Akidah Akhlak Dalam Perspektif Islam

(1)

(2)

AKIDAH AKHLAK

DALAM

PERSPEKTIF ISLAM


(3)

Penulis :

Drs. H. Achmad Gholib, M.A.

Editor, Layout & Tata Letak, Desain Cover :

Dimas Yogo .A

Cetakan : Pertama, Agustus 2016

All Right Reserved

Penerbit

CV. DIAZ PRATAMA MULIA

Jln. Pesanggrahan Samping Kampus UIN Jakarta

Cempaka Putih, Ciputat Tangerang Selatan

ISBN : 978-602-6902-38-2

Gholib, Achmad

Akidah Akhlak Dalam Perspektif Islam

Jakarta, FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2016


(4)

iii

KATA PENGANTAR

BISMILLAH AL-RAHMAN AL-RAKHIM

Puji dan syukur sepatutnya penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, berkat taufik, hidayah dan inayahNya, buku yang berjudul “Akidah dan Akhlak dalam Perpekstif Islam” dapat disusun dan dipersembahkan kepada pembaca yang budiman. Shalawat dan salam semoga senantiasa tetap tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat, ummatnya himgga sampai akhir zaman. Beliau yang pertama menjadi guru ummat Islam yang dapat menjelaskan perbedaan antara yang hak dan batil, benar dan salah, sesuai dengan apa yang digariskan Allah Swt, melalui wahyu al-Qur’an yang diyakini orisinilitas dan kebenarannya hingga akhir zaman.

Buku Akidah Akhlak dalam Perpekstif Islam dirancang untuk memahami dan menelaah secara kritis tentang akidah dan akhlak, sesuai dengan silabus Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Akidah sebagai fondasi yang pertama seorang menjadi muslim, akidah adalah ikatan dari suatu sistem keyakinan yang diyakini kebenarannya tertanan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan per-buatan. Ikatan dalam akidah merupakan perjanjian luhur antara yang mengimani dengan yang diimani. Sehingga dalam akidah, memehami dan mengerti iman, serta mendalami hakikat yang diimani adalah menjadi suatu kewajiban. Sehingga terefleksi dalam hatinya iman dengan kerang-ka rukun Iman.

Pertama, Iman kepada Allah yaitu meyakini dengan sepenuh hati bahwa tiada tuhan selain Allah, berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang benar bagaimana hakikat keberadaan Allah, dzat yang yang maha agung tiada sekutu baginya, tuhan yang memiliki asma-asma Allah (asma al-husna, tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu tiada yang dapat menandinginya atas perbuatanNya

(af‟alNya) yang bertanggungjawab dan penuh dengan keadilan serta memiliki sifat-sifat. Kedua, Iman kepada Malaikat dan keberadaan makhluk ghaib lainya (jin, Syaitan dan Iblis) dengan memahami secara rinci, karakter dan tugas serta tanggungjawab masing-masing. Ketiga, Iman kepada Kitab-kitab Allah dengan mengerti dan memahami secara mendalam fungsi dan kegunaan serta mempedomani secara baik. Keempat, Iman kepada para Nabi dan Rasul Allah dengan mengerti dan memahami secara benar apa yang menjadi tugas Nabi dan Rasul sebagai utusan Allah serta mengetahui mukjizatnya masing-masing. Begitu juga memahami akan adanya wali-wali Allah sebagai pewaris Nabi dan


(5)

iv

mengetahui akan karomah dan ma‟unah. Kelima, percaya dengan memahami dan mengerti secara rinci bahwa dunia ini akan berakhir/kiamat dan adanya kehidupan setelah kiamat (bangkit dari kubur (yaumul ba‟ast), berkumpul di padang mahsar

(yaumul mahsar), hari perhitungan (yaumul hisab), hari pengadilan/pembalasan

(yamual jaya‟) adanya (shirathal mustaqim) serta adanya surga dan neraka sebagai pembalasan dari Allah atas orang mukmin dan orang kafir. Keenam.

Mempercayai dan meyakini dengan benar akan adanya Ketentuan (qadla) dan keputusan (qadar) Allah.

Adapun akhlak merupakan refleksi dari keimanan seseorang karena iman baru akan bermakna manakala seorang yang beriman mau mengamalkan apa yang diyakininya. Akhlak adalah perbuatan yang secara sadar dan mudah dilakukan atas dasar keyakinan hati dan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Diawali dengan pengertian akhlak, etika dan moral serta per- samaan dan perbedaan antara akhlak, etika dan moral. Dilanjutkan hakikat dan eksistensi manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, dengan daya-daya ruhani (Ruh, Qalbu, Akal dan Nafsu) sebagai konsekuensi tugas-tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Mengetahui adanya macam-macam penyakit rohani Munafik (Nifak), Sombong (Takabbur), Pamer kebajikan (Riya‟), Dengki

(Hasad), Pemalas(Kaslan), Dendam (Hiqdu). Mengadu domba (Namimah),

Mengumpat (Ghibah), penyebab dan gejalanya serta cara mengobatinya. Begitu juga mengetahui etika edial (akhlak fadhilah) dan macam-macamnya.

ALHAMDULILLAH.

Jakarta, Agustus 2016 Penulis,


(6)

v

SAMBUTAN KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

BISMILLAH Al-RAHMAN AL-RAMM

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan ini menyambut baik dan mengucapkan selamat kepada saudara Drs H Achmad Gholib, MA yang dapat merampung penulisan buku ―Akidah Akhlak dalam Perspektif Islam‖ semoga dengan kehadiran buku ini dapat menjadi pendo-rong bagi penulis khususnya dan para dosen pada umumnya untuk lebih meningkatkan lagi karya ilmi-yahnya lagi dimasa yang akan datang.

Akidah adalah ikatan dari suatu sistem keyakinan yang diyakini kebenarannya, yang tertanan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Ikatan dalam akidah merupakan perjanjian luhur antara makhluk dengan pencipta-Nya. Sehingga terefleksi dalam hatinya ketauhidan sebagai inti dan sumber keimanan Islam. Diawali dengan keyakinan akan keberadaan, kekuatan dan keesaan Tuhan, pengakuan akan adanya yang ghaib dan makhluk ghaib, mengakui dan mengikuti nabi dan Rasul Allah serta menjunjung tinggi shuhuf dan kitab-kitab Allah sebagai pedoman. Percaya akan luluh lantahnya dunia dengan hari qiyamat dan kehidupan akhirat serta percaya akan ketentuan dan keputusan Tuhan. Pemahaman secara menyeluruh mengenai akidah mutlak diperlukan bagi setiap muslim, agar terhindar dari penyimpangan akidah dan keimanan.


(7)

vi

Akhlak sebagai implementasi akidah dan keimanan seseorang sangat tergantung dari apa yang diyakini oleh manusia itu sendiri. Akidah dan Iman baru akan bermakna bagi manusia apabila manusia itu sendiri mau mengamalkan apa-apa yang mereka ketahui dari keyakinan yang mantab. Akhlak menjadi kajian yang penting, karena akhlak sering dikaitkan dengan Etika, Moral/tradisi dan budaya. Bagi seorang muslim akhlak menjadi ciri khas dan karakter tersendiri yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang

dihayati bersumber Al«Qur‘an dan Al-Hadits. Akidah akhlak

menjadi sangat penting karena sebagai pintu gerbang keimanan dan mengaktualisasikan amalan seorang muslim. Kehadiran buku Akidah Akhlak dalam perpekstif Islam yang ditulis Drs. H. Achmad Gholib, MA ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan jawaban serta pemahaman alternatif tentang Akidah dan Akhlak dengan hal-hal yang terkait didalamnya. Agar Islam dapat semakin dikhayati oleh umat Islam dengan keyakinan dan kimanan yang benar disertai pengamalan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai islam(al-Qur‘an dan Hadits).

Disamping itu semoga kehadiran buku ini dapat membantu para Mahasiswa dalam menggali salah satu bidang studi akidah akhlak. Demikian, terima kasih dan selamat. ALHAMDULILLAH


(8)

vii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

SAMBUTAN DEKAN FITK ... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB I IlMU TAUHID, AQIDAH, KALAM A.Penggertian Tauhid, Aqidah dan Kalam ... 1

B. Ruang Lingkup Tauhid, Aqidah dan Kalam ... 5

C. Perdebatan mengenai Tauhid, Aqidah dan Kalam ... 13

BAB II IMAN KEPADA ALLAH A.Tafsir dan Kajian mengenai Dzat Allah ... 17

B.Tafsir dan Kajian mengenai Asma’ Allah ... 25

C.Tafsir dan Kajian mengenai Af’al Allah ... 33

D.Tafsir dan Kajian mengenai Sifat Allah ... 34

BAB III IMAN KEPADA MALAIKAT DAN MAKHLUK GHAIB A.Pengertian Malaikat ... 47

B.Subtansi dan Sifat-sifat Malaikat ... 48

C. Tugas-tugas Malaikat... 51

D. Pengertian Jin, Iblis dan Syaitan ... 54

E. Cara Syaitan mengganggu Manusia ... 55

BAB IV MAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH A. Mengimani Kitab-Kitab Allah ... 63

B. Keistimewaan Al-Qur’an dan Kitab-kitab Lain ... 67

C. Fungsi Al-Qur’an bagi Umat ... 68

BAB V IMAN KEPADA NABI DAN RASUL ALLAH A.Pengertian Nabi dan Rasul ... 73

B.Mu’jizat Paara Rasul ... 76


(9)

viii BAB VI IMAN KEPADA HARI KIAMAT

A. Pengertian dan Tanda-tanda Hari Kiamat ... 87

B. Proses dan Kehidupan Setelah Kiamat ... 90

C.Macam-Macam Surga dan Neraka dan Penhuninya ... 95

BAB VII IMAN KEPADA QADLA DAN QADAR A. Pengertian Qadla dan Qadar ... 101

B. Tingkatan Qadla dan Qadar ... 102

C. Kajian Takdir dan Macam-macamnya... 104

D. Hikmah Iman kepada Qadla dan Qadar ... 105

BAB VIII AKHLAK, ETIKA DAN MORAL A. Pengertian dan manfaat mempelajari Akhlak ... 107

B. Ruang Lingkup Kajian Akhlak ... 110

C. Perbedaan dan Persamaan Akhlak, Etika dan Moral ... 115

BAB IX HAKIKAT MANUSIA A. Hakikat Manusia sebagai makhluk Jasmani dan Rohani ... 119

B. Analisis Eksistensi Manusia ... 125

C. Daya-daya Rohani sebagai konsekwensi tugas Manusia ... 128

BAB X DINAMIKA RUHANI KETIKA MENETAPKAN BAIK DAN BURUK A. Baik - Buruk ... 133

B. Standar Baik dan Buruk ... 136

C. Peran Daya Ruhani dalam menentukan Baik dan Buruk ... 138

BAB XI PENYAKIT ROHANI A. Pengertian Penyakit Rohani ... 149

B. Macam - Macam Penyakit Rohani ... 154


(10)

ix

BAB XII ETIKA EDIAL(AKHLAK FADHILAH)

A. Pengertian Etika ... 161

B. Unsur – unsur Pokok Etika ... 163

C. Analisis tentang Konsep Etika Para Filosuf Muslim ... 164

D. Konsep Etika Para Filosuf Musslim ... 165

E. Etika Edial (Akhlak Fadhilah) ... 166


(11)

1 A. Pengertian Tauhid, Aqidah dan Kalam

1. Tauhid

Kata tauhîd—diindonesiakan menjadi ―tauhid”—bukanlah kata yang asing bagi seorang yang beragama Islam. Secara etimologis,

tauhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan yang berarti esa, keesaan, atau mengesakan, yaitu menegaskan bahwa Allah meliputi seluruh pengesaan. Dalam makna generiknya, digunakan pula untuk arti kata dalam bahasa Arab tauhidul quwwah, yang bermakna ―mempersatukan segenap kekuatan‖ (lihat Kamus al-Munjid, 1997, h 890).

