teman sekerja dan juga dimungkinkan karena budaya gotong royong yang tercipta di lingkungan kerjanya.
c. Faktor Lingkungan
1 Kondisi Lingkungan Kerja Kebisingan, Ventilasi, Kebersihan, dll
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang telalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, lingkungan kerja kotor atau
kebersihannya kurang, dan lain sebagainya. Ruangan yang terlalu panas sirkulasi tidak baik menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam
menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Selain itu, adanya kebisingan juga memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap munculnya stres kerja karena beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain Muchinsky dalam Irawan,
2010. Hal ini didukung oleh Nugrahani 2008 yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara buruknya lingkungan kerja yang meliputi
adanya hubungan temperatur tempat kerja terlalu panas dan kebisingan dengan tingkat stres kerja yang dialami para pekerja.
Dalam penelitian Airmayanti 2010 didapatkan bahwa kebisingan berpengaruh terhadap stres kerja. Menurut Airmayanti 2010 keadaan
bising dapat mengganggu pendengaran, terjadinya kecelakaan kerja, menimbulkan terjadinya gangguan atau pengaruh psikologis dari pekerja
dalam bentuk gangguan emosi, temperamen dan lain-lain.
Selain kebisingan, temperatur juga dapat menimbulkan stres. Menurut Nugrahani 2008, temperatur memiliki hubungan dengan tingkat stres
pekerja. Dalam kondisi terpajan panas heat stress, tubuh mengabsorbsi lebih banyak panas dibandingkan dengan yang mampu dikeluarkannya,
hal tersebut dapat menimbulkan peningkatan temperatur tubuh yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gangguan mental, sakit atau kematian
SulskySmith, 2005 dalam Nugrahani, 2008. Menurut hasil penelitian Susilo 2007, lingkungan kerja fisik secara
parsial berpengaruh negatif signifikan terhadap stress kerja pada karyawan, artinya semakin baik lingkungan fisik maka stress kerja akan
menurun. Hal ini didukung oleh penelitian
Arisona 2008 yang mendapatkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
persepsi terhadap kondisi lingkungan kerja dengan tingkat stres kerja pada karyawan bagian tebang angkut.
Dalam penelitiannya, Harrianto 2007 memaparkan bahwa kondisi fisik lingkungan yang dapat mempengaruhi
timbulnya stres kerja diantaranya yaitu tempat kerja yang sunyi atau terpencil dimana pekerja tidak memiliki kesempatan berkomunikasi
dengan orang lain saat menjalani tugasnya, tempat kerja yang jauh atau sulit dijangkau, dan adanya paparan fisik maupun zat kimiawi.
Agar stres kerja yang dialami responden tidak semakin tinggi dapat dilakukan
dengan menerapkan
teknik kerekayasaan
organisasi. Kerekayasaan organisasi merupakan usaha untuk mengubah lingkungan
kerja menjadi lingkungan kerja yang tidak penuh stres dengan menganalisa kondisi lingkungan kerja terlebih dahulu Munandar, 2006.
2 Diskriminasi Ras
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 2008, yang dimaksud dengan tindakan diskriminasi ras dan etnis adalah perbuatan
yang berkaitan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau mengurangi pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
3 Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan
oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi
korban pelecehan. Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi
pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, kekuasaan jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang
lebih banyak, dsb. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi: main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno,
cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan
rayuan atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga dapat berupa komentarperlakuan negatif yang
berdasar pada gender, sebab pada dasarnya pelecehan seksual merupakan pelecehan gender Annisa, 2012.
Dalam Seventh International Conference on Work, Stress, and Health, yang dikutip dari Noorika 2012, Hershcovis menjelaskan bahwa pekerja
yang mengalami pelecehan seksual, hasil kerjanya jauh lebih buruk dibandingkan pekerja yang mengalami tindakan kekerasan, karena
pelecehan seksual membuat moral pekerja merasa begitu direndahkan. Menurt Margiati 1999 bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu
peyebab timbulnya stres kerja. Selain itu, menurut womens health 2013 yang memaparkan bahwa wanita yang mengalami pelecehan seksual
mungkin akan beresiko menderita masalah emosional, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma Post Trauma Stress
Dissorder PTSD. Post Traumatic Stress Disorder PTSD adalah gangguan kecemasan
yang dapat terjadi mengikuti pengalaman atau menyaksikan peristiwa traumatis. Sebuah peristiwa traumatis adalah peristiwa yang mengancam
jiwa seperti pertempuran militer, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau penyerangan fisik atau seksual pada orang
dewasa atau anak-anak Mental Health America, 2013. Tingkatan
gangguan stres pasca trauma berbeda-beda tergantung seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban
Wardhani Lestari, 2007. Selama ini, faktor rasa takut, rasa malu, tidak tahu harus
kemana mengadu, dan lain-lain mempengaruhi tidak adanya catatan khusus
mengenai pelecehan seksual di tempat kerja KEMENAKERTRANS, 2011. Dari banyaknya kasus pelecehan seksual, yang sering
menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud
hanya karena memiliki jenis kelamin wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran masyarakatnya
khususnya wanita terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindunginya Baron and
Greenberg dalam Irawan, 2010.
