Aktivitas Pengolahan Aktivitas Perkebunan Afdeling Rajamandala

bersih dari plasenta dan benda asing lainnya yang dapat menurunkan kualitas biji kering kakao.

16. Pembuatan Lubang Kolven

Pembuatan lubang kolven merupakan tindak lanjut dari pemisahan biji kakao dari kulitnya Kolven. Kolven yang tersisa tidak boleh begitu saja ditinggalkan berserakan karena dapat menyebabkan tumbuhnya jamur. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan limbah yaitu dengan pembuatan lubang kolven untuk membenam cangkang kulit buah kakao. Spesifikasi dari pekerjaan ini adalah menggali tanah untuk membuat lubang berukuran kurang lebih satu meter persegi. Alat yang digunakan adalah cangkul dengan rotasi kegiatan empat kali dalam setahun.

17. Benam Limbah

Benam limbah adalah pembenaman limbah berupa kulit kakao pada lubang yang telah dibuat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghindari munculnya jamur. Spesifikasi dari benam limbah adalah menempatkan kulit kakao pada lubang yang telah dibuat dan menimbunnya dengan tanah. Benam limbah dapat dilakukan pada lubang yang sama sebanyak tiga kali. Oleh karena itu, pekerjaan ini tidak harus dilakukan pada lubang yang baru. Rotasi benam limbah adalah 3 kali seminggu sesuai dengan pekerjaan panen.

5.5.2. Aktivitas Pengolahan

1. Penerimaan Hasil Panen

Setelah aktivitas kebun selesai, hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pengolahan biji kakao. Biji kakao yang telah dipanen kemudian diangkut menggunakan truk menuju ke pabrik pengolahan kakao. Biji kakao diterima di pabrik untuk kemudian ditimbang agar dapat diketahui jumlah produksi yang dihasilkan. Aktivitas ini disebut juga dengan bongkar muat. Alat yang diperlukan adalah timbangan. Spesifikasi pekerjaan ini adalah menerima hasil panen, menimbang jumlah produksi yang dihasilkan, mencatat jumlah produksi dan memperkirakan biji kakao kering yang dihasilkan melalui rendemen. Rendemen yang ditetapkan adalah 32 persen. Artinya dari setiap 1 kilogram biji basah akan dihasilkan 0.32 kilogram biji kering. Rotasi penerimaan panen pada bulan puncak panen adalah 3 kali dalam seminggu yaitu selasa, kamis, dan sabtu.

2. Fermentasi

Kualitas biji kakao salah satunya ditentukan oleh proses pengolahan. Proses pengolahan yang harus dilakukan terdiri dari beberapa tahap penting. Proses pertama yang harus dilalui adalah fermentasi. Fermentasi adalah salah satu tahap yang paling penting dalam proses pengolahan kakao sebab selama fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan metabolisme bahan kimia, perubahan tersebut dikerjakan oleh enzim yang terdapat dalam biji. Adapun tujuan dari fermentasi adalah mencegah berkecambahnya biji, membentuk cita rasa, aroma yang baik dan segar, mengurangi rasa pahit dan sepat, membentuk penampakan biji yang baik, menekan tingkat keasaman pH dengan standar 5,2 persen sesuai dengan standar International, dan mempermudah pencucian supaya pulp mudah terlepas. Sistem fermentasi dibedakan menjadi dua sistem. Sistem pertama adalah sistem konvensional yang dilakukan dengan menumpuk biji di dalam peti setinggi 80-90 cm, dan dilakukan pembalikan setiap 24 jam. Sistem kedua adalah sistem Sime Cadbury yang dilakukan dengan menumpuk biji di dalam peti setinggi 40 cm dan dilakukan pembalikan setelah 48 jam hanya satu kali. Fermentasi yang dilakukan di Afdeling Rajamandala memakai sistem Sime Cadbury, yang telah dimodifikasi dengan ditambah adanya pencucian Pada metode sime Cadbury tidak dilakukan pencucian. Fermentasi dilakukan pada peti kayu dengan ukuran panjang 130 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 90 cm. Adapun kapasitas kotak fermentasi adalah 750 – 900 kg biji basah, setiap peti diberi lubang berdiameter satu sentimeter dengan jarak 10 cm yang bertujuan untuk mempermudah sirkulasi udara dan tempat keluarnya cairan pulp. Selain itu, dilakukan pembalikan setelah 48 jam hari ketiga bertujuan untuk aerasi yang baik bagi aktivitas metabolisme. Aerasi adalah proses keluarnya air dari dalam kotak fermentasi. Suhu pada fermentasi, hari ke pertama adalah 28-30 ºC, hari kedua 30-42 ºC, hari ketiga 42-45 ºC, hari keempat 45-48 ºC, dan hari kelima 47 ºC. Lama fermentasi 115-120 jam 5 hari, jumlah peti yang tersedia ada 80 buah, terdiri dari 5 baris, jumlah per baris 16 buah. Tanda-tanda fermentasi telah selesai adalah suhu konstan, pulp mudah dibersihkan, kulit berwarna coklat, dan hadirnya bau asam cuka yang kuat.

