Pengertian Iman Tafsir dan Kajian Mengenai Zat Allah

18 dengan hati yang penuh yakin. Dalam tahapan selanjutnya oleh para mutakallimin Abu al-Hasan al- Asy’ari setelah membenarkan atau tasdiq dan harus diikuti dengan tasmit, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat : mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya Jalal Musa, 1975 : 16, sehingga orang tersebut baru sempurna keimanannya dan mengamalkannya sebagai buah daripada iman. Lebih lanjut oleh golongan M u’tazilah iman itu harus ada tiga unsur, yakni membenarkan tasdiq, tasmit mengucapkan dengan lisan dan „amal bi al-arkan mengamalkan dengan perbuatan. Siapa Allah itu ? Allah, nama yang Maha Mulia, dari Zat yang Maha Suci, yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya Hamka, 1985 : 31. Ketahuilah bahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar daripada jangkauan akal manusia atau daripada pengetahuan alam fikiran manusia, sebab daya kemampuan akal itu terbatas bagaimana pun ketinggian pengetahuan yang dicapainya pasti terbatas pula. Tenaga listrik atau magnet adalah suatu daya kekuatan yang kita gunakan dan kita manfaatkan di dalam hidup ini, tetapi sedikit pun kita tidak mengetahui hakikatnya. Dan hingga kini tak seorang pun mampu menjelaskannya kepada anda betapa pun hebatnya akal fikiran orang itu. Bagi kita mengetahui hakikat sesuatu itu kurang bermanfaat; yang penting ialah apabila kita mengetahui barang sedikit daripada keistimewaan-Nya yang berguna bagi kehidupan kita. Banyak orang yang memperbincangkan Dzat Allah Swt., dan mereka tersesat. Perbincangan dalam hal itulah yang menyebabkan mereka tersesat, kacau dan berselisih karena mereka memperbincangkan sesuatu yang mereka tidak mengerti batas-batasnya dan tidak mampu mengetahui hakikatnya. Oleh sebab itulah maka Rasulullah Saw. melarang kita memikirkan Dzat Allah Swt., dan menyuruh kita memikirkan keadaan makhluk-Nya. Dalam hadis Nabi Saw. disampaikan yang artinya sebagai berikut : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa banyak orang yang memikirkan Dzat Allah Swt., lalu Nabi bersabda, “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu benar-benar tidak akan mampu melakukannya” Menurut Al- ‘Iraqi, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab “Hilyatul Auliya‟” dengan sanad yang lemah. 19 Al-Ashbihani meriwayatkannya di dalam kitab “Al-Targhib wa Tarhib” dengan sanad yang lebih shahih daripada itu. Juga seperti itu pula Abusy Syaikh meriwayatkannya. Bagaimanapun juga arti daripada hadis tersebut adalah benar shahih. Demikian itu bukanlah merupakan penghalang bagi kebebasan berfikir, bukan pengekangan dan bukan pula penyempitan lapangan akal, melainkan justru merupakan penjagaan bagi akal itu sendiri. Akal dilindungi agar supaya tidak sampai tersungkur jatuh ke dalam lembah kesesatan. Akal dihindarkan daripada usaha mencoba-coba mengatasi penyelidikan yang ia tidak mempunyai kelengkapan sarana-sarananya, di samping daya kemampuannya tidak memadai utuk memecahkannya betapa pun hebatnya kemampuan yang ada padanya. Oleh sebab itu, di dalam memahami kebesaran Allah Swt. hendaklah memusatkan segala perhatian dengan memikirkan keadaan makhluk dan berpegang teguh kepada sifat-sifat-Nya yang wajib Syekh Hasan Al-Banna, alih bahasa: M. Hasan Baidaie, 1983 : 15-17. 2. . Iman kepada Allah Beriman kepada Allah Swt. merupakan dasar dari iman. Dari ajaran asas ini timbullah bagian-bagian atau rukun-rukun iman yang lain. Beriman kepada wujud Allah adalah beriman kepada yang ghaib, dan beriman kepada yang ghaib memerlukan dalil-dalil yang rasional untuk membuktikan kebenaran keimanan itu. Dalam hal ini berbeda dengan kepercayaan tentang adanya hal-hal yang empiris karena dapat dibuktikan dengan sentuhan indera. Dalil-dalil tentang wujud Allah ada yang berdasarkan akal dan ada juga yang berdasarkan wahyu yang merupakan dalil yang lengkap bagi pengetahuan kita tentang Allah. Sebab, sesuatu yang ghaib pada dasarnya sangat sukar dapat dipahami oleh akal manusia yang terbatas, dan karena itu hanya Allah sendiri yang Maha Tahu akan diri-Nya. Dalil-dalil rasional dalam berbagai bentuknya mengenai wujud Allah telah pernah dibuat orang, terutama para filosof, dan ini merupakan warisan yang sangat berharga bagi umat beragama. Semua dalil itu menunjukkan kesepakatan mereka bahwa