karena memang kakao yang dihasilkan perkebunan Afdeling Rajamandala memiliki kualitas yang baik yaitu biji dengan kelas mutu AB.
6.2. Analisis Kebijakan Pemerintah 6.1.1.
Kebijakan Output
Kebijakan pemerintah dalam output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output dan koefisien proteksi output nominal Nominal Protection
Coefficient Outputs NPCO. Nilai Transfer Output yang dihasilkan pada
pengusahaan komoditas kakao di Perkebunan Afdeling Rajamandala adalah positif yaitu Rp 22,521,928.48. Hal ini berarti masyarakat atau konsumen
membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain, masyarakat memberikan insentif terhadap
Perkebunan Afdeling Rajamandala dengan adanya kebijakan pemerintah.
Nilai Koefisien proteksi output nominal NPCO adalah rasio antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga
sosial. Penerimaan privat pada penelitian ini adalah Rp 129,294,567.60 sedangkan penerimaan sosial mencapai Rp 106,772,639.12 sehingga nilai NPCO yang
dihasilkan adalah 1.21. Hal ini berarti bahwa pemerintah memberikan proteksi pada pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Rajamandala dengan cara
menaikkan harga output di atas harga efisiennya.
6.1.2. Kebijakan Input
Kebijakan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan output saja melainkan juga kebijakan yang berkaitan dengan input. Penerapan kebijakan ini tidak
terlepas dari upaya pemerintah untuk melindungi produsen. Namun pada perkebunan besar seperti PTPN VIII yang mengusahakan berbagai jenis
komoditas perkebunan, kebijakan input seperti subsidi pupuk tidak berlaku bahkan biaya pupuk yang harus dikeluarkan lebih besar dari harga efisiennya.
Kebijakan pemerintah terhadap input produksi dapat dilihat dari nilai transfer input TI, Transfer Faktor TF, dan Koefisien Proteksi Nominal pada Input
Nominal Protection Coefficient on Inputs NPCI.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai transfer input yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah Rp15,398,011.30. Hal ini mengindikasikan bahwa
dalam pengusahaan komoditas kakao di perkebunan Afdeling Rajamandala, harga input tradable yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input
tradable yang harus dikeluarkan pada harga ekonomi. Dengan kata lain, harga
sosial input tradable lebih rendah daripada harga privatnya sehingga perkebunan Rajamandala membayar input lebih besar Rp 15,398,011.30 dari kondisi
seharusnya akibat divergensi pemerintah.
Koefisien proteksi input nominal NPCI adalah rasio antara biaya input tradable
berdasarkan harga privat dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI di lokasi penelitian adalah 1.34 yang berarti pemerintah
meningkatkan harga input tradable di pasar domestik yang dihadapi perkebunan Afdeling Rajamandala di bawah harga dunia. Dengan kata lain, kebijakan
pemerintah terhadap input tidak mendorong peningkatan dayasaing kakao di lokasi penelitian. NPCI1 menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap
produsen input tradable di pasar domestik.
Transfer faktor adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima oleh perkebunan Rajamandala untuk pembayaran faktor produksi
domestik. Nilai TF pada penelitian ini adalah positif yaitu Rp 4,404,333.60 yang menunjukkan bahwa harga input domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga
privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya domestik yang dikeluarkan pada tingkat harga ekonomi. Artinya, adanya kebijakan pemerintah yang bersifat
melindungi input domestik, misalnya subsidi kepada produsen input domestik yang digunakan oleh perkebunan Afdeling Rajamandala. Kondisi ini
mengakibatkan perkebunan Afdeling Rajamandala sebagai produsen kakao harus membayar input domestik lebih mahal daripada harga sosialnya, sementara
produsen input domestik mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp 4,404,333.60.
6.1.3. Kebijakan Input-Output