pendapatan, atau untuk meningkatkan daya saing. Artinya, perampingan dapat diimplementasikan sebagai reaksi defensif penurunan atau sebagai
strategi proaktif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dan terakhir, Perampingan mempengaruhi proses kerja secara sadar ataupun tidak.
Misalnya pada kontrak tenaga kerja, apabila karyawan yang tersisa lebih sedikit untuk melakukan jumlah beban kerja yang sama, hal ini
berdampak pada pekerjaan apa yang akan dilakukan dan bagaimana hal itu akan dilakukan.
b. Faktor Individual
1 Pertentangan Antara Pekerjaan dan Tanggung Jawab Keluarga
Menurut Beutell dan Greenhauss 1985 dalam Almasitoh 2011 bahwa seseorang dikatakan mengalami konflik peran ganda apabila
merasakan suatu ketegangan dalam menjalani peran pekerjaan dan keluarga. Dalam jurnal Lulus Margiati 1999 menunjukkan bahwa
banyak kasus, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan khususnya moril dari keluarga, seperi
orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Hal ini disebabkan, ketiadaan dukungan sosial tersebut menyebabkan perasaan yang
menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Hasil serupa juga didapatkan Almasitoh 2011, bahwa perawat yang
memiliki konflik peran ganda yang rendah dan dukungan sosial yang tinggi, maka tingkat stres kerja yang dialami rendah.
Yang, Chen, Choi, Zou, 2000 dalam wirkaristama 2011 mengidentifikasikan tiga jenis work-family conflict, yaitu:
1. Time-Based Conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan
keluarga atau pekerjaan dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya pekerjaan atau keluarga.
2. Strain-Based Conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi
kinerja peran yang lainnya. 3. Behavior-Based Conflict.
Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian pekerjaan atau keluarga.
Menurt hasil
penelitian Mayasari
2011
, konflik pekerjaan keluarga berpengaruh terhadap stress kerja perawat wanita rumah sakit
balimed Denpasar. Selain itu juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bida 1995 menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara kondisi rumah tangga dengan stres kerja.
2 Ketidakpastian Ekonomi
Saat keadaan ekonomi berubah tak menentu, kekhawatiran orang mengenai keamanan dalam memenuhi kebutuhannya akan meningkat
Robbins, 1998. Pada umumnya motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga
mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Kondisi
tersebut merupakan dorongan penyadaran peran wanita untuk berkiprah di sektor publik. Pembagian kerja dan perencanaan di dalam keluarga
telah menyebabkan tidak saja beban berlebihan dan jam kerja panjang bagi perempuan, tapi juga ketergantungan perempuan secara ekonomi.
Oleh karenanya perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik sekaligus tetap harus menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu
Nursyabani, 1999 dalam Fiati dan Zahro 2011. Menurut Hermann, et al 1990 dalam Kendall, et al 2000 bahwa
ketegangan terhadap keuangan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan tekanan emosional bahkan ketika efek dari sumber daya
pribadi yang tetap konstan. penyesuaian psikologis secara signifikan berhubungan dengan kemandirian ekonomi yang dirasakan Melamed,
Grosswasser, dan Stern 1992 yang dikutip oleh Kendall, et al 2000. Menurut hasil penelitian Fiati dan Zahro 2011, motivasi ekonomi
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat stres pada wanita karir. Naiknya harga barang-barang kebutuhan, serta buruknya
kondisi ekonomi dapat menjadi faktor yang berpotensi menyebabkan stres pada seseorang Lianasari, 2009. Selanjutnya, ketidakpastian
ekonomi dapat menimbulkan kemiskinan, sehingga kemiskinan dalam hal ekonomi keuangan dianggap dapat membangkitkan stres bagi keluarga
khususnya individu itu sendiri Belton dan Santos, 2011.
3 Penghargaan Kerja
Dalam interaksinya dengan orang lain maupun pihak lain, setiap orang pasti memiliki keinginan untuk dihargai atas sesuatu yang
dilakukannya terhadap pihak yang berkepentingan menghargai suatu usaha atau pekerjaan seseorang yang bukan untuk kepentingan orang
tersebut adalah suatu keharusan dari segi kemanusiaan. Di sisi lain, orang yang telah memberikan suatu hasil untuk orang lain atau untuk suatu
kelompok maupun suatu organisasi akan menginginkan hasilnya tersebut dapat diterima dan dihargai oleh pihak yang berkepentingan. Pada
lingkungan kerja, pegawai memiliki keinginan untuk dihargai oleh atasannya terhadap hasil kerjanya yang telah dicapai dengan sepenuh hati
dan kemampuannya Moenir 1983. Penghargaan sering disamakan penyebutannya dengan insentif karena
keduanya memiliki persamaan sifat dan maknanya, tetapi jika dikaji lebih dalam akan berbeda. Penghargaan diberikan kepada seseorang
untuk menghargai jasa atau prestasi seseorang. Sedangkan insentif diberikan kepada seseorang agar orang yang bersangkutan dapat
berprestasi ataupun berjasa lebih baik lagi dari sebelumnya Moenir, 1983.
Menurut moenir 1983, wujud penghargaan dalam lingkungan kerja adalah penghargaan fisik dan penghargaan non fisik. Penghargaan fisik
adalah penghargaan dalam bentuk benda, dapat berupa uang atau barang.
Barang-barang yang bersifat konsumtif sandang, pangan, dan kebutuhan pokok lainnya dan yang bersifat modal rumah, kendaraan, maupun alat
kerja yang lain sesuai dengan profesi seseorang termasuk dalam penghargaan benda berupa barang. Sedangkan penghargaan non fisik
adalah penghargaan yang berhubugan dengan kepuasan rohani seseorang dari sisi kemanusiaan. Memberikan ucapan terimakasih kepada seorang
bawahan atas hasil kerjanya merupakan wujud penghargaan yang mendasar namun sederhana.