Meskipun dalam al-Qur‘an tidak ada kata atau kalimat yang langsung menyebut tauhid dalam bentuk masdarnya (yang ada hanya kata ahad dan wahid), istilah yang awalnya diciptakan oleh para mutakallimin ini memang secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran Al-Qur‘an, yaitu ajaran tentang Memahaesakan Tuhan. Formulasi yang paling pendek dari tauhid adalah kalimat “Lâ ilâha illâ Allâh” (tiada ilah {Tuhan} selain Allah), merujuk kepada apa yang bagi seorang muslim merupakan hal yang paling fundamental dan merupakan keyakinan bagi semua manusia bahwa hanya ada satu Tuhan, yang dalam Islam disebut Allah. Kalimat inilah yang dalam Islam dikenal dengan kalimat syahadah, persaksian akan adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

Tauhid (sebagai ekspresi iman), tidak cukup hanya percaya kepada Allah, tetapi juga percaya bahwa Dia sebagai pencipta langit dan bumi dan segala makhluk dan apa yang ada di dalamnya. Tauhid yang benar juga mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Dia dan bagaiamana bersikap kepada-Nya serta kepada obyek-obyek selain Dia. Selanjutnya, asal makna Tauhid merupakan bagian terpenting yang menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya di dalam menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Dia sendiri pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan (Muhammad Abduh, Risalah, 1965: 13).


(12)

Menurut para ahli, ilmu tauhid ialah :

نع هيف ثحبي ملع ةينيدلا دئاقعلا ابثا

ةينيقيلا ةلدْاب

“Ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan”(Zainudin,1996 : 1).

Sedangkan menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu tauhid ialah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik berupa dalil aqli, dalil naqli, ataupun dalil wijdani (Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, 2009 : 1).

Keyakinan akan tauhid sebagai pegangan hidup, wajib dijadikan pangkal atau sumber pikiran umat yang bertauhid, dengan arti ketentuan-ketentuan Allah harus menerangi dan menghidupkan roh, dan memberikan nur yang membukakan pikiran dan alam pikiran (H.A. Malik Ahmad, 198 : 33).

Merujuk keterangan al-Qur’an, kepercayaan pada Tuhan merupakan sesuatu yang intrinsik, naluriah (fitrah) manusia yang dibawa sejak asal kejadiannya.

كل هَ قْلخل لي ْبت َ ا ْيلع اهنلا طف يتهلا هَ ت ْطف اًفينح ني لل ك ْج ْمقْف

ْلا ني لا

) ن لْعي َ اهنلا ثْكأ هنكل ميق

30

)

.

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada

agama (Allah). Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya. Tiada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS : Al-Rum, Ayat 30).

Ayat lain menginformasikan bahwa manusia pernah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan sewaktu masih berupa janin dalam kandungan.

ْنِم َ َدآ يِنَب ْنِم َكُبَر َ َخَأ ْ ِإَ

ْمك بَرِب تْسَلَأ ْمِ ِسفْنَأ ىَلَع ْمهَدَ ْشَأَ ْم َتهي ر ْمِهِرو ظ

( َنيِلِفاَغ اَ َه ْنَع اهنك اهنِإ ِةَماَيِقْلا َ ْوَي اولوقَت ْنَأ اَنْدِ َش ىَلَب اولاَق

911

)

Artinya: “dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan

kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “bukankah Aku ini Tuhanmu?” (jiwa itu menjawab): “benar, (Engkau Tuhan kami), Kami menyaksikan” (QS: Al-A’raf, ayat 172). (Budhy Munawwar Rahman, 1994 : 124).


(13)

Berdasarkan ayat di atas, sebenarnya Islam tidak terlalu mengkhawatirkan timbulnya ateisme karena—menurut al-Qur’an— setiap dan semua manusia sejak awal telah dibekali potensi ketuhanan yang bersifat ruhani. Islam justru mengkhawatirkan munculnya

politeisme (syirik), sebagai lawan dari tauhid. Oleh sebab itu, program pokok al-Qur’an dan juga menjadi risalah para Nabi adalah ingin membebaskan manusia dari belenggu politeis (kepercayaan kepada banyak Tuhan), dengan mencanangkan kalimat tauhid; Lâ ilâha illâ Allâh.

Oleh karena tauhid dan bertauhid tidak sebatas pada Tuhan dan aktivitas mental tetapi juga berarti tindakan, maka jalan terbaik memahami tauhid, menyetir pendapat Hasan Hanafi, adalah dengan

mengartikannya sebagai “penyatuan”. Ketika gagasan tauhid dikembalikan pada aspek ketuhanan, ia akan berarti “Keesaan Tuhan”.

Namun, karena Islam mencakup juga aspek-aspek duniawiyah, mental dan ketuhanan, tauhid tidak hanya berhenti pada wilayah ketuhanan. Sebab, afirmasi kesatuan Tuhan (baca: iman) bukan hanya suatu pernyataan secara lisan (taqrir bi al-lisân), tetapi sekaligus pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb) yang kemudian diejawantahkan dalam tindakan konkrit („amal bi al-jawârih) (Toshihiko Izutsu,1994 : 157-158). Setelah menganalisis kata “iman” secara semantik menyimpulkan bahwa tasdiq (pembenaran dengan verbal dan hati) belum dapat dijadikan ukuran seseorang itu “beriman”,

tetapi harus memasukkan unsur perbuatan )‘amal) sebagai ekspresi dari

kepatuhan semata-mata kepada Tuhan).

Dengan kata lain, tauhid bukan sekedar pernyataan dan kepercayaan yang akan ada dan keesaan Tuhan, melainkan Tauhid adalah keterlibatan, suatu prinsip tindakan yang memberi inspirasi kepada seluruh kehidupan manusia (Roger Garaudy, 1986 : 304-305).

2. Aqidah

Secara etimologis (bahasa), kata aqidah berakar dari aqada-ya‟qidu-„aqdan-aqidatan. Aqdan berarti: simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti suatu keyakinan (Al-Munawwir, 1984, hal. 1023). Relevansi antara arti kata „aqdan dan „aqidah adalah bahwa suatu keyakinanan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian (Dusar, Bakri. 2001 : 7).

Secara teminologis (ishthilah), terdapat beberapa definisi (ta‟rif) antara lain:


(14)

a. Menurut Hasan al-Banna

ئاقعْلا

ْ مَْا يه

صي ْنا جي ْيتلها

هن ْطت كبْلق ا ب

نْ كت كسْف ا ْيلإ

َ ْنع اًنْيقي

ي

طل اخيَ ٌ ْي هج ا

ٌكش ه

“Aqa‟id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hati (mu), mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan‟‟ (Al-Banna, tt., hal. 465).

b. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy :

ْيقعْلا

ْنم ٌةع ْ ْجم يه

, ْطفلْا عْ هسلا ,لْقعلْاب ة هلس لْا ةهيه بلْا قحلْا اياضق

اهدْ ج ب اًع اق ,ا تهحصب اًم اج ْ ص ا ْيلع ينْثي ,هبْلق ناسْ َْا ا ْيلع قْعي

ا تْ بث

ُحصي هه ا ا ف َخ يَ

اً بأ نْ كيْ ا

“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah, yakni kesahihan dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu” (Al-Jazairy, 1978, hal. 21).

Lebih janjut untuk memahami kedua definisi di atas kita perlu mengemukakan beberapa catatan tambahan sebagai berikut: (Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam). Bulan Bintang. Jakarta: 2001, h 32).

1. Ilmu itu terbagi menjadi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu

nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian disebut ilmu nazhari.

2. Setiap manusia memiliki naluri (fitrah) mengakui kebenaran bertuhan, indera untuk mencari kebenaran, akal akan menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. 4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa.

5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangn dengan kebenaran itu.

6. Tingkat keyakinan aqidah seseorang akan sangat bergatung kepada tingkat pemahamannya terhadap dalil.


(15)

3. Kalam

Secara etimologis (bahasa) kalam adalah ilmu yang membicarakan atau membahas tentang masalah ke-Tuhanan/ketauhidan (meng-Esakan Tuhan), atau kalam menurut bahasa ialah ucapan atau perkataan (Abdul Razak, 1959 : 27), yaitu sabda bagi Rasulullah Saw. dan atau Firman bagi Allah Swt. Dengan demikian, ilmu kalam berarti ilmu yang lebih banyak membahas tentang Firman Allah Swt., dalam hal ini al-Qur’an.

Sedangkan menurut istilah para Mutakallimin, Ilmu Kalam ialah sebagai berikut:

a. Menurut Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepecayaan aliran golongan salaf dan ahli sunah. b. Menurut Husain Tripoli, Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan

bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan agama Islam dengan bukti-bukti yang meyakinkan.

c. Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz bagi-Nya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan dari-Nya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik, mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil dari mereka.

d. Menurut Al-Farabi definisi Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam.

e. Menurut Musthafa Abdul Razak, Ilmu Kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani yang dibangun dengan argumentasi-argumentasi rasional.

