3.1.5 Hubungan Sosial Ekonomi Penduduk dengan Gunung Merapi
Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan TNGM merupakan masyarakat agraris yang hidup turun temurun dan memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap sumberdaya alam yang ada. Masyarakat sekitar kawasan Merapi memanfaatkan hutan negara sebagai sumber rumput untuk pakan ternak dan kayu
bakar. Sudah menjadi kesepakatan antar warga masyarakat sekitar kawasan bahwa apabila ingin mengambil menebang pohon haruslah terlebih dulu menanam dari
jenis yang sama paling sedikit 5 pohon. Rumput yang diambil dari hutan dipergunakan sebagai pakan ternak
terutama sapi perah. Ada keyakinan yang sangat kuat di dalam masyarakat sekitar kawasan hutan Merapi, bahwa apabila hutan dihijaukan maka warga
masyarakat sekitar tidak akan kelaparan. Dari sini terlihat bahwa perilaku konservasi sudah mereka lakukan, bahkan ada keyakinan lain yang menyatakan
apabila hutan ditanami palawija jagung, ketela, dll maka warga masyarakat sekitar akan mengalami kekurangan makan tidak akan pernah merasa kenyang.
Keyakinan yang demikian ini dapat merupakan daya dukung implementasi pilar- pilar konservasi, yang mereka yakini benar akan mendatangkan kecukupan dalam
kehidupan. Keyakinan masyarakat tersebut juga mengisyaratkan bahwa nilai-nilai budaya spiritual merupakan norma yang sangat lekat dengan mereka, bahkan
masyarakat meyakini adanya hubungan spiritual dan supranatural antara Gunung Merapi, Kraton Yogyakarta dan Laut Selatan.
3.1.6 Kondisi Wisata Budaya Masyarakat Gunung Merapi
a. Kepercayaan terhadap Gunung Merapi Gunung Merapi telah mendapatkan perhatian dalam sistem kosmologi
masyarakat yang hidup disekitarnya sejak nenek moyang kita. Pada jaman prasejarah, mereka mempunyai kepercayaan bahwa roh orang mati dianggap
bertempat tinggal di sekitarnya, seperti di pohon, batu, sungai, laut, dan gunung, dan dianggap sebagai pelindung yang dapat dimintai pertolongan.
Dalam pertunjukan pewayangan terdapat replika gunung, yaitu gunungan. Dalam media pertunjukan wayang kulit sebagai media komunikasi dengan roh
nenek moyang, yang muncul sejak jaman neolithicum sekitar tahun 1500 SM yang ditampilkan sebagai awal pertunjukan sebagai simbol kehidupan, awal mula
dunia sebelum manusia, kecuali tumbuhan dan binatang yang tergambar dlam gunungan itu. Ketika itu terdapat kepercayaan bahwa roh orang mati tinggal di
atas gunung. Kepercayaan ini terlihat dari bangunan-bangunan pemujaan nenek moyang yang menjulang tinggi, berundak-undak menyerupai gunung;
melambangkan tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk mencapai tempat tertinggi yang sempurna. Seringkali roh nenek moyang dinyatakan dalam bentuk
arca-arca yang diletakkan di atas bukit atau gunung. b. Bangunan rumah arsitektur tradisional Jawa
Ada kepercayaan yang dipegang teguh sampai sekarang dimana rumah mempunyai nilai religius dan sakral yang terwujud dalam krobongan ruang di
bagian tengah rumah dengan makna sakaguru sebagai ruang suci dari rumah itu, dan memiliki fungsi sebagai struktur utama bangunan. Hal ini nampak sekali dari
bentuk bangunan Joglo, pada bagian yang menjulang ke angkasa yaitu Brunjunggajah yang bermakna hubungan antara Yang Suci di dunia atas dengan
yang di dunia bawah. Bangunan rumah atau tempat tinggal masyarakat sekitar lereng Merapi
didirikan secara berkelompok di atas tanah yang rata atau didatarkan, dan terbebas dari pasir dan bebatuan gunung seperti tanah tegalan. Pada prinsipnya, ada tiga
bagian dari struktur bangunan tradisional Jawa. Bagian struktur yang pertama adalah pendapa yang digunakan untuk menerima tamu dan pertunjukan , terletak
di depan bangunan. Bagian ini mempunyai empat buah pilar yang disebut sakaguru, yang terletak di bagian tengah pendapa. Sakaguru dihiasi dengan motof
flora pada ujung-ujungnya. Bagian struktur kedua adalah pringgitan pringitan atau kampung yang sering digunakan sebagi tempat pertunjukan wayang, dan
merupakan penghubung bagian belakang rumah dengan pendapa. Bagian belakang rumah adalah dalem ageng atau omah-mburi sebagai bagian struktur
ketiga. Dalem ageng sedikitnya dibagi menjadi 3 ruangan, yaitu krobongan boma atau sentong tengah yang terletak di tengah-tengah dalem ageng dan merupakan
daerah yang dianggap sakral di dalam rumah, karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kehadiran sang
Kuasa, serta untuk penghormatan untuk nenek moyang masyarakat Jawa.
c. Upacara tradisional Bagi masyarakat lereng Merapi, gunung Mepari merupakan sumber
kekuatan spiritual. Sampai saat ini masyarakat lokal di lereng selatan Merapi dan sekitarnya masih melakukan upacara tradisional yang dikenal sebagai „selametan‟,
yaitu suatu ritualupacara tradisional yang berkaitan erat dengan sistem kepercayaan setempat untuk mendapatkan keselamatan dan keberuntungan.
Upacara tradisional yang terdapat di lereng Merapi meliputi : 1 Selamatan Labuhan. Upacara yang diadakan setiap tahun pada tanggal 25
bulan Bakdamulud dalam penanggakan Jawa, bertepatan dengan hari kelahiran Sultan Hamengkubuwono IX berpusat di Desa Korijaya.
Upacara ini merupakan upacara besar dengan melibatkan ratusan orang dari segala penjuru DIY dan Jawa Tengah.
2 Selamatan Malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Upacara dengan sesaji untuk roh Kyai Petruk sebagai penjaga gerbang Gunung Merapi di
Desa Wukirsari dan sekitarnya. 3 Selamatan ternak. Sedekah gunung pada bulan Pasa, pada awal bulan
Rejeb dalam penanggalan Jawa yang dilaksanakan secara rutin bagi setiap keluarga di hampir sebagian besar penduduk Lereng Merapi.
4 Selamatan Sekul Bali. Upacara untuk keselamatan dari bahaya kecelakaan di Merapi, seperti jatuh, tanah longsor, dan sebagainya, yang dilaksanakan
bila terjadi kecelakaan itu. 5 Selamatan mengambil jenazah. Upacara ini dilakukan secara massal
melibatkan sebagian penduduk desa. 6 Selamatan mencari orang hilang. Upacara untuk keselamatan orang yang
dinyatakan hilang oleh penduduk setempat. 7 Selamatan orang kesurupan. Upacara penyembuhan atau pemulihan dari
gangguan makhluk halus roh penghuni Gunung Merapi. 8 Selamatan menghadapi bahaya Merapi. Upacara ini diadakan bersama
dengan terjadinya letusan danatau banjir lahar.
3.2 Kondisi Desa Ngargomulyo