Allah itu ada dan Dia adalah pencipta dan pengendali alam semesta. Namun begitu, tidak semua orang lantas beriman begitu saja dengan hanya setelah mengetahui dan membaca dalil-dalil yang rasional itu. Betapa pun kuat dan logis dalil-dalil itu, tetapi iman itu hanya diterima oleh orang- orang yang memiliki kesiapan ruhani dan hidayah Ilahi disebabkan iman itu, pada hakikatnya, merupakan karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti halnya rezeki yang hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Adapun orang-orang 20 yang tidak memperoleh karunia dan hidayah iman itu dan karenanya tidak mengakui wujud Allah sebagai pencipta alam semesta, maka orang tersebut disebut sebagai orang kafir. Orang-orang yang semisal ini disebut dalam al- Qur’an, antara lain : ام ًَبق ءْيش هلك ْم ْيلع ا ْ شح ىتْ ْلا م هلك ةكئَ ْلا م ْيلإ انْلهز انه أ ْ ل ا اك ل هَ ءاشي ْنأ هَإ ا نمْ يل ن ل ْجي ْمه ثْكأ هنك 111 Artinya: “Dan sekalipun kami benar-benar menurunkan para malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara kepada mereka dan kami kumpulkan pula di hadapan mereka segala sesuatu yang mereka inginkan, mereka tidak juga beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui arti kebenaran ” QS: Al-An’am, 111. Dalam al- Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan wujud Allah dengan memberikan bermacam-macam dalil. Hal yang seperti ini tidak dijumpai dalam kitab-kitab suci agama yang terdahulu. Dalam kitab Taurat dan Injil tidak dijumpai satu ayat pun yag menunjukkan dalil wujud Allah. Seolah-olah kepercayaan kepada adanya Allah harus diterima begitu saja tanpa perlu adanya dalil atau penjelasan yang mengukuhkan kebenarannya. Kemungkinan hal yang seperti itu hanya sesuai dengan masa dahulu yang padanya kitab-kitab itu diturunkan. Pada masa itu, manusia hidup dalam situasi yang diliputi oleh berbagai khurafat dan mitos, daya penalaran mereka masih belum meningkat. Antara kenyataan dan khayalan atau dongeng belum jelas batasnya dalam pemikiran. Kebenaran tidak hanya terdapat dalam kenyataan empiris tetapi juga dalam cerita yang bersifat mitos. Tentu saja kitab- kitab suci yang seperti itu hanya sesuai dengan zaman itu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Dalam zaman kini, orang sudah lebih rasional dalam keimanan dan kehidupan dan tidak begitu mudah percaya kepada hal-hal yang ghaib. Al- Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. yang hidup dan berdakwah dalam kalangan bangsa Arab. Bangsa Arab ini mempunyai berbagai kepercayaan dan pada umumnya mereka dikenal sebagai bangsa penyembah berhala. Al- Qur’an membawa ajaran yang bersifat universal yang tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang dahulu, sekarang dan akan datang. Memang harus demikian halnya, karena al- Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu, dalam masalah yang berkaitan dengan ketuhanan, al- Qur’an membawa berbagai dalil dan bukti yang pasti dan 21 meyakinkan dalam ayat-ayatnya dan mengajak manusia mempergunakan nalarnya, sehingga dengan itu mereka mengakui adanya Allah dan tidak akan menyembah akan selain-Nya. Jadi, dakwah al- Qur’an dalam aqidah dibangun berdasarkan akal dan karena itu ia akan selalu berperan sebagai penyuluh dan pendorong bagi menusia untuk lebih maju dalam kehidupan ruhani dan jasmani di segala zaman. Bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing- masingnya mempunyai aqidah yang berbeda, tetapi pada umumnya mereka penyembah berhala. Di antara kabilah itu ada yang tidak percaya kepada adanya Tuhan, pencipta alam semesta dan juga tidak percaya kepada adanya kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Menurut kepercayaan mereka, manusia hidup di dunia ini karena alam natur sedangkan mati itu karena masa dahr. Kepercayaan mereka ini direkamkan dalam al- Qur’an, antara lain dalam surat al-Mukminun: 35-37 اًبا ت ْمتْنك ْمُتم ا إ ْمكه أ ْمك عيأ ن ج ْخم ْمكه أ اًماظع 35 ا ل تا ْيه تا ْيه ن ع ت 36 نيث عْب ب ن ْح ام اي ْح ت ايْ ُ لا انتايح هَإ يه ْنإ 37 Artnya: “Apakah Dia menjanjikan kepada kamu, bahwa apabila kamu telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kamu akan dikeluarkan dari kuburmu? Jauh, jauh sekali dari kebenaran apa yang diancamkan kepada kamu, kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, di sanalah kita mati dan hidup dan tidak akan