Nafsu. Daya-Daya Rohani sebagai konsekwensi Tugas Manusia.

132 estetika. Pengaruh yang ditimbulkan adalah budi luhur, jiwa yang suci, tata susila, sabar, pengorbanan, ridha, dan menciptakan keindahan. Pada prinsipnya, nafsu selalu cenderung pada hal yang sifatnya keburukan, kecuali nafsu tersebut dapat dikendalikan dengan dorongan- dorongan yang lain, seperti dorongan intelek akal, dorongan hati nurani qalb yang selalu mengacu pada petunjuk-Nya. Tanpa kendali akal dan hati, nafsu akan mendominasi kehidupan manusia, yang bertahta sebagai tuhannya. Demikianlah gambaran tentang manusia yang memiliki unsur materi dan immateri. Semua itu merupakan karunia yang luar biasa yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta. Hal ini merupakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan- Nya, yaitu menciptakan manusia dengan sebaik-baik penciptaan. Dengan penciptaan manusia yang begitu sempurna sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu manusia tersusun dari dua unsur: materi dan immateri, jasmani dan rohani. Unsur materi tubuh manusia berasal dari tanah dan roh manusia berasal dari substansi immateri. Tubuh mempunyai daya-daya fisik jasmani, yaitu mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, dan daya gerak. Roh mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala, dan daya rasa yang berpusat di hati. Dan dengan daya nafsu memiliki ghirahkemauan melakukan suatu yang buruk maupun yang baik, apabila manusia dengan akal dan hatinya dapat mengelola nafsunya, maka manusia akan menjadi taat, percaya dan patuh terhadap apa yang menjadi tugas dan fungsi sebagai khalifah di bumi. Lebih lanjut manusia dengan kesempurnaan penciptaannya baik jasmani dan daya-daya ruhaninya akan sanggup melaksanakan sebuah misi besar tugas manusia seperti firman Allah : ن بْعيل هَإ ْ ْْا هنجْلا ْقلخ ام 56 Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-K u” QS: Az-Zariyat, ayat 56. Begitu juga manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain yang diciptakan Allah, yaitu dengan daya-daya ruhani yang lengkap seperti ruh yang berfungsi menghidupkan, hati dengan fungsi memberi pertimbangan dan memutuskan dengan arif bijaksana dan akal berfungsi sebagai daya pemikir, penalar, mengindentifikasi dan mengelola daya nafsu untuk didorong kepada nafsu yang tenangmutmainnah apalagi bila dilengkapi dengan daya khatir atau cetusan hati yang mengarah kepada kebaikan. Dengan demikian, pantaslah manusia dengan kesempurnaan daya ruhani menjadi khalifah di bumi ini, dan akan sanggup untuk mengelola dan memimpin jagad raya ini. Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah : 133 ًةفيلخ ضْ ْْا يف ٌلعاج ي إ ةكئَ ْلل كُب اق ْ إ 30 Artinya : “Dan Allah berkata kepada para Malaikat Aku akan menjadikan pemimpin di dunia ini ” QS : Al-Baqarah, ayat 30. 133

