xcii keperluan militer dan 1.175 dolar AS untuk keperluan sipil. Keperluan militer
tersebut antara lain untuk mengejar tujuan politis, mula-mula Trikora dan dilanjutkan dengan Dwikora. Patmnono SK, 1998: 272
Keadaan tersebut seperti yang digambarkan Subroto dalam Simposium di UI bahwa “Pembiayaan aparat pemerintah yang terlalu besar merupakan sebagian
besar dari pengeluaran negara, yaitu tidak kurang dari 50. Dengan sendirinya tidak banyak tinggalnya untuk membiayai pembangunan. Di dalam tahun 1965
pembangunan hanya merupakan 15,3 dari seluruh bugget”.
7. Pengaruh Pemikiran Ekonom Terhadap Perubahan Kebijakan Moneter
Dalam Seminar Ekonomi dan Keuangan KAMI yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tanggal 25-28 Januari 1966
menghasilkan Rencana Ekonomi Perjuangan 1966-1968 atau yang lebih dikenal dengan “Nota KAMI”. Secara garis besar hasil dari seminar tersebut, yaitu:
a Pembuatan Rencana Ekonomi Perjuangan dibuat secara integral yang
meliputi rencana produksi fisik dan rencana moneter. Rencana produksi fisik bertujuan memulihkan kapasitas produksi di bidang pangan,
sandang, prasarana, dan ekspor yang akan mendorong peningkatan devisa negara. Rencana moneter bertujuan untuk menjamin biaya rupiah
bagi realiasasi rencana produksi fisik, mengendalikan laju inflasi secara bertahap yaitu mengusahakan adanya tingkat inflasi yang menurun
deminishing rate of inflation. b
Kebijakan pemerintah yang ditujukan pada perdagangan luar negeri yang meliputi bidang ekspor dan impor. Di bidang ekspor pemerintah
memberikan insentif pada pada eksportir melalui penggunanan kurs resmi yang fleksibel, meningkatkan mutu produksi ekspor dengan jalan
rehabilitasi produksi, investasi, human skill dalam marketing, memperluas pasaran hasil ekspor Indonesia, serta kerjasama ekonomi
dan keuangan dengan negara-negara tetangga. Di bidang impor pemerintah membebaskan impor barang-barang kebutuhan pokok rakyat
xciii dari bea masuk dan menghentikan impor barang-barang mewah yang
tidak secara langsung dapat dinikmati oleh rakyat kecil. Penggunaan devisa negara harus diambegparamarakan untuk menstimulir produksi
melalui rehabilitasi dan stabilisasi. c
Penggunaan kredit luar negeri harus semata-mata dipergunakan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan tidak dipergunakan untuk
keperluan yang langsung mempertingi kesejahteraan rakyat. Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982: 16-24
Prof. Widjojo Nitisastro, Dekan Fakultas Ekonomi Indonesia menyarankan agar perbaikan di bidang ekonomi dengan kembali lagi sesuai landasan-landasan
kebijakan ekonomi yang tercantum di dalam Pancasila dan UUD ‘45. Landasan- landasan tersebut pada masa Demokrasi Terpimpin dalam pelaksanaannya terjadi
penyelewengan. Misalnya, penjelasan dari UUD 1945 pasal 33 mengandung asas yang penting yaitu Demokrasi Ekonomi, penjelasan pasal 23 UUD ’45 yang
bahwa dalam menetapkan anggaran belanja negara maka kedudukan DPR lebih kuat dari pada pemerintah. Selain iu, Landasan-landasan yang ideal lain Dekon,
Nasakom harus diteliti dan dibersihkan dari unsur-usnur yang tidak sesuai dengan landasan ideal Pancasila dan UUD ’45. Di samping landasan ideal yang
kuat juga perlu landasan operasional untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi. Seperti rencana stabilisasi ekonomi yang konkret yang memungkinkan
pengawasan efektif dari DPR. Rencana tersebut harus terdiri atas rencana fisik yang nyata dan rencana moneter yang operasional. Pada periode stabilisasi dan
rehabilitasi pemerintah agar seyogyanya tidak melakukan pembangunan proyek- proyek baru dan pemerintah melakukan de-birokratisasi artinya mengurangi
campur tangam pemerintah yang berlebih-lebihan yang ustru melemahkan potensi ekonomi rakyat. Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982: 28-30
Subroto menyarankan 4 hal. Pertama, agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN disahkan DPRGR sebelum anggaran itu dimulai. Kedua,
