memiliki efek begitu penting, hal ini dianggap kurang baik. Sedangkan distress dianggap buruk dan sering hanya disebut sebagai stres Seaward,1994. Dalam
pandangan saat ini istilah stres memiliki sinonim dengan stres negatif dan istilah tekanan sering digunakan untuk menggambarkan stres positif Deakin University,
2013. Dari beberapa definisi mengenai stres tersebut dapat disimpulkan bahwa stres
merupakan suatu kondisi yang terjadi dimana tuntutan yang didapatkan seseorang dirasakan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan seseorang untuk mengatasi
tuntutan tersebut yang pada suatu waktu dapat menimbulkan gangguan kesehatan maupun dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang tersebut.
C. Definisi Stres Kerja
Stres kerja adalah keadaan psikis yang terjadi sebagai wujud ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian antara persepsi seseorang terhadap tuntutan
yang dimilikinya yang berhubungan dengan pekerjaan dan kemampuan mereka dalam mengatasi tuntutan tersebut Cox,1981; Miller 2000. Hal ini secara tidak
langsung menjelaskan bahwa stres kerja merupakan suatu yang bersifat mendasar pada individu, mempengaruhi muatan pengalaman yang berhubungan secara
subjektif dalam mempersepsikan stressor Handy, 1988; Miller,2000. Greenberg 2002 mendefinisikan stress kerja sebagai kombinasi antara
sumber-sumber stress yang berhubungan dalam pekerjaan, karakteristik individu, dan stressor di luar organisasi. World Health Organization 2003 menjelaskan
bahwa yang dimaksud stres yang berhubungan dengan kerja adalah respon seseorang
yang mungkin timbul saat tuntutan dan beban kerja tidak sebanding dengan pengetahuan dan kemampuan serta tantangan bagi mereka untuk mampu
menanggulanginya. Dari beberapa definisi mengenai stress kerja tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa stress kerja merupakan stres yang diakibatkan oleh
tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuannya dalam menaggulangi tuntutan tersebut.
D. Faktor Penyebab
Setiap aspek di dalam pekerjaan berpotensi menjadi pembangkit stres. Sumber stres yang dapat menyebabkan seseorang tidak optimal dalam menjalankan
fungsinya atau yang dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak hanya dari satu macam pembangkit stres saja tetapi dapat disebabkan dari beberapa pembangkit
stres, sebagian besar diantaranya adalah dari jumlah waktu bekerja individu tersebut. Tiap tenaga kerja dapat menentukan sejauhmana situasi yang dihadapi
menjadi situasi stres atau tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya di dalam pekerjaan juga dipengaruhi oleh hasil interaksi di tempat lain seperti di rumah, di sekolah, di
tempat perkumpulan, dan sebagainya Munandar, 2006.
1. Penyebab Stres Menurut National Safety Council
Dalam National Safety Council 2004, penyebab stres kerja dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: faktor organisasional, faktor
individual, dan faktor lingkungan.
a. Faktor Organisasional
1 Kurangnya Otonomi Kerja
Tuntutan tugas merupakan faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Mereka meliputi desain pekerjaan individu
otonomi, berbagai tugas, tingkat otomatisasi, kondisi kerja, dan tata letak kerja fisik. Lebih banyak ketergantungan antara tugas-tugas
seseorang dan tugas lainnya, lebih berpotensi terhadap adanya stres. Di
sisi lain, otonomi cenderung dapat mengurangi stres Robbins, 1998.
Seseorang yang diberikan otonomi dalam pekerjaannya dapat memungkinkan berkurangnya stres dalam dirinya, hal ini didukung oleh
penelitian Harlen Saragih 2008 diketahui bahwa pekerja yang bekerja secara mandiri ada 78,4 yang tidak mengalami stres sedangkan yang
tidak bekerja secara mandiri ada 54,5 yang mengalami stres, dan dalam penelitian tersebut diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara
otonomi kerja dengan stres kerja.
2 Beban Kerja
Tugas-tugas yang diberikan kepada pekerja terlalu banyak atau terlalu sedikit untuk diselesaikan dalam waktu tertentu akan menimbulkan beban
kerja berlebih atau terlalu sedikit kuantitatif. Beban kerja berlebih atau terlalu sedikit kualitatif adalah apabila pekerja merasa tidak mampu untuk
melakukan suatu tugas, ataupun suatu tugas yang tidak disertai keterampilan danatau potensi dari pekerja tersebut Munandar, 2006.
Tugas yang banyak tidak selalu menjadi penyebab stres, akan cenderung menjadi sumber stres apabila tugas yang banyak tersebut
melebihi kemampuan fisik maupun keahlian dan waktu yang diberikan kepada pekerja tersebut untuk menyelesaikannya Davis dan
Newstrom,1989 dalam Margiati,1999. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitaif maupun beban
berlebih kualitatis adalah desakan waktu. Pada saat-saat tertentu dan dalam hal tertentu, waktu akhir deadline dapat meningkatkan motivasi
dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Dan pada pekerjaan yang menitikberatkan pada pekerjaan otak membuat pekerjaan menjadi
semakin majemuk, semakin tinggi kemajemukan pekerjaan menimbulkan bertambah tingginya tingkat stres yang dialami Munandar, 2006.
Sedangkan jika beban kerja dirasa terlalu sedikit yang disebabkan kurangnya rangsangan akan menimbulkan semangat dan motivasi yang
rendah untuk bekerja. Pekerja akan merasa dirinya tidak berkembang dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya
Sutherland dan Cooper, 1998 dalam Munandar, 2006. Dalam hal ini, penelitian Airmayanti 2010 dan bida 1995
mendapatkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja yang dialami oleh responden dalam penelitiannya
masing-masing. Untuk beban kerja kuantitatif, Salafi Nugrahani 2008 menerangkan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja kuantitatif
dengan tingkat stres kerja, yaitu semakin tinggi beban kerja kuantitatif
yang dirasakan pekerja, maka tingkat stres yang dialami akan semakin berat dan sebaliknya.
Untuk mencegah timbulnya dampak buruk bagi pekerja yang disebabkan oleh beban kerja adalah dengan menambah gaji yang diterima
pekerja maupun dengan memberikan motivasi yang membuat pekerja tidak merasa beban kerjanya terlalu berat. Karena menurut Sedamayanti
2009 yang dikutip dalam Airmayanti 2010 kesediaan pegawai untuk menyesuaikan beban kecepatan kerjanya selama jam kerja adalah dengan
menambah gajipendapatan yang diterima pekerja maupun motivasi lainnya.