B. Ruang Lingkup Tauhid, Aqidah dan Kalam

1. Tauhid

a. Tauhid Rububiyah

Tauhid al-Rububiyah adalah diambil dari salah satu nama Allah

al-Rabb, yang memiliki beberapa makna, yaitu: pemeliharaan, pengasuh, pendamai, pelindung, penolong dan penguasa (Abd Al-‘Aziz Al– Muhammad As-Salman, 1986 : 23).

Secara umum, Tauhid Rububiyah dapat diartikan dengan: mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai,


(16)

memberikan rizki, mengurusi makhluk, dan lain-lainnya, yang semuanya itu hanya Allahlah yang mampu diatas dunia (alam semesta) ini. Begitu juga semua orang meyakini dan mengakui adanya tuhan (Rabb) yang menciptakan, menguasai, dan lain-lainnya. Setelah mengetahui bahwa pencipta kita adalah Allah Swt, dan bahwa keberadaan dan managemen kita hanya berada di tangan-Nya, kita juga harus percaya bahwa tak seorangpun selain Dia yang mempunyai hak untuk memerintah dan membuat hukum bagi kita.

Yang dimaksud dengan hal ini ialah bahwa alam raya ini diatur oleh (mudabbir) pengelola, pengendali tunggal, tak ada sekutu oleh siapa dan apa pun dalam pengelolaan dan pen-tadbiran-Nya. Dialah Allah Rabb

(Mahasuci Dia) pengelola alam semesta ini. Adapun (pentadbiran)

pengelolan oleh para malaikat serta semua sebab (lantaran) yang saling berkaitan, tidak lain adalah atas perintah-Nya. Hal ini berlawanan dengan pendapat sebagian kaum musyrikin yang percaya bahwa yang berkaitan dengan Allah Swt. hanyalah perbuatan penciptaan dan pengadaan awal mula pertama saja, sedangkan pentadbiran dan pengaturan segala jenis makhluk dan benda di atas bumi ini selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada benda-benda langit, malaikat, jin, serta maujudat spiritual yang diperankan oleh berhala-berhala yang disembah. Jadi, menurut mereka tidak ada sangkut paut Allah dalam hal pentadbiran dan pengelolaan urusan segalanya.

Akan tetapi, secara jelas dan terang Al-Quran menegaskan bahwa Allah adalah sang pengatur dan pengelola (al-Mudabbir) bagi alam semesta, maka yang demikian itu semata-mata atas izin dan perintah-Nya.

Dalam hal ini Allah Swt. berfirman :

ْ عْلا ىلع تْسا همث اهيأ ةهتس يف ضْ ْْا تا ا هسلا قلخ هلا هَ مكهب هنإ

هل َأ ْمْب تا هخسم جُنلا قْلا ْ هشلا اًثيثح هبلْطي ا هنلا لْيهللا يشْغي

ْم ْْا قْلخْلا

ني لاعْلا ُ هَ ابت

) 54 )

Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Swt. yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia menguasai di atas arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan–Nya pula) matahari, bulan dan bintang, yang semuanya tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hal Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al-A’raf : 54).

Maka dalam hal ini, siapapun yang memiliki pengetahuan, walaupun sedikit, tentang ayat-ayat Al-Quran, pasti mengetahui manakala Allah Swt. menisbahkan banyak dari perbuatan atau tindakan kepada


(17)

diri-Nya sendiri, sementara itu di saat yang sama dalam diberbagai ayat lain Ia menisbahkannya kepada selain Dia, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengandung pertentangan (kontradiksi). Sebab, adanya pembatasan timbulnya segala perbuatan pada zat-Nya sendiri saja ialah yang semata-mata bersifat “mandiri sepenuhnya”. Hal ini tidak bertentangan dengan penyekutuan sesuatu selain-Nya dalam perbuatan itu, dalam arti bahwa ia hanya sebagai pelaksana perintah dan kehendak-Nya.

b. Tauhid Uluhiyah

Uluhiyyah diambil dari kata al-ilah yang memiliki makna sesuatu yang disembah (sesembahan) dan sesuatu yang ditaati secara mutlak dan total. Kata llah ini diperuntukkan bagi sebutan sesembahan yang benar

(haq).

Tauhid uluhiyyah adalah meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah Swt., ini juga merupakan hasil lain dari keyakinan alamiah-warisan dalam diri manusia. Jika eksistensi kita berasal dari Allah Swt., pengaturan dan pengarahan hidup kita diserahkan kepada-Nya (Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, 1424 : 62).

Mungkin kita telah menyadari bahwa Al-Quran memandang

politeisme sebagai sebuah dosa. Ketika dosa-dosa besar diperhitungkan,

”politeisme berada di puncak daftarnya,” demikian dikatakan orang

politeisme dalam praktiknya berarti menyembah kepada selain Allah Swt., meskipun si penyembah tidak mempercayai bahwa sembahannya itu patut disembah, dan hanya menyembahnya karena kepentingan-kepentingan tertentu. Firman Allah Swt :

ميحه لا ن ْحه لا ه هَإ هلإ َ ٌ حا ٌهلإ ْمك لإ

) 163 )

Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:163).

Tauhid Uluhiyyah ini berhubungan erat dengan dua hal, yaitu: 1) Amal/perbuatan, dan 2) Ibadah. Supaya kedua hal tersebut mendapat pahala, maka wajib bagi setiap muslim untuk meyakinkan pentingnya niat yang ikhlas di dalam beramal dan beribadah. Para ulama telah sepakat bahwa niat yang murni berperan penting dalam memperoleh ridho akan amal dan ibadah yang kita lakukan sehari-hari.


(18)

Ibnu Atha’illah menyatakan bahwa niat dengan ikhlas adalah ruhnya:

“Amal-Amal adalah laksana raga-raga yang berdiri tegak dan yang menjadi ruhnya adalah rahasia ikhlas/niat.”

Berdasarkan keterangan di atas, amal-amal seperti sholat dan bersedekah tidak akan ada ruhnya, yaitu dalam arti tidak akan diterima dan diberi pahala apabila tidak diiringi dengan niat yang murni. Sholat yang dikerjakan ataupun sedekah yang berjuta-juta tanpa ada niat yang benar seolah-olah sholat dan sedekah yang berjuta-juta itu laksana jasad yang mati tergeletak tak ada artinya.

Oleh karena itu, setiap aktifitas ibadah seperti: sedekah, puasa berdzikir, apabila dilakukan tanpa keikhlasan niat di dalamnya, maka sedekah, puasa, berdzikir tidak disebut sebagai ibadah tetapi disebut adat (kebiasaan).

Ibnu Abbas menyatakan bahwa:

داع يه لب دابع تسيلف صَخْا نم تلخ دابع لك

“Setiap ibadah yang kosong dari ikhlas/niat, maka itu bukanlah ibadah tetapi ia disebut kebiasaan (adat)”

c. Tauhid Al-Asma Wa’ al-Sifat

Tauhid al-Asma wa al-Sifat adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt. yang luhur berdasarkan petunjuk Allah Swt. dalam Al-Quran dan petunjuk Rasulullah Saw. dalam sunnahnya. Mayoritas ulama salaf, yakni ulama yang konsisten dalam mengikuti sunnah Rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang shalih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah Swt. untuk diri-Nya, dan apa-apa yang dijelaskan oleh Rasullulah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta‟thil (penolakan), tahrif

(perubahan dan penyimpangan lafadz dan makna), tamtsil (penyerupaan) dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah Swt).

Sebagaimana firman Allah Swt :

يصبْلا عي هسلا ه ٌءْيش هلْث ك ْيل

) 11 )

Artinya: “Tiada yang menyerupai-Nya segala sesuatu, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. As-Syura : 11).


(19)

I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanhu wa

Ta’ala didasari atas dua prinsip:

1. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.

2. Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang disebutkan Allah untuk Diri-Nya, tidak menyelewengkan kalam Allah

Subhanahu wa Ta’ala dari kedudukan yang semestinya, tidak

mengingkari tentang Asma‟ (Nama-Nama) dan ayat-ayat-Nya, tidak menanyakan tentang bagaimana Sifat Allah, serta tidak pula mempersamakan Sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah Azza wa Jalla

tidak sama dengan sesuatu apapun juga. Hal itu karena tidak ada yang serupa, setara dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya Azza wa Jalla, serta Allah tidak dapat dikiaskan dengan makhluk-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam menuturkan Sifat dan Asma-Nya, memadukan antara an-Nafyu wal Itsbat (menolak dan menetapkan). Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para Rasul, karena itu adalah jalan yang lurus (ash-Shiraathal Mustaqiim), jalan orang-orang yang Allah karuniai nikmat, yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.

3. Ruang lingkup aqidah

Menurut Hasan al-Banna ruang lingkup pembahasan akidah terdiri

darii5(Yunahar Ilyas, Op.Cit, hlm 5-6)

a. Ilahiyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama- nama dan sifat- sifat Allah, Af’al dan lain- lain.

b. Nubuwwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, karamah dan sebagainya.

c. Ruhaniyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, syetan, roh dan lain-lain.

d. Sam‟iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat pendengaran, missal tentang kiamat, surga neraka, dan sebagainya.


(20)

Selain yang tersebut di atas, `ruang lingkup aqidah boleh juga mengikuti sistematika arkanul (rukun) iman, yaitu:

1) Iman kepada Allah Swt.

2) Iman kepada malaikat-malaikat Allah. 3) Iman kepada kitab-kitab Allah.

4) Iman kepada Nabi dan Rasul. 5) Iman kepada hari akhir.

6) Iman kepada qadha dan qadar Allah. 4. Ruang Lingkup Ilmu Kalam

Pokok permasalahan Ilmu Kalam terletak pada tiga persoalan, yaitu: a. Esensi Tuhan itu sendiri dengan segenap sifat-sifat-Nya. Esensi ini

dinamakan Qismul Ilahiyyat. Masalah-masalah yang diperdebatkan yaitu:

1) Sifat-sifat Tuhan, apakah memang ada Sifat Tuhan atau tidak. Masalah ini diperdebatkan oleh aliran Mu’tazilah dan

Asy’ariyah.

2) Qudrat dan Iradat Tuhan. Persoalan ini menimbulkan aliran Qadariyah dan Jabariyah.

3) Persoalan kemauan bebas manusia, masalah ini erat kaitannya dengan Qudrat dan Iradat Tuhan.

4) Masalah Al-Qur’an, apakah makhluk atau tidak dan apakah

Al-Qur’an azali atau baharu.

b. Qismul Nububiyah, hubungan yang memperhatikan antara Kholik dengan makhluk, dalam hal ini membicarakan tentang:

1) Utusan-utusan Tuhan atau petugas-petugas yang telah di tetapkan Tuhan melakukan pekerjaan tertentu, yaitu Malaikat. 2) Wahyu yang disampaikan Tuhan sendiri kepada para rasul-Nya,

baik secara langsung maupun dengan perantara Malaikat.\ 3) Para Rasul itu sendiri yang menerima perintah dari Tuhan untuk

menyampaikan ajarannya kepada manusia.

4) Persoalan yang berkenaan dengan kehidupan sesudah mati nantinya yang disebut dengan Qismul Sam‟iyat. Hal ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Kebangkitan manusia kembali di akhirat. b) Hari perhitungan.

c) Persoalan shirat (jembatan).

d) Persoalan yang berhubungan dengan tempat pembalasan, yaitu surga atau neraka.


(21)

c. Ayat yang berkaitan dengan ruang lingkup Ilmu Kalam. Dalam Firman Allah Swt.:

هَاب نمآ ْنم ه بْلا هنكل ْغ ْلا ْش ْلا لبق ْمكه ج ا ُل ت ْنأ ه بْلا ْيل

اتكْلا ةكئَ ْلا خ َْا ْ يْلا

ىبْ قْلا

هبح ىلع ا ْلا ىتآ نييبهنلا

ىتآ َهصلا اقأ اق لا يف نيلئاهسلا ليبهسلا نْبا نيكاس ْلا ىماتيْلا

سْْبْلا يف ني باهصلا ا هاع ا إ ْمه ْ عب ن ف ْلا اكهزلا

نيح ءاه هضلا ءا

ن قهت ْلا مه ك ل أ ا ق ص ني هلا ك ل أ ْْبْلا

) 177 )

”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” )QS : Al-Baqarah ayat 177).

Dan dalam hadits Rasulullah Saw.:

ىهلص َ ْ س ْنع ٌ ْ لج نْح ا نْيب : اق ًاضْيأ هْنع َ يض ع ْنع

ْي ش ٌلج انْيلع عل ْ إ ْ ي تا مهلس هْيلع َ

دا س ْي ش ايثلا ضايب

يبهنلا ىلإ لج ىهتح ،ٌ حأ اهنم هف ْعي َ ، فهسلا ثأ هْيلع ي َ ، ْعهشلا

: اق هْي خف ىلع هْيهفك عض هْيتبْك ىلإ هْيتبْك نْسْف ملس هيلع َ ىلص

ي

َسْْا : ملس هيلع َ ىلص َ ْ س اقف ، َْسْْا نع ي ْ بْخأ ه حم ا

اكهزلا يتْ ت َهصلا مْيقت َ ْ س اً ه حم هنأ َ هَإ هلإ َ ْنأ ْشت ْنأ

ناضم ْ صت

ْلا هجحت

انْبجعف ، ْق ص : اق ًَْيبس هْيلإ ْعطتْسا نإ ْيب

هتكئَم َاب نمْ ت ْنأ : اق نا ْيْْا نع ي ْ بْخْف : اق ،هق صي هلْْسي هل

خ قْلاب نمْ ت خَا ْ يْلا هلس هبتك

اق ، ْق ص اق . ش ْي

ا ي هه إف ا ت ْنكت ْمل ْنإف ا ت كه ْك َ بْعت ْنأ : اق ،ناسْحْْا نع ي ْ بْخْف

هسلا نم ملْعْب ا ْنع ْ ْس ْلا ام : اق ،ةعاهسلا نع ي ْ بْخْف : اق .

اق .لئا

ةلاعْلا ا عْلا افحْلا ت ْنأ ا تهب ةمْْا لت ْنأ اق ،ا تا امأ ْنع ي ْ ب ْخْف

ع اي : اق همث ،اًيلم ْثبلف قلطْ ا همث ،نايْنبْلا يف نْ ل اطتي ءاهشلا ءاع

ْ تأ

ْلق ؟ لئاهسلا نم

ملْعأ هلْ س َ :

ْمك لعي ْمكاـتأ لْي ْبج هه إف اق .

. ْمكنْيد

]ملسم ا [


(22)

Dari Umar Radhiallahu Anhu dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah saw., suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah Saw.) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam!”, maka bersabdalah Rasulullah Saw.: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata: “Anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat -malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang Ihsan“. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau”. Selanjutnya dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullahe) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“ (Riwayat Muslim).

Dari ayat dan hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup Ilmu Kalam adalah Rukun Iman yang enam.

C. Perbedaan Mengenai Tauhid, Aqidah dan Kalam.

1. Tauhid, menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata ح


(23)

a. Menurut Husain Affandi al-Jasr, Tauhid ialah ilmu yang membahas hal-hal menetapkan akidah agama dengan dalil yang meyakinkan (Muin, M. Tharir A., Ikthtisar Ilmu Tauhid, Yogyakarta, 2001, h ). b. Menurut Muhammad Abduh, Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang

membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib bagi-Nya sifat-sifat yang boleh dan yang tidak boleh disifati kepada-Nya. Di samping itu Ilmu Tauhid juga menyikapi Rasul-rasul Allah guna menetapkan risalah mereka, yang boleh mereka nasabkan dan apa yang dilarang atas mereka (Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid. Bulan Bintang. Jakarta.1965, 13).

c. Prof. M. Tharir A. Muin, Ilmu Tauhid adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas soal yang wajib, jaiz, dan mustahil bagi Allah dan bagi sekalian utusan-utusan-Nya, dan juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat untuk membuktikan adanya Zat yang mewujudkan.

d. Ilmu ini dinamakan Ilmu Tauhid karena pembahasannya yang paling menonjol adalah tentang ke-Esaan Tuhan, yang merupakan asas pokok agama Islam, sebagaimana yang berlaku terhadap agama yang benar yang telah dibawa oleh para rasul yang diutus Allah (Ash-Shidieqy, Tengku M. Hasbi.1999 : 72).

Dengan demikian, Tauhid adalah pembenaran terhadap keesaan Allah, yaitu seluruh bentuk kesatuan kesaan Allah Wahidul quwwah

dimana satu-satunya Tuhan adalah hanya Allah La ilaha ill Allah, dan satunya yang maha pencipta hanyalah Allah, serta satu-satunya pemberi fasilitas, rezqi, jodoh hidup dan mati hanyalah Allah semata. Merujuk keterangan al-Qur’an, kepercayaan kepada Tuhan merupakan sesuatu yang intrinsik, naluriah (fitrah) manusia yang dibawa sejak asal kejadiannya, sebagaimana firman-Nya:

كل هَ قْلخل لي ْبت َ ا ْيلع اهنلا طف يتهلا هَ ت ْطف اًفينح ني لل ك ْج ْمقْف

ن لْعي َ اهنلا ثْكأ هنكل ميقْلا ني لا

) 30 )

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), Fitrah Allah yag telah menciptakan manusia menurut fitrah-Nya, Tiada perubahan pada Fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS : Ar-Rum, ayat 30). 2. Aqidah, berasal dari kata “Aqad” yang berarti ”Pengikatan”. Akidah

adalah apa yang diyakini seseorang. Jika dikatakan, ”dia mempunyai aqidah yang benar”, berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Akidah


(24)

terhadap sesuatu. Adapun makna Akidah secara Syara’ adalah iman

kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta kepada qadar baik dan qadar buruk. Akidah yang benar adalah fundament bagi bangunan Agama serta merupakan syarat sahnya amal. Hal ini sebagaimana Firman Allah :.

هب ءاقل جْ ي ناك ْن ف ٌ حا ٌهلإ ْمك لإ ا ه أ هيلإ ىح ي ْمكلْثم ٌ شب ا أ ا ه إ ْلق

هب دابعب ْ ْشي َ اًحلاص ًَ ع ْل ْعيْلف

اً حأ

) 110 )

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS : Al-Kahfi, ayat 110).

Ilmu Kalam juga disebut Ilmu Aqidah dikarenakan pokok pembicaraannya ialah pokok-pokok kepercayaan agama yang menjadi dasar agama Islam. Jadi, Aqidah Ilmu Kalam ialah ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran disertai dalil naqli. Dengan demikian, aqidah adalah ikatan dari suatu sistem keyakinan yang diyakini kebenarannya, yang tertanam dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan. Ikatan dalam akidah merupakan perjanjian luhur antara makhluk dan Penciptanya.

3. Kalam atau Ilmu Kalam, menurut bahasa berarti dua kata, Ilmu dan

kalam: Ilmu adalah pembahasan sesuatu obyek kajian tertentu, dan

kalam adalah perkataan atau sabda/firman Allah dari segi perdebatan

ulama’ kalam atau mutakalimin yang berkaitan dengan Tuhan dari segi aspek keberadaan, sifat-sifat, perbuatan dan hal lain yang berkaitan dengan Tuhan.

Ibnu Khaldun mengatakan, ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung argument-argumen rasional untuk mebela akidah-akidah imaniah dan

mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah dalam bidang akidah

menyimpang, dari mazhab salaf dan madzahab ahlis Sunnah (Gholib, Achmad, 2005 : 7).

Muhammad Abduh berpendapat, tauhid aadalah ilmu yang melakukan bahasan tentang Allah, sifat-sifat yang wajib dan yang boleh ditetapkan bagi-Nya, serta yang wajib dinafikan (dinegasikan) dari-Nya, tentang para rasul untuk menetapkan apa yang wajib apa yang boleh, dan yang terlarang dinisbahkan kepadanya(Ibid, h 8).


(25)

Ahmad Fua al-Ahwani, Ilmu Kalam adalah memperkuat akidah-akidah agama dengan argument-argument rasional (Gholib, Achmad, 2005: 8).