bangkit lagi” QS : Al- Mu’minun, ayat 35-37. Sebaliknya, ada kabilah yang percaya akan adanya Allah, pencipta alam semesta, tetapi mereka tidak percaya kepada adanya kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Tentang kepercayaan mereka ini direkamkan antara lain dalam surat Yasin: : س ًَثم انل ض ٌميم يه اظعْلا يْحي ْنم اق هقْلخ ي 78 ا ييْحي ْلق ٌميلع قْلخ لكب ه ه م ه أ اهْشْ أ هلا 11 Arinya : “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata: “Siapakan yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ”? Katakanlah Muhammad, “yang akan menghidupkanya ialah Allah yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui te ntang segala makhluk” QS : Yaasin, ayat 78-79. 22 Di samping itu, terdapat kabilah yang mengakui adanya Allah dan kebangkitan dari kubur pada hari akhirat, tetapi mereka menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala yang disembah itu akan memberi mereka syafaat dan mendekatkan mereka di sisi Allah pada hari akhirat. Dalam al- Qur’an, kepercayaan ini disebut dalam surat Yunus: هَ ْنع ا اعفش ءَ ه ن ل قي ْم عفْني َ ْمهُ ضي َ ام هَ ن د ْنم ن بْعي َ تا ا هسلا يف ملْعي َ ا ب هَ ن بنتأ ْلق اه ع ىلاعت ه احْبس ضْ ْْا يف ن ك ْشي 18 Artinya : “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak pula memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah. ” Katakanlah, apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketehui-Nya apa yang ada di langit dan tidak pula yang dibumi? Maha Suci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan” QS : Yunus, ayat 18 Berdasarkan kepercayaan yang menyimpang dan sesat itu, al- Qur’an membawa ajaran yang benar yang bertujuan membetulkan aqidah yang salah dengan menyatakan bahwa aqidah yang benar dalam masalah ketuhanan adalah berdasarkan tauhid yang murni. Ditegaskan bahwa tauhid itu ada tiga macam: Tauhid ‘Uluhiyah, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Shifat. Dalil wujud Allah, dalam upaya menegakkan aqidah yang benar, kita menjumpai banyak ayat al- Qur’an yang memperlihatkan berbagai dalil yang meyakinkan untuk membuktikan kebenaran wujud Allah yang berpangkal pada ajaran tauhid. Dalil-dalil yang terdapat dalam al- Qur’an itu tidak hanya sesuai dengan tingkat pemikiran dan pemahaman orang-orang yang terpelajar. Berbeda dengan kitab-kitab suci yang terdahulu, seperti kitab Taurat dan Injil, yang tidak mengemukakan sesuatu dalil tentang adanya Allah, maka al- Qur’an sebagai kitab suci terakhir diturunkan telah mengemukakan berbagai dalil sebagai pembuktian kebenaran wujud Allah. Dalil-dalil itu ada yang berasal dari alam ini, ada yang berdasarkan pada pengalaman batin dan ada juga yang berasal dari wahyu. Dalil kauni, y ang dimaksud dengan “dalil kauni” ialah dalil yang berdasarkan wujudnya alam ini yang menunjukkan kepada adanya Allah. Alam yang kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri 23 tidak mungkin adanya dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya. Allah yang menciptakan alam ini tidak hanya sekedar mencipta, lalu dibiarkan berjalan sendiri, seperti halnya jam, tetapi juga dipelihara dan dikendalikan dengan sempurna. Hal yang demikian ini dapat disaksikan setiap waktu betapa tertibnya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan serta hukum-hukum yang diciptakan Allah bagi alam ini yang disebut sunnatullah. Tidak ada suatu benda apa pun di alam ini yang menyimpang dari garis atau ketentuan yang telah ditetapkan Allah dalam sunah-Nya. Allah adalah pencipta, pemelihara, pengendali serta pengasuh alam ini seluruhnya. Oleh karena itu, Dia disebut dalam al- Qur’an sebagai rabb seperti yang dapat dibaca dalam ayat pertama surat al- ‘Alaq, wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Di samping itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini telah diciptakan Allah dalam wujud berpasang-pasangan seperti yang disebut dalam surat Yasin: َ اه م ْم سفْ أ ْنم ضْ ْْا بْنت اه م ا هلك جا ْ ْْا قلخ هلا ناحْبس ن لْعي 36 Artinya : “Mahasuci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka tidak ketahui ” QS : Yaasin, ayat 36. Selain itu, kita juga menyaksikan bahwa segala sesuatu yang berada di alam ini tunduk dan patuh kepada suatu aturan yang berada di bawah suatu pengendalian yang sangat tertib. Tidak ada suatu benda pun yang menghalangi atau merintangi jalannya benda-benda