sedikitnya penerimaan negara jangan semata-mata dicari di dalam aparat perpajakan yang memang terlalu kecil untuk menjalankan tugasnya. Secara
politis, pajak harus mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga politik yang
xciv tertinggi seperti MPRS dan DPRGR. Ketiga, utang luar negeri yang diterima
haruslah semata-mata dipergunakan untuk merehabilitasi, menstabilkan perekonomian, dan menghambat inflasi. Keempat, agar segera disusun stabilisasi
program, yang menentukan dengan tegas tindakan-tindakan apa yang akan diambil di bidang moneter, fiskal, perdagangan luar negeri, harga, gaji pegawai,
dan produksi. Patmnono SK, 1998: 65 Tan Goan Tiang mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu
volume arus barang dan uang, arus dan arah uang, serta keadaan mentalpsikologis masyarakat. Arus dan volume barang, terutama barang-barang konsumsi bagi
kebutuhan primer dan bahan-bahan baku seperti spare part suku cadang alat-alat produksi harus diperbesar secara berencana dan teratur. Mengenai volume arus
dan arah penggunaan uang, ia mengusulkan pejabat yang menangani moneter, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank sentral, harus menyusun anggaran moneter
yang realistis, menyelenggarakan tax reform, serta mengusahakan reschedulling utang dan memperoleh kredit-kredit baru tanpa ikatan luar negeri. Mengenai
keadaan mentalpsikologis masyarakat, hal yang paling penting dilakukan adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. Namun hal itu erat
kaitannya dengan inflasi, pengendalian arus barang dan uang. Kalau inflasi terus dibiarkan, maka masyarakat akan semakin tidak percaya pada rupiah. Demikian
kalau arus barang tidak dikendalikan dan masyarakat dibiarkan kesulitan untuk memperoleh makanan, karena selain barang memang semakin langka dan gaji
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan, maka korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan penyelewengan akan semakin merajarela. Liem Bian Koen
mengusulkan kepada pemerintah segera ikut dalam badan internasional seperti Internasional Monetery Fund IMF, Asian Delevopment Bank ADB, dan
badan-badan lainnya, serta memasuki pasar bersama Bank Asia Tenggara. Patmnono SK, 1998: 66
Radius Prawiro dalam Seminar AD II tahun 1966 mengusulkan pada pemerintah yang harus dilakukan dalam rangka rehabilitasi dan stabilitasi
ekonomi terutama harus ditujukan kepada bidang anggaran negara, perkreditan, dan devisa. Di dalam bidang anggaran yang harus diusahakan dengan sekuat
xcv tenaga agar defisit ditekan sedapat mungkin dengan jalan membatasi pengeluaran
dan meningkatkan penerimaan negara. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Radius Prawiro sebagai berikut Patmnono SK, 1998: 71-72:
“Langkah yang diajukan itu memang dimaksudkan untuk membuat anggaran menjadi berimbang, karena keseimbangan antara pengeluaran
dan penerimaan merupakan hal yang sangat mendasar. Apabila keseimbangan tidak dikembalikan, inflasi akan terus mengamuk dan
konsekuensinya akan bersifat destruktif. Untuk itu pengeluaran rutin harus dikurangi, yang berarti dilakukan efisisiensi. Dalam rangka itu pula agar
proyek-proyek yang sedang berjalan dilakuan penilaian kembali secara kritis, sehingga dana dan tenaga dapat disalurkan untuk usaha-usaha yang
benar-benar menguntungkan”. Di bidang perkreditan harus diusakahkan dalam pemberian kredit sedapat-
dapatnya didasarkan atas kesempurnaan likuiditas dari perbankan sendiri sedangkan arahnya arus ditujukan ke sektor-sektor sandang, pangan, prasarana,
dan peningkatan ekspor. Selain itu pengusaha sendiri harus mendapatkan dana dari luar perbankan dan pemerintah dengan memperoleh kredit dari penjualan dan
pembelian. Patmnono SK, 1998: 80 Dalam bidang devisa, Radius Pawiro memaparkan tentang pentingnya usaha
penggunaan devisa dan usaha peningkatakan penerimaan devisa tersebut , sebagai berikut:
“Devisa yang kita miliki harus digunakan untuk usaha-usaha meningkatkan produksi, terutama yang dapat menghasilkan devisa atau