3. Perendaman dan Pencucian

Biji kakao yang telah difermentasi harus mendapatkan perlakuan lanjutan yaitu perendaman dan pencucian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi, mengurangi kadar asam cuka, mempermudah terlepasnya pulp, dan mempermudah pencucian. Spesifikasinya adalah merendam biji kakao dalam tempat pencucian dengan ketinggian air 5 cm di atas permukaan biji kakao. Jika diperlukan, dilakukan pekerjaan lain yaitu mengambil plasenta yang terdapat pada tumpukan biji kakao. Perendaman menggunakan bak berukuran 34.3 x 1.3 x 0.6 meter dengan kapasitas 12 ton biji kakao basah. Perendaman dilakukan selama 2 jam disertai oleh pekerjaan pengadukan dengan sekop kayu. Pengadukan bertujuan untuk meratakan panas hasil fermentasi dan mempermudah pencucian. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa pulp dan asam cuka, memperoleh biji kakao yang baik, dan meningkatkan persentase biji bulat. Pencucian dilakukan dengan mesin rapido berkapasitas 5 ton per jam. Pencucian yang dilakukan di pabrik Afdeling Rajamandala menghasilkan kadar kulit 11 – 12 persen. Adapun yang dimaksud dengan kadar kulit adalah persentase bobot kulit biji dari 100 gram biji kakao kering mutu AB. Setelah proses perendaman dan pencucian, biji kakao dipindahkan ke tempat pengeringan dengan conveyor yang berkapasitas 4 -5 ton per jam. Di dalam conveyor biji dicuci kembali dan dilakukan sortasi awal agar plasenta, biji busuk, pecahan kolven, dan benda asing lainnya tidak ikut masuk ke dalam proses pengeringan.

4. Pengeringan

Pengeringan adalah proses pengeluaran air dengan menggunakan panas sampai mencapai kadar air yang diinginkan yaitu 7 – 7.5 persen. Pengeringan di Rajamandala menggunakan tiga alat yaitu: a. Circular Drier terdiri dari 2 bagian dan dilengkapi dengan alat penghembus udara Water wide dan bagian pengering drier yang dilengkapi dengan alat pengaduk atau pembalik. Bak pengering berbentuk lingkaran berdiameter 6 meter. Tinggi 40 cm dan ketebalan isi 25 – 30. Kapasitasnya adalah 6.000 kilogram biji basah per unit, dengan lama pengeringan 30-33 jam. Suhu panas 60 – 40 ºC yang dihasilkan oleh pembakaran kayu bakar dengan ratio rata- rata 2.5 – 3 M³ per ton. b. Palung drier Bed drier dengan ukuran panjang 19,25 meter, tinggi 1.05 meter, dan lebar 2,10 meter. Kapasitas palung adalah 9.000 kg biji basah, dengan ketebalan isi 20-25 cm. Alat pengering ini memakai bahan bakar kayu dengan ratio 2.5 – 3 M³ per ton. c. Palung drier Bed driyer dengan ukuran panjang 15 m, tinggi 1.1 meter, dan lebar 2,20 meter. Kapasitasnya adalah 6.000 kg biji basah, dengan ketebalan isi 20-25 cm, memakai bahan bakar minyak solar dengan ratio 260-280 liter per ton. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air biji kakao agar lebih tahan terhadap serangan jamur dan untuk memperoleh warna, rasa, dan aroma yang lebih baik. Kadar air diukur menggunakan KOKA Tester.