lain, tetapi semuanya saling membantu untuk mencapai tujuannya yang telah ditetapkan. Fenomena ini telah dijelaskan dalam surat ar- Rahman: نابْسحب قْلا ْ هشلا 5 نا جْسي جهشلا مْجهنلا 6 Artinya: “sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah yang Mahaperkasa, Mahapenyayang, agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai” QS : Yaasin, ayat 5-6. Manusia juga diseru untuk melakukan wisata penyelidikan di atas bumi untuk mengetahui asal-usul dan awal mula ciptaan. Allah berfirman dalam surat al-Ankabut : 24 هَ هنإ خ َْا ْْشهنلا ئشْني هَ همث قْلخْلا أ ب فْيك ا ظْ اف ضْ ْْا يف ا يس ْلق ٌ ي ق ءْيش لك ىلع 20 Artinya: “Katakanlah, berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai menciptaan makhluk, kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh Allah kuasa atas segala sesuatu” QS : Al-Ankabut, ayat 20. Dan lebih khusus lagi, betapa manusia diseru untuk memikirkan apa yang dalam dirinya seperti firman Allah dalam surat adz-Dzaariyaat: ن صْبت َفأ ْمكسفْ أ يف 21 Artinya: “Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ” QS : Az-Zariyat, ayat 21. Demikianlah sebagian ayat-ayat al- Qur’an yang dapat diturunkan di sini sebagai contoh tentang ajakan atau seruan kepada manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memikirkan alam raya ini yang terbentang di hadapannya dan juga segala isinya karena dapat menghantarnya kepada keyakinan tentang wujud Allah Swt. Dalil pengalaman batin, dalil kedua yang paling berkesan tentang adanya Allah ialah dalil yang berkaitan dengan jiwa atau batin manusia. Dalam jiwa manusia terdapat kesadaran tentang adanya Allah, sehingga ia merasa lebih dekat kepada-Nya terutama pada saat- saat tertentu. Pengertian manusia dengan kesadaran batinnya lebih dekat kepada Allah daripada dirinya dapat dilihat dan dirasai pada saat dia menghadapi suatu kesulitan besar dalam hidupnya atau dalam situasi musibah yang sedang menimpanya. Pada saat ia menghadapi musibah atau bencana, maka kesadarannya akan wujud Allah lebih terang dan lebih kuat dalam diri atau jiwanya daripada kesadarannya kepada dirinya sendiri. Pada saat itu ia mulai berdoa dan memohon bantuan Allah bagi keselamatan diri dan keluarganya yang dicintai dari musibah yang sedang menimpanya, walaupun ia barangkali sebelum itu tidak mengakui adanya Allah. Dengan sebab musibah itu, batinnya tergugah kepada iman, sehingga kesadarannya kepada wujud Allah lebih terang dan lebih diyakini. Memang kita sering menjumpai adanya sebagian orang yang melupakan Allah pada waktu ia berada dalam kemewahan hidup atau dalam kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau lain-lain sebagainnya, sehingga telah menyebabkan 25 timbulnya semacam keangkuhan dalam batin atau jiwanya yang dapat menutupi hakikat dirinya. Dalam al- Qur’an keadaan orang-orang seperti ini dijelaskan dalam firman Allah, surat ar-Rum: ٌقي ف ا إ ًة ْح هْنم ْم قا أ ا إ همث هْيلإ نيبينم ْم هب اْ عد ٌ ض اهنلا ه م ا إ ن ك ْشي ْم ب ب ْم ْنم 33 Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya, mereka menyeruTuhannya dengan kembalibertobat kepadan-Nya, kemudian apablia Dia member sedikit rahmat-Nya kepada mereka, tiba- tiba sebagian mereka menyekutukan Allah” QS : Ar-Rum, ayat 33 Manakala manusia berada dalam keadaan yang gelap karena musibah yang menimpanya, maka pada waktu itulah kesadaran batiniah akan wujud Allah menjadi lebih terang dan lebih kuat. Dan Allah akan selalu memperingatkan manusia yang lalai atau lupa akan Allah dengan memberi ujian musibah, sehingga ia akan kembali kepada-Nya. Seolah-olah musibah atau bencana itu ibarat alat pembersih batin yang penuh dengan kekotoran maknawi, sehingga menjadi bersih seperti semula. Dalil wahyu, adapun yang sangat jelas dan meyakinkan tentang wujud Allah adalah wahyu Ilahi. Kepada orang yang belum beriman, wahyu Ilahi yang telah mengambil bentuk dalam ayat-ayat al- Qur’an adalah suatu pertanda akan adanya Allah karena tidak ada orang yang mampu menirunya. Kepada orang yang telah beriman, dalil ini tidak saja dapat mengukuhkan keimanan kepada Allah, tetapi juga dapat menjelaskan kepadanya sifat-sifat Allah yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupannya. Sebab, melalui wahyu Allah, manusia tidak hanya dapat mengetahui wujud Allah, tetapi juga sifat-sifat-Nya yang Maha sempurna Ahmad Daudy, 1997 : 48 -.

