Kerja Keras Akhlak terhadap Diri Sendiri

81 tinggi pula. Semua itu karena cita-cita yang tertanam dalam hati sangat menentukan kesungguhan seseorang dalam meraih tujuan hidup. 39 Konsep cita-cita ini cukup jelas dipaparkan dalam Alquran. Salah satunya adalah pada ayat berikut. “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” Q.S. ar- Ra’d13: 11 40 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap diri sendiri, terutama tentang cita-cita yang tinggi. Sebagai gambaran, berikut akan penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak berupa cita-cita yang tinggi. “Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju. Kalau yang kauimpikan selama ini apa Mas? Bukan yang tadi lho. Yang selama ini kauimpikan.” Tanya Eliana. “Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak?” Sahut Azzam. “Mm… mungkin mendirikan pesantren.” “Salah.” “Terus apa?” “Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he he…” “Wow…gila It’s great dream, man Tak kuduga Mas Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku sendiri pun tidak menjangkaunya. Gila Boleh… Boleh Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul.” 41 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menampilkan dialog antara tokoh Azzam dengan Eliana. Azzam memiliki cita-cita yang tinggi. Ia ingin menjadi orang terkaya di pulau Jawa. Cita-cita Azzam yang tinggi ini diselaraskan dengan bekerja keras dan beribadah sehingga tidak hanya menjadi angan-angan belaka. Dalam bagian lain, Habiburrahman El Shirazy juga menampilkan gambaran akhlak bercita-cita tinggi sebagai berikut. 39 Imâm al- Ġazâlî, Risalah-risalah al-Ghazali, Terj. dari Majmû’ah Rasâil al-Imâm al-Ġazâlî oleh Irwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, h. 240. 40 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 250. 41 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 19. 82 Yang jelas, dengan bersilaturrahmi ke rumah Furqan ia mendapatkan satu manfaat yang cukup besar, yaitu munculnya kembali idealismenya yang sudah lama terkubur. Tahun ini ia ingin selesai S1 dari Al Azhar dengan predikat jayyid. Langsung pulang ke Tanah Air. Langsung bekerja, wirausaha, paling tidak ia bisa membuat warung di Kartasura. Jika ada waktu ia akan langsung melanjutkan S2. Tidak harus muluk-muluk. Bisa S2 di Solo, Semarang atau Jogja. Menikah. Lalu membuat rencana-rencana bersama isterinya untuk masa depan keluarganya. Ia mentargetkan minimal ia berpendidikan S2. Tapi ia memiliki satu obsesi, yaitu harus kaya Ia sudah terlanjur dikenal sebagai businessman di Cairo, tidak dikenal sebagai aktivis kelompok studi, maka sekalian ia tak mau kepalang tanggung, ia harus jadi businessman yang disegani di Indonesia nanti. Biarlah teman-temannya nanti ada yang menjadi guru besar, pemikir besar, kiai besar, mubaligh besar, sementara ia ingin menjadi konglomerat besar. Itulah obsesinya yang muncul saat itu. Jika jadi konglomerat besar ia bisa berjihad di jalan Allah dengan hartanya seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Dan ia akan tetap berusaha mengamalkan ilmu yang didapatkan selama belajar di Mesir sebisa mungkin. Ia jadi ingat Imam Abu Hanifah. Bukankah Imam Abu Hanifah adalah seorang imam yang juga seorang konglomerat terkemuka di jamannya? 42 Dalam kutipan di atas, Habiburrahman El Shirazy menampilkan cita-cita tokoh Azzam secara lebih terperinci dan terencana. Sebagai seorang penuntut ilmu, ia ingin segera menyelesaikan studi S1 yang sempat terhambat akibat terlalu sibuk bekerja, kemudian melanjutkan pendidikan minimal sampai jenjang strata 2 S2. Hal ini menandakan bahwa Azzam adalah sosok penuntut ilmu ideal yang memiliki cita-cita tinggi. Karakter seperti Azzam yang bercita-cita tinggi ini sangat baik untuk dimiliki dan dikembangkan oleh peserta didik. Terlebih kondisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, jelas membutuhkan generasi muda yang memiliki cita-cita tinggi. Karena nasib bangsa ini di masa depan akan sangat ditentukan oleh cita-cita dari generasi muda hari ini.

3. Giat Belajar

Giat belajar merupakan bentuk konkret dari rasa syukur terhadap segala nikmat Allah. Ini adalah konsekuensi logis dari rasa tanggung jawab sebagai 42 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih …, h. 259-260. 83 makhluk yang mendapat gelar khalifah Allah di muka bumi. Dengan giat belajar, seseorang sesungguhnya telah meneladani karakter Nabi Adam dalam masa pertama penciptaan manusia. Sebab Allah telah mengajarkan Nabi Adam berbagai ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan di dunia. Konsep giat belajar ini dapat dikaji dari berbagai ayat Alquran, salah satunya dalam ayat berikut: “Wahai orang-orang yang beriman Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” Q.S. al-Mujâdalah58: 11 43 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak tentang giat belajar. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak tentang giat belajar. Azzam tidak malu untuk belajar pada orang yang seusia dengannya. Ia sudah dua tahun belajar pada imam masjid yang berasal dari pelosok desa di Mesir utara itu. Tinggal satu juz lagi. Ia memang minta waktu khusus. Biasanya hanya setelah Subuh. Ia menjelaskan kepada Adil satu bulan lagi pulang. Adil Ramadhan siap mengajarnya secara intensif. Beliau berharap sebelum Azzam pulang, belajarnya membaca Al-Quran dengan disiplin qira’ah riwayat Imam Hafs bisa khatam. Qira’ah riwayat Imam Hafs adalah qira’ah yang lazim dipakai di dunia Islam termasuk di Indonesia. Azzam belajar dengan penuh semangat. Ia ingin khatam. Ia merasa prestasi akademisnya yang tidak cukup cemerlang harus ditutup dengan menuntaskan ilmu paling pokok dalam Islam. Yaitu ilmu membaca Al- Quran dengan baik dan benar. Dengan ilmu itu ia bisa mengajarkan cara membaca Al-Quran dengan benar, tidak asal-asalan. Adapun ilmu untuk memahami Al-Quran, ia telah mendapatkannya dari kampus Al-Azhar. 44 43 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 543. 44 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 307-308.