5. Tempiring

Tempiring adalah suatu proses penyimpanan biji kakao yang telah dikeringkan agar memiliki suhu yang sama dengan suhu sekitar. Setelah proses pengeringan selesai, biji kakao kering dimasukkan ke dalam karung dengan berat isi sebanyak 60 kilogram. Pekerjaan tersebut dikenal dengan istilah turun garang. Biji kakao kering yang telah ditimbang kemudian disimpan di satu tempat tertentu untuk ditempiring. Tujuan dari proses tempiring adalah menyesuaikan suhu biji kakao dengan suhu lingkungan sekitar, meratakan kadar air, dan menyerap kelembaban.

6. Sortasi dan Pengepakan

Sortasi adalah proses pemisahan biji kakao berdasarkan klasifikasi kelas mutu. Klasifikasi ditetapkan dengan mengamati kriteria tertentu yaitu warna, ukuran, kesehatan, dan bentuk dari biji kakao yang disortasi. Kelas mutu yang ditetapkan di pabrik pengolahan kakao Afdeling Rajamandala adalah kelas AB, Small Bean SB, Afval, dan Gruis. Kriteria dari kelas mutu tersebut disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Kelas Mutu Biji Kakao di Pabrik Pengolahan Afdeling Rajamandala Kelas Mutu Kriteria AB Biji utuh, terdiri dari maksimal 110 butir biji 100 gram Small Bean Biji utuh, terdiri dari lebih dari 110 butir biji 100 gram Afval Campuran biji-biji yang gepeng, cacat, dan bercampur dengan kulit Gruis Biji-biji pecah dan mengandung cacat tidak dapat dihitung Sumber : Arsip Kantor Pengolahan Afdeling Rajamandala Adapun tujuan dari pekerjaan sortasi adalah menghasilkan kelompok biji kakao berdasarkan kelas mutu yang ditetapkan. Selain klasifikasi kelas mutu, pabrik pengolahan biji kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala juga harus memenuhi syarat atau spesifikasi mutu yang diberlakukan oleh konsumen tunggal yaitu PT. Ceres. Syarat tersebut adalah kadar air biji kakao maksimal 7.5 persen dan mouldy atau biji berjamur maksimal tiga persen dari keseluruhan produksi biji kering. Alat yang digunakan dalam proses sortasi adalah mesin sortir dan ayakan. Sortasi dilakukan dalam dua proses yaitu diawali dengan mesin sortir dan dilanjutkan dengan cara manual. Spesifikasinya adalah mengelompokkan biji kakao kering ke dalam kelas mutu secara tepat. Pada pekerjaan sortasi juga terdapat pekerjaan pengendalian mutu Quality control. Hal ini dilakukan agar kualitas biji kakao yang dihasilkan benar-benar terklasifikasi dalam kelas mutu yang benar.

7. Penyimpanan di Gudang

Setelah proses sortasi selesai, biji kakao yang telah dikelompokkan kemudian dikemas dalam karung. Ada dua istilah volume yang sering digunakan di perkebunan Afdeling Rajamandala yaitu Bal dan Lot. Dua istilah ini digunakan untuk memudahkan pengelompokkan dan penomoran produksi. Adapun ukuran volume 1 bal adalah 62.5 kilogram, sedangkan volume 1 lot adalah 1000 kilogram untuk biji AB dan 250 kilogram untuk biji SB dan gruis afval. Perbedaan ukuran satu lot ini karena biji SB dan gruiss afval yang dihasilkan jauh lebih sedikit dibandingkan biji AB. Biji kakao yang telah dikemas disimpan dalam gudang dengan aturan tumpukan untuk biji AB 5 – 6 tumpukan, sedangkan untuk SB dan gruiss afval adalah 4 tumpukan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kerusakan pada biji.

