Individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap
situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.
Dari kedua pendapat diatas tentang karakteristik kematangan emosi, peneliti memilih menggunakan karakteristik Smitson dalam Katkovsky
Gorlow, 1976 dan karakteristik tersebut akan dijadikan sebagai alat ukur kematangan emosi tetapi tidak semua karakteristik tersebut digunakan, peneliti
membuang karakteristik kapasistas untuk seimbang dan mampu berempati karena memiliki pengertian yang sama dengan altruisme.
2.2.4. Faktor-faktor Kematangan Emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock 1980 antara lain:
a. Usia. Semakin bertambah usia individu, diharapkan emosinya akan lebih
matang dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu semakin baik dalam kemampuan memandang suatu
masalah, menyalurkan dan mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi.
b. Perubahan fisik dan kelenjar. Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu
akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kematangan emosi. c.
Pola asuh orang tua. Dari pengalamannya berinteraksi didalam keluarga akan menentukan pula pola perilaku anak terhadap orang lain dalam
lingkungannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam keluarga adalah pola asuh orang tua. Cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan
memberikan akibat yang permanen dalam kehidupan anak. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kematangan emosi ada tiga, yaitu: usia, perubahan fisik dan kelenjar dan pola asuh orang tua.
2.2.5. Hubungan Kematangan Emosi dengan Altruisme
Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada
sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya. Jika seseorang memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia,
ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi dari pada akal sehat.
Emosi yang terkendali menyebabkan seseorang mampu berpikir secara baik, melihat persoalan secara objektif Walgito, 2004 Kematangan emosi
sebagai keadaan seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan matangnya
emosi maka individu dapat bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi dengan tetap mengedepankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga
dengan kematangan emosi yang dimilikinya, individu mampu memberikan atau berperilaku prososial sesuai dengan yang diharapkan.
Penelitian Gusti dan Margaretha 2010 menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif yang sangat signifikan antara empati, kematangan emosi,
jenis kelamin terhadap perilaku prososial. Empati terhadap perilaku prososial rxy = 0,884 dan p = 0,000. Kematangan emosi terhadap perilaku prososial rxy = 0,794
dan p = 0,000. Jadi dapat dikatakan semakin matang emosi seseorang semakin tinggi pula perilaku menolong.
2.2.6. Pengukuran Kematangan Emosi
Dari hasil membaca literatur mengenai kematanga emosi, peneliti memperoleh beberapa instrumen untuk mengukur kematangan emosi, diantaranya yaitu:
1. Emotional Maturity Scale EMS
yang dikembangkan oleh Singh and Bhargav
1984.
Skala tersebut memiliki lima komponen yaitu
,
ketidakstabilan
,
regresiemosional
,
ketidakmampuan sosial
,
disintegrasi kepribadian dan kurangnya kemerdekaan. Skala ini terdiri atas 10 item dalam setiap komponen kecuali untuk
komponen kurangnya kemerdekaan yang memiliki 8 item
dengan menggunakan
lima poin format Likert dari “sangat sering” sampai “tidak pernah”
2. Skala Kematangan Emosi. Skala ini disusun oleh Fema Rachmawati 2013,
skala kematangan emosi ini terdiri atas 50 item. Skala ini disusunberdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito 2004, yaitu dapat menerima
keadaan diri sendiridan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi,sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai
tanggung jawab. 3.
Skala Kematangan Emosi. Skala yang disusun oleh Dewi Pratiwi 2013 ini terdiri atas 37 item dengan koefisien validitas bergerak dari 0,305 sampai
0,664. Reliabilitas skala kematangan emosi sebesar 0,919. Skala ini dsusun berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito 2004, yaitu dapat
menerima keadaan diri sendiridan orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi,sabar dan penuh pengertian, dan
mempunyai tanggung jawab. Dari ketiga skala kematangan emosi yang telah peneliti sampaikan di atas,
peneliti tidak menggunakan semua skala kematangan emosi di atas tersebut, Peneliti tidak menggunakan skala kematangan emosi yang pertama yaitu
Emotional Maturity Scale
yang dikembangkan oleh Singh and Bhargav
1984, karena peneliti tidak dapat menemukan pernyataan dari Emotional Maturity Scale
oleh Singh dan Bhargav 1984. Peneliti tidak menggunakan skala yang kedua dan ketiga
karena skala kematangan emosi tersebut disusun berdasarkan ciri-ciri kematangan emosi menurut Walgito 2004, yaitu dapat menerima keadaan diri sendiri dan
orang lain secara obyektif, tidak bersifat impulsive, mampu mengontrol emosi, sabar dan penuh pengertian, dan mempunyai tanggung jawab, Sedangkan
kematangan emosi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini diukur menggunakan skala kematangan emosi yang diadaptasi dari karakteristik
kematangan emosi menurut Smitson dalam Katkovsky Gorlow, 1976 yaitu kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon
dengan tepat, dan mampu menguasai amarah. Karena alasan diatas maka peneliti menyusun sendiri skala kematangan emosi berdasarkan karakteristik Smitson
dalam Katkovsky Gorlow, 1976 dengan menggunakan empat point skala Likert dari “sangat setuju” sampai “ sangat tidak setuju” yang terdiri dari item
favorable dan item unfavorable.