menghemat pengeluarannya, serta impor dari barang-barang konsumsi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Penundaan pembayaran angsuran-
angsuran utang luar negeri terpaksa harus dilakukan dengan mengadakan reschuduling
. Tindakan ini tentunya tidak baik bagi nama kita di luar negeri, karena dengan demikian kita termasuk golongan defaulting debtors
akan tetapi jalan lain tidak ada karena bagaimanapun juga impor-impor esensial tidak boleh macet”. Patmnono SK, 1998: 80
Oleh karena itu, perlu usaha meningkatkan penerimaan devisa, maka kebutuhan proyek-proyek penghasil devisa akan peralatan serta bahan baku dan
penolong perlu dipenuhi. Sedangkan usaha-usaha upgrading kualitas barang-
xcvi barang yang diekspor perlu ditingkatkan yang akan mempertinggi harga yang
diterima serta memperkuat competitive position di pasaran internasional. Demikian pula penyederhanaan prosedur perdagangan luar negeri, perbaikan
fasilitas-fasilitas pelabuhan dan transpor perlu dibenahi. Selain itu, perlu usaha penghematan yang dibarengi dengan kesederhanaan
sebagaimana yang diungkapkan Radius Prawiro “Pokoknya suatu kesederhanaan yang menyeluruh dari segenap lapisan masyarakat, dari segenap golongan, suatu
kesederhanaan yang manifestasinya dapat dilihat dari cara hidup, cara bertindak, dan cara berbuat sehari-hari”. Patmnono SK, 1998: 81
Apabila diukur dengan mata uang lokal, pendapatan per kapita negara menurun 3,7 persen antara tahun 1961 dan 1965. Kalau pendapatan Indonesia
diukur terhadap mata uang asing, seperti dolar AS, penurunan pendapatan terlihat lebih dratis, karena dolar merosot nilai rupiah terhadap dolar merosot dari Rp.
186,67 per dolar pada tahun 1961 menjadi Rp. 14.083 per dolar pada tahun 1965. Dengan kata lain, PNN per kapita dalam dolar merosot sebesar 99 persen. Radius
Prawiro, 1998: 11 Kekacauan dibidang moneter, terganggunya produksi, defisit neraca
perdagangan, serta defisit anggaran pemerintah yang semakin meningkat, utang luar negeri, demoralisasi merupakan kondisi yang menandakan indikator ekonomi
makro yang dialami Indonesia saat itu dalam keadaan kritis seperti yang telah dijelaskan diatas. Indikator-indikator tersebut saling terkait antara satu dengan
yang lainnya dan menciptakan siklus kemerosotan ekonomi secara otomatis Kekacauan situasi moneter yang telah mencapai hiperinflasi mengakibatkan
stagnasi kegiatan ekonomi terutama sektor produksi, akibatnya produksi nasional mengalami kemerosotan baik secara kuantitas dan kualitas. Kemerosotan produksi
nasional tersebut mengakibatkan kurangnya pasokan barang di dalam negeri sehingga memperparah inflasi, sedangkan kemerosotan produksi akan komoditas
ekspor dan faktor-faktor lain turunnya ekspor mengakibatkan berkurangnya devisa negara. Kurangnya pasokan barang di dalam negeri ditambah semakin
meningkatnya pola konsumsi mengakibatkan pengurasan devisa untuk impor. Secara otomatis defisit neraca pembayaran tak terhidarkan sehingga pemerintah
xcvii mengalami kelangkaan devisa negara. Cadangan devisa yang seharusnya sebagai
solvabiltas utang luar negeri telah mengalami defisit begitu yang parah, sehingga kepercayaan luar negeri akan kemampuan Indonesia diragukan ditambah lagi
utang luar negeri yang masih menumpuk. Kesemuannya itu telah memperlihatkan begitu gawatnya perekonomian, tapi pemerintah semakin menambah rumitnya
keadaan, di satu sisi pemerintah kesulitan menambah penerimaan, sedang di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat karena inflasi. Pemerintah untuk
menutupi defisit anggaran yang terjadi dilakukan dengan jalan mencetak uang baru. Hal inilah yang menyebabkan jumlan uang beredar semakin meningkat yang
akhirnya memperparah inflasi dan kembali memperparah kekacauan sistem moneter. Hal tersebut juga ditambah terjadinya demoralisasi dan kesenjangan
sosial yang parah di masyarakat, semakin melumpuhkan sendi-sendi kehidupan negara.
B. Kebijakan Moneter Pada Masa Pemerintahan Soeharto Tahun 1966-1972