Kebijakan Input-Output Analisis Kebijakan Pemerintah 6.1.1.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah Rp15,398,011.30. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input tradable yang harus dikeluarkan pada harga ekonomi. Dengan kata lain, harga sosial input tradable lebih rendah daripada harga privatnya sehingga perkebunan Rajamandala membayar input lebih besar Rp 15,398,011.30 dari kondisi seharusnya akibat divergensi pemerintah. Koefisien proteksi input nominal NPCI adalah rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI di lokasi penelitian adalah 1.34 yang berarti pemerintah meningkatkan harga input tradable di pasar domestik yang dihadapi perkebunan Afdeling Rajamandala di bawah harga dunia. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap input tidak mendorong peningkatan dayasaing kakao di lokasi penelitian. NPCI1 menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap produsen input tradable di pasar domestik. Transfer faktor adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh perkebunan Rajamandala untuk pembayaran faktor produksi domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 4,404,333.60 yang menunjukkan bahwa harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input domestik, misalnya subsidi kepada produsen input domestik yang digunakan oleh perkebunan Afdeling Rajamandala. Kondisi ini mengakibatkan perkebunan Afdeling Rajamandala sebagai produsen kakao harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya, sementara produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 4,404,333.60.

6.1.3. Kebijakan Input-Output

Analisis kebijakan Input-Output merupakan analisis gabungan antara analisis input dan output yang telah dijelaskan sebelumnya. Analisis kebijakan input-output antara lain Koefisien Proteksi Efektif Effective Protection Coefficient EPC, Transfer Bersih TB, Koefisien keuntungan Profitability Coefficient PC, dan Rasio Subsidi Produsen SRP. Koefisien proteksi efektif EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas kakao di perkebunan Rajamandala. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Adapun nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu 1.12 yang menunjukkan bahwa proteksi pemerintah dalam sistem produksi kakao di perkebunan Rajamandala sudah menunjukkan adanya proteksi. Dampak kebijakan pemerintah yang memberikan dukungan terhadap dayasaing kakao adalah dengan menetapkan harga output di atas harga efisiennya atau dengan kata lain perkebunan Afdeling Rajamandala menerima insentif dari konsumen. Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa terdapat kebijakan pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif melindungi perkebunan afdeling Rajamandala. Transfer bersih TB adalah selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai Transfer Bersih di lokasi penelitian adalah lebih besar dari nol yaitu Rp 2,719,583.58 yang berarti adanya penambahan keuntungan untuk perkebunan Rajamandala yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Nilai tersebut juga mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output akan meningkatkan surplus perkebunan Afdeling Rajamanda sebesar Rp 2,719,583.58. Koefisien keuntungan PC adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik net policy transfer. Nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 1.90. Angka tersebut menunjukkan keuntungan privat yang diterima perkebunan Afdeling Rajamandala lebih besar dari keuntungan bersih sosialnya sebesar 90 persen. Artinya kebijakan pemerintah yang ada dapat meningkatkan produksi kakao di lokasi penelitian. Rasio subsidi produsen SRP menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial di perkebunan Rajamandala yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas kakao. Nilai SRP di lokasi penelitian adalah 0.03 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan perkebunan afdeling Rajamandala mengeluarkan biaya lebih rendah 3 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang ada menguntungkan bagi pengembangan dan peningkatan dayasaing kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala.

6.3. Analisis Sensitivitas