B. Tafsir dan Kajian Asma Allah

Asma Allah adalah dua kata bahasa arab Asma dan Allah. Dalam kamus arab-indonesia Prof Dr Mamud Yunus, Asma adalah jama’ dari kata ismun sammuu yang berarti nama-nama Mahmud Yunus, 1999 : 42. S edangkan Allah adalah nama yang paling popular dari tuhannya umat Islam, jadi Asma Allah adalah nama-nama Allah. 26 Prof Dr. M Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut: Jalan menuju lebih dekat mengenal Allah, ada banyak konsep yang menunjukan kita untuk mengenal Allah, di antaranya adalah dengan akal, karenanya di dalam Al- Qur’an tidak ada pembahasan tentang wujud tuhan, karena hal itu adalah aksioma. Orang yang tidak meyakini wujud tuhan maka hatinya akan galau dan gelisah. Namun kemampuan akal ini terbatas untuk mengenal Allah, yang terpenting jangan melampaui batas sampai ingin mengenal Zat-Nya, karena hal ini dipastikan tidak akan mampu. Seperti kita melihat matahari atau bulan, apakah yang kita lihat itu zat matahari dan bulan, tidak, yang kita lihat justru sebenarnya adalah pantulan dari sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu, cukup bagi kita mengenal Allah dengan cara memikirkan ciptaan-Nya, sebagaimana Sabda Nabi Saw. Tafakkaru fi al- khalqi Allah wala tafakkaru fi al-dzati Allah yang artinya, “Berpikirlah tentang ciptaan-Nya dan jangan kalian berpikir tentang Dzat- Nya”. Karena memang kita tidak mungkin akan sampai pada Dzat Allah. Memikirkan ciptaan-Nya saja sungguh mengagumkan dan bahkan tidak sampai pada hakikat ciptaan-Nya. Jadi cukup dengan melihat bekas-bekas yang ditinggalkan Allah di alam semesta ini untuk menunjukkan eksistensi Tuhan. Akan tetapi, kita perlu kenal tuhan, kita disuruh patuh dan untuk itu perlu kenal, bahkan kita disuruh cinta itu perlu kenal, maka Allah memperkenalkan diri-Nya, Aku itu wujud. Aku itu begini dan begitu. Pengenalan Allah terhadap diri-Nya kepada kita itu unik, keunikannya karena keterbatasan kita dan tidak keterbatasan Dia. Allah seringkali memperkenalkan nama dan sifat-Nya dalam Al-Qur`an dengan hal yang dikenal nalar kita, bahwa Dia Maha Mendengar, Melihat dan lain-lainya, tapi harus kita yakini bahwa mendengar dan melihat-Nya Allah berbeda dengan mendengar dan melihatnya kita yang penuh keterbatasan. Sehingga nama dan sifat Allah itu jangan kita pikir materinya, berarti Allah memiliki telinga dan mulut, hal itu mustahil kita katakan, karena Allah tidak bertempat dan bukan materi. Setelah Allah memperkenalkan nama dan sifat-Nya, Allah juga menegaskan bahwa Dia laisa kamitslihi syai`un tidak ada sesuatupun yang seperti seperti-Nya. Yang seperti dengan seperti-Nya saja tidak ada, apalagi yang sama seperti-Nya. Allah memperkenalkan diri-Nya, jika kita merujuk kepada Al- Qur`an, Allah memperkenalkan diri-Nya pertama kali disurah Iqra`: قلخ هلا كب مْساب ْأ ْقا 1 قلع ْنم ناسْ ْْا قلخ 2 ْك ْْا كُب ْأ ْقا 3 Artinya: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.