Birokrasi Sipil yang Terkendali

clxv kemerosotan ekonomi lainnya. Pembangunan ekonomi akan menarik simpati para pegawai di semua tingkat, kaum buruh, petani kecil dan pedagang kecil. Selain itu pembangunan ekonomi juga mempunyai daya tarik yang besar bagi anggota- anggota militer yang mengelola perusahaan-perusahaan negara, yakni perusahaan- perusahaan yang dulu milik Eropa yang telah dinasionalisasi pada 1957. Muhaimin Yahya. 1991, 119 Menurut Mohtar Mas’oed 1989: 198, upaya menghadapi tantangan tersebut pemerintah baru menghadapi dua kendala. Pertama, sikap Jenderal Soeharto yang mementingkan soal legitimasi tindakan Orde Baru dalam melawan kekuatan Orde Lama, terutama karena Presiden Soekarno masih tetap berpengaruh dan masih mempunyai pendukung setia. Kedua, Jenderal Soeharto untuk menciptakan strategi melawan kekuatan Orde Lama tanpa resiko perang saudara. Jenderal Soeharto mengandalkan cara-cara tidak langsung yaitu mencari legitimasi rakyat melalui program pembangunan ekonomi. Tindakan yang diambil yaitu memberikan berbagai “kepuasan materiil” dalam bentuk kebutuhan barang konsumsi pokok yang terdiri sandang-pangan dan perbaikan ekonomi masyarakat. Dengan begitu dapat merebut dukungan masyarakat terhadap pemerintahan baru.

b. Birokrasi Sipil yang Terkendali

Reformasi ekonomi yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru secara pragmatis dan radikal adalah bagaimana program pemerintah secara efektif diterapkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa diselewengkan oleh birokrasinya. Agar Pemerintahan Orde Baru bisa berfungsi, yaitu mendukung program pembangunan ekonomi, diperlukan suatu birokrasi yang efektif dan tanggap terhadap pucuk pimpinan eksekutif. Reformasi birokrasi segera dilakukan oleh Orde Baru diarahkan pada tiga hal. Pertama, mengalihkan wewenang pemerintahan ke tingkat birokrasi yang lebih tinggi. Kebijakan Kebijakan pusatlah yang menyiapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara, Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita, Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang lebih merinci kebijakan yang dijalankan pemerintahan selama tahun tersebut. Kedua, clxvi mengikutsertakan perwira ABRI dan teknokrat sipil yang menduduki departemen- departemen dan badan-badan pemerintahan. Birokrasi tersebut diharapkan tanggap dan taat pada kemauan pimpinan eksekutif puncak dan mampu melaksanakan perubahan. Untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan menempatkan kaum teknokrat dan perwira yang mendukung program-program pemerintahan Orde Baru pada jabatan-jabatan birokrasi yang langsung. Terutama sejak dibentuknya Kabinet Pembangunan I tahun 1968, sebagian besar departemen dan badan pemerintahan dikepalai oleh perwira ABRI atau teknokrat sipil. Posisi-posisi seperti inspektur jenderal, sekretaris jenderal dan direktur jenderal juga diduduki birokrasi yang loyal kepada pimpinan eksekutif. Sedangkan pos-pos yang tidak penting diberikan pada politisi partai. Ketiga, penempatan gubernur atau bupati yang dapat dikendalikan langsung Jakarta. Kaum ABRIlah yang mendapatkan kepercayaan pemerintah pusat untuk menduduki posisi itu. Pada tahun 1960 hanya beberapa gubernur saja yang berasal dari ABRI, maka tahun 1968 hampir 68 dari gubernur-gubernur propinsi berasal dari ABRI, dan jumlah itu meningkat menjadi 92 pada awal tahun 1970. Jabatan bupati pada tahun 1968 hampir 59 dipegang perwira ABRI. Mohtar Mas’oed, 1989: 150-154

c. Munculnya NBO Negara-Biokratik-Otoriter