Pengertian Iman Tafsir dan Kajian Mengenai Zat Allah
18
dengan hati yang penuh yakin. Dalam tahapan selanjutnya oleh para mutakallimin Abu al-Hasan al-
Asy’ari setelah membenarkan atau tasdiq dan harus diikuti dengan tasmit, yaitu mengucapkan dua kalimat
syahadat : mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang serupa dengan-Nya
Jalal Musa, 1975 : 16,
sehingga orang tersebut baru sempurna keimanannya dan mengamalkannya sebagai buah daripada
iman. Lebih lanjut oleh golongan M u’tazilah iman itu harus ada tiga
unsur, yakni membenarkan tasdiq, tasmit mengucapkan dengan lisan dan
„amal bi al-arkan mengamalkan dengan perbuatan. Siapa Allah itu ?
Allah, nama yang Maha Mulia, dari Zat yang Maha Suci, yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya Hamka, 1985 :
31. Ketahuilah bahwa Dzat Allah itu jauh lebih besar daripada
jangkauan akal manusia atau daripada pengetahuan alam fikiran manusia, sebab daya kemampuan akal itu terbatas bagaimana pun
ketinggian pengetahuan yang dicapainya pasti terbatas pula. Tenaga listrik atau magnet adalah suatu daya kekuatan yang kita gunakan dan
kita manfaatkan di dalam hidup ini, tetapi sedikit pun kita tidak mengetahui hakikatnya. Dan hingga kini tak seorang pun mampu
menjelaskannya kepada anda betapa pun hebatnya akal fikiran orang itu. Bagi kita mengetahui hakikat sesuatu itu kurang bermanfaat; yang
penting ialah apabila kita mengetahui barang sedikit daripada keistimewaan-Nya yang berguna bagi kehidupan kita.
Banyak orang yang memperbincangkan Dzat Allah Swt., dan mereka tersesat. Perbincangan dalam hal itulah yang menyebabkan
mereka tersesat,
kacau dan
berselisih karena
mereka memperbincangkan sesuatu yang mereka tidak mengerti batas-batasnya
dan tidak mampu mengetahui hakikatnya. Oleh sebab itulah maka Rasulullah Saw. melarang kita memikirkan Dzat Allah Swt., dan
menyuruh kita memikirkan keadaan makhluk-Nya. Dalam hadis Nabi Saw. disampaikan yang artinya sebagai berikut :
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa banyak orang yang memikirkan Dzat Allah Swt.,
lalu Nabi bersabda, “Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan Dzat Allah, sebab kamu
benar-benar tidak akan mampu melakukannya”
Menurut Al- ‘Iraqi, hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim di dalam kitab “Hilyatul Auliya‟” dengan sanad yang lemah.
19
Al-Ashbihani meriwayatkannya di dalam kitab “Al-Targhib wa
Tarhib” dengan sanad yang lebih shahih daripada itu. Juga seperti itu pula Abusy Syaikh meriwayatkannya. Bagaimanapun juga arti
daripada hadis tersebut adalah benar shahih.
Demikian itu bukanlah merupakan penghalang bagi kebebasan berfikir, bukan pengekangan dan bukan pula penyempitan lapangan
akal, melainkan justru merupakan penjagaan bagi akal itu sendiri. Akal dilindungi agar supaya tidak sampai tersungkur jatuh ke dalam lembah
kesesatan. Akal dihindarkan daripada usaha mencoba-coba mengatasi penyelidikan yang ia tidak mempunyai kelengkapan sarana-sarananya,
di samping daya kemampuannya tidak memadai utuk memecahkannya betapa pun hebatnya kemampuan yang ada padanya.
Oleh sebab itu, di dalam memahami kebesaran Allah Swt. hendaklah memusatkan segala perhatian dengan memikirkan keadaan
makhluk dan berpegang teguh kepada sifat-sifat-Nya yang wajib
Syekh Hasan Al-Banna, alih bahasa: M. Hasan Baidaie, 1983 : 15-17.
2.
.
Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah Swt. merupakan dasar dari iman. Dari ajaran asas ini timbullah bagian-bagian atau rukun-rukun iman yang
lain. Beriman kepada wujud Allah adalah beriman kepada yang ghaib, dan beriman kepada yang ghaib memerlukan dalil-dalil yang rasional
untuk membuktikan kebenaran keimanan itu. Dalam hal ini berbeda dengan kepercayaan tentang adanya hal-hal yang empiris karena dapat
dibuktikan dengan sentuhan indera. Dalil-dalil tentang wujud Allah ada yang berdasarkan akal dan ada juga yang berdasarkan wahyu yang
merupakan dalil yang lengkap bagi pengetahuan kita tentang Allah. Sebab, sesuatu yang ghaib pada dasarnya sangat sukar dapat dipahami
oleh akal manusia yang terbatas, dan karena itu hanya Allah sendiri yang Maha Tahu akan diri-Nya.
Dalil-dalil rasional dalam berbagai bentuknya mengenai wujud Allah telah pernah dibuat orang, terutama para filosof, dan ini
merupakan warisan yang sangat berharga bagi umat beragama. Semua dalil itu menunjukkan kesepakatan mereka bahwa Allah itu ada dan
Dia adalah pencipta dan pengendali alam semesta. Namun begitu, tidak semua orang lantas beriman begitu saja dengan hanya setelah
mengetahui dan membaca dalil-dalil yang rasional itu. Betapa pun kuat dan logis dalil-dalil itu, tetapi iman itu hanya diterima oleh orang-
orang yang memiliki kesiapan ruhani dan hidayah Ilahi disebabkan iman itu, pada hakikatnya, merupakan karunia Allah yang diberikan
kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti halnya rezeki yang hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya. Adapun orang-orang
20
yang tidak memperoleh karunia dan hidayah iman itu dan karenanya tidak mengakui wujud Allah sebagai pencipta alam semesta, maka
orang tersebut disebut sebagai orang kafir. Orang-orang yang semisal ini disebut dalam al-
Qur’an, antara lain :
ام ًَبق ءْيش هلك ْم ْيلع ا ْ شح ىتْ ْلا م هلك ةكئَ ْلا م ْيلإ انْلهز انه أ ْ ل ا اك
ل هَ ءاشي ْنأ هَإ ا نمْ يل ن ل ْجي ْمه ثْكأ هنك
111
Artinya: “Dan sekalipun kami benar-benar menurunkan para
malaikat kepada mereka, dan orang yang telah mati berbicara kepada mereka dan kami kumpulkan pula di hadapan mereka
segala sesuatu yang mereka inginkan, mereka tidak juga beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui arti kebenaran
” QS: Al-An’am, 111. Dalam al-
Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan wujud Allah dengan memberikan bermacam-macam dalil. Hal yang seperti ini
tidak dijumpai dalam kitab-kitab suci agama yang terdahulu. Dalam kitab Taurat dan Injil tidak dijumpai satu ayat pun yag menunjukkan
dalil wujud Allah. Seolah-olah kepercayaan kepada adanya Allah harus diterima begitu saja tanpa perlu adanya dalil atau penjelasan yang
mengukuhkan kebenarannya. Kemungkinan hal yang seperti itu hanya sesuai dengan masa dahulu yang padanya kitab-kitab itu diturunkan.
Pada masa itu, manusia hidup dalam situasi yang diliputi oleh berbagai khurafat dan mitos, daya penalaran mereka masih belum meningkat.
Antara kenyataan dan khayalan atau dongeng belum jelas batasnya dalam pemikiran. Kebenaran tidak hanya terdapat dalam kenyataan
empiris tetapi juga dalam cerita yang bersifat mitos. Tentu saja kitab- kitab suci yang seperti itu hanya sesuai dengan zaman itu dan tidak
sesuai dengan zaman sekarang. Dalam zaman kini, orang sudah lebih rasional dalam keimanan dan kehidupan dan tidak begitu mudah
percaya kepada hal-hal yang ghaib.