3 Relokasi Mutasi Pekerjaan
Menurut kamus besar bahasa indonesia, mutasi relokasi kerja adalah pemindahan karyawan dari satu jabatan ke jabatan lain. Relokasi
mutasi kerja merupakan pemindahan suatu pekerjaan dari tempat kerja lama menuju tempat kerja baru dengan tanggung jawab sama atau
berubah Ghufroni, 2010. Menurut Alex S. Nitisemito 1982 yang dikutip oleh Zaini 2012 pengertian mutasi adalah kegiatan yang
dilakukan atas persetujuan pimpinan perusahaan untuk memindahkan karyawan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain yang dianggap setingkat
atau sejajar. Sedangkan menurut Sastrohadiwiryo 2002 dalam Zaini 2012 mutasi adalah kegiatan ketenagakerjaan yang berhubungan dengan
proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan
tenaga kerja ke situasi tertentu diharapkan agar tenaga kerja tersebut mendapatkan kepuasan kerja dan dapat memberikan prestasi kerja yang
maksimal kepada perusahaan. H. Malayu S.P. Hasibuan 2008 dalam Zaini 2012 menyatakan bahwa pada dasarnya mutasi termasuk dalam
fungsi pengembangan karyawan, karena bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja perusahaan institusi tersebut.
Tujuan diadakannya relokasi mutasi kerja yang dinyatakan Hasibuan SP 2003 dalam Saragih 2008 adalah diharapkan dapat
memberikan uraian pekerjaan, lingkungan kerja dan alat kerja yang sesuai untuk orang yang bersangkutan sehingga dapat bekerja dengan
efisien dan efektif. Akan tetapi relokasi mutasi kerja yang tidak sesuai dapat menimbulkan tekanan kejiwaan maupun perasaan yang bersumber
dari unit kerja baru ataupun jabatan baru, apabila pada tingkat toleransi tertentu tidak dapat ditoleransi oleh orang yang mengalami relokasi
mutasi kerja akan berpotensi menimbulkan stres Saragih, 2008. Dalam hasil penelitian Harlen Saragih 2008 diketahui bahwa ada
hubungan yang signifikan antara mutasi kerja dengan stres kerja pada perawat di ruang rawat inap RSUD Porsea. Sehingga seseorang yang
pekerjaannya direlokasimutasi, memungkinkan dirinya akan mengalami stres
karena pekerjaannya
yang berbeda
dari sebelum
dia direlokasikandimutasi. Lain lagi dengan hasil penelitian yang didapat
Bida 1995, pada pekerja yang merasakan keterpencilan tempat kerjanya cenderung mendapatkan stres kerja tiga kali lebih besar daripada yang
tidak. Ketidaksesuaian relokasi mutasi dengan keahlian maupun kesesuaian jenjang karirnya menimbulkan terjadinya perubahan tipe kerja
yang dapat menimbulkan stres Davis dan Newstrom 1989 dalam Margiati 1999.
4 Pelatihan
Pelatihan mengacu pada upaya yang direncanakan oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembelajaran karyawan terkait kompetensi kerja
mencakup pengetahuan, keterampilan, atau perilaku yang penting untuk kinerja yang sukses Noe, 2000. Pelatihan atau training adalah salah
satu bentuk pendidikan dengan melalui training sasaran belajar atau sasaran pendidikan akan memperoleh pengalaman-pengalaman belajar
yang akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku mereka Notoadmodjo, 1989. Menurut Andrew E. Sikula dalam Notoadmodjo,
1989 training adalah proses pendidikan jangka pendek menggunakan prosedur sistemik dan terorganisir dimana non-manajerial personil
mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu. Pada bukunya “Manajemen Personalia” yang dikutip dalam Soekidjo
Notoadmojo 1989, Alex S. Nitisemito menyatakan bahwa pelatihan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan atau organisasi yang
bertujuan untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan atau anggotanya
sesuai dengan keinginan dari perusahaan atau organisasi tersebut. Strauss
dan Sayles dalam Notoadmodjo, 1989 mendefinisikan pelatihan sebagai kegiatan merubah perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya
menimbulkan perubahan perilakunya. Menurut lembaga administrasi Negara dalam Atmodiwirio, 2002, pelatihan adalah pembelajaran yang
dipersiapkan agar
pelaksanaan pekerjaan
sekarang meningkat
kinerjanya. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan UU ketenagakerjaan no.13 tahun2003. Menurut Soekidjo Notoadmodjo 1989 tujuan pokok dari setiap
training pelatihan adalah untuk merubah kemampuan seseorang yang ditunjukkan
di dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Sedangkan kebijaksanaan umum suatu pelatihan adalah agar pekerja dapat
melaksanakan pekerjaannya dengan baik dan efektif, serta menyiapkan mereka untuk dapat mengembangkan selanjutnya.
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja
nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang danatau sector yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.31
tahun 2006 mengenai sistem pelatihan kerja nasional. Karena menurut Denny 2011, seseorang yang di tempatkan dalam pekerjaan yang tidak
sesuai dengan kualifikasi kerjanya dan orang tersebut sulit dalam
mengatasi sesuatu akan menurunkan kepercayaan dirinya dapat menyebabkan stres, karena ketidakmampuan dirinya memenuhi tuntutan
kerja dan tidak adanya pelatihan untuk menyelesaikan pekerjannya tersebut.
5 Karir
Wanita yang bekerja, pada umumnya masih mendominasi pekerjaan skala bawah. Wanita yang bekerja di sektor pertanian pedesaan,
mayoritas berada di tingkat buruh tani. Wanita yang bekerja di sektor industri perkotaan lebih banyak terlibat sebagai buruh di industri tekstil,
garmen, sepatu dan elektronik. Di sektor perdagangan, pada umumnya wanita yang bekerja terlibat dalam perdagangan usaha kecil seperti
berdagang sayur mayur di pasar tradisional, usaha warung, yang merupakan jenis-jenis pekerjaan yang lazim ditekuni wanita Deka,
2009. Kecenderungan perempuan terpinggirkan pada pekerjaan marginal
tersebut tidak semata-mata disebabkan faktor pendidikan. Akan tetapi dari kalangan pengusaha, lebih cenderung mempekerjakan perempuan
pada sektor tertentu dan jenis pekerjaan tertentu karena upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki Deka, 2009.
Diskriminasi upah yang terjadi secara eksplisit maupun implisit, seringkali
memanipulasi ideologi
gender sebagai
pembenaran. Banyaknya persepsi masyarakat yang beranggapan bahwa wanita yang
bekerja pada dasarnya hanya untuk membantu ekonomi keluarga validitasnya belum terbukti, karena untuk wanita dengan ekonomi
menengah kebawah pada kondisi krisis banyak wanita yang menjadi pencari nafkah utama keluarga Deka, 2009.
