Rendah Hati Akhlak terhadap Sesama Manusia

93

4. Penepatan Janji

Penepatan janji merupakan salah satu bentuk akhlak mulia. Sifat ini bernilai sangat tinggi karena dapat meneguhkan tali kepercayaan antaranggota masyarakat dan dapat meneguhkan perasaan untuk saling menolong. Penepatan janji merupakan sifat unik yang hanya dimiliki manusia. Jadi, barang siapa yang telah berani menanggalkan sifat ini dari dalam jiwanya maka ia telah mencabut peri kemanusiaan dari dalam jiwanya. Allah menjadikan janji sebagai bagian dari iman, bahkan sebagai penguat hubungan antarmanusia. Hal ini karena manusia pasti saling membutuhkan. Saling menolong tidak akan tercapai jika tidak ada keinginan untuk saling menepati janji. Jika tidak ada keinginan untuk saling menepati janji, anggota masyarakat akan mudah saling menjauh. Konsep penepatan janji dapat dilihat dalam Alquran, salah satunya dalam ayat berikut: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang- orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan musafir, peminta- minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang- orang yang bertakwa.” Q.S. al-Baqarah2: 177 58 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap tentang penepatan 58 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 27. 94 janji. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak tentang penepatan janji. Azzam meminjam sepeda motor butut milik Husna. Ia harus shalat Ashar di Wangen. Ia telah berjanji pada Kiai Lutfi bahwa dirinya akan ikut pengajian Al Hikam. Ia tidak mau mengingkari janji yang telah terlanjur ia ucapkan. Meskipun saat itu lelah dari tubuhnya belum benar-benar pulih. Ia pacu sepeda motor tua itu sekuat-kuatnya. Tapi lajunya maksimal tetap enam puluh kilometer per jam. Menjelang sampai Polanharjo ia melihat sawah yang terhampar. Sejenak ia hentikan motornya. Sudah lama ia tidak menikmati pemandangan sawah seperti itu. Di kejauhan ia melihat orang-orang sedang bekerja. Mereka mencangkul bergelut dengan lumpur. Dari jauh mereka kelihatan seumpama kayu hidup, tak berbaju. Terik matahari memanggang mereka. Tubuh mereka hitam dan berkilauan karena keringat. Keringat mereka merembes dari setiap pori-pori lalu jatuh dan jadi pupuk penyubur padi yang kelak mereka tanam. “Mereka para pahlawan, karena keringat merekalah jutaan orang bisa makan.” Gumam Azzam. Setelah puas menikmati pemandangan yang menggugah itu ia melanjutkan perjalanan. Lima belas menit sebelum Ashar Azzam sampai di masjid pesantren. Masyarakat yang hendak mengikuti pengajian Al Hikam telah banyak berdatangan. Azzam melihat di antara yang hadir ada Pak Mahbub, imam masjid di kampungnya. Pak Mahbub tampak sedang asyik berbincang dengan seorang kakek berbaju hitam. Azzam tidak ingin mengganggu keasyikan mereka. Ia lalu melihat Kiai Lutfi berjalan dari rumah ke masjid. Kiai itu berbincang dengan seorang santri. Lalu mengitarkan pandangannya ke arah jamaah yang ada di dalam masjid. Azzam terus memperhatikan gerak-gerik Kiai itu. Dan saat kedua matanya dan kedua mata Kiai Lutfi bertemu, ulama kharismatik itu tersenyum padanya. Ia kaget ketika Kiai Lutfi berjalan ke arahnya. “Kau memenuhi janjimu Zam?” “Janji memang harus dipenuhi Pak Kiai.” 59 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menampilkan tokoh Azzam yang berusaha menepati janjinya untuk datang ke pengajian al-Hikam yang diasuh oleh Kiai Lutfi. Meskipun dalam keadaan letih, Azzam tetap berusaha menepati janjinya pada Kiai Lutfi. Azzam menganggap janjinya sama dengan utang, sehingga dalam kondisi apa pun ia tetap harus melunasinya. 59 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 519-520.