BAB X DINAMIKA RUHANI KETIKA MENETAPKAN BAIK DAN BURUK

A. Baik dan Buruk. Pengertian baik dan baruk. Dalam Bahasa Arab, kata baik dapat ditemukan enam istilah : 1. Al-Hasanah. Al-hasanah, sebagaimana dikemukakan oleh Ar-Raghib Al- Asfahani 2008 : 133, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Selanjutnya, beliau membagi hasanah itu kepada tiga bagian, yaitu dari segi akal, hawa nafsu dan pancaindera. Yang termasuk hasanah, misalnya keuntungan, kelapangan rezeki dan kemenangan. 2. At-Thoyyibah. Ar-Roghib 2008: 349 menjelaskan bahwa ath-thoyyibah itu khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberi kelezaran kepada panca indra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. 3. Khairan. Ar-Roghib 2008: 181 juga menjelaskan bahwa khairan itu digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. 4. Karimah. Ar-Roghib 2008: 79 menerangkan bahwa karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. 5. Mahmudah. Ar-Roghib 2008: 147 mengemukakan bahwa mahmudah digunakan untuk menunjukkan suatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai Allah Swt. 6. Al-birr 134 Ar-Roghib 2008: 50 juga menjelaskan bahwa al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang digunakan sebagai sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya. Selanjutnya, dapat digambarkan bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan menyukai bagi manusia. Sedangkan buruk adalah sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Dengan demikian, yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia. Apabila dianalisa hakikat baik dan buruk dapat diadopsi pendapat para filosof dan teolog yang sering membahas tentang arti baik dan buruk, serta tentang pencipta kelakuan tersebut, yakni apakah kelakukan itu merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, atau di luar kemampuannya? Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki dua potensi kelakuan, yaitu kelakuan baik dan buruk, seperti dijelaskan dalam Al- Qur’an antara lain : ِنْيَد ْجهنلا اَنْيَدَهَ 99 Artinya: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan kebajikan dan kejahatan ” QS : Al-Balad, ayat 10. Disebutkan juga dalam ayat yang lain : اَهاهوَس اَمَ سْفَنَ 1 اَهاَوْقَتَ اَهَروجف اَ َ َ ْلَأَف 8 Arinya: “Jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami jiwa manusia kejahatan dan ketakwaan” QS: As- Syams, ayat 7-8. Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, tetapi ditemukan isyarat-isyarat dalam Al- Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. 135 Secara alamiah manusia itu positis fitrah, baik secara jasadi, nafsani kognitif dan afektif maupun ruhani spiritual. Komponen terpenting manusia adalah qalbu. Prilaku manusia tergantung pada qalbunya. Dengannya manusia dapat mengetahui sesuatu di luar nalarnya, cenderung kapada yang benar termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran, dan memiliki kekuatan yang mempengaruhi benda dan peristiwa. Secara implisit Al- Qur’an menginformasikan bahwa manusia memiliki tiga aspek pembentuk totalitas yang secara tegas dapat dibedakan, tapi secara pasti tidak dapat dipisahkan. Ketiga aspek tersebut adalah jismiyah fisik, biologis, ruhaniyah spiritual, transcendental dan nafsiah psikis, psikologis. Jismiyah, merupakan aspek material yang subtansinya sebenarnya punah mati. Kehidupannya adalah karena dimotori subtansi lain, yaitu nafs dan ruh. Dengan kata lain aspek jismiyah ini bersifat deterministik-mekanistik. Struktur ruh memberikan ciri khas dan keunikan tersendiri bagi psikologi Islam. Ruh merupakan subtansi psikologis manusia menjadi esensi keberadaannya. Demiakian ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi diri. Sampai saat ini belum ada yang dapat memahami hakikat ruh secara pasti, karena ruh merupakan sebuah misteri ilahi. Dalam Al- Qur’an dijelaskan bahwa ruh merupakan urusan atau hanya dipahami oleh Allah. Manusia sama sekali tidak memahaminya kecuali sedikit QS. Al-Isra : 85. Bersifat spiritual karena ia merupakan potensi luhur batin manusia. Fungsi ini muncul dari dimensi al-ruh atau spiritual sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat ilahiyah dan memiliki daya utnuk menarik dan mendorong dimensi-demensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas khas kemanusiaan berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Nafs memiliki esensi gabungan anatara jasad dan ruh. Apabila ia berorentasi pada jasad maka tingkah lakunya menjadi buruk dan celaka, tetapi apabila mengacu kepada ruh maka kehidupannya menjadi baik dan selamat. Dengan kata lain, nafs dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk. Indikator-indikator terhadap prilaku baik dan buruk, dituturkan misalnya, seperti dinyatakan oleh Al-Hasan: “Akhlak yang baik adalah menghadapi manusia dengan wajah cerah, memberi bantuan setiap kali diperlukan, serta menjaga diri sendiri dari pada menggangu orang lain”. Menurut Al- Washithiy : “Akhlak yang baik adalah keadaan seseorang yang tidak mau berkata ataupun diajak bertengkar oleh siapapun, disebabkan ma’rifat-nya yang mendalam dengan Allah Swt”. Syah Al-Karmaniy berkata: “Akhlak yang baik adalah mencegah diri sendiri daripada mengganggu orang lain, serta bersabar dalam melaksanakan kewajiban, betapapun beratnya”. Al-Washithy juga pernah berkata: “berakhlak baik adalah dengan membuat orang lain merasa puas, baik di kala sedang kesusahan maupu n kesenangan”. Sahl At-Tustariy pernah ditanya tentang akhlak yang baik, lalu ia menjawab: 136 “Sedikitnya, seorang yang berakhlak baik akan selalu tabah menghadapi kesulitan, tidak mengharapkan balasan atas apa yang dilakukannya, mengasihani orang yang melakukan kezaliman terhadapnya, dan memohonkan ampunan baginya serta mengasihinya”.

