Kemerosotan Produk Nasional Latar Belakang Diberlakukannya Kebijakan Moneter Pada Masa

lxxviii Menurut Prof Arndt ketika nilai absolut kredit terus meningkat. Namun harga-harga yang berkembang lebih cepat dari ekspansi suplai uang dengan makin jatuhnya kepercayaan terhadap rupiah, maka nilai riil atau daya beli dari suplai uang ikut menurun. Tim Penulis LP3ES, 1995: 145 Situasi tersebut terlihat dari tabel 3, dimana suplai uang telah mencapai puncaknya pada tahun 1960 sebesar Rp 14,7 juta kemudian pada tahun-tahun berikutnya terjadi kemerosotan volume uang yang beredar. Memasuki awal tahun 1966 terjadi situasi kekurangan uang yang hanya sebesar Rp 3,7 juta dalam harga tahun 1954, yang ternyata lebih kecil nilai riilnya daripada tahun-tahun sebelumnya. Tabel 4: Sebab-sebab Perubahan Jumlah Uang yang Beredar Tahun 1957- 1966 dalam milyar rupiah Perusahaan Tahun Pemerintah Masyarakat Swasta Asing Lain-lain Jumlah Uang yang Beredar 1957 + 5.8 + 0.1 + 2.2 - 1.0 - 1.5 + 5.5 1958 + 9.5 + 1.3 - 0.9 + 0.6 - 0.1 + 10.5 1959 + 3.4 + 5.3 + 1.1 + 14.0 - 18.2 + 5.5 1960 + 0.8 + 3.3 - 1.2 + 4.5 - 7.2 + 13 1961 + 23.4 + 3.1 + 7.1 - 6.8 + 7.0 + 19.8 1962 + 53.6 + 12.8 + 5.1 - 9.4 - 6.1 + 68.3 1963 + 122.8 + 23.6 + 10.0 - 11.0 - 17.9 + 127.5 1964 + 345.6 + 81.9 + 32.4 - 10.2 - 38.0 + 411.7 1965 + 1418.5 + 395.2 + 237.4 - 3.6 - 140.6 + 1906.9 1966 + 1292.2 + 627.6 + 200.2 + 5.5 + 885.9 + 3011.4 Sumber : Tim Penulis LP3ES 1995: 145 Dari tabel 4 dapat diketahui peranan defisit anggaran dalam menambah jumlah uang yang beredar selama seluruh periode 1957-1966. Kontribusi pemerintah melalui anggaran defisit yang dibiayai oleh Bank Sentral hampir menyamai atau bahkan melebihi kenaikan jumlah uang yang beredar secara total.

