Kebijakan Ouput Konsep Kebijakan Pemerintah

Menurut Salvatore 1994, subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif pajak. Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah quota yang diterapkan dengan tujuan supaya produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradable sedangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan Tradable.

3.1.2.1 Kebijakan Ouput

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output TO dan Koefisien Proteksi Output Nominal Nominal Protection Coefficient on OutputNPCO. Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2. P P S S Pd H B Pw G E F A Pp A Pw C B D D Q Q Q 1 Q 2 Q 3 Q 2 Q 1 Q 3 Q 4 a S + PI b S + PE P P S S Pw C B Pc A Pw A F E G Pd B H Q Q Q 2 Q 1 Q 3 Q 4 Q 1 Q 2 c S + CI d S + CE Keterangan : Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S + CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor Sumber : Monke and Pearson 1989 Gambar 2a merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q 1 menjadi Q 2 sedangkan konsumsi tetap pada Q 3. Harga yang diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q 3 -Q 1 menjadi Q 3 -Q 2 . Tingkat subsidi per output sebesar Pp – Pw pada output Q 2 , maka transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q 2 x Pp – Pw atau PpABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q 1 CAQ 2 , sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q 1 CBQ 2 . Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi sebesar CAB. Gambar 2b menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q 3 ke Q 4 , sedangkan konsumsi menurun dari Q 1 ke Q 2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q 3 ke Q 4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH. Gambar 2c menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q 1 menjadi Q 2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari Q 3 menjadi Q 4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q 3 - Q 1 menjadi Q 4 -Q 2. Transfer pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar P w AP d . Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q 2 menjadi Q 1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q 2 FAQ 1 atau sebesar Pw x Q 2 – Q 1 , sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x Q 4 – Q 3 atau sebesar Q 3 EGHQ 4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q 3 EHQ 4 sehingga terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH. Gambar 2d menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia Pw lebih besar dari harga yang diterima produsen Pp. Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q 1 menjadi Q 2 . Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw x Q 2 – Q 1 atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q 1 CAQ 2 , dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA. 3.1.2.2. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan non tradable . Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun negatif pajak sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input tradable karena input domestik hanya diterapkan pada kompditas yang doproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. a. Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable ditunjukkan pada Gambar 3 berikut ini. P P S S’ S’ S C Pw C A Pw A B B D D Q Q Q 2 Q 1 Q 1 Q 2 a S – PI b S + PI Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Sumber : Monke and Pearson 1989 Gambar 3a menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun dari Q 1 menjadi Q 2 dan kurva penawaran supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q 1 CAQ 2 dengan biaya produksi output sebesar Q 2 BCQ 1 . Gambar 3b menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah S’ dan produksi meningkat dari Q 1 menjadi Q 2 . Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah setelah meningkatnya output dengan peningkatan nilai output. b. Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. P C S Pc S Pp C B A A B Pd Pd Pp E Pc E D D Q Q Q 2 Q 1 Q 1 Q 2 a S – N b S + N Keterangan : Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak pada input domestik Sumber : Monke and Pearson 1989 Gambar 4a menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q 1 . Adanya pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q 2 . Harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BCA dan dari konsumen hilang sebesar DBA. Gambar 4b menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q 1 . Subsidi akan menyebabkan produksi meningkat dari Q 1 menjadi Q 2. Harga yang diterima produsen akan naik menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen adalah sebesar ACB dan dari konsumen adalah sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara penongkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

3.1.3. Matriks Kebijakan Pemerintah Policy Analisis Matriks