Tafsir dan Kajian mengenai Af’al Allah

34 membatasi kehendak dan berarti pula ada sesuatu yang berhak atas perintah-Nya. Dan Ia tidak dituntut sesuatu yang Ia perbuat. Al-Bazdawi sendiri dalam hal ini tampak tidak konsisten. Dalam persoalan al-shalah wa al-aslah ia tidak setuju dengan Mu’tazi;ah, tapi dalam persoalan wa‟ad ia sependapat dengan Mu’tazilah. Mengenai apakah Tuhan berbuat adil ketika memberi hukuman pada orang yang berbuat dosa, seperti pada pendapat Asy’ariyah, padahal perbuatan itu sesungguhnya haqiqatan adalah perbuatan Tuhan. Menurut Harun Nasution, al-Bazdawi melalui konsep mas yi‟ah dan Ridha, Sunggguhpun demikian manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, perbuatan itu tidak diridhai-Nya, karena menentang ridha Tuhan. Tidaklah juga dapat dikatakan bahwa Tuhan bersikap zalim kalau Ia memberi hukuman pada orang yang berbuat jahat. Dalam persoalan memberi beban yang di luar kemampuan manusia taklif ma la yuthaq, al-Bazdawi sepakat dengan Al- Asy’ari. Konsep itu diterima, sebab kata al-Bazdawi tidak mustahil Tuhan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya. 1 Hal ini jelas merupakan konsekwensi dan konsistensi dari pahamnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlaq Tuhan.

D. Tafsir dan Kajian mengenai Sifat Allah

Ada beberapa i‟tiqad keyakinan yang seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma‟ wa shifat nama dan sifat Allah. Ada beberapa i‟tiqad keyakinan yang seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma‟ wa shifat nama dan sifat Allah. Tentang asma’ nama Allah, Abu al-Hasan al-Asy’ari menulis: إ سيل ءا سْاف اه س َ هسف هب ْمسي مل مساب ىلاعت َ ي س نأ انل جي َ انيل انعم ىلع َ هيلع ن لس لا ع جأ َ هل س هب “Nama-nama Allah itu bukanlah untuk kami dan kami tidak boleh memberi nama Allah Swt. dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengan nama itu dan rasul-Nya pun tidak menyebut-Nya dengan sebutan nama itu serta orang-orang Islam pun tidak bersepakat untuk menyebut-Nya dengan nama itu dan tidak pula bersepakat untuk memberikan makna nama itu Abu Al-Hasan Al- Asy’ari, Al-Luma‟ fi al-Radd „ala Ahl al-Zaigh wa al-Bida‟, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 2000: 18. 35 Di samping itu, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni dalam kitab Aqidah Al Wasithiyah, beliau rahimahullah menyatakan: هباتك يف هسف هب فص ا ب نا يْا َاب نا يْا نم حم هل س هب هفص ا ب لب ليث ت َ فييكت يغ نم ليطعت َ في حت يغ نم ملس هيلع َ ىلص يصبلا عي سلا ه ءيش هلث ك يل ه احبس َ نْب ن نم ي “Di antara bentuk iman kepada Allah adalah beriman kepada apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri dalam Al- Qur‟an dan apa yang Rasul- Nya Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam- sifatkan tanpa melakukan tahrif, ta‟thil, takyif, dan tamtsil. Akan tetapi, mereka Ahlus Sunnah itu beriman bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah dan Allah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat .” Pernyataan yang senada dengan pendapat Ahmad bin Abdul Halim Al-Haroni itu kita jumpai dalam perkataan ulama lainnya, yakni Imam Ahmad bin Hambal, yang mengatakan: هَ فص ي َ سْف هب فص ا ب هَإ هفص ْ أ ، ه ل س هب ثي حْلا نآْ قْلا اجتي َ ، ه “Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al -Qur‟an dan Al-Hadits” Mar’i bin Yusuf Al Hambali Al Maqdisi, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, 1426 H : 234. Dalam pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari penelitian dan penyimpulan dari Al- Qur’an dan As-Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa i‟tiqad yang mesti diyakini seorang muslim adalah sebagai berikut: Pertama : Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Swt. dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui sabdanya. Kedua : Penetapan nama dan sifat Allah di sini tanpa melakukan tahrif dan ta‟thif serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil. Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil, semisal mentahrif sifat mahabbah cinta bagi Allah menjadi iradatul khair menginginkan kebaikan. Takyif adalah menyebutkan hakikat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain, seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah dikarenakan Allah tidak memberitahukan bagaimana hakikat sifat-Nya dengan sebenarnya.