Al- Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.
yang hidup dan berdakwah dalam kalangan bangsa Arab. Bangsa Arab ini mempunyai berbagai kepercayaan dan pada umumnya mereka
dikenal sebagai bangsa penyembah berhala. Al- Qur’an membawa
ajaran yang bersifat universal yang tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia yang
dahulu, sekarang dan akan datang. Memang harus demikian halnya, karena al-
Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu, dalam masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan, al- Qur’an membawa berbagai dalil dan bukti yang pasti dan
21
meyakinkan dalam
ayat-ayatnya dan
mengajak manusia
mempergunakan nalarnya, sehingga dengan itu mereka mengakui adanya Allah dan tidak akan menyembah akan selain-Nya. Jadi,
dakwah al- Qur’an dalam aqidah dibangun berdasarkan akal dan karena
itu ia akan selalu berperan sebagai penyuluh dan pendorong bagi menusia untuk lebih maju dalam kehidupan ruhani dan jasmani di
segala zaman.
Bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing- masingnya mempunyai aqidah yang berbeda, tetapi pada umumnya
mereka penyembah berhala. Di antara kabilah itu ada yang tidak percaya kepada adanya Tuhan, pencipta alam semesta dan juga tidak
percaya kepada adanya kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Menurut kepercayaan mereka, manusia hidup di dunia ini karena alam
natur sedangkan mati itu karena masa dahr. Kepercayaan mereka ini direkamkan dalam al-
Qur’an, antara lain dalam surat al-Mukminun: 35-37
اًبا ت ْمتْنك ْمُتم ا إ ْمكه أ ْمك عيأ ن ج ْخم ْمكه أ اًماظع
35 ا ل تا ْيه تا ْيه
ن ع ت 36
نيث عْب ب ن ْح ام اي ْح ت ايْ ُ لا انتايح هَإ يه ْنإ
37
Artnya: “Apakah Dia menjanjikan kepada kamu, bahwa
apabila kamu telah mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, sesungguhnya kamu akan dikeluarkan dari kuburmu? Jauh, jauh
sekali dari kebenaran apa yang diancamkan kepada kamu, kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, di
sanalah kita mati dan hidup dan tidak
akan bangkit lagi” QS : Al- Mu’minun, ayat 35-37.
Sebaliknya, ada kabilah yang percaya akan adanya Allah, pencipta alam semesta, tetapi mereka tidak percaya kepada adanya
kebangkitan dari kubur pada hari akhirat. Tentang kepercayaan mereka ini direkamkan antara lain dalam surat Yasin: :
س ًَثم انل ض ٌميم يه اظعْلا يْحي ْنم اق هقْلخ ي
78 ا ييْحي ْلق
ٌميلع قْلخ لكب ه ه م ه أ اهْشْ أ هلا
11
Arinya : “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan
melupakan asal kejadiannya; dia berkata: “Siapakan yang dapat
menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ”?
Katakanlah Muhammad, “yang akan menghidupkanya ialah Allah yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha
Mengetahui te ntang segala makhluk” QS : Yaasin, ayat 78-79.
22
Di samping itu, terdapat kabilah yang mengakui adanya Allah dan kebangkitan dari kubur pada hari akhirat, tetapi mereka
menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala yang disembah itu akan memberi mereka syafaat dan mendekatkan mereka di sisi
Allah pada hari akhirat. Dalam al- Qur’an, kepercayaan ini disebut
dalam surat Yunus:
هَ ْنع ا اعفش ءَ ه ن ل قي ْم عفْني َ ْمهُ ضي َ ام هَ ن د ْنم ن بْعي َ تا ا هسلا يف ملْعي َ ا ب هَ ن بنتأ ْلق
اه ع ىلاعت ه احْبس ضْ ْْا يف ن ك ْشي
18
Artinya : “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang
tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak pula memberi
manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.
” Katakanlah, apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketehui-Nya apa
yang ada di langit dan tidak pula yang dibumi? Maha Suci Allah dan Mahatinggi Dia dari
apa yang mereka persekutukan” QS : Yunus, ayat 18
Berdasarkan kepercayaan yang menyimpang dan sesat itu, al- Qur’an membawa ajaran yang benar yang bertujuan membetulkan
aqidah yang salah dengan menyatakan bahwa aqidah yang benar dalam masalah ketuhanan adalah berdasarkan tauhid yang murni. Ditegaskan
bahwa tauhid itu ada tiga macam: Tauhid
‘Uluhiyah, Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Shifat.
