2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aitruisme
Menurut Sears 1994, altruisme dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik 1.
Faktor Intrinsik a.
Perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi altruisme karena sudah dapat merasakan manfaat dari menolong itu sendiri.
b. Faktor sifat, bahwasannya seseorang menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan sama sekali, kemungkinan karena adanya sifat yang sudah tertanam dalam kepribadian seseorang.
2. Faktor Ekstrinsik
a. Bystender, adanya orang lain yang kebetulan berada bersama kita di
tempat kejadian. Jadi, semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan orang untuk menolong. Sebaliknya orang yang sendirian
cenderung lebih bersedia untuk menolong. b.
Menolong jika orang lain menolon. Hal tersebut sesuai dengan prinsip timbal balik dalam teori norma sosial, adanya seseorang yang sedang
menolong orang lain akan memicu yang lain untuk ikut menolong juga. c.
Desakan waktu, biasanya orang yang sedang sibuk lebih sulit meluangkan waktunya untuk menolong orang lain di bandingkan orang
yang memiliki waktu luang. d.
Kemampuan yang dimiliki, jika seseorang merasa mampu maka ia akan cenderung menolong, dan sebaliknya jika ia merasa tidak mampu, maka
ia tidak akan menolong.
Latane Darley Baron Byrne,2005 menemukan lima langkah penting, yang dapat menimbulkan altruis atau tindakan berdiam diri saja, langkah-langkat
tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian. Untuk sampai pada tahap perhatian terkadang sering terganggu dengan adanya hal-hal lain seperti
kesibukan, ketergesahan, mendesaknya kepentingan lain dan sebagainya. 2.
Menginterpretasi keadaan sebagai keadaan darurat. Bila pemerhati menginterpretasi suatu kejadian sebagai suatu yang membuat orang
membutuhkan pertolongan, maka kemungkinan besar akan diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan.
3. Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong. Ketika
individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu darurat, perilaku prososial akan
dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong.
4. Mengetahui apa yang harus dilakukan. Bahkan individu yang sudah
mengasusmsikan adanya tanggung jawab, tidak ada hal yang berarti yang dapat dilakukan kecuali orang tersebut tahu bagaimana ia dapat menolong.
5. Mengambil keputusan untuk menolong. Meskipun sudah sampai pada tahap
dimana individu merasa bertanggung jawab member pertolongan pada korban, masih ada kemungkinan ia memutuskan untuk tidak memberi
pertolongan. Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat terlaksananya pemberian pertolongan. Pertolongan pada tahap akhir ini dapat
dihambat oleh rasa takut seringkali rasa takut yang realistis terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial.
2.1.5. Aspek Jenis Kelamin
Peranan jenis kelamin terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki
cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong seseorang dalam kebakaran. Hal ini
tampaknya terkait dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri. Sementara
perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh Deaux, Dane, Wrightsman dalam Sarlito 2009
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zimmer-Gembeck, dkk, 2005 ditemukan bahwa kecenderungan untuk menolong pada anak remaja lebih besar
pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki Sarlito, 2009 Sedangkan Golberg 1995 mengungkapkan berdasarkan pengamatan
terhadap lebih dari 6300 orang pejalan kakidi Boston dan Canbridge, Amerika Serikat, ternyata 1,6 menyumbang kepada peminta-minta jalanan. Di antara para
penyumbang itu laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dalam Sarlito, 2002.
Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap perilaku altruisme.
2.1.6. Pengukuran Altruisme
Dari hasil membaca literatur tentang penelitian mengenai altruisme, peneliti memperoleh instrumen untuk mengukur altruisme, yaitu:
1. Self-Report Altruism Scale SRA oleh Rutston, Chisjohn dan Fakken 1981.
SRA merupakan alat ukur yang paling popular dan selalu digunakan untuk mengukur altruisme. SRA oleh Rutston, Chisjohn and Fakken 1981 didisain
berdasarkan teori Myers 2003 terdiri atas 20 item dan mengukur altruisme dengan 5 aspek yaitu: peduli,penolong,perhatian kepada orang lain,penuh
perasaan, rela berkorban. 2.
Self-Report Altruism Scale SRA oleh Rutston, Chisjohn dan Fakken 1981 dan di adaptasi dan telah dimodifikasi oleh Krueger, Hicks and McGue
2001 menjadi 45 item yang terdiri atas 4 konten klasifikasi yaitu terhadap teman, kenalan, orang asing dan organisasi.
Altruisme dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Self-Report Altruism Scale SRA yang dikembngkan oleh Rutston, Chisjohn and Fakken
1981. Alat ukur ini diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan terdiri atas 20 item. Peneliti memilih alat ukur ini dengan alasan alat ukur tersebut merupakan
alat ukur altruisme yang paling sering digunakan.
2.2. Kematangan Emosi 2.2.1. Pengertian Kematangan Emosi
Smitson dalam Katkovsky Gorlow, 1976 mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berupaya