2. Kemerosotan Produk Nasional

Kemerosotan produksi Indonesia merupakan sebuah konsekuensi dari kecenderungan dari keputusan-keputuasan pemerintah yang semakin dipengaruhi lxxix oleh lambang dan urusan militer dari pada ahli dibidang ekonomi dan administrasi. Hebert Feith, 1963: 112. Terjadinya transformasi politik umum yang menempatkan para elit birokratis politik dan militer pada posisi yang sangat kuat dan strategis menyebabkan kemerosotan kemampuan pemerintah untuk meningkatkan produksi negara. Doktrin Demokrasi Terpimpin, baik dalam Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin telah mempersulit golongan- golongan pengusaha asli untuk berkembang. Yahya Muhaimin, 1990: 172 Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang pada waktu itu ada di Indonesia juga tidak luput dari Doktrin Demokrasi Terpimpin. Pengambilalihan perusahaan asing secara paksa tersebut diharapkan akan membawa perubahan ekonomi Indonesia. Namun, pengambilalihan perusahaan asing tanpa memiliki sumber daya manusia yang mampu mengelolanya. perusahaan negara yang paling menguntungkan ditempatkan dibawah pengawasan elit militer dan partailah yang menentukan lisensi impor, kontrak-kontrak pemerintah, devisa, kredit luar negeri, serta konsesi-konsesi pertambangan, perminyakan dan kehutanan. Hal tersebut menimbulkan perwira militer yang disebut perwira-perwira pengusaha dengan dukungan diam-diam dari Presiden Soekarno. Hasilnya bukan seperti yang diharapkan sebelumnya sebagai penghasil devisa negara malah terbengkalainya perusahaan-perusahaan negara dan hanya sebagai penyerap subsidi dari pemerintah serta isolasi dari negara-negara luar negeri yang merasa perusahaannya dinasionalisasikan. Yahya Muhaimin, 1990: 172-173 Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun yang dimulai tahun 1961 sampai dengan 1969 pada Demokrasi Terpimin juga terbengkalai. Rencana tersebut terdiri dari 2 komponen, yaitu proyek-proyek A yang diharapkan langsung meningkatkan pembangunan ekonomi nasional, dengan sasaran produksi sandang pangan, perbaikan infrastruktur, pendidikan dan proyek khusus serta proyek-proyek B yang diharapkan membiayai proyek A seperti peningkatan ekspor pertanian, dan mineral. Albert Widjaja, 1982: 99-100 Dalam kenyataannya banyak sekali permasalahan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, selain inflasi yang melanda pada saat itu juga karena Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun disusun tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ekonomi. lxxx Yang dalam pelaksanaannya tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang memadai. Drs P.C Suroso, 1993: 140 Perkembangan selanjutnya, tercapainya produksi tinggi sulit diwujudkan. Hal ini diakibatkan terjadinya kekacauan sistem moneter, dimana inflasi menyerang dan melumpuhkan segala sektor ekonomi tak kecuali sektor produksi. Inflasi menyebabkan kemerosotan produksi Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1966. Inflasi tidak hanya menaikkan harga barang hasil produksi dan jasa, bahkan harga-harga faktor-faktor produksi, misalnya bahan baku dan bahan penunjang produksi, upah tenaga kerja, serta peralatan produksi. Alhasil menyebabkan juga kenaikan ongkos produksi sehingga berdampak pada kelesuan produksi. Selain itu, inflasi menaikkan biaya peremajaan, perawatan, dan pemeliharaan alat-alat produksi, akibatnya banyak alat-alat produksi yang tidak memadai dan tidak produktif lagi terpaksa masih beroperasi sehingga hasil produksi menurun baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Inflasi juga menyebabkan pembangunan proyek-proyek sarana dan prasarana produksi mengalami kemacetan. Tingkat inflasi tinggi yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berarti akan yang menyebabkan kemacetan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari tabel 5 bahwa antara tahun 1959-1965 Produk Domestik Bruto hanya meningkat rata-rata 1,4 per tahun. Malahan, pertumbuhan rata-rata jauh dibawah nol dalam tahun 1960-1963. Tingkat pertumbuhan ekonomi jelas tertinggal jauh di belakang tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk yang mencapai 2,5 per tahun. Tabel 5: Produk Domestik Bruto tahun 1959-1966 dalam juta rupiah Tahun Rupiah Tingkat Pertumbuhan 1959 391,4 0,4 1960 390,2 - 0,3 1961 412,6 5,7 1962 420,2 1,8 1963 410,8 - 2,2 1964 425,3 3,5 1965 429,9 0,9 1966 441,9 2,9 Sumber : Mothar Mas’oed 1989: 221 lxxxi Tergangguanya produksi nasional juga memperparah produksi untuk konsumsi dalam negeri menyebabkan kebutuhan pasokan barang dalam negeri tidak dapat dipenuhi. Jumlah pasokan barang tidak memenuhi permintaan masyarakat, akibatnya harga barang-barang semakin melambung dan semakin memperparah inflasi. Untuk mengatasi kurangnya barang konsumsi dalam negeri, pemerintah terpaksa memperbesar impor. Dari satu sisi pemerintah mengimpor barang untuk menutupi kurangnya produksi dalam negeri, di sisi lain penerimaan ekspor sebagai penghasil devisa negara menurun karena merosotnya produksi untuk komoditas ekspor. Hal ini mengakibatkan pengurasan devisa yang menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia.

3. Defisit Neraca Pembayaran