Dalil wujud Allah, dalam upaya menegakkan aqidah yang
benar, kita menjumpai banyak ayat al- Qur’an yang memperlihatkan
berbagai dalil yang meyakinkan untuk membuktikan kebenaran wujud Allah yang berpangkal pada ajaran tauhid. Dalil-dalil yang terdapat
dalam al- Qur’an itu tidak hanya sesuai dengan tingkat pemikiran dan
pemahaman orang-orang yang terpelajar. Berbeda dengan kitab-kitab suci yang terdahulu, seperti kitab Taurat dan Injil, yang tidak
mengemukakan sesuatu dalil tentang adanya Allah, maka al- Qur’an
sebagai kitab suci terakhir diturunkan telah mengemukakan berbagai dalil sebagai pembuktian kebenaran wujud Allah. Dalil-dalil itu ada
yang berasal dari alam ini, ada yang berdasarkan pada pengalaman batin dan ada juga yang berasal dari wahyu.
Dalil kauni, y
ang dimaksud dengan “dalil kauni” ialah dalil yang berdasarkan wujudnya alam ini yang menunjukkan kepada
adanya Allah. Alam yang kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri
23
tidak mungkin adanya dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya. Allah yang menciptakan alam ini tidak hanya sekedar
mencipta, lalu dibiarkan berjalan sendiri, seperti halnya jam, tetapi juga dipelihara dan dikendalikan dengan sempurna. Hal yang demikian ini
dapat disaksikan setiap waktu betapa tertibnya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan serta hukum-hukum yang diciptakan Allah bagi
alam ini yang disebut sunnatullah.
Tidak ada suatu benda apa pun di alam ini yang menyimpang dari garis atau ketentuan yang telah ditetapkan Allah dalam sunah-Nya.
Allah adalah pencipta, pemelihara, pengendali serta pengasuh alam ini seluruhnya. Oleh karena itu, Dia disebut dalam al-
Qur’an sebagai rabb seperti yang dapat dibaca dalam ayat pertama surat al-
‘Alaq, wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya.
Di samping itu, kita juga dapat menyaksikan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini telah diciptakan Allah dalam wujud
berpasang-pasangan seperti yang disebut dalam surat Yasin:
َ اه م ْم سفْ أ ْنم ضْ ْْا بْنت اه م ا هلك جا ْ ْْا قلخ هلا ناحْبس ن لْعي
36
Artinya : “Mahasuci Allah yang telah menciptakan semuanya
berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka tidak
ketahui ” QS : Yaasin, ayat 36.
Selain itu, kita juga menyaksikan bahwa segala sesuatu yang berada di alam ini tunduk dan patuh kepada suatu aturan yang berada
di bawah suatu pengendalian yang sangat tertib. Tidak ada suatu benda pun yang menghalangi atau merintangi jalannya benda-benda lain,
tetapi semuanya saling membantu untuk mencapai tujuannya yang telah ditetapkan. Fenomena ini telah dijelaskan dalam surat ar-
Rahman:
نابْسحب قْلا ْ هشلا 5
نا جْسي جهشلا مْجهنلا
6
Artinya: “sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah yang
Mahaperkasa, Mahapenyayang, agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi
peringatan, karena itu mereka lalai” QS : Yaasin, ayat 5-6. Manusia juga diseru untuk melakukan wisata penyelidikan di
atas bumi untuk mengetahui asal-usul dan awal mula ciptaan. Allah berfirman dalam surat al-Ankabut :
24
هَ هنإ خ َْا ْْشهنلا ئشْني هَ همث قْلخْلا أ ب فْيك ا ظْ اف ضْ ْْا يف ا يس ْلق ٌ ي ق ءْيش لك ىلع
20
Artinya: “Katakanlah, berjalanlah di bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah memulai menciptaan makhluk, kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh Allah
kuasa atas segala sesuatu” QS : Al-Ankabut, ayat 20. Dan lebih khusus lagi, betapa manusia diseru untuk
memikirkan apa yang dalam dirinya seperti firman Allah dalam surat adz-Dzaariyaat:
ن صْبت َفأ ْمكسفْ أ يف 21
Artinya: “Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu
tidak memperhatikan ” QS : Az-Zariyat, ayat 21.