Kecilnya peluang untuk promosi, baik disebabkan oleh keadaan tidak mengizinkan maupun karena mungkin dilupakan, dapat menjadi
pembangkit stres bagi tenaga kerja yang merasa sudah waktunya mendapat promosi. Begitu pula untuk promosi berlebih, dimana tenaga
kerja merasa terlalu dini untuk dipromosikan sedangkan dirinya belum siap untuk berpengetahuan dan berketrampilan yang tidak sesuai dengan
bakatnya, hal tersebut juga dapat memicu stres kerja Munandar, 2008. Kecilnya peluang untuk promosi bagi wanita merupakan fenomena
gless ceiling. Fenomena gless ceiling merupakan persepsi yang ada dalam masyarakat bahwa wanita dapat diterima sebagai karyawan perusahaan,
tetapi sulit untuk dipromosikan
Stoner et. al., 1996 dalam Wijayanti, 2009
. Airmayanti 2010 dalam hasil penelitian mendapatkan bahwa
pengembangan karir tidak memiliki hubungan dan tidak berpengaruh terhadap stres kerja. Berbeda dengan Airmayanti 2010, Pandyi
Soegiono 2008 dalam jurnal aplikasi manajemen memaparkan hasil penelitiannya yaitu pengaruh faktor tersendatnya karir bersifat positif
akan tetapi tidak signifikan terhadap stress kerja. Hal tersebut sesuai dengan pendapat ALLEN, et Al 1998 yang dikutip Koesmono 2007
dalam Soegiono 2008 yang menyatakan bahwa job content plateu menjadi hal yang biasa di dalam organisasi dan memiliki pengaruh
terhadap stres kerja seseorang baik negatif distress maupun positif eustress, sehingga orang tersebut lebih mengutamakan tugas dan
imbalan upahgaji yang diperoleh ketika bekerja. Menurut Davis dan Newstrom 1989 yang dikutip Koesmono 2007 dalam Soegiono 2008
menyatakan bahwa meningkatnya stress, diiringi dengan prestasi kerja yang cenderung naik karena stres yang dimiliki membantu pekerja untuk
mengerahkan segala sumber daya dalam memenuhi standar kerjanya.
6 Hubungan Dengan AtasanMajikan
Menurut hasil penelitian Buck 1972 dikutip oleh Novendra 1994, bahwa kurangnya perilaku perhatian pertimbangan dari seorang atasan
akan dapat mendorong kepada perasaan tekanan pekerjaan. Menurut Munandar 2006 kelekatan kelompok, kepercayaan antar pribadi dan
rasa senang dengan atasan berhubungan dengan penurunan stres pekerjaan dan menjadikan kesehatan lebih baik. Perilaku yang kurang
menenggang rasa dari atasan akan menimbulkan rasa ketegangangan dari pekerjaan yang dapat dirasakan sebagai penuh stres.
Salah satu faktor utama yang berpengaruh dari seorang manajer yang dikutip oleh Novendra 1994 adalah pengawasannya terhadap pekerjaan
orang lain. Ketidakmampuan untuk mendelegasi dapat menjadi suatu masalah, tetapi sekarang strain baru adalah mempunyai keterampilan
interpersonal dari seorang manajer, manajer harus mempelajari bekerja secara partisipatif. Menurut Gowler dan Legge 1956 dalam Novendra
1994 diketahui bahwa faktor yang dapat digunakan pada partisipasi suatu sebab dari keberhasilan, ketidakpastian dan stres para mananjer,
diantaranya adalah ketidaksesuaian dari kekuasaan formal dan kekuasaan yang sebenarnya, manajer bisa mengalami pengikisan dari kekuasaan dan
peraturan formalnya serta kehilangan dalam memberi penghargaan, manajer dapat menjadi subyek penekanan yang tidak dapat menjadi satu
antara berpartisipasi dan dalam hal meningkatkan jumlah produksi yang tinggi serta bawahannya yang mungkin dapat menolak untuk
berpartisipasi. Menurut Munandar 2006 menyatakan bahwa hubungan yang buruk
dengan atasan, rekan kerja dan bawahan dalam bekerja dapat memicu timbulnya stres dan absenteisme dalam bekerja. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Britton 1989 yang dikutip oleh putri 2011 memaparkan bahwa dukungan sosial dari para atasan berpengaruh positif
terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para pekerja. Hal tersebut sejalan dengan yang didapatkan Nugrahani 2008 dalam penelitiannya
bahwa ada hubungan antara hubungan dengan supervisor terhadap stres. Selain itu juga menurut Parasuraman,dkk 1992 yang dikutip oleh putri
2011, dukungan sosial yang diterima seseorang dari atasannya, teman sekerja, dan keluarga mempunyai pengaruh yang besar untuk
meringankan beban seseorang yang mengalami kelelahan fisik, emosional maupun mental.
Untuk membangun hubungan atasan-bawahan yang baik, dapat dengan melakukan langkah dasar Loh, 2013 seperti: mengerjakan
pekerjaan dengan baik dan patuhi peraturan yang ada d perusahaan, berusaha memahami cara kerja atasan anda, bekerjalah sebagai bagian
dari perusahaan, apabila ada ketidaksepahaman dengan atasan segera diselesaikan dengan baik, bersikap yang tidak menimbulkan kesan
mengancam posisi atasan anda, serta bersikaplah jujur dan tidak berjanji secara berlebihan dapat memenuhi deadline tertentu.
7 Perkembangan Teknologi
Ketidakpastian teknologi ditandai dengan perubahan inovasi teknologi yang sangat pesat. Pesatnya inovasi teknologi membuat
pekerja dituntut untuk dapat menguasainya dalam waktu singkat serta minimnya pengalaman yang dimiliki merupakan faktor pembangkit stres
kerja bagi pekerja Robbins, 1998. Hal ini juga diperkuat oleh Rina Fiati dan Nafi Inayati Zahro dalam Seminar Nasional Teknologi Informasi
Komunikasi Terapan Semantik tahun 2012 yang menyatakan bahwa hubungan antara teknologi informasi dan tingkat stress pada wanita yang
bekerja adalah positif. Dan menurut hasil penelitian Kagawa 2013 dalam dalam Syarifuddin 2013, bahwa sebanyak 93 responden
Indonesia mengatakan bahwa mereka membawa perangkat pribadinya untuk bekerja dan menggunakannya untuk melakukan pekerjaan mereka.
8 Bertambahnya Tanggung Jawab Tanpa Bertambahnya Gaji
Menurut Greenberg 2002 faktor-faktor yang secara khusus dianggap berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap pekerjaan salah satunya
adalah gaji. Pernyataan yang sama juga dipaparkan oleh Cooper dan Davidson 1987 dalam Miller 2000 yaitu kepuasan terhadap
pembayaran dalam dunia usaha dapat diartikan sebagai gaji merupakan faktor yang berhubungan dengan stres kerja. Sejalan dengan Bida 1995
yang pada penelitiannya mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara gaji dan stres kerja.
Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Salafi Nugrahani 2008 yang memaparkan bahwa terdapat hubungan antara kepuasan terhadap gaji
dengan tingkat stres yang dialami pekerja, yaitu semakin rendah kepuasan pekerja terhadap gajinya, maka tingkat stres yang dialami akan
semakin berat dan begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, berbeda dengan penelitian Airmayanti 2010 yang memaparkan bahwa pengembangan
karier berupa pemberian gaji bukan termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja.
Menurut Hezberg dalam Munandar 2006 jika seseorang menganggap gajinya terlalu rendah, pekerja akan merasa tidak puas, dan
sebaliknya apabila seseorang menganggap gajinya cukup, pekerja akan
merasa puas. Semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin rendah stres kerja, karena kepuasan kerja memiliki hubungan korelasi negatif
signifikan terhadap stres kerja
Kosnin dan Lee
, 2008. Menurut Miller 2000 salah satu cara untuk mengurangi potensi stres kerja pada pekerja
yaitu dengan mempertimbangkan kepuasan kerja pekerja itu sendiri.
