77
orang tua. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengandung konsep pendidikan akhlak tentang pemuliaaan
kepada teman-teman orang tua. Pak Mahbub ikut menyalaminya dan memeluknya erat-erat dengan
mata berkaca- kaca, “Semoga ilmumu barakah Zam. Aku bangga padamu,
Anakku. Aku jadi teringat ayahmu, teman seperjuangan Bapak. Semoga manfaat ilmumu menjadikan ayahmu diangkat derajatnya di sisi Allah.”
“Amin. Doanya Pak Mahbub. Dan mohon bimbingannya, saya masih harus banyak belajar.” Lirih Azzam.
34
Pada bagian ini, Habiburrahman El Shirazy menggambarkan tokoh Azzam yang sangat memuliakan Pak Mahbub. Azzam yang seorang lulusan
Universitas Al-Azhar, Kairo, memohon doa restu dan bimbingan dari Pak Mahbub yang hanya seorang imam masjid di lingkungan rumahnya. Hal ini
dilakukan oleh Azzam sebagai bentuk pemuliaan terhadap Pak Mahbub yang menjadi teman dekat almarhum ayahnya.
Dalam bagian lain, Habiburrahman El Shirazy juga menampilkan gambaran akhlak pemuliaaan kepada teman-teman orang tua sebagai berikut.
Azzam akrab dengan siapa saja. Karena akrab dengan Kang Paimo, ia ditawari belajar mengendarai truk. Ia sambut tawaran itu dengan penuh
antusias. Kepada tokoh masyarakat ia sangat hormat. Ia sangat dekat dengan Pak Mahbub, teman seperjuangan ayahnya dulu saat merintis
pendirian Masjid Al Mannar. Kini Pak Mahbub jadi ketua takmir sekaligus imam masjidnya. Setiap kali shalat berjamaah dan ia diminta Pak Mahbub
menjadi imam. Tapi ia menolak. Ia merasa Pak Mahbub lebih berhak dan layak. Kecuali kalau Pak Mahbub tidak ada dan jamaah memaksanya
maka ia baru maju ke depan.
35
Dalam kutipan di atas Habiburrahman El Shirazy kembali menampilkan tokoh Azzam dan Pak Mahbub. Kali ini ia menggambarkan penghormatan
Azzam terhadap Pak Mahbub untuk menjadi imam saat salat berjamaah. Azzam menganggap Pak Mahbub lebih layak daripada dirinya sendiri untuk
memimpin salat.
34
Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 528-529.
35
Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 505.
78
C. Akhlak terhadap Diri Sendiri
Dalam kehidupannya, manusia dilengkapi dengan instrumen yang dapat digunakan untuk melaksanakan tugas dan kewajiban. Karena manusia mampu
menjadi subjek di satu sisi dan menjadi objek di sisi lain. Akhlak manusia terhadap diri sendiri adalah memelihara jasmani dengan memenuhi kebutuhannya,
seperti pangan, sandang, dan papan. Hal lain yang penting ialah memelihara rohani dengan memenuhi
keperluannya berupa pengetahuan, kebebasan yang sesuai fitrahnya, sehingga ia mampu menjalani kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang
sesungguhnya. Kajian akhlak terhadap diri sendiri yang digali dari novel Ketika Cinta
Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy mencakup lima hal utama, yaitu: kerja keras, cita-cita tinggi, giat belajar, disiplin, dan pemeliharaan kesucian diri.
1. Kerja Keras
Kesejahteraan lahir dan batin dapat diperoleh bukan hanya dengan terpenuhinya kebutuhan spiritual melainkan juga dengan tersedianya sarana
kebutuhan primer yang bersifat kebendaan, berupa sandang, pangan dan tempat tinggal. Kebutuhan primer tersebut hanya terpenuhi dengan berusaha dan giat
bekerja mencari nafkah, seraya tahan uji menghadapi berbagai godaan. Siapa ingin sejahtera harus rajin bekerja, membuang kemalasan dan tabah
menghadapi ujian. Telah dimaklumi bahwa bekerja untuk mencari nafkah adalah tugas hidup
setiap orang. Dengan kata lain, bekerja keras adalah jalan untuk memperoleh nafkah. Bahkan hanya dengan bekerja keras seseorang akan meraih pangkat,
harta, dan kepintaran. Konsep kerja keras dapat dilihat dalam Alquran, antara lain di Surat an-
Nahl ayat 93.
79
“…Tetapi kamu pasti akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” Q.S. an-Nahl16: 93
36
Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak tentang kerja keras. Sebagai
gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengandung konsep pendidikan akhlak tentang bekerja keras.
“Kalau aku perhatikan, gurat wajahmu lebih tua sedikit dari umurmu. Kayaknya kau memikul sebuah beban yang lumayan berat. Aku perhatikan
kau lebih banyak bekerja daripada belajar di Mesir ini. Boleh aku tahu tentang hal ini?”
“Ah Pak Ali terlalu perhatian pada saya. Saya memang harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak merasakannya sebagai
beban. Meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus bekerja untuk menghidupi adik-adik saya di Indonesia.
Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan putus kuliah di
tengah jalan. Maka satu-satunya jalan adalah saya harus bekerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai jualan tempe, jualan bakso, dan
membuka jasa katering.
” Pak Ali mengangguk-angguk sambil membetulkan letak kaca matanya
mendengar penuturan Azzam. Ada rasa kagum yang hadir begitu saja dalam hatinya. Anak muda yang kelihatannya tidak begitu berprestasi itu
sesungguhnya memiliki prestasi yang jarang dimiliki anak muda seusianya.
“Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau menghidupi adik-adikmu di Indonesia. Aku sangat salut dan hormat padamu Mas. Sungguh. Ketika
banyak mahasiswa yang sangat manja dan menggantungkan kiriman orangtua, kau justru sebaliknya. Teruslah bekerja keras Mas. Aku yakin
engkau kelak akan meraih kejayaan dan kegemilangan. Teruslah bekerja keras Mas, setahu saya yang membedakan orang yang berhasil dengan
yang tidak berhasil adalah kerja keras. …
37
Tidak ada kesuksesan yang diraih tanpa kerja keras. Di saat mahasiswa pada umumnya menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya dari
kiriman orang tua, Azzam justru bekerja keras berjualan tempe, bakso dan
36
Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 277.
37
Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 27.