Demikianlah sebagian ayat-ayat al- Qur’an yang dapat
diturunkan di sini sebagai contoh tentang ajakan atau seruan kepada manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memikirkan alam raya
ini yang terbentang di hadapannya dan juga segala isinya karena dapat menghantarnya kepada keyakinan tentang wujud Allah Swt.
Dalil pengalaman batin, dalil kedua yang paling berkesan tentang adanya Allah ialah dalil yang berkaitan dengan jiwa atau batin
manusia. Dalam jiwa manusia terdapat kesadaran tentang adanya Allah, sehingga ia merasa lebih dekat kepada-Nya terutama pada saat-
saat tertentu.
Pengertian manusia dengan kesadaran batinnya lebih dekat kepada Allah daripada dirinya dapat dilihat dan dirasai pada saat dia
menghadapi suatu kesulitan besar dalam hidupnya atau dalam situasi musibah yang sedang menimpanya. Pada saat ia menghadapi musibah
atau bencana, maka kesadarannya akan wujud Allah lebih terang dan lebih kuat dalam diri atau jiwanya daripada kesadarannya kepada
dirinya sendiri. Pada saat itu ia mulai berdoa dan memohon bantuan Allah bagi keselamatan diri dan keluarganya yang dicintai dari
musibah yang sedang menimpanya, walaupun ia barangkali sebelum itu tidak mengakui adanya Allah. Dengan sebab musibah itu, batinnya
tergugah kepada iman, sehingga kesadarannya kepada wujud Allah lebih terang dan lebih diyakini. Memang kita sering menjumpai adanya
sebagian orang yang melupakan Allah pada waktu ia berada dalam kemewahan hidup atau dalam kedudukan yang terpandang dalam
masyarakat atau lain-lain sebagainnya, sehingga telah menyebabkan
25
timbulnya semacam keangkuhan dalam batin atau jiwanya yang dapat menutupi hakikat dirinya. Dalam al-
Qur’an keadaan orang-orang seperti ini dijelaskan dalam firman Allah, surat ar-Rum:
ٌقي ف ا إ ًة ْح هْنم ْم قا أ ا إ همث هْيلإ نيبينم ْم هب اْ عد ٌ ض اهنلا ه م ا إ ن ك ْشي ْم ب ب ْم ْنم
33
Artinya: “Dan apabila manusia ditimpa oleh suatu bahaya,
mereka menyeruTuhannya dengan kembalibertobat kepadan-Nya, kemudian apablia Dia member sedikit rahmat-Nya kepada mereka,
tiba- tiba sebagian mereka menyekutukan Allah” QS : Ar-Rum, ayat
33 Manakala manusia berada dalam keadaan yang gelap karena
musibah yang menimpanya, maka pada waktu itulah kesadaran batiniah akan wujud Allah menjadi lebih terang dan lebih kuat. Dan
Allah akan selalu memperingatkan manusia yang lalai atau lupa akan Allah dengan memberi ujian musibah, sehingga ia akan kembali
kepada-Nya. Seolah-olah musibah atau bencana itu ibarat alat pembersih batin yang penuh dengan kekotoran maknawi, sehingga
menjadi bersih seperti semula.
Dalil wahyu, adapun yang sangat jelas dan meyakinkan tentang wujud Allah adalah wahyu Ilahi. Kepada orang yang belum beriman,
wahyu Ilahi yang telah mengambil bentuk dalam ayat-ayat al- Qur’an
adalah suatu pertanda akan adanya Allah karena tidak ada orang yang mampu menirunya.
Kepada orang yang telah beriman, dalil ini tidak saja dapat mengukuhkan keimanan kepada Allah, tetapi juga dapat menjelaskan
kepadanya sifat-sifat Allah yang sangat diperlukan manusia dalam kehidupannya. Sebab, melalui wahyu Allah, manusia tidak hanya dapat
mengetahui wujud Allah, tetapi juga sifat-sifat-Nya yang Maha sempurna
Ahmad Daudy, 1997 : 48 -.