9 Pekerja Dikorbankan Akibat Penurunan Laba yang Didapat
Perampingan organisasi merupakan serangkaian kegiatan, yang dilakukan pada bagian dari manajemen organisasi dan dirancang untuk
meningkatkan efisiensi organisasi, produktivitas, dan atau daya saing. Kegiatan tersebut merupakan strategi yang diterapkan oleh manajer yang
berdampak pada jumlah tenaga kerja perusahaan, biaya, dan proses kerja Cameron, 1994.
Cameron 1994 mendefinisikan perampingan dalam 4 kriteria. Yang pertama, perampingan merupakan serangkaian kegiatan yang sengaja
dilakukan oleh anggota organisasi. Kedua, perampingan biasanya melibatkan pengurangan personel, meskipun tidak terbatas hanya pada
pengurangan personil. Berbagai strategi pengurangan personel yang berhubungan dengan perampingan seperti pengalihan, memberikan
mutasi, insentif pensiun, paket pembelian, PHK, putus sekolah, dan sebagainya.Yang ketiga, perampingan yang difokuskan pada peningkatan
efisiensi organisasi. Perampingan terjadi baik secara proaktif atau reaktif dalam rangka untuk mengendalikan biaya untuk meningkatkan
pendapatan, atau untuk meningkatkan daya saing. Artinya, perampingan dapat diimplementasikan sebagai reaksi defensif penurunan atau sebagai
strategi proaktif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dan terakhir, Perampingan mempengaruhi proses kerja secara sadar ataupun tidak.
Misalnya pada kontrak tenaga kerja, apabila karyawan yang tersisa lebih sedikit untuk melakukan jumlah beban kerja yang sama, hal ini
berdampak pada pekerjaan apa yang akan dilakukan dan bagaimana hal itu akan dilakukan.
b. Faktor Individual
1 Pertentangan Antara Pekerjaan dan Tanggung Jawab Keluarga
Menurut Beutell dan Greenhauss 1985 dalam Almasitoh 2011 bahwa seseorang dikatakan mengalami konflik peran ganda apabila
merasakan suatu ketegangan dalam menjalani peran pekerjaan dan keluarga. Dalam jurnal Lulus Margiati 1999 menunjukkan bahwa
banyak kasus, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan khususnya moril dari keluarga, seperi
orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Hal ini disebabkan, ketiadaan dukungan sosial tersebut menyebabkan perasaan yang
menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Hasil serupa juga didapatkan Almasitoh 2011, bahwa perawat yang
memiliki konflik peran ganda yang rendah dan dukungan sosial yang tinggi, maka tingkat stres kerja yang dialami rendah.
Yang, Chen, Choi, Zou, 2000 dalam wirkaristama 2011 mengidentifikasikan tiga jenis work-family conflict, yaitu:
1. Time-Based Conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan
keluarga atau pekerjaan dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya pekerjaan atau keluarga.
2. Strain-Based Conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi
kinerja peran yang lainnya. 3. Behavior-Based Conflict.
Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian pekerjaan atau keluarga.
Menurt hasil
penelitian Mayasari
2011
, konflik pekerjaan keluarga berpengaruh terhadap stress kerja perawat wanita rumah sakit
balimed Denpasar. Selain itu juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bida 1995 menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara kondisi rumah tangga dengan stres kerja.
2 Ketidakpastian Ekonomi
Saat keadaan ekonomi berubah tak menentu, kekhawatiran orang mengenai keamanan dalam memenuhi kebutuhannya akan meningkat
Robbins, 1998. Pada umumnya motivasi kerja kebanyakan tenaga kerja wanita adalah membantu menghidupi keluarga, akan tetapi mereka juga
mempunyai makna khusus karena memungkinkannya memiliki otonomi keuangan, agar tidak selalu tergantung pada pendapatan suami. Kondisi
tersebut merupakan dorongan penyadaran peran wanita untuk berkiprah di sektor publik. Pembagian kerja dan perencanaan di dalam keluarga
telah menyebabkan tidak saja beban berlebihan dan jam kerja panjang bagi perempuan, tapi juga ketergantungan perempuan secara ekonomi.
Oleh karenanya perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik sekaligus tetap harus menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu
Nursyabani, 1999 dalam Fiati dan Zahro 2011. Menurut Hermann, et al 1990 dalam Kendall, et al 2000 bahwa
ketegangan terhadap keuangan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan tekanan emosional bahkan ketika efek dari sumber daya
pribadi yang tetap konstan. penyesuaian psikologis secara signifikan berhubungan dengan kemandirian ekonomi yang dirasakan Melamed,
Grosswasser, dan Stern 1992 yang dikutip oleh Kendall, et al 2000. Menurut hasil penelitian Fiati dan Zahro 2011, motivasi ekonomi
berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat stres pada wanita karir. Naiknya harga barang-barang kebutuhan, serta buruknya
kondisi ekonomi dapat menjadi faktor yang berpotensi menyebabkan stres pada seseorang Lianasari, 2009. Selanjutnya, ketidakpastian
ekonomi dapat menimbulkan kemiskinan, sehingga kemiskinan dalam hal ekonomi keuangan dianggap dapat membangkitkan stres bagi keluarga
khususnya individu itu sendiri Belton dan Santos, 2011.
3 Penghargaan Kerja
Dalam interaksinya dengan orang lain maupun pihak lain, setiap orang pasti memiliki keinginan untuk dihargai atas sesuatu yang
dilakukannya terhadap pihak yang berkepentingan menghargai suatu usaha atau pekerjaan seseorang yang bukan untuk kepentingan orang
tersebut adalah suatu keharusan dari segi kemanusiaan. Di sisi lain, orang yang telah memberikan suatu hasil untuk orang lain atau untuk suatu
kelompok maupun suatu organisasi akan menginginkan hasilnya tersebut dapat diterima dan dihargai oleh pihak yang berkepentingan. Pada
lingkungan kerja, pegawai memiliki keinginan untuk dihargai oleh atasannya terhadap hasil kerjanya yang telah dicapai dengan sepenuh hati
dan kemampuannya Moenir 1983. Penghargaan sering disamakan penyebutannya dengan insentif karena
keduanya memiliki persamaan sifat dan maknanya, tetapi jika dikaji lebih dalam akan berbeda. Penghargaan diberikan kepada seseorang
untuk menghargai jasa atau prestasi seseorang. Sedangkan insentif diberikan kepada seseorang agar orang yang bersangkutan dapat
berprestasi ataupun berjasa lebih baik lagi dari sebelumnya Moenir, 1983.
Menurut moenir 1983, wujud penghargaan dalam lingkungan kerja adalah penghargaan fisik dan penghargaan non fisik. Penghargaan fisik
adalah penghargaan dalam bentuk benda, dapat berupa uang atau barang.
Barang-barang yang bersifat konsumtif sandang, pangan, dan kebutuhan pokok lainnya dan yang bersifat modal rumah, kendaraan, maupun alat
kerja yang lain sesuai dengan profesi seseorang termasuk dalam penghargaan benda berupa barang. Sedangkan penghargaan non fisik
adalah penghargaan yang berhubugan dengan kepuasan rohani seseorang dari sisi kemanusiaan. Memberikan ucapan terimakasih kepada seorang
bawahan atas hasil kerjanya merupakan wujud penghargaan yang mendasar namun sederhana.