4 Kekerasan Di Tempat Kerja
Dalam lembar fakta catatan tahunan Komnas Perempuan 2013, Ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2012. Dari kasus yang tercatat, lingkupnya sekitar 65 persen merupakan kasus kekerasan di tingkat personal terutama
kekerasan domestik KDRT, disusul 34 persen kekerasan di ranah komunitas, dan satu persen negara. Namun menurut Desti Murdijana,
gambaran jumlah kasus kekerasan perempuan harus disikapi sebagai
fenomena gunung es, karena data yang ada tercatat belum seluruhnya atau hanya di permukaan, belum sebanding dengan besarannya National
Geographic Indonesia, 2013. Menurut Yoan dan Ning 2009, adanya keengganan wanita korban kekerasan untuk berbicara, berasal dari situasi
sosial yang tidak mendukung posisi wanita tersebut ketika berusaha mendapatkan keadilan pasca diperlakukan sewenang-wenang.
Peneliti dari Universitas Manitoba Sandy Hershcovis dan peneliti Universitas Queen Julian Barling menyatakan, dari Kingston, Ontario,
Kanada, kekerasan yang diterima para pekerja menimbulkan dampak yang lebih berbahaya dibandingkan pelecehan seksual. Akan tetapi,
kedua hal tersebut harus dihindari karena membuat pekerja tertekan dan merusak suasana di tempat kerja dalam Noorika,2012.
Berdasarkan Quebec Labour Standards Act, yang dikeluarkan Juni 2004 dalam Noorika,2012, kategori tindakan kekerasan dalam
pekerjaan, antara lain mencaci maki setiap saat, mengeluarkan kata-kata kasar dan menunjukkan sikap tubuh menyerang, serta menekan psikologi
seseorang. Menurut Canadian Centre for Occupational Health and Safety 2012, yang termasuk dalam kekerasan di tempat kerja diantaranya
adalah perilaku yang mengancam menggebrak, menghancurkan barang atau melempar benda, ancaman secara lisan ataupun tertulis, pelecehan,
perkataan yang mencaci maki, serta kekerasan fisik dipukul, disikut, didorong, atau ditendang.
Health safety Executive 2006, memaparkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan distress. Selain kekerasan dengan fisik, pelecehan maupun
ancaman verbal secara serius ataupun berulang juga dapat merusak kesehatan karyawan melalui kecemasan atau stres.
5 Kemacetan
Kemacetan identik dengan kepadatan, yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang jalan tertentu dari lajur
atau jalan, dirata-rata terhadap waktu Sari, 2011. Kemacetan lalulintas pada ruas jalan raya terjadi ketika arus kendaraan lalulintas meningkat
seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pengguna jalan melebihi dari kapasitas yang ada Meyer et
al, 1984 dalam Sari, 2011. Menurut Menteri Perindustrian, MS. Hidayat dalam Koran Kota 2012 yang menyatakan bahwa
keterbatasan infrastruktur jalan di dalam negeri dan kendala pembebasan lahan
menunda sejumlah proyek pembangunan jalan menjadi penyebab utama kemacetan.
Berdasarkan hasil penelitian Sapta 2009, kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasa waktunya terbuang, mengurangi jam belajar atau
jam kerja, pemborosan bensin, hilangnya pendapatan dan stres. Menurut hasil penelitian David Moxxon yang dikutip oleh Bararah 2011,
seseorang yang mengalami Traffic Stress Syndrom TSS akan mulai muncul gejala stres dalam rentang waktu 3-5 menit, sedangkan orang
yang tidak memiliki TSS, gejala stres akan muncul apabila sudah mengalami kemacetan sekitar 13-14 menit. Berbeda dengan hal tersebut,
Vierdelina 2008 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa belum terbukti ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap
kemacetan dan stres kerja. Untuk menghindari stres pada individu ketika berada pada situsasi
kemacetan, men health Indonesia 2013 memaparkan beberapa cara yang diantaranya dapat dilakukan dengan berangkat lebih awal,
menyediakan cemilan untuk dapat mengembalikan energy dan mood, menyediakan aroma terapi di mobil, dan merubah rute rutin perjalanan.
2. Penyebab Stress Menurut Hurrel