8. Pemasaran

Produk akhir berupa biji kakao kering yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan Perkebunan Afdeling Rajamandala dipasarkan kepada konsumen tunggal yaitu PT CERES yang berlokasi di Bandung. Transaksi dilakukan dengan sistem delivery order yaitu produk dikirim oleh pihak produsen yaitu perkebunan afdeling Rajamandala. Transaksi penjualan dilakukan oleh direksi PTPN VIII bagian pemasaran. VI ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KAKAO AFDELING RAJAMANDALA Sebelum membahas hasil perhitungan Tabel Policy Analysis Matrix PAM yang merefleksikan dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala, terlebih dahulu akan dibahas darimana angka-angka yang merupakan komponen Tabel PAM tersebut muncul. Seperti penjelasan sebelumnya di kerangka pemikiran, Tabel PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama Tabel PAM merupakan estimasi dari keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Adapun rekapitulasi dari perhitungan budget privat kakao di perkebunan afdeling Rajamandala selama 30 tahun dengan discount rate 10.12 persen disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan rekapitulasi pada Lampiran 6, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan privat pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah Rp 129,294,567.60, biaya input tradable adalah Rp 60,251,878.00, dan biaya input domestik Rp 63,306,333.10. Oleh karena itu diperoleh keuntungan privat sebesar Rp 5,736,356.50 yang merupakan selisih dari total penerimaan dan total biaya tradable dan domestik. Baris kedua merupakan estimasi keuntungan sosial atau dayasaing dalam keunggulan komparatif yang tercermin dari keuntungan sosial. Rekapitulasi dari perhitungan budget sosial pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala selama 30 tahun dengan tingkat discount rate yang sama disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah penerimaan sosial pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah Rp 106,772,639.12, biaya input tradable adalah Rp 44,853,866.70, dan biaya input domestik adalah Rp 58,901,999.50 sehingga diperoleh keuntungan sosial sebesar Rp 2,719,583.58. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Berdasarkan rekapitulasi perhitungan budget privat dan sosial tersebut, kemudian diperoleh Tabel PAM Kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala secara keseluruhan. Adapun hasil tabulasi dasar matriks kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di perkebunan afdeling Rajamandala dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Tabulasi Dasar Matriks Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala KOMPONEN PENERIMAAN BIAYA PROFIT TRADABLE FAKTOR PRIVAT 129,294,567.60 60,251,878.00 63,306,333.10 5,736,356.50 SOSIAL 106,772,639.12 44,853,866.70 58,901,999.50 3,016,772.92 DIVERGENSI 22,521,928.48 15,398,011.30 4,404,333.60 2,719,583.58 Divergensi yang dihasilkan pada Matriks Kebijakan Pemerintah seluruhnya bernilai positif. Divergensi penerimaan bernilai positif berarti harga kakao pada struktur biaya privat lebih besar dibandingkan dengan harga kakao pada struktur harga sosial. Hal ini terjadi karena pada harga sosial, harga kakao yang ditetapkan adalah harga kakao internasional yang telah terkena pemotongan sebesar 15 persen. Asumsi ini ditetapkan berdasarkan fakta bahwa kakao Indonesia dikenakan discount dengan menyamaratakan seluruh kakao ke dalam grade kakao yang unfermented Zulhefi 2007. Oleh karena itu, harga kakao privat lebih tinggi karena pada dasarnya kakao yang dihasilkan perkebunan afdeling Rajamandala sudah berkualitas dengan standar internasional. Divergensi pada biaya input tradable juga bernilai positif yaitu Rp 15,398,011.30. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah, perkebunan Afdeling Rajamandala harus membayar harga lebih tinggi dari harga ekonominya. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang melindungi produsen input tradable yaitu berupa subsidi sedangkan Afdeling Rajamandala dikenakan pajak atas input tradable. Divergensi yang terjadi pada faktor domestik juga bernilai positif Rp 4,404,333.60. Hal ini mengindikasikan bahwa perkebunan Afdeling Rajamandala harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor domestik dibanding dengan biaya faktor domestik secara ekonomi. Alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah adanya kebijakan pemerintah mengenai Upah Minimum Regional. Hasil dari kalkulasi budget privat yang dilakukan selama 30 tahun dengan discount rate sebesar 10.12 persen menunjukkan bahwa Net Present Value NPV yang telah terdiskon di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah positif Rp 5,736,356.50 dengan jumlah biaya input Rp 123,558,211.4 yang terdiri dari input tradable Rp 60,251,878.3 dan input faktor sebesar Rp 63,306,333.1. Namun setiap tahunnya NPV tersebut tidak selalu bernilai positif, NPV yang bernilai positif dimulai pada tahun ke-7 sampai dengan tahun ke-29 dan tahun ke-30 kembali bernilai negatif. Komponen biaya yang harus dikeluarkan dalam proporsi paling besar di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah input tradable yaitu pupuk yang mencapai 48.86 persen dari total keseluruhan input. Hal ini juga dikarenakan perkebunan Afdeling Rajamandala tidak mendapatkan input pupuk yang bersubsidi, bahkan input yang digunakan dikenakan pajak oleh pemerintah. Komponen biaya lain yang menempati urutan kedua terbesar adalah biaya tenaga kerja yang mencapai 18.32 persen dari total biaya secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pada budidaya kakao, khususnya di perkebunan afdeling Rajamandala diperlukan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan secara intensif. Proporsi biaya input terhadap biaya input total disajikan pada Lampiran 8. Biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh Perkebunan Afdeling Rajamandala adalah pada tahun ke-5 atau pada saat Tanaman Menghasilkan dimulai TM I yaitu Rp 9,386,807.7 karena pada tahun tersebut mulai dilakukan proses pengolahan kakao yang membutuhkan biaya investasi. Di samping itu, biaya terbesar kedua yang terjadi adalah pada saat TTAD Tanaman Tahun Akan Datang yaitu setahun sebelum dilakukan penanaman mencapai Rp 8,145,388.5. Hal ini disebabkan karena areal kakao di perkebunan Rajamandala merupakan areal konversi tanaman karet sehingga diperlukan biaya land clearing. Hasil dari kalkulasi budget sosial pengusahaan kakao yang meliputi kegiatan budidaya dan pengolahan kakao selama 30 tahun dapat diketahui bahwa biaya input baik tradable maupun domestik pada budget sosial lebih rendah dibandingkan dengan budget privat. Adapun NPV terdiskon yang dihasilkan dengan discount rate 10.12 adalah Rp 3,016,772.9. NPV positif mulai dihasilkan pada tahun ke-7 dan kembali negatif pada tahun ke-30. NPV terbesar dihasilkan pada tahun ke-14 atau TM-10 mencapai Rp 4,186,361.5. Komponen biaya terbesar pada budget sosial adalah pupuk dengan proporsi 43 persen dari total keseluruhan biaya, dan tenaga kerja dengan proporsi 20 persen dari total keseluruhan biaya. Tahun ke-5 dan tahun persiapan lahan merupakan tahun yang mengeluarkan biaya paling besar, sama halnya seperti pada struktur biaya kakao secara privat. Keuntungan privat yang dihasilkan dari pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah Rp 5,736,356.50. Artinya bahwa keuntungan yang diterima perkebunan sebesar Rp 5,736,356.50 per hektar. Penerimaan perkebunan Afdeling Rajamandala berdasarkan nilai privat lebih besar dari pengeluaran input tradable maupun input domestik. Dengan demikian, kegiatan pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala layak untuk dijalankan. Keuntungan sosial yang diperoleh pada pengusahaan kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala adalah Rp 3,016,772.92 per hektar, yang berarti pengusahaan kakao tersebut menguntungkan secara ekonomi walaupun tanpa adanya kebijakan pemerintah. Berdasarkan tabulasi yang dilakukan pada matriks kebijakan pemerintah PAM, dapat diketahui bahwa keuntungan privat lebih tinggi dari keuntungan sosial. Oleh karena itu, divergensi yang diakibatkan adalah positif sebesar Rp 2,719,583.58 yang kemudian disebut dengan net transfer.

6.1. Analisis Dayasaing