Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah Rp15,398,011.30. Hal ini mengindikasikan bahwa
dalam pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input
tradable yang harus dikeluarkan pada harga ekonomi. Dengan kata lain, harga
sosial input tradable lebih rendah daripada harga privatnya sehingga perkebunan Rajamandala membayar input lebih besar Rp 15,398,011.30 dari kondisi
seharusnya akibat divergensi pemerintah.
Koefisien proteksi input nominal NPCI adalah rasio antara biaya input tradable
berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI di lokasi penelitian adalah 1.34 yang berarti pemerintah
meningkatkan harga input tradable di pasar domestik yang dihadapi perkebunan Afdeling Rajamandala di bawah harga dunia. Dengan kata lain, kebijakan
pemerintah terhadap input tidak mendorong peningkatan dayasaing kakao di lokasi penelitian. NPCI1 menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap
produsen input tradable di pasar domestik.
Transfer faktor adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh perkebunan Rajamandala untuk pembayaran faktor produksi
domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 4,404,333.60 yang menunjukkan bahwa harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga
privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat
melindungi input domestik, misalnya subsidi kepada produsen input domestik yang digunakan oleh perkebunan Afdeling Rajamandala. Kondisi ini
mengakibatkan perkebunan Afdeling Rajamandala sebagai produsen kakao harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya, sementara
produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 4,404,333.60.
6.1.3. Kebijakan Input-Output
Analisis kebijakan Input-Output merupakan analisis gabungan antara analisis input dan output yang telah dijelaskan sebelumnya. Analisis kebijakan
input-output antara lain Koefisien Proteksi Efektif Effective Protection Coefficient
EPC, Transfer Bersih TB, Koefisien keuntungan Profitability Coefficient
PC, dan Rasio Subsidi Produsen SRP. Koefisien proteksi efektif EPC merupakan indikator dari dampak
keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditas kakao di perkebunan Rajamandala. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana
kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Adapun nilai EPC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu
1.12 yang menunjukkan bahwa proteksi pemerintah dalam sistem produksi kakao di perkebunan Rajamandala sudah menunjukkan adanya proteksi. Dampak
kebijakan pemerintah yang memberikan dukungan terhadap dayasaing kakao adalah dengan menetapkan harga output di atas harga efisiennya atau dengan kata
lain perkebunan Afdeling Rajamandala menerima insentif dari konsumen. Secara umum, nilai EPC lebih dari satu mengandung arti bahwa terdapat kebijakan
pemerintah terhadap harga output dan input yang efektif melindungi perkebunan
afdeling Rajamandala.
Transfer bersih TB adalah selisih antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai Transfer Bersih di lokasi penelitian adalah
lebih besar dari nol yaitu Rp 2,719,583.58 yang berarti adanya penambahan keuntungan untuk perkebunan Rajamandala yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah. Nilai tersebut juga mencerminkan bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output akan meningkatkan surplus perkebunan
Afdeling Rajamanda sebesar Rp 2,719,583.58.
Koefisien keuntungan PC adalah perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Koefisien keuntungan merupakan
indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing, dan input domestik net policy transfer. Nilai PC yang
dihasilkan dalam penelitian ini adalah 1.90. Angka tersebut menunjukkan keuntungan privat yang diterima perkebunan Afdeling Rajamandala lebih besar
dari keuntungan bersih sosialnya sebesar 90 persen. Artinya kebijakan pemerintah
yang ada dapat meningkatkan produksi kakao di lokasi penelitian.
Rasio subsidi produsen SRP menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial di perkebunan Rajamandala yang dapat menutupi subsidi dan pajak
sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas kakao. Nilai SRP di lokasi
penelitian adalah 0.03 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan perkebunan afdeling Rajamandala mengeluarkan biaya
lebih rendah 3 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah yang ada menguntungkan bagi pengembangan
dan peningkatan dayasaing kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala.
6.3. Analisis Sensitivitas