Kelola Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari

sebagai beban juga akan menghadapi ancaman perambahan seperti perburuan dan penebangan liar dari masyarakat sekitar hutan yang tidak merasakan manfaat keberadaan kawasan hutan konservasi tersebut. Secara normatif, bobot intensitas ekologi pada pengelolaan kawasan hutan konservasi harus tetap yang tertinggi sesuai dengan fungsinya yaitu sekitar 70, bobot intensitas ekonomi sebesar 10 dan bobot intensitas sosial sebesar 20. Dengan peluang pemanfaatan sebesar 20, sesunggguhnya cukup leluasa bagi masyarakat maupun pihak swasta untuk mendayagunakan kawasan konservasi sehingga mendatangkan benefit yang signifikan, dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku termasuk wilayah- wilayah yang diperbolehkan dilakukan intervensi sosial dan produksi sehingga integritas kawasan konservasi tidak terganggu. Dengan demikian, fungsi utama kawasan masih dapat dipertahankan, di lain pihak dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya melalui transfer nilai hutan dan pengembangan kawasan buffer zone.

2.3.2 Kelola Sosial dan Pengelolaan Hutan Lestari

Kriteria kelestarian fungsi sosial dalam pengelolaan hutan lestari yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan antara lain yaitu : 1. Adanya luas dan batas yang jelas antara kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan dari para pihak yang terkait. 2. Adanya perjanjian yang melibatkan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dalam kesetaraan tanggung jawab pengelolaan bersama. 3. Tersedianya mekanisme dan implementasi pendistribusian insentif yang efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak terkait. 4. Adanya perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan yang telah mempertimbangkan hak masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat. 5. Peningkatan peran serta masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat yang aktivitas ekonominya berbasis hutan. Secara umum, pelaksanaan kelola sosial dalam kegiatan pengelolaan hutan ditujukan untuk dapat memberikan peningkatan kesejahteraan hidup kepada masyarakat yang berada di sekitar hutan melalui pemberian kesempatan kerja dan berusaha, tetap memberikan akses kepada masyarakat untuk mencari hasil hutan bukan kayu, serta menghormati dan mengakui keberadaan hutan adat dan hak ulayat masyarakat, termasuk di dalamnya pengetahuan dan kearifan lokal dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan. Kelola sosial dapat dilakukan antara lain dalam bentuk pembinaan masyarakat desa hutan PMDH, pengelolaan hutan kemasyarakatan dan pengembangan kawasan penyangga. Pengembangan kawasan penyangga merupakan bentuk kelola sosial pada kawasan hutan konservasi dan kawasan pelestarian alam, sebagaimana yang telah diatur dalam SK Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 49KptsDJ-VI1997 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga. Berdasarkan jenis kegiatannya, beberapa alternatif pengembangan daerah penyangga diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan budidaya plasma nutfah 2. Penurunan penggembalaan liar di kawasan konservasi dan kawasan pelestarian alam 3. Perlindungan dan rehabilitasi biota sungai serta pengembangan budidaya ikan air tawar 4. Pengembangan wisata alam, pengembangan budidaya rumput laut dan biota laut lainnya 5. Pengembangan kerajinan dan keterampilan masyarakat.

2.3.3 Konsepsi Partisipasi Masyarakat dan Kolaborasi dalam Pengelolaan