Standar Baik dan Buruk.

137 suatu realita atau fakta yang ada di hadapan kita dapat dimaknai secara berbeda bergantung dari sudut pandang mana kita melihat realitas atau fakta tersebut. Mindset terbentuk dari keyakinan dan nilai dasar yang dianut seseorang. Artinya, mindset atau paradigm sangat berhubungan dengan ideology dan latar belakang hidup yang dilalui seseorang Alexander Paulus, 2010 : 72. - Ilmu Pengetahuan; dengan potensi akal pikiran manusia, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengelola alam semesta serta memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan faktor-faktor lain yang saling mempengaruhi. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi pola pikir manusia adalah akidah keimanan, falsafah hidup, hati nurani dan segala bentuk nafsunya, imajinasi, politik, budaya dan kehidupan sosial. Berpikir akan menghasilkan hasil pikir, maka pada giliran selanjutnya berpikir akan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek ekonomi, keuangan, politik, sosial, keamanan, dan budaya. Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berpikir manusia, telah memberi pemahaman-pemahaman baru tentang apa yang disebut benar dan salah. Meski pada outputnya, hasil pikir manusia ini dapat mengarah pada hasil yang positif atau negative, tergantung dari proses berpikir manusia itu sendiri Slamet Wiyono, 40. - Intuisi, merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu yang baik dan buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Intuisi dipandang sebagai sebuah kemampuan secara kodrati dapat memberi instrument yang membedakan baik dan buruk. Kekuatan intuisi berakar dan tertanam dalah tubuh setiap individu, tetapi dapat berbeda antara satu dengan lainnya bergantung pada perbedaan masa dan meliu Tim UPI, h 25. - Evolusi; benar dan salah dari teori evolusi dipandang berhubungan dengan perubahan zaman. Mereka mempercayai evolusi menilai bahwa akhlak harus ikut berkembang sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya. Meski pendapat ini dapat dibenarkan, tetapi masyarakat tetap harus memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. - Dalam Islam, ukuran baik dan buruk, bersiafat absolut, tetap tidak berubah, karena apa yang termaktub dalam al- Qur’an dan al-Hadits, menjadi wajib untuk dilakukan. Apa yang wajib dan apa yang haram dengan tegas dijelaskan oleh al- Qur’an dan Hadits. Adapun hal-hal yang kemudian berkembang setelah masa Nabi Saw. tergantung pada sikap atau penilaian ulama tentang perbuatan tersebut. Atau, ulama dapat melakukan analogi terhadap hukum Islam yang berkembang di 138 masa Nabi, dengan mempertimbangkan baik dan buruknya, mudharat dan maslahah yang dihasilkan dari perilaku tersebut.

C. Peran Daya-Daya Ruhani dalam Menentukan Baik dan Buruk.

Dalam menentukan baik dan buruk, bagi umat Islam melalui daya-daya ruhaninya semestinya tidak sulit, karena perbuatan baik dan buruk dalam Islam sudah ada sumbernya yang autentik, yaitu Al- Qur’an dan Hadits. Namun demikian, dalam perkembangannya karena tidak semua perbuatan baik dan buruk terdapat dalam al-Qur ’an dan Hadits, apalagi sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat, begitu juga para shahabat, yaitu generasi-generasi awal umat yang bertemu langsung dengan Nabi, telah wafat, maka peran sentral sumber hukum atau perbuatan yang dapat dijadikan pedoman bahwa perbuatan itu baik dan buruk adalah para Ulama, karena ulama adalah pewaris Nabi dan auliya’. Akan tetapi, karena para ulama juga manusia biasa yang mungkin tidak lepas dari khilaf dan salah, maka dapat dipengeruhi faktor- faktor lain dalam menimbang baik dan buruknya suatu perbutan. Daya-daya ruhani manusia yang berperan dalam menentukan perbuatan baik dan buruk adalah Al-Nafs Nafsu, Al-Aql Akal, dan Al-Qalb Hati. Hal ini dapat kita perhatikan firman Allah Swt. sebagai berikut : ْفَ ْْاَ َراَصْبَ ْْاَ َعْ هسلا مكَل َلَعَجَ اً ْيَش َنو َلْعَت ََ ْمكِتاَ همأ ِنوطب ْنِم ْمكَجَر ْخَأ هََ َ َدِ َن ركْشَت ْمكهلَعَل 18 Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur” QS : An-Nahl, ayat 78. Bersyukur di sini dapat diartikan bahwa manusia dapat memanfaatkan semaksimal mungkin pendengaran, penglihatan dan hati untuk memperoleh informasi atau pengetahuan dari luar diri manusia, baik dari Tuhan maupun alam sekitarnya untuk kepentingan perkembangan manusia itu sendiri. Dan bagi manusia semua informasi dapat diterima melalui panca indra sebagai jendela informasi, yaitu pendengaran, penglihatan, pikiran dan hati, yang kemudian dikembangkan menjadi pengetahuan. Di samping itu, manusia dalam kesehariannya dapat dipengaruhi oleh Ilham, yaitu petunjuk bagi manusia yang dikehendaki dari Allah, juga dapat dipengaruhi sifat waswas, sebuah godaan yang bias menjadikan manuisa ragu dalam segala hal. Untuk itu, bagaimana sebenarnya daya-daya ruhani manusia dalam memutuskan perbuatan itu baik dan buruk akan diurai berikut ini : 139 1. Al-Nafs, dalam kebanyakan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dartikan dengan jiwa atau diri manusia itu sendiri, padahal yang sebenarnya al-Nafs adalah menunjukan dua maksud, yaitu hawa nafsu dan hakekat manusia itu sendiri diri manusia. a. Hawa nafsu adalah nafsu yang mengarah kepada sifat tercela manusia yang akan menyesatkan dan jauh dari Allah. Inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al- Baihaqi dari Ibnu Abbas : “Musuhmu yang terbesar adalah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu, ” sebagaimana firman Allah : ميِحَر روفَغ ي بَر هنِإ ي بَر َمِحَر اَم هَِإ ِءوُسلاِب َراهمَ َْ َسْفهنلا هنِإ يِسْفَن ئ رَبأ اَمَ 55 Artinya : “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang deberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang ” QS : Yusuf ayat 53. Dalam ayat lain Allah berfirman : ِهَ ِليِبَس ْنَع َكهلِضيَف َوَ ْلا ِعِبهتَت َََ Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan kamu dari jalan Allah ” QS : Shaad, ayat 26. Diri manusia, apabila tenang jauh dari goncangan hawa nafsu dan syahwat dinamakan nafsu mutmainnah, sebagaimana dalam firman Allah: ةهنِ َ ْط ْلا سْفهنلا اَ تهيَأ اَي 11 ًةهيِضْرَم ًةَيِضاَر ِك بَر ىَلِإ يِعِجْرا 18 Artinya : “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya ” QS : Al-Fajr, ayat 27-28. Namun, diri manusia yang tidak sempurna ketenangannya, yang mencela ketika teledor dari menyembah Tuhannya disebut nafsu lawwamah, semisal Firman Allah: ِةَماهوهللا ِسْفهنلاِب مِسْقأ َََ 1 Artinya : “dan kami bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali diri sendiri ” QS : Al-Qiyamah ayat, 2.