Giat Belajar Akhlak terhadap Diri Sendiri

85 Azzam terus membuat bola demi bola dan memasukkannya ke dalam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Matanya telah merah. Tubuhnya telah minta istirahat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin. Jika tidak, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan akibatnya bisa berantakan. Tapi jika ia tetap teguh, disiplin, dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan-pekerjaannya yang lain akan selesai pada waktunya. Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yang ia rasakan. 46 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menggambarkan kedisiplinan yang dilakukan oleh Azzam. Dengan disiplin, ia bisa menyelesaikan segala urusannya dengan baik. Pekerjaannya tidak akan menumpuk, sehingga waktunya tidak akan terbuang dengan sia-sia. Akhlak disiplin yang diperankan oleh Azzam ini patut untuk diteladani. Karena disiplin adalah perbuatan yang baik, meskipun selalu terasa berat untuk mengamalkannya. Seseorang perlu dipaksa untuk menerapkan disiplin pada dirinya. Pemaksaan ini bertujuan untuk membiasakan tubuh melakukan aktivitas secara teratur. Bila sudah terbiasa, maka tidak akan terasa berat lagi untuk melakukannya.

5. Pemeliharaan Kesucian Diri

Memelihara kesucian diri termasuk dalam rangkaian perilaku akhlak yang dituntut untuk dimiliki oleh manusia menurut ajaran Islam. Menjaga kesucian dan kehormatan diri hendaknya dilakukan setiap waktu. Dengan penjagaan diri yang ketat, maka status kesucian akan dapat selalu dipertahankan oleh setiap individu. Konsep memelihara kesucian diri dapat dilihat dalam Alquran, salah satunya dalam ayat berikut: “… Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang- orang yang bersih.” Q.S. at-Taubah9: 108 47 46 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 175. 47 Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Qur’an dan Terjemahnya…, h. 204. 86 Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, tampak bahwa Habiburrahman El Shirazy banyak menampilkan konsep pendidikan akhlak terhadap diri sendiri, terutama tentang memelihara kesucian diri. Sebagai gambaran, berikut penulis tampilkan bagian dalam novel tersebut yang mengetengahkan konsep pendidikan akhlak tentang memelihara kesucian diri. Standar dia untuk calon isteri minimal adalah Salwa. Dan standar itu tidak pernah ia turunkan. Tapi entah kenapa, saat bertemu Eliana yang cara berpakaian dan cara hidupnya, menurutnya, tidak berbeda dengan Vera hatinya bisa luluh. Kenapa ia menurunkan standar yang telah bertahun- tahun ia jaga. Bahwa calon isterinya, minimal adalah perempuan yang berjilbab rapat, bisa membaca Al-Quran dan pernah mengecap kehidupan pesantren. Dan betapa menyesalnya dirinya begitu menurunkan standar ternyata yang ia dapatkan adalah kehinaan. Akal sehatnya menggiringnya untuk kecewa pada Eliana. Kecewa karena ia merasa sudah bisa meraba cara hidup Eliana. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Putri Pak Dubes itu saat kuliah di Prancis. Sudah berapa lelaki bule dan tidak bule yang berciuman bibir dengannya. Dan ia ditawari untuk jadi lelaki ke sekian yang berciuman dengannya. Ini jelas bertentangan dengan apa yang ia jaga selama ini. Yaitu kesucian. Kesucian jasad, kesucian jiwa, kesucian hati, kesucian niat, kesucian pikiran, kesucian hidup dan kesucian mati. Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun masyarakat Indonesia di Mesir mengenalnya hanya sebagai tukang masak atau penjual tempe, harga diri dan kesucian diri tidak boleh diremehkan oleh siapapun juga. Ia yakin akan mendapatkan isteri yang lebih jelita dari Eliana, dan lebih baik darinya. Ia yakin. 48 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menggambarkan tokoh Azzam yang begitu teguh menjaga kesucian dirinya. Azzam telah mematok standar khusus untuk wanita yang kelak akan menjadi istrinya, yaitu wanita yang mampu menjaga kesucian dan harga dirinya. Ia memang sempat tertarik pada Eliana, tokoh yang pada awalnya digambarkan memiliki sejumlah akhlak yang kurang baik. Namun prinsip menjaga kesucian diri yang ia pegang teguh akhirnya menggiringnya untuk tidak lagi menjadikan Eliana sebagai calon istrinya. 48 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 32-33. 87 Dalam bagian lain, Habiburrahman El Shirazy juga menampilkan gambaran akhlak memelihara kesucian diri, sebagai berikut. “Bue kalau Kak Azzam benar dekat sama Eliana. Terus nanti mau menikahi Eliana, Bue setuju tidak?” “Kalau Eliana itu muslimah. Mau mengaji. Mau menutup aurat dengan baik dan taat pada suami ya ibu setuju saja. Siapa tho yang tidak ingin punya menantu cantik dan kaya seperti Eliana?” “Kalau Eliana tidak mau menutup aurat dengan baik. Terus kalau main film cium-ciuman sama lawan mainnya, bagaimana Bu?” “Wah kalau seperti itu ya lebih baik menikah dengan gadis tetangga yang baik dan salehah. Apa gunanya punya menantu yang suka ciuman sama lelaki lain. Ih, itu tidak bisa menjaga kehormatan namanya.” 49 Pada bagian ini Habiburrahman El Shirazy menggambarkan pendirian ibunda Azzam yang menginginkan memiliki menantu salehah. Yaitu wanita yang bisa menjaga kehormatan dan kesucian dirinya dengan menutup aurat dan taat mengaji.

D. Akhlak terhadap Sesama Manusia

Dalam memenuhi kewajiban bagi dirinya, Islam juga mengingatkan manusia agar tidak merugikan hak-hak orang lain. Islam melarang manusia untuk berbohong, misalnya, karena akan merugikan orang lain. Semua batasan larangan ini bertujuan melindungi manusia agar tidak mengorbankan hak orang lain. Hendaknya pula manusia saling menghormati dan bekerja sama antara satu dengan yang lain. Kajian akhlak terhadap diri sendiri yang digali dalam novel Ketika Cinta Bertasbih ini mencakup lima hal utama, yaitu: tolong-menolong, rendah hati, pemaafan, penepatan janji, dan pemuliaan tamu.

1. Tolong-menolong

Dalam hidupnya di dunia, manusia tidak terlepas dari pelbagai problematika sosial. Karena ia akan selalu terikat dengan berbagai kebutuhan, baik secara biologis maupun psikologis. Dalam usaha memenuhi kebutuhannya tersebut, 49 Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasbih…, h. 479.