna al-aql dan bisa juga bermakna al-
rūh Abu Abdullah bin Muhammad Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1
Saudi Arabia : Idaratul Buhuts Ilmiah wa Ifta wa ad-Dakwah wa al-Irsyad, t.t, h…
Al-qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten, kadang cenderung kepada kebaikan dan kadang cenderung kepada keburukan. Al-
Qur’an sendiri menggambarkan inkonsistensi al-qalb dalam beberapa ayat, antara lain: QS.
Qaf50:37, Hadid57:27, Ali Imran3:151 dan al-Hujurat49:7. Dari ayat-ayat tersebut terlihat bahwa al-
qālb merupakan wadah bagi pengajaran, kasih sayang, takut dan keamanan. Dengan demikian, al-qalb memang menampung
hal-hal yang disadari pemiliknya. Ini berbeda dengan nafs yang menampung sesuatu yang disadari dan yang dibawah sadar, bahkan yang sudah tidak
diingat lagi QS. Thaha20:7. Ini diperkuat oleh QS. al-Baqarah2 : 225 yang menjelaskan bahwa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan adalah isi al-
qālb bukan nafs.
147
Dalam ayat lain, al-qalb dipahami sebagai alat QS. al-Araf7:179. Al-qalb dilukiskan dengan
fuād. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa Allah dapat mendinding manusia dangan qalb-nya
4
QS. Al-Nahl :1678.
ََ ٌنُيْعَأ ْمُهَلَو اَهِب َنوُهَقْفَ ي ََ ٌبوُلُ ق ْمُهَل ِسْنِْْاَو ِنِجْلا َنِم اًريِثَك َمنَهَجِل اَنْأَرَذ ْدَقَلَو ْمُهَلَو اَهِب َنوُرِصْبُ ي
َنوُلِفاَغْلا ُمُه َكِئَلوُأ لَضَأ ْمُه ْلَب ِماَعْ نَْْاَك َكِئَلوُأ اَهِب َنوُعَمْسَي ََ ٌناَذآ
ُ 819
َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan
” QS : Al-A’raf :7, ayat 179. Ayat ini bermakna bahwa Allah menguasai qalb manusia, sehingga
mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada- Nya agar menghilangkan kerisauan dan penyakit hatinya, sebagaimana ayat
berikut
: ُبوُلُقْلا نِئَمْطَت ِهللا ِرْكِذِب َََأ ِهللا ِرْكِذِب ْمُهُ بوُلُ ق نِئَمْطَتَو اوُنَمآ َنيِذلا
ُ 81
َ.
Artinya: ”yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram
” QS: Ar-Ra’d, ayat 28. Rasulullah Saw. menegaskan bahwa di dalam diri setiap manusia
terdapat satu alat yang menentukan arah aktivitas manusia, yang disebut dengan al-qalb, semisal ayat berikut:
...
يه َأ هُلك سجْلا سف ْت سف ا إ هُلك سجْلا حلص ْ حلص ا إ ًةغْضم سجْلا يف هنإ ْلقْلا
. Artinya:
“Dalam setiap tubuh manusia terdapat sepotong daging yang jika ia sehat maka seluruh tubuhnya juga sehat. Tetapi jika ia rusak, maka
seluruh tubuhnya terganggu, ketahuilah bahwa organ tubuh itu adalah qalb ”
Maan Ziyadat dalam Daudi, menegaskan bahwa qalb berfungsi sebagai alat untuk menangkap hal-hal yang doktriner al-itiqadiyah, memperoleh
hidayah, ketakwaan dan rahmah serta memikirkan sesuatu. Fungsi qalb bukan sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk menangkap
pengetahuan yang bersifat supra rasional. Fungsi qalb dalam Al- Qur’an yaitu:
148
Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa, fungsi kognisi menimbulkan daya cipta, fungsi konasi menimbulkan daya karsa. Dari sudut kondisinya, qalb
memiliki kondisi: Baik, yaitu qalb yang hidup, sehat dan mendapatkan kebahagiaan. Buruk, yaitu qalb yang mati dan mendapatkan kesengsaraan.
Qalb antara baik dan buruk, yaitu qalb yang hidup tetapi berpenyakit. Jadi Al- Qalb atau hati manusia mempunyai potensi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan dengan kearaifan dan penuh keyakinan dari apa yang diperoleh dari nafsu dan akal, sehingga hati menjadi penting dalam hal ini sebagai
penyeimbang, pemutus sebuah keputusan yang sangat penting dengan penuh keyakinan bahwa perbuatan tersebut dapat dikatan baik dan buruk serta benar
dan salah. Sehingga jelaslas porsi masing-masing dari nafsu sebagai penerima informasi yang pertama, akal menerima tugas selanjut untuk memenej,
mengelola, dan menganalisa serta hati memiliki tugas terakhir, yaitu mempertimbangkan dengan arif dan memutuskan dengan bijaksana perbuatan
itu baik dan buruk serta benar dan salah.
149