B. Standar Baik dan Buruk.

Standar adalah ukuran perhitungan, hal ini biasanya digunakan dalam menjelaskan definisi berat, jumlah atau juga angka. Baik dan buruk merupakan karakter, sehingga sifatnya abstrak dan sulit diukur dalam konten definisi. Cara yang paling mudah adalah melihat indikator dari baik dan buruk. Indikator ini diukur melalui sisi kepantasan yang basisnya adalah fitrah manusia. Meski banyak fihak yang meneyebutkan bahwa fitrah ini akan berkembang dengan perkembangan lingkungan dan zaman, tetapi tetap ada nilai-nilai universal yang diakui semua fihak sebagai sebuah dasar karakter manusia. Menurut para pakar pendidikan, ada hal-hal yang dapat dijadikan alat untuk melihat ukuran baik dan buruk, yakni : - Pengaruh adat kebiasaan; manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Adat istiadat melekat pada lingkungan dimana manusia tinggal. Kekuataan adat istiadat memberi hukum kepada manusia sebelum manusia tumbuh dan memahami lingkungannya. Adat istiadat menganggap baik bila mengikutinya dan menanam perasaan kepada mereka bahwa adat istiadat itu membawa kebenaran. Apabila seseorang melanggar adat istiadat yang berlaku, dia akan dicela dan dianggap keluar dari lingkungan yang seharusnya. Adat istiadat terbentuk dari a. pendapat umum yang diyakini oleh kebanyakan masyarakat di suatu wilayah; b. apa yang diriwayatkan secara turun menurun dari hikayat dan khurafat, dan dipercayai secara penuh oleh masyarakat setempat. Pemahaman terhadap adat istiadat ini biasanya terpatahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berhasil menemukan rasioanalisasi budaya dengan serta merta melepaskan kekuatan adat istiadat, karena dianggap tidak rasional dan logis. Akulturasi budaya, membawa pembaharuan terhadap adat istiadat yang berkembang. Akulturasi ini dapat memperbaharui adat istiadat atau sebaliknya menghapusnya. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI, 2007 : 24. - Paradigma dan Mindset; pengalaman ekternal kita, yaitu apa yang kita lihat secara sensori, akan menstimulasi pengalaman lain dalam dunia internal kita, pada pola pikir atau mindset kita. Mindset atau paradigma adalah sebuah pola, model, kerangka berfikir atau sudut pandang, yang digunakan untuk melihat dan memberi makna terhadap dunia di hadapan klita. Satu hal menarik tentang pola pikir ini adalah, bahwa 137 suatu realita atau fakta yang ada di hadapan kita dapat dimaknai secara berbeda bergantung dari sudut pandang mana kita melihat realitas atau fakta tersebut. Mindset terbentuk dari keyakinan dan nilai dasar yang dianut seseorang. Artinya, mindset atau paradigm sangat berhubungan dengan ideology dan latar belakang hidup yang dilalui seseorang Alexander Paulus, 2010 : 72. - Ilmu Pengetahuan; dengan potensi akal pikiran manusia, Allah memerintahkan manusia untuk berpikir dan mengelola alam semesta serta memanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Berpikir bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan faktor-faktor lain yang saling mempengaruhi. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi pola pikir manusia adalah akidah keimanan, falsafah hidup, hati nurani dan segala bentuk nafsunya, imajinasi, politik, budaya dan kehidupan sosial. Berpikir akan menghasilkan hasil pikir, maka pada giliran selanjutnya berpikir akan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, misalnya aspek ekonomi, keuangan, politik, sosial, keamanan, dan budaya. Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berpikir manusia, telah memberi pemahaman-pemahaman baru tentang apa yang disebut benar dan salah. Meski pada outputnya, hasil pikir manusia ini dapat mengarah pada hasil yang positif atau negative, tergantung dari proses berpikir manusia itu sendiri Slamet Wiyono, 40. - Intuisi, merupakan kekuatan batin yang dapat mengenal sesuatu yang baik dan buruk dengan sekilas pandang tanpa melihat buah dan akibatnya. Intuisi dipandang sebagai sebuah kemampuan secara kodrati dapat memberi instrument yang membedakan baik dan buruk. Kekuatan intuisi berakar dan tertanam dalah tubuh setiap individu, tetapi dapat berbeda antara satu dengan lainnya bergantung pada perbedaan masa dan meliu Tim UPI, h 25. - Evolusi; benar dan salah dari teori evolusi dipandang berhubungan dengan perubahan zaman. Mereka mempercayai evolusi menilai bahwa akhlak harus ikut berkembang sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya. Meski pendapat ini dapat dibenarkan, tetapi masyarakat tetap harus memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. - Dalam Islam, ukuran baik dan buruk, bersiafat absolut, tetap tidak berubah, karena apa yang termaktub dalam al- Qur’an dan al-Hadits, menjadi wajib untuk dilakukan. Apa yang wajib dan apa yang haram dengan tegas dijelaskan oleh al- Qur’an dan Hadits. Adapun hal-hal yang kemudian berkembang setelah masa Nabi Saw. tergantung pada sikap atau penilaian ulama tentang perbuatan tersebut. Atau, ulama dapat melakukan analogi terhadap hukum Islam yang berkembang di