Oleh karena itu, Ilmu Kalam adalah tidak lain dari usaha pemahaman yang dilakukan oleh para ulama kalam (mutakallimin) tentang akidah Islam yang terkandung dalam dalil naqli (Al-Qur’an dan hadist) untuk menetapkan, menjelaskan atau membela akidah Islam serta menolak akidah yang salah atau bertentangan dengan akidah Islam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan ilmu tauhid, akidah dan kalam adalah illmu yang menjadi pokok kajian dan bahasannya sama-sama Tuhan Allah Swt, keberadaan-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Allah maha esa tiada sekutu bagi-Nya dan tiada tuhan selain Allah (la ilaha illa Allah), sifatnya yang maha kuasa, maha mengetahui, maha mendengar, maha melihat dan sifat-sifat yang lainnya. Perbuatan Allah (af‟‟al Allah) tiada yang dapat menandinginya, tetapi Allah tidak semena-mena, penuh dengan keadilan dan bertanggung jawab terhadap makhluk ciptaan-Nya. Sedangkan perbedaan antara ilmu tauhid, akidah dan kalam adalah ; a. Tauhid, lebih spesifik, yaitu menegaskan bahwa Allah meliputi

seluruh pengesaan dalam arti mempersatukan segenap kekuatan

(tauhidul quwwah), dimana hanya Allahlah satu-satunya Tuhan (la ilaha illa Allah dan hanya Allah yang patut disembah (tauhid uluhiyyah) dan hanya Allah sang pencipta, pemelihara jagad raya, pemberi rizki kepada makhluk-Nya (tauhid rububiyyah), serta Allah yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang maha agung, maha bijaksana, maha melihat mendengar dll (tauhid asma wa al-sifat).

b. Aqidah, lebih khusus, yaitu mmembicarakan suatu ikatan keyakinan (akidah) antara seoarang yang meyakini atau mengimani dengan yang diimani, yang merupakan perjanjian luhur antara seorang hamba dengan tuhan-Nya, tertanam dalam hati (tashdiq al-qalb), dan diucapkan dengan lisan (tasmiyatun bil lisan), serta mengamalkan dengan perbuatan (amalun bil-arkan).

c. Kalam. adalah kata-kata atau firman Allah yang menjadi bahasan dengan perdebatan-perdebatan logika yang rasional serta diikuti dengan argementasi dan methodologi yang masuk akal oleh para ahli kalam (mutakallimin), untuk menyelesaikan masalah ketuhanan dengan segala aspeknya.


(26)

17

IMAN KEPADA ALLAH

A. Tafsir dan Kajian Mengenai Zat Allah

1. Pengertian Iman

Sebelum diuraikan pembahasan mengenai tafsir dan kajian Zat Allah, ada baiknya dibahas terlebih dulu mengenai pengertian iman. Dari segi (lughat) bahasa, kata iman berarti: pembenaran (tashdiiq). Inilah yang dimaksud dengan kata mu’minun dalam Firman Allah Swt. sebagai berikut:

) نيقداص اهنك ْ ل انل نمْ ب ْ أ ام

17

)

Artinya : Dan kamu sekalian tidak akan membenarkan kami, walaupun kami orang-orang yang benar” (QS : Yusuf, ayat 17).

Dalam ayat di atas makna mu’minin adalah mushaddiq, yakni orang-orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah adalah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari Wahyu Allah Swt.

Pengertian iman yang demikian itu telah disepakati oleh para ulama Islam, baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Jika seorang membenarkan dengan hati yang penuh dengan keyakinan akan agama Islam, maka ia adalah orang mukmin. Demikian kata Imam Nawawi, orang tersebut tidak wajib mempelajari dalil-dalil untuk mengukuhkan

iman atau ma‟rifatnya kepada adanya Allah. Jadi orang awam maupun

muqallid juga termasuk ke dalam golongan orang mukmin.

Pembenaran maupun pengakuan itu tepatnya di dalam hati, yakni

setelah adanya pengakuan ma’rifat atau ilmu. Iman dalam arti yang demikian sama artinya dengan i„tiqad (keyakinan, kepercayaan), yakni mengikat hati dalam bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang telah diketahui wujud kebenarannya.

Kaitan atau gantungan iman atau i’tikad itu disebut aqidah.

Mengakui adanya Allah adalah iman atau i’tikad sedangkan adanya Allah disebut aqidah. Dengan demikian aqidah adalah wujud Allah dan sifat-sifat-Nya serta rukun-rukun iman lainnya yang wajib di i’tikadkan


(27)

dengan hati yang penuh yakin. Dalam tahapan selanjutnya oleh para mutakallimin Abu al-Hasan al-Asy’ari setelah membenarkan atau

tasdiq dan harus diikuti dengan tasmit, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat : mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya(Jalal Musa, 1975 : 16), sehingga orang tersebut baru sempurna keimanannya dan mengamalkannya sebagai buah daripada iman. Lebih lanjut oleh golongan Mu’tazilah iman itu harus ada tiga unsur, yakni membenarkan (tasdiq), tasmit mengucapkan dengan lisan dan„amal bi al-arkan (mengamalkan dengan perbuatan).

Siapa Allah itu ?

Allah, nama yang Maha Mulia, dari Zat yang Maha Suci, yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya ( Hamka, 1985 : 31).

Ketahuilah bahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar daripada jangkauan akal manusia atau daripada pengetahuan alam fikiran manusia, sebab daya kemampuan akal itu terbatas bagaimana pun ketinggian pengetahuan yang dicapainya pasti terbatas pula. Tenaga listrik atau magnet adalah suatu daya kekuatan yang kita gunakan dan kita manfaatkan di dalam hidup ini, tetapi sedikit pun kita tidak mengetahui hakikatnya. Dan hingga kini tak seorang pun mampu menjelaskannya kepada anda betapa pun hebatnya akal fikiran orang itu. Bagi kita mengetahui hakikat sesuatu itu kurang bermanfaat; yang penting ialah apabila kita mengetahui barang sedikit daripada keistimewaan-Nya yang berguna bagi kehidupan kita.

Banyak orang yang memperbincangkan Dzat Allah Swt., dan mereka tersesat. Perbincangan dalam hal itulah yang menyebabkan mereka tersesat, kacau dan berselisih karena mereka memperbincangkan sesuatu yang mereka tidak mengerti batas-batasnya dan tidak mampu mengetahui hakikatnya. Oleh sebab itulah maka Rasulullah Saw. melarang kita memikirkan Dzat Allah Swt., dan menyuruh kita memikirkan keadaan makhluk-Nya. Dalam hadis Nabi Saw. disampaikan yang artinya sebagai berikut :

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa banyak orang yang memikirkan Dzat Allah Swt., lalu Nabi bersabda, “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu benar-benar tidak akan mampu melakukannya”

Menurut Al-‘Iraqi, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu


(28)

Al-Ashbihani meriwayatkannya di dalam kitab “Al-Targhib wa Tarhib” dengan sanad yang lebih shahih daripada itu. Juga seperti itu pula Abusy Syaikh meriwayatkannya. Bagaimanapun juga arti daripada hadis tersebut adalah benar/ shahih.

Demikian itu bukanlah merupakan penghalang bagi kebebasan berfikir, bukan pengekangan dan bukan pula penyempitan lapangan akal, melainkan justru merupakan penjagaan bagi akal itu sendiri. Akal dilindungi agar supaya tidak sampai tersungkur jatuh ke dalam lembah kesesatan. Akal dihindarkan daripada usaha mencoba-coba mengatasi penyelidikan yang ia tidak mempunyai kelengkapan sarana-sarananya, di samping daya kemampuannya tidak memadai utuk memecahkannya betapa pun hebatnya kemampuan yang ada padanya.

Oleh sebab itu, di dalam memahami kebesaran Allah Swt. hendaklah memusatkan segala perhatian dengan memikirkan keadaan makhluk dan berpegang teguh kepada sifat-sifat-Nya yang wajib(Syekh Hasan Al-Banna, alih bahasa: M. Hasan Baidaie, 1983 : 15-17).

2. . Iman kepada Allah

Beriman kepada Allah Swt. merupakan dasar dari iman. Dari ajaran asas ini timbullah bagian-bagian atau rukun-rukun iman yang lain. Beriman kepada wujud Allah adalah beriman kepada yang ghaib, dan beriman kepada yang ghaib memerlukan dalil-dalil yang rasional untuk membuktikan kebenaran keimanan itu. Dalam hal ini berbeda dengan kepercayaan tentang adanya hal-hal yang empiris karena dapat dibuktikan dengan sentuhan indera. Dalil-dalil tentang wujud Allah ada yang berdasarkan akal dan ada juga yang berdasarkan wahyu yang merupakan dalil yang lengkap bagi pengetahuan kita tentang Allah. Sebab, sesuatu yang ghaib pada dasarnya sangat sukar dapat dipahami oleh akal manusia yang terbatas, dan karena itu hanya Allah sendiri yang Maha Tahu akan diri-Nya.

Dalil-dalil rasional dalam berbagai bentuknya mengenai wujud Allah telah pernah dibuat orang, terutama para filosof, dan ini merupakan warisan yang sangat berharga bagi umat beragama. Semua dalil itu menunjukkan kesepakatan mereka bahwa Allah itu ada dan Dia adalah pencipta dan pengendali alam semesta. Namun begitu, tidak semua orang lantas beriman begitu saja dengan hanya setelah mengetahui dan membaca dalil-dalil yang rasional itu. Betapa pun kuat dan logis dalil-dalil itu, tetapi iman itu hanya diterima oleh orang-orang yang memiliki kesiapan ruhani dan hidayah Ilahi disebabkan iman itu, pada hakikatnya, merupakan karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti halnya rezeki yang hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Adapun orang-orang


(29)

yang tidak memperoleh karunia dan hidayah iman itu dan karenanya tidak mengakui wujud Allah sebagai pencipta alam semesta, maka orang tersebut disebut sebagai orang kafir. Orang-orang yang semisal ini disebut dalam al-Qur’an, antara lain :

ام ًَبق ءْيش هلك ْم ْيلع ا ْ شح ىتْ ْلا م هلك ةكئَ ْلا م ْيلإ انْلهز انه أ ْ ل

ا اك

ل هَ ءاشي ْنأ هَإ ا نمْ يل

ن ل ْجي ْمه ثْكأ هنك

) 111 )

Artinya: “Dan sekalipun kami benar-benar menurunkan para malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara kepada mereka dan kami kumpulkan (pula) di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi (kebanyakan mereka tidak mengetahui) arti kebenaran”(QS: Al-An’am, 111).

Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan wujud Allah dengan memberikan bermacam-macam dalil. Hal yang seperti ini tidak dijumpai dalam kitab-kitab suci agama yang terdahulu. Dalam kitab Taurat dan Injil tidak dijumpai satu ayat pun yag menunjukkan dalil wujud Allah. Seolah-olah kepercayaan kepada adanya Allah harus diterima begitu saja tanpa perlu adanya dalil atau penjelasan yang mengukuhkan kebenarannya. Kemungkinan hal yang seperti itu hanya sesuai dengan masa dahulu yang padanya kitab-kitab itu diturunkan. Pada masa itu, manusia hidup dalam situasi yang diliputi oleh berbagai khurafat dan mitos, daya penalaran mereka masih belum meningkat. Antara kenyataan dan khayalan atau dongeng belum jelas batasnya dalam pemikiran. Kebenaran tidak hanya terdapat dalam kenyataan empiris tetapi juga dalam cerita yang bersifat mitos. Tentu saja kitab-kitab suci yang seperti itu hanya sesuai dengan zaman itu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Dalam zaman kini, orang sudah lebih rasional dalam keimanan dan kehidupan dan tidak begitu mudah percaya kepada hal-hal yang ghaib.

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. yang hidup dan berdakwah dalam kalangan bangsa Arab. Bangsa Arab ini mempunyai berbagai kepercayaan dan pada umumnya mereka dikenal sebagai bangsa penyembah berhala. Al-Qur’an membawa ajaran yang bersifat universal yang tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang dahulu, sekarang dan akan datang. Memang harus demikian halnya, karena al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu, dalam masalah yang berkaitan dengan ketuhanan, al-Qur’an membawa berbagai dalil dan bukti yang pasti dan


(30)

meyakinkan dalam ayat-ayatnya dan mengajak manusia mempergunakan nalarnya, sehingga dengan itu mereka mengakui adanya Allah dan tidak akan menyembah akan selain-Nya. Jadi, dakwah al-Qur’an dalam aqidah dibangun berdasarkan akal dan karena itu ia akan selalu berperan sebagai penyuluh dan pendorong bagi menusia untuk lebih maju dalam kehidupan ruhani dan jasmani di segala zaman.

Bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing-masingnya mempunyai aqidah yang berbeda, tetapi pada umumnya mereka penyembah berhala. Di antara kabilah itu ada yang tidak percaya kepada adanya Tuhan, pencipta alam semesta dan juga tidak percaya kepada adanya kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Menurut kepercayaan mereka, manusia hidup di dunia ini karena alam (natur) sedangkan mati itu karena masa (dahr). Kepercayaan mereka ini direkamkan dalam al-Qur’an, antara lain dalam surat al-Mukminun: 35-37

اًبا ت ْمتْنك ْمُتم ا إ ْمكه أ ْمك عيأ

) ن ج ْخم ْمكه أ اًماظع

35

ا ل تا ْيه تا ْيه )

) ن ع ت

36

نيث عْب ب ن ْح ام اي ْح ت ايْ ُ لا انتايح هَإ يه ْنإ )

) 37 )

Artnya: “Apakah Dia menjanjikan kepada kamu, bahwa apabila kamu telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kamu akan dikeluarkan (dari kuburmu)? Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu, (kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (di sanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan bangkit lagi” (QS :

Al-Mu’minun, ayat 35-37).

Sebaliknya, ada kabilah yang percaya akan adanya Allah, pencipta alam semesta, tetapi mereka tidak percaya kepada adanya kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Tentang kepercayaan mereka ini direkamkan antara lain dalam surat Yasin: :

س ًَثم انل ض

) ٌميم يه اظعْلا يْحي ْنم اق هقْلخ ي

78

ا ييْحي ْلق )

ٌميلع قْلخ لكب ه ه م ه أ اهْشْ أ هلا

(

11 )

Arinya : “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata: “Siapakan yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh”? Katakanlah (Muhammad), “yang akan menghidupkanya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” (QS : Yaasin, ayat 78-79).


(31)

Di samping itu, terdapat kabilah yang mengakui adanya Allah dan kebangkitan dari kubur pada hari akhirat, tetapi mereka menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala yang disembah itu akan memberi mereka syafaat dan mendekatkan mereka di sisi Allah pada hari akhirat. Dalam al-Qur’an, kepercayaan ini disebut dalam surat Yunus:

هَ ْنع ا اعفش ءَ ه ن ل قي ْم عفْني َ ْمهُ ضي َ ام هَ ن د ْنم ن بْعي

َ تا ا هسلا يف ملْعي َ ا ب هَ ن بنتأ ْلق

اه ع ىلاعت ه احْبس ضْ ْْا يف

) ن ك ْشي

18 )

Artinya : “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang

tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” Katakanlah, apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketehui-Nya apa yang ada di langit dan tidak (pula) yang dibumi? Maha Suci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” (QS : Yunus, ayat 18)

Berdasarkan kepercayaan yang menyimpang dan sesat itu,

al-Qur’an membawa ajaran yang benar yang bertujuan membetulkan

aqidah yang salah dengan menyatakan bahwa aqidah yang benar dalam masalah ketuhanan adalah berdasarkan tauhid yang murni. Ditegaskan bahwa tauhid itu ada tiga macam: TauhidUluhiyah, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Shifat.

Dalil wujud Allah, dalam upaya menegakkan aqidah yang benar, kita menjumpai banyak ayat al-Qur’an yang memperlihatkan berbagai dalil yang meyakinkan untuk membuktikan kebenaran wujud Allah yang berpangkal pada ajaran tauhid. Dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an itu tidak hanya sesuai dengan tingkat pemikiran dan pemahaman orang-orang yang terpelajar. Berbeda dengan kitab-kitab suci yang terdahulu, seperti kitab Taurat dan Injil, yang tidak mengemukakan sesuatu dalil tentang adanya Allah, maka al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir diturunkan telah mengemukakan berbagai dalil sebagai pembuktian kebenaran wujud Allah. Dalil-dalil itu ada yang berasal dari alam ini, ada yang berdasarkan pada pengalaman batin dan ada juga yang berasal dari wahyu.

Dalil kauni, yang dimaksud dengan “dalil kauni” ialah dalil yang berdasarkan wujudnya alam ini yang menunjukkan kepada adanya Allah. Alam yang kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri


(32)

tidak mungkin adanya dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya. Allah yang menciptakan alam ini tidak hanya sekedar mencipta, lalu dibiarkan berjalan sendiri, seperti halnya jam, tetapi juga dipelihara dan dikendalikan dengan sempurna. Hal yang demikian ini dapat disaksikan setiap waktu betapa tertibnya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan serta hukum-hukum yang diciptakan Allah bagi alam ini yang disebut sunnatullah.

Tidak ada suatu benda apa pun di alam ini yang menyimpang dari garis atau ketentuan yang telah ditetapkan Allah dalam sunah-Nya. Allah adalah pencipta, pemelihara, pengendali serta pengasuh alam ini seluruhnya. Oleh karena itu, Dia disebut dalam al-Qur’an sebagai rabb

seperti yang dapat dibaca dalam ayat pertama surat al-‘Alaq, wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya.

Di samping itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini telah diciptakan Allah dalam wujud berpasang-pasangan seperti yang disebut dalam surat Yasin:

َ اه م ْم سفْ أ ْنم ضْ ْْا بْنت اه م ا هلك جا ْ ْْا قلخ هلا ناحْبس

ن لْعي

) 36 )

Artinya: “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya

berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka tidak ketahui”(QS : Yaasin, ayat 36).

Selain itu, kita juga menyaksikan bahwa segala sesuatu yang berada di alam ini tunduk dan patuh kepada suatu aturan yang berada di bawah suatu pengendalian yang sangat tertib. Tidak ada suatu benda pun yang menghalangi atau merintangi jalannya benda-benda lain, tetapi semuanya saling membantu untuk mencapai tujuannya yang telah ditetapkan. Fenomena ini telah dijelaskan dalam surat ar-Rahman:

) نابْسحب قْلا ْ هشلا

5

) نا جْسي جهشلا مْجهنلا )

6 )

Artinya: “(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) yang Mahaperkasa, Mahapenyayang, agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” (QS : Yaasin, ayat 5-6).

Manusia juga diseru untuk melakukan wisata penyelidikan di atas bumi untuk mengetahui asal-usul dan awal mula ciptaan. Allah berfirman dalam surat al-Ankabut :


(33)

هَ هنإ خ َْا ْْشهنلا ئشْني هَ همث قْلخْلا أ ب فْيك ا ظْ اف ضْ ْْا يف ا يس ْلق

ٌ ي ق ءْيش لك ىلع

) 20 )

Artinya: “Katakanlah, berjalanlah di bumi, maka

perhatikanlah bagaimana (Allah) memulai menciptaan (makhluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh Allah kuasa atas segala sesuatu”(QS : Al-Ankabut, ayat 20).

Dan lebih khusus lagi, betapa manusia diseru untuk memikirkan apa yang dalam dirinya seperti firman Allah dalam surat adz-Dzaariyaat:

) ن صْبت َفأ ْمكسفْ أ يف

21

)

Artinya: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan” (QS : Az-Zariyat, ayat 21).

Demikianlah sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diturunkan di sini sebagai contoh tentang ajakan atau seruan kepada manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memikirkan alam raya ini yang terbentang di hadapannya dan juga segala isinya karena dapat menghantarnya kepada keyakinan tentang wujud Allah Swt.

Dalil pengalaman batin, dalil kedua yang paling berkesan tentang adanya Allah ialah dalil yang berkaitan dengan jiwa atau batin manusia. Dalam jiwa manusia terdapat kesadaran tentang adanya Allah, sehingga ia merasa lebih dekat kepada-Nya terutama pada saat-saat tertentu.