Dalam penelitian Pratiwi dan Laksmiwati 2012 didapatkan bahwa dukungan penghargaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stres
dengan arah hubungan negatif. Hal ini didukung oleh Hezberg dalam Munandar 2006 yang menyatakan bahwa apabila pekerja menganggap
gajinya terlalu rendah, pekerja tersebut akan merasa tidak puas, dan sebaliknya apabila seseorang menganggap gajinya cukup, tenaga kerja
akan merasa puas dalam bekerja. Dengan mempertimbangkan kepuasan kerja, pada pekerja dapat mengurangi potensi stres kerja pada pekerja
tersebut Miller, 2000.
4 Kejenuhan Kerja
Gejala khusus dari kejenuhan kerja dapat berupa kebosanan, depresi, rasa pesimis, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan,
tidak masuk kerja, dan kesakitan atau sakit. Kejenuhan kerja memiliki potensi untuk menimbulkan keletihan kerja sehingga pekerja merasa
bahwa dirinya hanya memiliki sedikit pengendalian terhadap faktor- faktor di tempat kerja atau bahkan tidak memiliki pengendalian sama
sekali. Berdasarkan gambaran gambaran tersebut, kejenuhan kerja dapat menjadi faktor pencetus stres kerja National Safety Council, 2004.
Rahmawati 2007 dalam penelitiannya memaparkan bahwa pola sikap yang mencirikan kebosanan kerja diantaranya adalah sering tidak
masuk bekerja tanpa alasan yang jelas, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan kekerasan fisik. Kebosanan dalam
bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang mengakibatkan produktivitas kerja menurun, adanya ketidakpuasan kerja, kurang
motivasi, hilangnya gairah kerja burnout, angka absen yang meningkat Prihantini, 2000 dalam Rahmawati, 2007.
Selanjutnya Saragih 2008 dalam penelitiannya mengenai kejenuhan kerja terhadap stres kerja pada perawat, menyebutkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kejenuhan dalam bekerja dengan kejadian stres kerja pada responden penelitiannya. Hal ini diperkuat oleh
munandar 2006 yang menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan berulang atau monoton majemuk dapat menimbulkan rasa bosan
maupun jenuh, dan kemajemukan kerja yang semakin tinggi dapat menimbulkan peningkatan stres pada pekerja. Menurut penelitian yang
dilakukan Cooper Kelly 1984 yang dikutip oleh munandar 2006 bahwa kebosanan didapatkan sebagai sumber stres yang nyata pada
operator kran.
Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan lebih rendah rasa kejenuhannya dibandingkan dengan orang lain yang bermotivasi rendah
Anoraga, 1998 dalam Airmayanti, 2008. Dan rendahnya tingkat kejenuhan kerja burnout dapat meningkatkan kepuasan kerja Mizmir,
2011. Tingginya kepuasan kerja dapat menurunkan tingkat stres kerja yang dialami pekerja, karena kepuasan kerja memiliki hubungan korelasi
negatif signifikan dengan stres kerja
Kosnin dan Lee
, 2008. Hal ini juga diperkuat oleh Miller 2000 yang menyatakan bahwa salah satu cara
untuk mengurangi potensi stres kerja karyawan yaitu dengan mempertimbangkan kepuasan kerja karyawan.
5 Perawatan Anak
Menurut Wulanyani dan Sudiajeng 2006 dalam hasil penelitiannya didapatkan bahwa urutan kedua tertinggi penyebab stres pada wanita
bekerja adalah masalah pengasuhan anak. masalah pengasuhan anak yang menyebabkan pekerja wanita menjadi stres dialami oleh pekerja wanita
yang memiliki anak kecil. Apabila usia anak semakin kecil, maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. Perasaan bersalah yang
dimiliki pekerja wanita yang juga berperan sebagai ibu akibat meninggalkan anaknya untuk bekerja merupakan persoalan yang sering
dipendam, apalagi tidak ada lagi orang yang dapat diandalkan untuk mengasuh anaknya tersebut.
Menurut Freudiger 1983 dalam Wulanyani dan Sudiajeng 2006 perasaan bersalah tersebut menimbulkan rasa ketidaknyamanan ibu dalam
menjalankan perannya di dunia kerja. Hal ini diperkuat oleh Ihromi 1990 dalam Rahmah 2011, bahwa rasa cemas akibat dari efek negatif
terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan atau kemampuan dalam membina perkembangan anak dapat menimbulkan stres.
6 Hubungan Dengan Rekan Kerja
Menurut Selye 1956 yang dikutip oleh Munandar 2006 bahwa hidup dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang
penuh stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi
.
Dalam penelitian yang dilakukan Salafi Nugrahani 2008 didapatkan adanya hubungan yang bersifat searah antara hubungan dengan rekan
kerja terhadap stres kerja yang dialami pekerja. Artinya semakin kurang rasa kepuasan hubungandukungan sosial yang didapatkan dari rekan
kerjanya, maka tingkat stress yang dialami akan semakin berat dan sebaliknya.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bida 1995 bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara hubungan sesama rekan
kerja dengan stres yang dialami pekerja. Menurutnya hal tersebut disebabkan karena pada satu tingakatan karir yang sama membuat pekerja
tersebut tidak perlu mempertanggung jawabkan pekerjaannya kepada
teman sekerja dan juga dimungkinkan karena budaya gotong royong yang tercipta di lingkungan kerjanya.
c. Faktor Lingkungan