Dalam penelitian Pratiwi dan Laksmiwati 2012 didapatkan bahwa dukungan penghargaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stres
dengan arah hubungan negatif. Hal ini didukung oleh Hezberg dalam Munandar 2006 yang menyatakan bahwa apabila pekerja menganggap
gajinya terlalu rendah, pekerja tersebut akan merasa tidak puas, dan sebaliknya apabila seseorang menganggap gajinya cukup, tenaga kerja
akan merasa puas dalam bekerja. Dengan mempertimbangkan kepuasan kerja, pada pekerja dapat mengurangi potensi stres kerja pada pekerja
tersebut Miller, 2000.
4 Kejenuhan Kerja
Gejala khusus dari kejenuhan kerja dapat berupa kebosanan, depresi, rasa pesimis, kurang konsentrasi, kualitas kerja buruk, ketidakpuasan,
tidak masuk kerja, dan kesakitan atau sakit. Kejenuhan kerja memiliki potensi untuk menimbulkan keletihan kerja sehingga pekerja merasa
bahwa dirinya hanya memiliki sedikit pengendalian terhadap faktor- faktor di tempat kerja atau bahkan tidak memiliki pengendalian sama
sekali. Berdasarkan gambaran gambaran tersebut, kejenuhan kerja dapat menjadi faktor pencetus stres kerja National Safety Council, 2004.
Rahmawati 2007 dalam penelitiannya memaparkan bahwa pola sikap yang mencirikan kebosanan kerja diantaranya adalah sering tidak
masuk bekerja tanpa alasan yang jelas, keterlambatan, perubahan kerja yang banyak, perdebatan dan bahkan kekerasan fisik. Kebosanan dalam
bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang mengakibatkan produktivitas kerja menurun, adanya ketidakpuasan kerja, kurang
motivasi, hilangnya gairah kerja burnout, angka absen yang meningkat Prihantini, 2000 dalam Rahmawati, 2007.
Selanjutnya Saragih 2008 dalam penelitiannya mengenai kejenuhan kerja terhadap stres kerja pada perawat, menyebutkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kejenuhan dalam bekerja dengan kejadian stres kerja pada responden penelitiannya. Hal ini diperkuat oleh
munandar 2006 yang menyatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan berulang atau monoton majemuk dapat menimbulkan rasa bosan
maupun jenuh, dan kemajemukan kerja yang semakin tinggi dapat menimbulkan peningkatan stres pada pekerja. Menurut penelitian yang
dilakukan Cooper Kelly 1984 yang dikutip oleh munandar 2006 bahwa kebosanan didapatkan sebagai sumber stres yang nyata pada
operator kran.
Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan lebih rendah rasa kejenuhannya dibandingkan dengan orang lain yang bermotivasi rendah
Anoraga, 1998 dalam Airmayanti, 2008. Dan rendahnya tingkat kejenuhan kerja burnout dapat meningkatkan kepuasan kerja Mizmir,
2011. Tingginya kepuasan kerja dapat menurunkan tingkat stres kerja yang dialami pekerja, karena kepuasan kerja memiliki hubungan korelasi
negatif signifikan dengan stres kerja
Kosnin dan Lee
, 2008. Hal ini juga diperkuat oleh Miller 2000 yang menyatakan bahwa salah satu cara
untuk mengurangi potensi stres kerja karyawan yaitu dengan mempertimbangkan kepuasan kerja karyawan.
5 Perawatan Anak
Menurut Wulanyani dan Sudiajeng 2006 dalam hasil penelitiannya didapatkan bahwa urutan kedua tertinggi penyebab stres pada wanita
bekerja adalah masalah pengasuhan anak. masalah pengasuhan anak yang menyebabkan pekerja wanita menjadi stres dialami oleh pekerja wanita
yang memiliki anak kecil. Apabila usia anak semakin kecil, maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. Perasaan bersalah yang
dimiliki pekerja wanita yang juga berperan sebagai ibu akibat meninggalkan anaknya untuk bekerja merupakan persoalan yang sering
dipendam, apalagi tidak ada lagi orang yang dapat diandalkan untuk mengasuh anaknya tersebut.
Menurut Freudiger 1983 dalam Wulanyani dan Sudiajeng 2006 perasaan bersalah tersebut menimbulkan rasa ketidaknyamanan ibu dalam
menjalankan perannya di dunia kerja. Hal ini diperkuat oleh Ihromi 1990 dalam Rahmah 2011, bahwa rasa cemas akibat dari efek negatif
terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan atau kemampuan dalam membina perkembangan anak dapat menimbulkan stres.
6 Hubungan Dengan Rekan Kerja
Menurut Selye 1956 yang dikutip oleh Munandar 2006 bahwa hidup dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang
penuh stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi
.
Dalam penelitian yang dilakukan Salafi Nugrahani 2008 didapatkan adanya hubungan yang bersifat searah antara hubungan dengan rekan
kerja terhadap stres kerja yang dialami pekerja. Artinya semakin kurang rasa kepuasan hubungandukungan sosial yang didapatkan dari rekan
kerjanya, maka tingkat stress yang dialami akan semakin berat dan sebaliknya.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bida 1995 bahwa tidak adanya hubungan yang bermakna antara hubungan sesama rekan
kerja dengan stres yang dialami pekerja. Menurutnya hal tersebut disebabkan karena pada satu tingakatan karir yang sama membuat pekerja
tersebut tidak perlu mempertanggung jawabkan pekerjaannya kepada
teman sekerja dan juga dimungkinkan karena budaya gotong royong yang tercipta di lingkungan kerjanya.
c. Faktor Lingkungan
1 Kondisi Lingkungan Kerja Kebisingan, Ventilasi, Kebersihan, dll
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang telalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, lingkungan kerja kotor atau
kebersihannya kurang, dan lain sebagainya. Ruangan yang terlalu panas sirkulasi tidak baik menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam
menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Selain itu, adanya kebisingan juga memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap munculnya stres kerja karena beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain Muchinsky dalam Irawan,
2010. Hal ini didukung oleh Nugrahani 2008 yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara buruknya lingkungan kerja yang meliputi
adanya hubungan temperatur tempat kerja terlalu panas dan kebisingan dengan tingkat stres kerja yang dialami para pekerja.
Dalam penelitian Airmayanti 2010 didapatkan bahwa kebisingan berpengaruh terhadap stres kerja. Menurut Airmayanti 2010 keadaan
bising dapat mengganggu pendengaran, terjadinya kecelakaan kerja, menimbulkan terjadinya gangguan atau pengaruh psikologis dari pekerja
dalam bentuk gangguan emosi, temperamen dan lain-lain.
