padi, pekerjaan menyadap getah sering terbengkalai atau bahkan terhenti. Di beberapa tempat dimana lapangan kerja sulit dicari dan hasil pertanian kurang
dapat mendukung kehidupan petani, kegiatan penyadapan getah yang dikembangkan oleh Perum Perhutani semakin menarik para pencari kerja untuk
memperoleh penghasilan yang relatif tetap atau terus-menerus Soedjono, 1992. Alasan masyarakat bekerja sebagai penyadap getah biasanya karena
rendahnya pendapatan mereka yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bekerja sebagai penyadap getah mereka pilih sebagai pekerjaan
sampingan. Kondisi sosial ekonomi penyadap merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas getah pinus yang diperoleh. Umumnya
tenaga penyadap memiliki tingkat pendidikan setingkat atau di bawah SD. Rendahnya kualitas tenaga penyadap akan mempengaruhi rendahnya kualitas
getah yang disadap. Selain itu, apabila pendapatan dari sawah atau tegalan kurang karena adanya kegagalan panen maka jumlah getah yang disadap bertambah
banyak, demikian pula bila menjelang Lebaran atau musim hajatan Departemen Kehutanan, 1996.
2.3 Pengelolaan Hutan Indonesia
2.3.1 Arah Pengelolaan Hutan Konservasi
Selama ini pengelolaan hutan konservasi hanya terfokus kepada aspek ekologis saja, dan kurang memperhatikan aspek ekonomi dan aspek sosial.
Pengelolaan hutan lestari mengupayakan terjadinya efisiensi ekonomi, ekologi dan sosial dari sumberdaya hutan, hal ini berarti bahwa hutan harus dipandang
sebagai modal, faktor produksi, ekosistem, dan ruang sehingga pengelolaan hutan dapat memberikan manfaat secara optimal kepada seluruh stakeholder.
Menurut Ngadiono 2004
p
embangunan kehutanan harus mengacu pada aspek kelestarian, yaitu bagaimana aspek ekonominya dibangun, bagaimana aspek
ekologi dikedepankan dan bagaimana aspek sosial tidak ditinggalkan. Hilangnya salah satu fungsi maka kelestarian sumberdaya hutan akan terancam, hal yang
perlu diperhatikan adalah proporsi atau bobot intensitas dari masing-masing fungsi tersebut, seberapa jauh hutan konservasi mampu dibebani fungsi ekonomi
dan sosial, dengan tidak meninggalkan fungsi utamanya. Pengelolaan kawasan hutan konservasi yang tidak memberikan nilai ekonomi selain akan dianggap
sebagai beban juga akan menghadapi ancaman perambahan seperti perburuan dan penebangan liar dari masyarakat sekitar hutan yang tidak merasakan manfaat
keberadaan kawasan hutan konservasi tersebut. Secara normatif, bobot intensitas ekologi pada pengelolaan kawasan hutan konservasi harus tetap yang tertinggi
sesuai dengan fungsinya yaitu sekitar 70, bobot intensitas ekonomi sebesar 10 dan bobot intensitas sosial sebesar 20. Dengan peluang pemanfaatan sebesar
20, sesunggguhnya cukup leluasa bagi masyarakat maupun pihak swasta untuk mendayagunakan kawasan konservasi sehingga mendatangkan benefit yang
signifikan, dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku termasuk wilayah- wilayah yang diperbolehkan dilakukan intervensi sosial dan produksi sehingga
integritas kawasan konservasi tidak terganggu. Dengan demikian, fungsi utama kawasan masih dapat dipertahankan, di lain pihak dapat memberikan manfaat
ekonomi dan sosial budaya melalui transfer nilai hutan dan pengembangan kawasan buffer zone.
2.3.2 Kelola Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari