Rasio subsidi produsen SRP menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial di perkebunan Rajamandala yang dapat menutupi subsidi dan pajak
sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas kakao. Nilai SRP di lokasi
penelitian adalah 0.03 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan perkebunan afdeling Rajamandala mengeluarkan biaya
lebih rendah 3 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang ada menguntungkan bagi pengembangan
dan peningkatan dayasaing kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala.
6.3. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode PAM yang hanya memberlakukan satu tingkat harga yang sebenarnya sangat
bervariatif. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ketiga yaitu bagaimana pengaruh produktivitas, harga kakao, dan
kurs rupiah terhadap dayasaing komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala. Hasil tabulasi analisis sensitivitas pada matriks PAM tercantum
pada Tabel 20.
Tabel 20. Perubahan Indikator Dayasaing dan Dampak Kebijakan Pemerintah
terhadap komoditas Kakao pada Analisis Sensitivitas
Perubahan Indikator
PCR DRC NPCO NPCI EPC SRP
Normal 0.92
0.95 1.21
1.34 1.12
0.03 Apresiasi
0.92 1.07
1.35 1.45
1.26 0.10
Depresiasi 0.92
0.86 1.10
1.25 0.99
-0.04 Produksi turun 10 persen
1.13 1.15
1.21 1.34
1.10 0.00
Produksi naik 10 persen 0.77
0.81 1.21
1.34 1.13
0.04 Penurunan Harga Kakao 5 persen
1.01 1.04
1.21 1.34
1.11 0.02
Kenaikan Harga Kakao 15 persen 0.72
0.76 1.21
1.34 1.13
0.05
6.3.1. Penguatan nilai mata uang rupiah Apresiasi sebesar 10 persen
Penguatan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing dalam hal ini US Dollar, akan mengakibatkan berubahnya harga output kakao dan harga input
tradable pada harga sosial. Harga kakao yang pada awalnya Rp 19,819.42
berubah menjadi Rp17,837.48. Perubahan input yang terjadi adalah pupuk Urea menjadi Rp 5,126.67, TSP menjadi Rp 8,483.80, dan KCL menjadi Rp 4,317.74.
Tabel 21 menunjukkan tabulasi PAM saat terjadi apresiasi nilai Rupiah sebesar 10 persen Skenario 1.
Tabel 21. Tabulasi PAM skenario Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 persen
KOMPONEN Penerimaan
Biaya Keuntungan
Tradable Faktor
PRIVAT 129,294,567.60
60,251,878.00 63,306,333.10
5,736,356.50 SOSIAL
96,095,385.99 41,450,499.80
58,391,494.50 -3,746,608.31
DIVERGENSI 33,199,181.61
18,801,378.20 4,914,838.60
9,482,964.81
Penguatan nilai mata uang rupiah ini akan mengakibatkan pengusahaan komoditas kakao di perkebunan afdeling Rajamandala menjadi tidak memiliki
dayasaing dalam segi keunggulan komparatif. Hal ini dilihat dari Keuntungan Sosial yang bernilai negatif yaitu Rp 3,746,608.31 dan nilai DRC Tabel 20 yang
lebih besar dari satu yaitu 1.07 yang berarti untuk memproduksi kakao di lokasi penelitian membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 107 persen dari
biaya impor yang dibutuhkan. Berdasarkan dua indikator tersebut, dapat diketahui bahwa komoditas kakao tidak memiliki keunggulan komparatif karena tidak
mampu membiayai faktor domestik pada harga sosialnya. Dengan kata lain, pengusahaan komoditas kakao tidak efektif dilaksanakan sehingga lebih baik
melakukan kegiatan impor. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing tidak berarti selalu
menjadikan dayasaing kakao di lokasi penelitian menjadi tidak layak di sisi keunggulan komparatifnya. Kakao yang berorientasi ekspor tentu saja dipengaruhi
oleh nilai tukar mata uang. Salah satu cara yang dapat ditempuh agar nilai kurs mata uang tidak menurunkan keuntungan pengusahaan komoditas kakao adalah
menetapkan kontrak jual beli dengan negara importir. Oleh karena itu, produsen kakao khususnya perkebunan Afdeling Rajamandala memiliki jaminan pasar dan
harga jual dengan syarat kualitas yang dihasilkan sesuai dengan permintaan konsumen.
6.3.2. Pelemahan nilai mata uang rupiah Depresiasi sebesar 10 persen.