Selain kebisingan, temperatur juga dapat menimbulkan stres. Menurut Nugrahani 2008, temperatur memiliki hubungan dengan tingkat stres
pekerja. Dalam kondisi terpajan panas heat stress, tubuh mengabsorbsi lebih banyak panas dibandingkan dengan yang mampu dikeluarkannya,
hal tersebut dapat menimbulkan peningkatan temperatur tubuh yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gangguan mental, sakit atau kematian
SulskySmith, 2005 dalam Nugrahani, 2008. Menurut hasil penelitian Susilo 2007, lingkungan kerja fisik secara
parsial berpengaruh negatif signifikan terhadap stress kerja pada karyawan, artinya semakin baik lingkungan fisik maka stress kerja akan
menurun. Hal ini didukung oleh penelitian
Arisona 2008 yang mendapatkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara
persepsi terhadap kondisi lingkungan kerja dengan tingkat stres kerja pada karyawan bagian tebang angkut.
Dalam penelitiannya, Harrianto 2007 memaparkan bahwa kondisi fisik lingkungan yang dapat mempengaruhi
timbulnya stres kerja diantaranya yaitu tempat kerja yang sunyi atau terpencil dimana pekerja tidak memiliki kesempatan berkomunikasi
dengan orang lain saat menjalani tugasnya, tempat kerja yang jauh atau sulit dijangkau, dan adanya paparan fisik maupun zat kimiawi.
Agar stres kerja yang dialami responden tidak semakin tinggi dapat dilakukan
dengan menerapkan
teknik kerekayasaan
organisasi. Kerekayasaan organisasi merupakan usaha untuk mengubah lingkungan
kerja menjadi lingkungan kerja yang tidak penuh stres dengan menganalisa kondisi lingkungan kerja terlebih dahulu Munandar, 2006.
2 Diskriminasi Ras
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 2008, yang dimaksud dengan tindakan diskriminasi ras dan etnis adalah perbuatan
yang berkaitan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau mengurangi pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
3 Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan
oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi
korban pelecehan. Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi
pekerjaan yang lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, kekuasaan jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang
lebih banyak, dsb. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi: main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno,
cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan
rayuan atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga dapat berupa komentarperlakuan negatif yang
berdasar pada gender, sebab pada dasarnya pelecehan seksual merupakan pelecehan gender Annisa, 2012.
Dalam Seventh International Conference on Work, Stress, and Health, yang dikutip dari Noorika 2012, Hershcovis menjelaskan bahwa pekerja
yang mengalami pelecehan seksual, hasil kerjanya jauh lebih buruk dibandingkan pekerja yang mengalami tindakan kekerasan, karena
pelecehan seksual membuat moral pekerja merasa begitu direndahkan. Menurt Margiati 1999 bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu
peyebab timbulnya stres kerja. Selain itu, menurut womens health 2013 yang memaparkan bahwa wanita yang mengalami pelecehan seksual
mungkin akan beresiko menderita masalah emosional, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma Post Trauma Stress
Dissorder PTSD. Post Traumatic Stress Disorder PTSD adalah gangguan kecemasan
yang dapat terjadi mengikuti pengalaman atau menyaksikan peristiwa traumatis. Sebuah peristiwa traumatis adalah peristiwa yang mengancam
jiwa seperti pertempuran militer, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau penyerangan fisik atau seksual pada orang
dewasa atau anak-anak Mental Health America, 2013. Tingkatan
gangguan stres pasca trauma berbeda-beda tergantung seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban
Wardhani Lestari, 2007. Selama ini, faktor rasa takut, rasa malu, tidak tahu harus
kemana mengadu, dan lain-lain mempengaruhi tidak adanya catatan khusus
mengenai pelecehan seksual di tempat kerja KEMENAKERTRANS, 2011. Dari banyaknya kasus pelecehan seksual, yang sering
menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau penganiayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung terwujud
hanya karena memiliki jenis kelamin wanita. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada negara yang tingkat kesadaran masyarakatnya
khususnya wanita terhadap persamaan jenis kelamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindunginya Baron and
Greenberg dalam Irawan, 2010.
4 Kekerasan Di Tempat Kerja
Dalam lembar fakta catatan tahunan Komnas Perempuan 2013, Ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani selama tahun 2012. Dari kasus yang tercatat, lingkupnya sekitar 65 persen merupakan kasus kekerasan di tingkat personal terutama
kekerasan domestik KDRT, disusul 34 persen kekerasan di ranah komunitas, dan satu persen negara. Namun menurut Desti Murdijana,
gambaran jumlah kasus kekerasan perempuan harus disikapi sebagai
fenomena gunung es, karena data yang ada tercatat belum seluruhnya atau hanya di permukaan, belum sebanding dengan besarannya National
Geographic Indonesia, 2013. Menurut Yoan dan Ning 2009, adanya keengganan wanita korban kekerasan untuk berbicara, berasal dari situasi
sosial yang tidak mendukung posisi wanita tersebut ketika berusaha mendapatkan keadilan pasca diperlakukan sewenang-wenang.
Peneliti dari Universitas Manitoba Sandy Hershcovis dan peneliti Universitas Queen Julian Barling menyatakan, dari Kingston, Ontario,
Kanada, kekerasan yang diterima para pekerja menimbulkan dampak yang lebih berbahaya dibandingkan pelecehan seksual. Akan tetapi,
kedua hal tersebut harus dihindari karena membuat pekerja tertekan dan merusak suasana di tempat kerja dalam Noorika,2012.
Berdasarkan Quebec Labour Standards Act, yang dikeluarkan Juni 2004 dalam Noorika,2012, kategori tindakan kekerasan dalam
pekerjaan, antara lain mencaci maki setiap saat, mengeluarkan kata-kata kasar dan menunjukkan sikap tubuh menyerang, serta menekan psikologi
seseorang. Menurut Canadian Centre for Occupational Health and Safety 2012, yang termasuk dalam kekerasan di tempat kerja diantaranya
adalah perilaku yang mengancam menggebrak, menghancurkan barang atau melempar benda, ancaman secara lisan ataupun tertulis, pelecehan,
perkataan yang mencaci maki, serta kekerasan fisik dipukul, disikut, didorong, atau ditendang.
Health safety Executive 2006, memaparkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan distress. Selain kekerasan dengan fisik, pelecehan maupun
ancaman verbal secara serius ataupun berulang juga dapat merusak kesehatan karyawan melalui kecemasan atau stres.
5 Kemacetan
Kemacetan identik dengan kepadatan, yang didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang menempati suatu panjang jalan tertentu dari lajur
atau jalan, dirata-rata terhadap waktu Sari, 2011. Kemacetan lalulintas pada ruas jalan raya terjadi ketika arus kendaraan lalulintas meningkat
seiring bertambahnya permintaan perjalanan pada suatu periode tertentu serta jumlah pengguna jalan melebihi dari kapasitas yang ada Meyer et
al, 1984 dalam Sari, 2011. Menurut Menteri Perindustrian, MS. Hidayat dalam Koran Kota 2012 yang menyatakan bahwa
keterbatasan infrastruktur jalan di dalam negeri dan kendala pembebasan lahan
menunda sejumlah proyek pembangunan jalan menjadi penyebab utama kemacetan.