Pengertian manusia dengan kesadaran batinnya lebih dekat kepada Allah daripada dirinya dapat dilihat dan dirasai pada saat dia menghadapi suatu kesulitan besar dalam hidupnya atau dalam situasi musibah yang sedang menimpanya. Pada saat ia menghadapi musibah atau bencana, maka kesadarannya akan wujud Allah lebih terang dan lebih kuat dalam diri atau jiwanya daripada kesadarannya kepada dirinya sendiri. Pada saat itu ia mulai berdoa dan memohon bantuan Allah bagi keselamatan diri dan keluarganya yang dicintai dari musibah yang sedang menimpanya, walaupun ia barangkali sebelum itu tidak mengakui adanya Allah. Dengan sebab musibah itu, batinnya tergugah kepada iman, sehingga kesadarannya kepada wujud Allah lebih terang dan lebih diyakini. Memang kita sering menjumpai adanya sebagian orang yang melupakan Allah pada waktu ia berada dalam kemewahan hidup atau dalam kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau lain-lain sebagainnya, sehingga telah menyebabkan


(34)

timbulnya semacam keangkuhan dalam batin atau jiwanya yang dapat menutupi hakikat dirinya. Dalam al-Qur’an keadaan orang-orang seperti ini dijelaskan dalam firman Allah, surat ar-Rum:

ٌقي ف ا إ ًة ْح هْنم ْم قا أ ا إ همث هْيلإ نيبينم ْم هب اْ عد ٌ ض اهنلا ه م ا إ

ن ك ْشي ْم ب ب ْم ْنم

) 33 )

Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeruTuhannya dengan kembali(bertobat) kepadan-Nya, kemudian apablia Dia member sedikit rahmat-Nya kepada mereka, tiba-tiba sebagian mereka menyekutukan Allah” (QS : Ar-Rum, ayat 33)

Manakala manusia berada dalam keadaan yang gelap karena musibah yang menimpanya, maka pada waktu itulah kesadaran batiniah akan wujud Allah menjadi lebih terang dan lebih kuat. Dan Allah akan selalu memperingatkan manusia yang lalai atau lupa akan Allah dengan memberi ujian musibah, sehingga ia akan kembali kepada-Nya. Seolah-olah musibah atau bencana itu ibarat alat pembersih batin yang penuh dengan kekotoran maknawi, sehingga menjadi bersih seperti semula.

Dalil wahyu, adapun yang sangat jelas dan meyakinkan tentang wujud Allah adalah wahyu Ilahi. Kepada orang yang belum beriman, wahyu Ilahi yang telah mengambil bentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah suatu pertanda akan adanya Allah karena tidak ada orang yang mampu menirunya.

Kepada orang yang telah beriman, dalil ini tidak saja dapat mengukuhkan keimanan kepada Allah, tetapi juga dapat menjelaskan kepadanya sifat-sifat Allah yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupannya. Sebab, melalui wahyu Allah, manusia tidak hanya dapat mengetahui wujud Allah, tetapi juga sifat-sifat-Nya yang Maha sempurna(Ahmad Daudy, 1997 : 48-).

B. Tafsir dan Kajian Asma Allah

Asma Allah adalah dua kata bahasa arab Asma dan Allah. Dalam kamus arab-indonesia Prof Dr Mamud Yunus, Asma adalah jama’ dari

kata ismun (sammuu) yang berarti nama-nama (Mahmud Yunus, 1999 : 42). Sedangkan Allah adalah nama yang paling popular dari tuhannya umat Islam, jadi Asma Allah adalah nama-nama Allah.


(35)

Prof Dr. M Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut: Jalan menuju lebih dekat mengenal Allah, ada banyak konsep yang menunjukan kita untuk mengenal Allah, di antaranya adalah dengan akal, karenanya di dalam Al-Qur’an tidak ada pembahasan tentang wujud tuhan, karena hal itu adalah aksioma. Orang yang tidak meyakini wujud tuhan maka hatinya akan galau dan gelisah.

Namun kemampuan akal ini terbatas untuk mengenal Allah, yang terpenting jangan melampaui batas sampai ingin mengenal Zat-Nya, karena hal ini dipastikan tidak akan mampu. Seperti kita melihat matahari atau bulan, apakah yang kita lihat itu zat matahari dan bulan, tidak, yang kita lihat justru sebenarnya adalah pantulan dari sinar matahari dan bulan.

Oleh karena itu, cukup bagi kita mengenal Allah dengan cara memikirkan ciptaan-Nya, sebagaimana Sabda Nabi Saw. (Tafakkaru fi al-khalqi Allah wala tafakkaru fi al-dzati Allah) yang artinya, “Berpikirlah

tentang ciptaan-Nya dan jangan kalian berpikir tentang Dzat-Nya”. Karena memang kita tidak mungkin akan sampai pada Dzat Allah. Memikirkan ciptaan-Nya saja sungguh mengagumkan dan bahkan tidak sampai pada hakikat ciptaan-Nya. Jadi cukup dengan melihat bekas-bekas yang ditinggalkan Allah di alam semesta ini untuk menunjukkan eksistensi Tuhan.

Akan tetapi, kita perlu kenal tuhan, kita disuruh patuh dan untuk itu perlu kenal, bahkan kita disuruh cinta itu perlu kenal, maka Allah memperkenalkan diri-Nya, Aku itu wujud. Aku itu begini dan begitu.

Pengenalan Allah terhadap diri-Nya kepada kita itu unik, keunikannya karena keterbatasan kita dan tidak keterbatasan Dia. Allah seringkali memperkenalkan nama dan sifat-Nya dalam Al-Qur`an dengan hal yang dikenal nalar kita, bahwa Dia Maha Mendengar, Melihat dan lain-lainya, tapi harus kita yakini bahwa mendengar dan melihat-Nya Allah berbeda dengan mendengar dan melihatnya kita yang penuh keterbatasan. Sehingga nama dan sifat Allah itu jangan kita pikir materinya, berarti Allah memiliki telinga dan mulut, hal itu mustahil kita katakan, karena Allah tidak bertempat dan bukan materi.

Setelah Allah memperkenalkan nama dan sifat-Nya, Allah juga menegaskan bahwa Dia laisa kamitslihi syai`un (tidak ada sesuatupun yang seperti seperti-Nya). Yang seperti dengan seperti-Nya saja tidak ada, apalagi yang sama seperti-Nya.

Allah memperkenalkan diri-Nya, jika kita merujuk kepada Al-Qur`an, Allah memperkenalkan diri-Nya pertama kali disurah Iqra`:

) قلخ هلا كب مْساب ْأ ْقا

1

) قلع ْنم ناسْ ْْا قلخ )

2

) ْك ْْا كُب ْأ ْقا )

3

)

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamnu yang


(36)

Bacalah, dan Tuhamnulah Yang Maha Mulia” (QS : Al-‘Alaq, ayat 1-3).

Ada dua sifat Allah di sini, khalaq dan akram, dua nama itu yang pertama diperkenalkan oleh Allah. Memang ada kata Rabb, apa artinya rabb. Kita ambil contoh, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Artinya, ini ada dua sifat Allah, dan begitu juga Rabb itu Tuhan yang memelihara, melihat, mendengar, sifat itu bisa ada pada sifat pada manusia, tetapi ada sifat yang tidak mungkin ada pada kita, ambil misalnya, sifat Keesaan-Nya dan Wujudnya Langgeng.

Ada sifat-sifat Allah yang melekat pada diri-Nya, tapi tidak bisa menyentuh makhluk, meski ada juga sifat-sifat-Nya yang menyentuh makhluk. Hal itu terdapat dalam sifat zat dan sifat perbuatan-Nya. Jadi, yang mana lebih luas, Allah atau Rabb, karena Allah qudus, Allah wahid, Allah razzaq, semuanya itu menunjukkan bahwa Allah lebih luas daripada Rabb. Rabb hanya berkaitan dengan sifat af„al Allah.

Kita kembali ke bahasan tentang Allah. Dia memperkenalkan diri-Nya, khalaq dan akram, kalau di asmaul husna sesuai dengan Firman Allah:

ا ب عْداف ىنْسحْلا ءا ْس ْْا هَ

)

180

)

Artinya: “Dan Allah memiliki Asma‟ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma‟ul Husna” (QS : Al-A’raf, ayat,180).

Begitu juga yang diriwayatkan dalam satu riwayat bahwaAsma‟ul

Husna itu ada 99:

ةهنجْلا لخد اهاصْحأ ْنم اً حا هَإ ٌةئام اً ْسا نْيعْست ًةعْست ىلاعت َ هنإ

Artinya: “Sesunggunya Allah itu memilki 99 nama, siapa yang

ahshaha (mengetahuinya secara benar), maka dia masuk surga”

Banyak orang salah dalam memahami kata ahsha. Kata ini berarti mengetahui secara rinci, jadi bukan hanya sekedar mengahapalnya satu demi satu sampai 99. Sebab kalau hanya sekedar meyebutkan jumlahnya hingga menghapalnya, maka ada binatang yang bisa melakukan itu semua, tetapi tidak ada binatang yang bisa memahaminya. Oleh karena itu, kita harus lebih tinggi dari sekedar menghapalnya, yaitu memahaminya secara mendalam dan rinci.


(1)

173

Abbas Mahmud al-'Aqqad, al-Insan fi al-Our’an al-Karim (Kairo: Dar al-Islam, 1973), .

Abdullah, Yatimin. 2007. StudiAkhlakdalamPerspektif Al-Qur’an. Jakarta :Amzah.

Abdul Razak, Mustafa. Tahmid Li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Lajnahwa at-Thalifwa- AttarjamahwaNasyir, 1959,

Abd Al- ‘Aziz Al –Muhammad As- Salman, Tanya Jawab Masalah Aqidah, (Jakarta:Binamenteng Rayaperdana,1986), cet. 1. .

Abi al-Fida Ismail ibn Katsir al-Qurasyi al-damasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I (Makkah al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Tijariyah, 1986),

Abu Abdullah bin Muhammad Ismail al- Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 1(Saudi

Arabia : daratul Buhuts Ilmiah wa Ifta' wa ad-Dakwah wa al-Irsyad, t.t),

Abu Bakarjabir Al-Zairi ,Ensiklopedia muslim minhajul muslim, Islam kaffah.2003

AchmadCharrisZubair,KuliahEtika, (Jakarta, RajawliPers, 1980) cet II, hlm 13 Ahmad Daudy, KuliahAkidahIslam (Jakarta: BulanBintang,

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maragy, Jilid II (Mesir: Dar al-Fikr, tp. th.),

Ahmad Supadie, Didik, PengantarStudi Islam, Jakarta: RajawaliPers, 2011 Alexander Paulus, Your Thinking Ditermines Your Sincess, Jakarta, Gramedia, 2010,

Ali bin As Syyid Al-Wahifi, Abu Abdurrahman, QadhadanQadar, cet. Pertama, Jakarta Selatan;PustakaAzzam, 2005, .

Aljazairi, ThahiribnShaleh, JawahirulKalamiyah, trj. ThahiribnAbdRahman, Surabaya: Al-Hidayah

Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al HaroniIbnuTaimiyah, hal. 8, Darul ‘Aqidah, cetakanpertama, tahun 1426 H


(2)

174

Anwar, Rosihon. 2010. AkhlakTasawuf.Bandung :CV.PustakaSetia.

AqowilutsTsiqootfiiTa’wilil Al Asma’ wa Ash Shifaatwalayat Al MuhkamatwalMutasyabihaat, Mar’i bin Yusuf Al Hambali Al Maqdisi,

Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, hal. 234, MuassasahArRisalah,

cetakanpertama, 1406 H.

Ash-Shidieqy, Tengku M. Hasbi.Sejarah Dan PengantarIlmuTauhid/kalam. PT. Pustaka Putra.Semarang :1999,

As-Syafii, Moh.Nawawi, NurudDhalam, Surabaya: Al-Harhttp://

As, Asmaran. 1994. PengantarStudiAkhlak.Jakarta :PT.RajaGrafindoPersada. DawamRaharjo, InsanKamil, KonsepManusiaMenurut Islam, (Jakarta, Tempret, 1987),

,Depertemen Agama, Al-Qur’an danTerjemahnya, Jakarta, Departemen Agama, 1999.

Syahid Muammar Pulungan, ManusiaDalam Al-Qur’an, (Surabaya: PT. BinaIlmu, 1984)

Mahmud Suyuti, Pendidikan agama islam, sahabat ilmu, kurikulum 1994 Dusar, Bakri. TauhiddanIlmuKalam.IAIN IBP Press. Padang: 2001, GholibAchmad, TeologiDalamPerspektif Islam, UIN Jakarta Press. 2005, GholibAchmad, TeologidalamPerspekstif Islam, (UIN Jakarta Press, Cet.

Kedua, 2014,

Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (IlmuKalam). BulanBintang. Jakarta: 2001, HarunNasution, Islam Ditinjau Dari BerbagaiAspeknyaJilid I, (Jakarta? UI-Press,2013),

HarunNasution, TeologiIslam :Aliran-aliranSejarahPerbandingan, Jakarta, UI Press, 1986,

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II,

Malik Ahmad, TauhidMembinaPribadi Muslim dan Masyarakat, (Jakarta: Al-Hidayah, 1980 M), cet. 4.

IbnuQayyim Al-Zauziyah, KeajaibanHati, Jakarta, Pusataka Azzam, 1999, cet 1

Ibrahim Madkur, al-Mu’jam al-Falsafi (Kairo: Haiat Ammar Li

al-Syu’un al-Mathba' al-Amiriyat,1979), h. 120. Lihat juga Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnany, 1979), Juz II,


(3)

Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ajib al-QalbKinya al-Sa’adah,terjemah K.H.A. Mustafa Bisri,(Surabaya : Pustaka Progresis,2002)

Jalal Musa, Nasyat al-Ash’ariyahwaTathawwaruha,(Bierut: Dar al-Kitab,1975),

Jaya, Yahya ,Teologi Agama Islam Klasik. Angkasa Raya. Padang : 2000, 56 Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, 1990, Kairo: Maktabah al-Da’wah

al-Islamiyah.

Kholis, Nur,Pengantar Studu Al-Qur’an dan Hadits,2008, Yogyakarta:Sukses Offset.

K.Bertens, Etika, (Jogyakarta, Kanisius, 2015), cet III,

Laksana, Indra, Al-qur’anHijazTerjemahdanUshulFiqh, Surabaya; Syaamil

Qur’an, 2011.

Mukhtashor Al ‘Uluwlil ‘AliyyilGhofar, Al HafizhSyamsuddin Adz Dzahaby, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 38, Al Maktab Al Islami, cetakankedua, 1412 H.

Mahmud Asy-Syafrowi, MengundangMalaikatkeRumah, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2010),

Mahmud, Latief, TauhedIlmuKalam, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006

Mohammad, Bambang Irawan S., Fungsi Al-Qur'an.

Muhammad Abduh, RisalahTauhid, Jakarta, BulanBintang, 1965,

Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazwa al-‘Alam al -Qur’aniyyat(Kairo: Dar al-FikrArabi, 1968),

Muhammad TaqiMishbahYazdi,FilsafatTauhid,(Bandung:Arasy,1424 M), cet. 1.

Muin, M. Tharir A IkthtisarIlmuTauhid. Yogyakarta, 2001,

Mustafa Zahri, KunciMemahamiTasawuf, (Surabaya, BinaIlmu, 1976), h. 121 M. Ismail Ibrahim, Mu’jam, .

M. QuraishShihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, PT MizanPustaka, cet XIV, 2003

M.m.Syarif, Para Filosuf Muslim, (Jakarta, Mizan, 1993), Nasution, Asas-asasKurikulum(Jakarta: BumiAksara, 1994), cet. I,


(4)

176

Penjelasanini kami sarikandariTaqributTadmuriyah, Syaikh Muhammad binSholih Al Utsaimin, hal. 45-46, DarulAtsar, cetakanpertama, tahun 1422 H.

Hamka, FilsafatKetuhanan( JawaTimur: C.V Karunia, 1985),

QamarulHadi AS, MembangunInsanSeutuhnya; SebuahTinjauanAntropologi,( Bandung, Al-Ma`arif, 1981),

Rif’atSyauqiNawawi, KepribadianQur’ani, (Jakarta :Amzah, 2001),

Rif’atSyauqiNawawi, RasionalitasTafsir Muhammad Abduh: KajianMasalahAkidahdanIbadat, (Jakarta: Paramadina, 2002),.

RohimanNotowidagdo, IlmuBudayaDasarBerdasarkan Qur`an dan Al-Hadits, (Jakarta, Raja GrafindoPersada, 1996)

Sabiq, Sayyid, Aqidah Islam, trj. Moh.AbdaiRathomy Bandung: Penerbitdiponegoro, 2001

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung; Mizan Media Utama, 2013,

SlametWiyono, ManejemenPotensidiiri ,Jakarta,Grasisindo, 2008,

Syauqi Nawawi. Rif’at.,Kepribadian Al-Qur’an,2011,Jakarta: AMZAH. SyekhHasan Al-Banna, AqidahIslam, alihbahasa: Drs M. HasanBaidaie

(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983),

Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari’ah al-Islamiyah fi Bilad al-Arabiyah, 1990, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah.

TaqributTadmuriyah,

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu TauhidatauIlmuKalam, (Semarang: PustakaRizki Putra, 2009),

Tim PengembangIlmuPendidikan UPI,IlmudanAplikasiPendidikan,Bandung, Imtima, 2010

W.J.S Poerwadarminta, KamusUmumBahasa Indonesia, (Jakarta, BalaiPustaka, 1991), cet XII,

Zainudin, IlmuTauhidLengkap, (Jakarta: RinekaCipta. 1996), ZakiahDerajat, Peskhologi Agama, Jakarta, BulanBintang, 1963


(5)

Drs. H. Achmad Gholib, M.A., lahir di Purworejo pada tanggal 15 Oktober 1954. Setelah menamatkan Madrasah Wajib Belajar(MWB) tahun 1966, ia memasuki Pendidikan Guru Agama (PGA) Al-Ma’arif II Purworejo 4 tahun dan lulus tahun 1970, langsung melanjutkan pada PGA Negeri Purworejo 6 tahun dan lulus tahun 1972. Gelar Sarjana Muda Pendidikan Agama (BA) diperoleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Purworejo pada tanggal 3 Maret 1976 dengan judul Risalah “Sistem Pengajian di Desa Sucen Juru Tengah dalam Mensukseskan Pembangunan Mental Spiritual”. Gelar Sarjana Lengkap (Drs) diperolehnya tahun 1989 pada jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat An-Nisa’ ayat 59 Bagi Remaja Komp. Departemen Agama Bambu Apus” . Kemudian ia melanjutkan ke Program Magister (S2) Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), gelar Magister Agama (MA) Konsentrasi Pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1998 dengan judul thesis “Keudukan Akal dalam Pemikiran Teologi Harun Nasution” .

Selepas memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) disamping mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah mulai 15 September 1976 sampai 30 September tahun 1979, selama 2 tahun menjadi Tenaga Kerja Sukarela (TKS) BUTSI di desa Pematang karangan Hulu, Kecamatan Tapin Tengah, Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, dengan tugas pelopor dan penggerak pembangu-nan dan pembaharuan di pedesaan khusus sebagai dinamisator kegiatan remaja.

Pada tahun 1980, menjadi Pegawai Negeri Sipil(PNS) sebagai Tenaga Administrasi bagian Registrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dijalaninya dengan penuh keyakinan, ketekunan dan semangat tinggi untuk melanjutkan studi itupun terwujud. Dengan penuh kesabaran kare-na berbagai aturan dan peraturan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka baru pada tahun 1987 memperoleh


(6)

kesempatan kuliah di luar jam dinas (sore dan malam hari) pada Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta Jurusan Pendidikan Agama. Sepuluh tahun kemudian mengikuti kuliah program Magister (S2) Studi Islam di Universitas yang sama dengan konsentransi Pemikiran Islam.

Setelah selesai sarjana lengkap pada tahun 1989, ia juga mendapat kesempatan mengajar sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta) dari tahun 1989-2002. Pada tahun yang sama ia bertuga sebagai Tutor Program Penyetaraan GPAI SD/MI di Satgas Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Pada tahun 1998-2003 ia menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Dan Sistem Informasi UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Disamping itu, juga tercatat sebagai dosen tidak tetap Fakultas Sain dan Teknologi di Universitas yang sama. Selama dua periode ( Juni 2004 s/d juni 2012) menjadi Pwmbantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif hidayatullah Jakarta.

Dan dari September 1993 sampai dengan sekarang sebagai Lektor Kepala Pada Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai seorang dosen banyak artikel yang diterbitkan pada jurnal ilmiyah yang diterbitkan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta seperti Mimbar: jurnal Agama & Budaya, Narasi, Harkat, dan Didaktika Islamika.

Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain : Rekontruksi Pemikiran Islam, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2003, Teologi dalam Perspektif Islam. UIN Jakarta Press, 2004 Cet, I dan Cet II revisi, 2014, Studi Islam (Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al-Hadits dan Sejarah Peradaban Islam), Jakarta, Faza Media, 2005 Cet I, dan 2006 cet II, Studi Islam II (Akidah Akhlak), UIN Jakarta Press, 2006, Islam dan Kesehatan(Upaya memahami Islam dan Kesehatan secara Integrasi), UIN Jakarta Press, tahun 2007, (Bersama Prof Dr.Abudin,MA dan Fauzan, MA),Fikih Kedokteran dan ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, tahun 2008, Filsafat Islam. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, tahun 2008. Dan tulisan dalam buku ini Akidah Akhlak dalam Perspektif Islam tahun 2016 insyaallah. Amiiien.