Tolong-menolong Akhlak terhadap Sesama Manusia

90

2. Rendah Hati

Menurut Nurcholish Madjid, rendah hati tawađu ialah “sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah. Maka, tidak sepantasnya manusia ‘mengklaim’ kemuliaan itu kecuali dengan pikiran dan perbuatan yang baik, yang itu pun hanya Allah yang akan menilainya. ” 53 Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah diri merupakan sikap negatif, yaitu tidak percaya diri atau minder dalam pergaulan. Sedangkan seseorang yang rendah hati senantiasa menghormati orang lain, karena ia menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Konsep rendah hati dapat dilihat dalam Alquran, salah satunya dalam ayat berikut: “…Demikianlah Kami mengatur rencana untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada ya ng lebih mengetahui.” Q.S. Yûsuf12: 76 54 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy turut menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap sesama manusia, terutama tentang rendah hati. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak tentang rendah hati. “Karena rasa sayang dan cinta Allah memerintahkan Rasulullah Saw. Untuk tawadhu. Lalu karena rasa sayang dan cinta juga Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk tawadhu. Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan aku agar tawadhu, jangan sampai ada salah seorang yang menyombongkan diri pada orang lain, jangan sampai ada yang congkak pada orang lain.’ “Rasulullah adalah teladan bagi orang berakhlak mulia. Beliau makhluk Allah paling mulia namun juga orang paling tawadhu dalam sejarah umat manusia. Sejak muda Rasulullah selalu merendahkan dirinya. 53 Nurcholish Madjid, pengantar dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, Cet. I, h. 15-16. 54 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 244. 91 “Contoh yang menggetarkan jiwa kita, adalah beliau sama sekali tidak risih menjadi penggembala kambing. Dengan menggembala kambing beliau tidak hanya merendahkan diri pada manusia juga pada binatang. Beliau tidak canggung hidup di tengah-tengah kambing yang bau dan kotor. Beliau menjaga dan melayani kambing dengan penuh kasih sayang. Jika ada kambing yang melahirkan beliau membantu persalinannya. Tidak ada jarak antara beliau dengan kambing yang digembalakannya. Rasulullah tawadhu tidak hanya pada manusia juga pada binatang ternak yang digembalakannya. “Para sahabat Nabi juga menghiasi dirinya dengan sifat merendahkan diri. Suatu hari Ali bin Abi Thalib membeli kurma satu dirham dan membawanya dalam selimutnya. Saat itu Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang memimpin umat Islam seluruh dunia. Ada seorang lelaki meli hatnya dan berkata padanya, ‘Wahai Amirul Mu’minin, tidakkah kami membawakannya untukmu?’ Ali menjawab dengan merendahkan diri, ‘Kepala keluarga lebih berhak membawanya.’ 55 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menampilkan tokoh Azzam yang sedang berceramah di masjid. Dalam ceramahnya, Azzam secara gamblang memaparkan konsep rendah hati. Ia mengutip hadis Nabi dan kisah dari sahabat ‘Ali bin Abî Ţâlib sehingga dengan sendirinya pembaca novel Ketika Cinta Bertasbih dapat mempelajari makna akhlak rendah hati dan penerapannya pada masa Nabi berdasarkan narasi tersebut.

3. Pemaafan

Pemaafan adalah sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan kesalahan orang lain yang pernah diperbuat terhadapnya. Pemaafan merupakan pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. Allah Swt. berfirman: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang- orang zalim.” Q.S. asy-Syûrâ42: 40 56 55 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 526-527. 56 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 487. 92 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap sesama manusia, terutama tentang pemaafan. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak tentang pemaafan. “Mbak Husna yang saya hormati. Saya punya satu pertanyaan, maaf kalau keluar dari tema diskusi kali ini. Saya ini sering sakit hati karena marah pada teman. Sering marah pada orang lain yang berbuat salah pada saya. Meskipun dia telah minta maaf tetapi hati saya sering masih sakit. Ini kenapa ya Mbak? Apa yang harus saya lakukan.” Tanya seorang santri lelaki bernama Toni yang masih kelas dua Madrasah Aliyah. Dengan tenang Husna menjawab pertanyaan itu, “Dik Toni, yang perlu kamu lakukan adalah membuka pintu maafmu yang setulus-tulusnya pada orang yang menyakitimu. Jika kamu masih merasa sakit hati padahal dia sudah minta maaf maka itu berarti kamu belum benar-benar memaafkannya. Salah satu ciri kita telah tulus memaafkan orang lain adalah jika kita tidak lagi terbelenggu oleh rasa sakit hati kita karena perbuatan orang lain itu. Memberi maaf itu Dik mampu membuka belenggu-belenggu sakit hati. Mampu menyingkirkan kebencian. Dan memaafkan adalah kekuatan yang sanggup menghancurkan rasa mementingkan diri sendiri Dan ingat Dik, ketika kamu memberi maaf itu tidak berarti kamu lebih rendah atau kalah. Justru ketika kamu bisa memberi maaf kamu telah menang dan kedudukanmu lebih terhormat dibandingkan orang yang kau beri maaf” 57 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menggambarkan konsep akhlak pemaafan. Melalui gaya penceritaan tanya-jawab yang diperankan oleh tokoh Husna dan Toni, pembaca dapat belajar makna pemaafan dan manfaatnya bagi orang yang mau memaafkan. Nilai akhlak memaafkan sangat baik untuk dimiliki dan terus dikembangkan oleh setiap peserta didik. Dalam pergaulan sesama manusia, kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja sangat mungkin untuk terjadi. Di sinilah pentingnya seseorang melatih dirinya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, sebab bila ia mampu memaafkan orang lain maka ia akan merasakan manfaat yang besar. Di antaranya adalah hati menjadi tenang dan terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. 57 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 418. 93

4. Penepatan Janji

Penepatan janji merupakan salah satu bentuk akhlak mulia. Sifat ini bernilai sangat tinggi karena dapat meneguhkan tali kepercayaan antaranggota masyarakat dan dapat meneguhkan perasaan untuk saling menolong. Penepatan janji merupakan sifat unik yang hanya dimiliki manusia. Jadi, barang siapa yang telah berani menanggalkan sifat ini dari dalam jiwanya maka ia telah mencabut peri kemanusiaan dari dalam jiwanya. Allah menjadikan janji sebagai bagian dari iman, bahkan sebagai penguat hubungan antarmanusia. Hal ini karena manusia pasti saling membutuhkan. Saling menolong tidak akan tercapai jika tidak ada keinginan untuk saling menepati janji. Jika tidak ada keinginan untuk saling menepati janji, anggota masyarakat akan mudah saling menjauh. Konsep penepatan janji dapat dilihat dalam Alquran, salah satunya dalam ayat berikut: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang- orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan musafir, peminta- minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang- orang yang bertakwa.” Q.S. al-Baqarah2: 177 58 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap tentang penepatan 58 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 27.