Berdasarkan hasil penelitian Sapta 2009, kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasa waktunya terbuang, mengurangi jam belajar atau
jam kerja, pemborosan bensin, hilangnya pendapatan dan stres. Menurut hasil penelitian David Moxxon yang dikutip oleh Bararah 2011,
seseorang yang mengalami Traffic Stress Syndrom TSS akan mulai muncul gejala stres dalam rentang waktu 3-5 menit, sedangkan orang
yang tidak memiliki TSS, gejala stres akan muncul apabila sudah mengalami kemacetan sekitar 13-14 menit. Berbeda dengan hal tersebut,
Vierdelina 2008 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa belum terbukti ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap
kemacetan dan stres kerja. Untuk menghindari stres pada individu ketika berada pada situsasi
kemacetan, men health Indonesia 2013 memaparkan beberapa cara yang diantaranya dapat dilakukan dengan berangkat lebih awal,
menyediakan cemilan untuk dapat mengembalikan energy dan mood, menyediakan aroma terapi di mobil, dan merubah rute rutin perjalanan.
2. Penyebab Stress Menurut Hurrel
Hurrel, dkk 1988 mengelompokkan faktor-faktor dalam pekerjaan yang dapat menimbulkan stres menjadi lima kategori besar Munandar, 2006, yaitu:
a. Faktor-Faktor Intrisik Dalam Pekerjaan
Termasuk dalam kategori faktor intrinsik ini adalah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.
1 Tuntutan Fisik
Kondisi kerja tertentu dapat menciptakan prestasi kerja yang optimal. Selain berdampak pada prestasi kerja, kondisi fisik kerja juga memiliki
dampak terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang tenaga kerja. Kondisi fisik kerja berpengaruh terhadap kondisi fa’al dan
psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat menjadi salah
satu pembangkit stres stressor. Tuntutan fisik kondisi fisik meliputi bising, getaran, hygiene.
2 Tuntutan Tugas
a Kerja Shift
Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik Monk Tepas, 1985 dalam Munandar, 2006. Para
pekerja shift lebih sering merasakan keluhan mengenai kelelahan dan gangguan perut dibandingkan para pekerja di pagi atau siang hari dan
dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut Munandar, 2006.
b Beban Kerja
Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit baik secara kuantitatif maupun kualitatif merupakan pembangkit stres. Beban kerja
berlebihterlalu sedikit kuantitatif yang timbul sebagai akibat dari tugas- tugas yang terlalu banyaksedikit yang diberikan kepada tenaga kerja
untuk diselesaikan dalam waktu tertentu. Beban kerja berlebihterlalu sedikit kualitatif jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu
tugas, atau suatu tugas tidak menggunakan keterampilan danatau potensi dari tenaga kerja Munandar, 2006.
c Paparan dari Risiko dan Bahaya
Risiko dan bahaya terkait dengan jabatan tertentu dapat menjadi sumber dari stres. Risiko dan bahaya yang berhubungan dengan banyak
jabatan yang tidak dapat diubah, akan tetapi persepsi tenaga kerja terhadap risiko bisa berkurang dengan pelatihan dan pendidikan. Para
pekerja yang cemas, yang memiliki obsesi, takut, kurang bermotivasi untuk bekerja mempunyai semangat rendah dan lebih mudah
menimbulkan kecelakaan, dan dalam jangka panjang dapat mengalami dampak dari penyakit yang berkaitan dengan stres, termasuk sakit jantung
dan gangguan perut.
b. Peran Indivdu dalam Organisasi
Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya.
Peran yang tidak berfungsi dengan baik merupakan pembangkit stres yang disebabkan oleh adanya: Munandar, 2006
1 Konflik Peran
Konflik peran timbul apabila seseorang tenaga kerja mengalami adanya: 1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara
tanggung jawab yang dimilikinya 2. Tugas-tugas yang harus dilakukan yang menurut pandangannya
bukan merupakan bagian dari pekerjaannya 3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan kerja,
bawahan, atau orang lain yang penting baginya 4. Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu
melaksanakan tugas dalam pekerjaannya
2 Ketaksaan Ambiguitas Peran
Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti
atau merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu Munandar, 2006. Dalam hal ini Kahn, dkk. 1964 mengatakan
bahwa stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah kepada ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan
diri, rasa diri tidak berguna, menurunnya rasa harga diri, depresi, motivasi untuk bekerja rendah, tekanan darah dan tekanan nadi tidak normal, dan
kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan Munandar, 2006.
c. Pengembangan Karir
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang.
1 Ketidakpastian Pekerjaan Job Insecurity
Ketakutan kehilangan pekerjaan, ancaman bahwa pekerjaan seseorang dianggap tidak dibutuhkan lagi merupakan hal yang wajar dalam
kehidupan kerja. Dari sana timbul kegiatan reorganisasi yang bertujuan untuk tetap berjalannya usaha. Setiap reorganisasi inilah dapat
menimbulkan ketidakpastian pekerjaan yang merupakan sumber stres yang potensial Munandar, 2006.
2 Promosi Berlebih dan Kurang
Promosi dapat merupakan sumber dari stres, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan yang mendadak secara drastis. Dalam hal
ini, Everly dan Girdano dalam Munandar 2008 menyebutkan adanya tiga faktor yang menyebabkan promosi dirasakan sebagai stres:
1. Perubahan-perubahan dari fungsi pekerjaan; 2. Penambahan tanggung jawab terhadap manusia, produksi, dan uang;
3. Perubahan dalam peran sosial yang menemani promosinya, misalnya menjadi ketua dalam berbagai macam panitia.
d. Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan dalam pekerjaan yang mengacu pada timbulnya stres adalah lebih pada hubungan yang tidak baik dalam pekerjaan. Hubungan yang tidak
baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan
masalah di organisasi Munandar, 2006.
e. Struktur dan Iklim Organisasi
Menurut Munandar 2006 kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang
negatif, misalnya menjadi perokok berat yang diharapkan meningkatkan taraf kesehatan mental dan fisik. Dari hal tersebut, faktor stres yang dikenali
terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support sosial.
f. Tuntutan Dari Luar Organisasi Atau Perusahaan
Stressor ini mencakup berbagai unsur kehidupan seseorang yang berhubungan dengan interaksi kejadian-kejadian dalam kehidupan dan
pekerjaannya, sehingga individu tersebut mendapatkan tekanan yang dapat membuat individu tersebut stres. Kejadian dalam kehidupan pribadi selain
dapat memberikan tekanan yang menimbulkan stres, ada juga yang dapat meringankan dampak yang ditimbulkan dari stressor organisasi seperti
support sosial. Sebaliknya, kejadian dalam kehidupan individu seperti kepuasan kerja yang dimiliki individu dapat membantu meringankan individu
dalam mengahadapi kehidupan pribadinya yang penuh stres munandar, 2006.
g. Karakteristik Individu
1 Kepribadian 2 Kecakapan
3 Nilai dan kebutuhan
3. Penyebab Stress Menurut Cooper Dan Davidson
Cooper dan Davidson 1987 membagi model penyebab stress ke dalam empat arena atau lingkup; lingkup kerja, rumah atau keluarga, sosial, dan
lingkup individu. Stress kerja dapat timbul ketika stressor-stressor tersebut saling terkait dan mempengaruhi sehingga menghasilkan suatu gejala-gejala
yang bisa diamati lewat perubahan fisik, emosi, dan perilaku yang disajikan pada gambar model stress kerja berikut, bagan 2.1.
