15
Ahmad Fua al-Ahwani, Ilmu Kalam adalah memperkuat akidah-akidah agama dengan argument-argument rasional Gholib, Achmad, 2005:
8.
Oleh karena itu, Ilmu Kalam adalah tidak lain dari usaha pemahaman yang dilakukan oleh para ulama kalam mutakallimin tentang akidah
Islam yang terkandung dalam dalil naqli Al- Qur’an dan hadist untuk
menetapkan, menjelaskan atau membela akidah Islam serta menolak akidah yang salah atau bertentangan dengan akidah Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan ilmu tauhid, akidah dan kalam adalah illmu yang menjadi pokok kajian dan
bahasannya sama-sama Tuhan Allah Swt, keberadaan-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Allah maha esa tiada sekutu bagi-Nya dan tiada tuhan
selain Allah la ilaha illa Allah, sifatnya yang maha kuasa, maha mengetahui, maha mendengar, maha melihat dan sifat-sifat yang
lainnya.
Perbuatan Allah
af‟‟al Allah tiada yang dapat menandinginya, tetapi Allah tidak semena-mena, penuh dengan
keadilan dan bertanggung jawab terhadap makhluk ciptaan-Nya. Sedangkan perbedaan antara ilmu tauhid, akidah dan kalam adalah ;
a.
Tauhid, lebih spesifik, yaitu menegaskan bahwa Allah meliputi seluruh pengesaan dalam arti mempersatukan segenap kekuatan
tauhidul quwwah, dimana hanya Allahlah satu-satunya Tuhan la ilaha illa Allah dan hanya Allah yang patut disembah tauhid
uluhiyyah dan hanya Allah sang pencipta, pemelihara jagad raya, pemberi rizki kepada makhluk-Nya tauhid rububiyyah, serta
Allah yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang maha agung, maha bijaksana, maha melihat mendengar dll tauhid asma wa al-
sifat.
b. Aqidah, lebih khusus, yaitu mmembicarakan suatu ikatan
keyakinan akidah antara seoarang yang meyakini atau mengimani dengan yang diimani, yang merupakan perjanjian luhur antara
seorang hamba dengan tuhan-Nya, tertanam dalam hati tashdiq al- qalb, dan diucapkan dengan lisan tasmiyatun bil lisan, serta
mengamalkan dengan perbuatan amalun bil-arkan.
c. Kalam. adalah kata-kata atau firman Allah yang menjadi bahasan
dengan perdebatan-perdebatan logika yang rasional serta diikuti dengan argementasi dan methodologi yang masuk akal oleh para
ahli kalam mutakallimin, untuk menyelesaikan masalah ketuhanan dengan segala aspeknya.
17
BAB II IMAN KEPADA ALLAH
A. Tafsir dan Kajian Mengenai Zat Allah
1. Pengertian Iman
Sebelum diuraikan pembahasan mengenai tafsir dan kajian Zat Allah, ada baiknya dibahas terlebih dulu mengenai pengertian iman.
Dari segi lughat bahasa, kata iman berarti: pembenaran tashdiiq. Inilah yang dimak
sud dengan kata mu’minun dalam Firman Allah Swt. sebagai berikut:
نيقداص اهنك ْ ل انل نمْ ب ْ أ ام 17
Artinya :
“Dan kamu sekalian tidak akan membenarkan kami,
walaupun kami orang- orang yang benar” QS : Yusuf, ayat 17.
Dalam ayat di atas makna mu’minin adalah mushaddiq, yakni orang-orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah
adalah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,
yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari Wahyu Allah Swt.
Pengertian iman yang demikian itu telah disepakati oleh para ulama Islam, baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Jika seorang
membenarkan dengan hati yang penuh dengan keyakinan akan agama Islam, maka ia adalah orang mukmin. Demikian kata Imam Nawawi,
orang tersebut tidak wajib mempelajari dalil-dalil untuk mengukuhkan iman atau
ma‟rifatnya kepada adanya Allah. Jadi orang awam maupun muqallid juga termasuk ke dalam golongan orang mukmin.
Pembenaran maupun pengakuan itu tepatnya di dalam hati, yakni setelah adanya pengakuan ma’rifat atau ilmu. Iman dalam arti yang
demikian sama artinya dengan i„tiqad keyakinan, kepercayaan, yakni
mengikat hati dalam bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang telah diketahui wujud kebenarannya.
Kaitan atau gantungan iman atau i’tikad itu disebut aqidah. Mengakui adanya Allah
adalah iman atau i’tikad sedangkan adanya Allah disebut aqidah. Dengan demikian aqidah adalah wujud Allah dan
sifat-sifat-Nya serta rukun- rukun iman lainnya yang wajib di i’tikadkan
18
dengan hati yang penuh yakin. Dalam tahapan selanjutnya oleh para mutakallimin Abu al-Hasan al-
Asy’ari setelah membenarkan atau tasdiq dan harus diikuti dengan tasmit, yaitu mengucapkan dua kalimat
syahadat : mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya
Jalal Musa, 1975 : 16,
sehingga orang tersebut baru sempurna keimanannya dan mengamalkannya sebagai buah daripada
iman. Lebih lanjut oleh golongan M u’tazilah iman itu harus ada tiga
unsur, yakni membenarkan tasdiq, tasmit mengucapkan dengan lisan dan
„amal bi al-arkan mengamalkan dengan perbuatan. Siapa Allah itu ?
Allah, nama yang Maha Mulia, dari Zat yang Maha Suci, yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya Hamka, 1985 :
31. Ketahuilah bahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar daripada
jangkauan akal manusia atau daripada pengetahuan alam fikiran manusia, sebab daya kemampuan akal itu terbatas bagaimana pun
ketinggian pengetahuan yang dicapainya pasti terbatas pula. Tenaga listrik atau magnet adalah suatu daya kekuatan yang kita gunakan dan
kita manfaatkan di dalam hidup ini, tetapi sedikit pun kita tidak mengetahui hakikatnya. Dan hingga kini tak seorang pun mampu
menjelaskannya kepada anda betapa pun hebatnya akal fikiran orang itu. Bagi kita mengetahui hakikat sesuatu itu kurang bermanfaat; yang
penting ialah apabila kita mengetahui barang sedikit daripada keistimewaan-Nya yang berguna bagi kehidupan kita.
Banyak orang yang memperbincangkan Dzat Allah Swt., dan mereka tersesat. Perbincangan dalam hal itulah yang menyebabkan
mereka tersesat,
kacau dan
berselisih karena
mereka memperbincangkan sesuatu yang mereka tidak mengerti batas-batasnya
dan tidak mampu mengetahui hakikatnya. Oleh sebab itulah maka Rasulullah Saw. melarang kita memikirkan Dzat Allah Swt., dan
menyuruh kita memikirkan keadaan makhluk-Nya. Dalam hadis Nabi Saw. disampaikan yang artinya sebagai berikut :
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa banyak orang yang memikirkan Dzat Allah Swt.,
lalu Nabi bersabda, “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu
benar-benar tidak akan mampu melakukannya”
Menurut Al- ‘Iraqi, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim di dalam kitab “Hilyatul Auliya‟” dengan sanad yang lemah.