Arena Kerja
Lama masa kerja, jabatan, kewajiban, penugasan, tanggung jawab terhadap pengawasan 1. Faktor intrinsik pekerjaan meliputi kecocokan peroranganlingkungan dan kepuasan kerja,
peralatan, pelatihan, shift kerja, beban kerja berlebih, beban kerja kurang, bahaya fisik, dan kepercayaan diri terhadap pekerjaan.
2. Peran dalam organisasi meliputi peran ambigu, konflik peran, tanggung jawab terhadap orang banyak, batasan-batasan organisasi
3. Pengembangan karier meliputi berlebihankurangnya promosi, kurangnya keamanan kerja, ketidakpastian status pekerjaan, kepuasan gaji
4. Relasidukungan sosial meliputi kolega, atasan, dan bawahan 5. Iklim dan struktur organisasi meliputi politik, konsultasikomunikasi, keikutsertaan dalam
pengambilan keputusan, perilaku terbatas, kekakuan dalam bidang politik, hal-hal lain yang berpengaruh
Arena Rumah
Dinamika keluarga, status perkawinan, dukungan dari pasangan atau teman
dekat, hubungan dengan anak, perhatian keluarga terhadap keselamatan,
lingkungan tempat tinggal, masalah keuangan, bentuk pengembangan
Arena Sosial
Alienasi dan anomi, iklim, diet, dan lain-lain, frekuensi perpindahan,
berkendaraan, kehidupan urban vs rural, latihan, olah raga, hobi,
aktivitas dan kontak sosial
Arena Individu
Genetik, riwayat hidup, demografi misalnya umur, pendidikan, agama, kebangsaan atau ras, kemampuan menghadapi stress, kepribadian tipe A, extraversi vs intervensi, neurosis, peristiwa
kehidupan, dan lain-lain
Arena Manifestasi= Outcome Stres
Ketidakpuasan kerja, kepercayaan diri terhadap pekerjaan, konsumsi alkohol, merokok, kepuasan dalam hubungan perkawinan, perceraian, penggunaan narkoba, obesitas dan diet,
penyakit jantung koroner, hipertensi, migren, asma, sakit fisik dan mental, kecelakaan, pengukuran psikologi
Bagan 2.1 Model Stres Kerja Menurut Cooper dan Davidson 1987
4. Penyebab Stress Menurut Greenberg 2002
a. Faktor Stres Kerja Yang Bersumber Pada Pekerjaan
1 Sumber Intrinsik Pada Pekerjaan,
Diantaranya meliputi kondisi kerja yang sangat sedikit menggunakan aktifitas fisik, beban kerja yang berlebihan, waktu kerja yang membuat
tertekan, risikobahaya secara fisik
2 Peran di Dalam Organisasi,
Diantaranya meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab kepada orang lain, konflik batasan-batasan reorganisasi baik secara internal
maupun eksternal.
3 Perkembangan Karir,
Diantaranya meliputi promosi ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan tingkat jenjang, kurangnya tingkat keamanan kerja, terhambatnya
ambisis perkembangan karier.
4 Hubungan Relasi di Tempat Kerja,
Diantaranya meliputi kurangnya hubungan relasi dengan pimpinan, rekan sekerja, atau dengan bawahan, serta kesulitan dalam mendelegasikan
tanggung jawab.
5 Struktur Organisasi dan Iklim Kerja,
Diantaranya meliputi terlalu sedikitnya atau bahkan tidak ada keikutsertaan dalam pembuata keputusan, hambatan dalam perilaku, politik
di tempat kerja, kurang efektifnya konsultasi.
b. Faktor Stres Kerja yang Bersumber Pada Karakteristik Individu
Faktor stres kerja yang bersumber pada karakteristik individu, meliputi tingkat kecemasan, tingkat neurotisme individu, toleransi terhadap hal yang
tidak jelas, dan pola tingkah laku tipe A
c. Faktor Stres Kerja yang Bersumber dari Luar Organisasi,
Faktor stres kerja yang bersumber dari luar organisasi, meliputi masalah- masalah dalam keluarga, peristiwa krisis dalam kehidupan, dan kesulitan
secara finansial.
5. Penyebab Stress Menurut Robbins
Terdapat tiga sumber potensial pencetus stres kerja menurut Robbins 1998, yakni sumber dari lingkungan, organisasi, dan individu.
a. Faktor Stres Kerja yang Bersumber dari Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain struktural organisasi dan juga dapat mempengaruhi level stres diantara para pekerja dalam organisasi
tersebut. Faktor lingkungan sebagai pemicu stres kerja tersebut berupa ketidakpastian ekonomi, politik, dan ketidakpastian teknologi.
b. Faktor Stres Kerja yang Bersumber dari Organisasi
Faktor organisasi ini meliputi tuntutan pekerjaan misalkan bentuk pekerjaan, kondisi bekerja, dan tempat kerja, tuntutan peran meliputi konflik
peran, peran berlebihan, dan peran ambigu, tuntutan interpersonal merupakan suatu bentuk tekanan dari pekerja lain misalnya hilangnya
dukungan sosial
dan buruknya
hubungan interpersonal,
struktur
organisasional yang membedakan jabatan organisasi, derajat peraturan, dan pembuatan keputusan, kepemimpinan organisasi, dan taraf kehidupan
organisasi misalkan taraf pendirian organisasi dan kemunduran merupakan hal yang stressfull.
c. Faktor Stres Kerja yang Bersumber dari Individu
Faktor individu meliputi permasalahan keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan karakteristik kepribadian. Permasalahan dalam keluarga seperti
hubungan tidak baik dengan anak dan pasangan, serta perceraian dapat mempengaruhi stres seseorang dalam pekerjaannya. Kemudian permasalahan
ekonomi seseorang seperti banyaknya kebutuhan dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Adapun karakteristik kepribadian seperti ekspresi
gejala stres kerja.
E. Gejala-Gejala Stress Kerja
Everly dan Giordano 1980 dalam munandar 2006 memaparkan bahwa stres akan berpengaruh pada suasana hati mood, otot kerangka musculoskletal dan
organ-organ dalam badan visceral. Tanda-tandanya diantara lain adalah: 1. Suasana Hati Mood
Menjadi overexcited Cemas
Merasa tidak pasti Sulit tidur pada malam hari
Menjadi mudah bingung dan lupa Menjadi tidak nyaman dan gelisah
Menjadi gugup
2. Otot Kerangka Musculoskeletal Jari-jari tangan gemetar
Tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat Mengembangkan tic gerakan tidak sengaja
Mulai sakit kepala Otot terasa menjadi tegang atau kaku
Bicara jadi gagap Leher menjadi kaku
3. Organ-Organ Dalam Badan Vescel Timbul gangguan perut
Jantung terasa berdebar kencang Lebih banyak mengeluarkan keringat
Tangan berkeringat Kepala terasa ringan atau terasa akan pingsan
Mengalami kedinginan Wajah menjadi panas
Mulut menjadi kering Kuping berdenging
Terasa akan tenggelam dalam perut Arden 2006 membagi gejala yang berhubungan dengan stres menjadi 3
kategori, yaitu: gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.
Tabel 2.1 Gejala Stres Menurut John B.Arden
F. Pengukuran Stres