Defisit Neraca Pembayaran Latar Belakang Diberlakukannya Kebijakan Moneter Pada Masa

lxxxi Tergangguanya produksi nasional juga memperparah produksi untuk konsumsi dalam negeri menyebabkan kebutuhan pasokan barang dalam negeri tidak dapat dipenuhi. Jumlah pasokan barang tidak memenuhi permintaan masyarakat, akibatnya harga barang-barang semakin melambung dan semakin memperparah inflasi. Untuk mengatasi kurangnya barang konsumsi dalam negeri, pemerintah terpaksa memperbesar impor. Dari satu sisi pemerintah mengimpor barang untuk menutupi kurangnya produksi dalam negeri, di sisi lain penerimaan ekspor sebagai penghasil devisa negara menurun karena merosotnya produksi untuk komoditas ekspor. Hal ini mengakibatkan pengurasan devisa yang menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia.

3. Defisit Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran Indonesia 1960 sampai tahun 1966 mengalami defisit terus menerus, karena pengurasan devisa yang dilakukan pemerintah. Tabel 6: Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 1960-1966 dalam jutaan USD Trasaksi Berjalan Tahun Neraca Barang- barang Neraca Jasa-jasa Neraca Sokongan Jumlah Trasaksi Modal Neraca Pembayaran Surplus +Defisit - 1960 + 2,93 - 4,79 + 0,54 - 1,32 + 2,82 + 1,50 1961 - 6,44 - 5,19 + 1,33 - 10,30 + 7,29 - 3,01 1962 - 0,56 - 4,95 + 0,81 - 4,70 + 1,82 - 2,88 1963 + 1,20 - 6,27 + 0,58 - 4,49 + 2,30 - 2,19 1964 + 0,92 - 6,03 + 0,53 - 4,58 + 3,71 - 0,87 1965 + 0,87 - 6,36 + 0,54 - 4,49 + 5,23 + 0,28 1966 + 2,45 - 5,37 + 0,33 - 2,59 + 2,33 + 0,62 Sumber : Unit Khusus Museum Bank Indonesia 2005: 108 Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa surplus neraca pembayaran Indonesia hanya terjadi pada tahun 1960, sedangkan pada tahun-tahun selanjutnya mengalami defisit. Defisit neraca pembayaran tersebut berhubungan dengan defisit neraca perdagangan dari tahun ke tahun terus membesar defisit. Neraca perdagangan merupakan perbandingan antara nilai ekspor dan impor. Neraca lxxxii perdagangan Indonesia tahun 1960 sampai tahun 1966 mengalami defisit. Hal ini karena kecenderungan yang menurun dari nilai ekspor dan adanya kecenderungan nilai impor yang menaik. Tabel 7: Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 1960-1966 dalam jutaan rupiah Jumlah Tidak Termasuk Perusahaan Minyak Bumi Tahun Ekspor Impor Selisih Ekspor Impor Selisih 1960 37.835 26.001 + 11.834 27.900 24.842 + 3.048 1961 35.467 35.833 - 336 23.726 33.380 - 9.654 1962 30.676 29.120 + 1.556 20.965 27.324 - 6.395 1963 31.337 22.606 + 8.731 19.244 21.185 - 1.941 1964 32.625 27.990 + 4.635 20.565 27.585 - 7.020 1965 31.815 32.310 - 495 19.575 31.725 - 12.150 1966 1 30.510 25.785 + 4.725 21.375 25.425 - 4.050 1 Nilai USD 1 = 45; 1 = uang baru Rp 1 = uang lama 1.000 Sumber : Unit Khusus Museum Bank Indonesia 2005: 110 Perkembangan neraca perdagangan Indonesia tahun 1961 sampai 1966 selalu negatif, di satu pihak disebabkan karena perkembangan ekspor yang cenderung menurun dan di lain pihak disebabkan oleh impor yang terus meningkat. Dari tabel 7 dapat diketaui bahwa karet yang menjadi ekspor andalan dari tahun ke tahun semakin menurun peranannya. Nilai ekspor tanpa memperhitungkan minyak bumi pada tahun 1960 sebesar Rp 27.900 juta, suatu tingkat yang dalam tahun-tahun berikutnya tidak pernah dapat dicapai lagi. Pada tahun 1965 nilai ekspor hanya berjumlah Rp 19.575 juta, yang berari terjadi penurunan sekitar 29,8 dibandingkan nilai ekspor tahun 1960. Di tahun 1966 nilai ekspor kembali naik sebesar Rp 21.375 juta karena membaiknya harga kelapa sawit. Namun, di pihak lain dalam periode yang sama nilai impor naik sebesar Rp 24.842 juta atau sekitar 28 dalam tahun 1960, menjadi Rp 31.725 juta dalam tahun 1965. Tim Penulis BI, 2006: 110 Dengan melihat keadaan tersebut menyebabkan neraca perdagangan yang mengalami surplus tahun 1960 sebesar Rp 3.048 juta, pada tahun-tahun berikutnya mengalami defisit sebesar Rp 12.150 juta pada tahun 1965 dan menurun kembali tahun 1965 sebesar Rp 4.050 juta. Inflasi yang terus menerus naik, yang tercermin kenaikan harga-harga dalam negeri berpengaruh juga terhadap perkembangan ekspor dan impor. Harga-harga lxxxiii ekspor Indonesia di pasaran luar negeri selama tahun 1960-1965 pada umumnya terus mengalami penurunan. Sebaliknya, dengan adanya inflasi, harga-harga di dalam negeri dari bahan-bahan ekspor telah naik sehingga ekspor mengalami disparitas harga terus-menerus. Oleh karena itu, keguncangan-keguncangan harga di luar negeri sangat berpengaruh dan menyebabkan merosotnya penerimaan devisa dari ekspor karet yang merupakan komoditi paling penting ekspor Indonesia. Selain itu, karet alam juga telah mendapat saingan dari karet sintesis juga terjadi persaingan karet Indonesia degnan Malaysia. Beberapa komoditi ekspor Indonesia yang cukup penting seperti tembakau, kopi, teh, dan lada telah mengalami perkembangan yang kurang menguntungkan karena terbentuknya pasaran-pasaran bersama di Eropa. Ekpor Indonesia di bidang pertambangan seperti minyak bumi dan timah, belum menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan. Kurangnya investasi dan peralatan-peralatan yang sudah tua merupakan sebagian sebab menurunkan kuantitas dan kualitas komoditi pertambangan Indonesia. Berikut ini adalah tabel Nilai Ekspor Indonesia Tahun 1961-1966. Tabel 8: Nilai Ekspor Indonesia Tahun 1961-1966 dalam jutaan rupiah Deskripsi 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1 1. Karet 13.817 13.433 11.022 10.612 9.990 10.035 - Karet Perkebunan 5.511 4.572 4.233 4.438 3.870 4.095 - Karet Rakyat 8.306 8.861 6.789 6.174 6.120 5.940 2. Minyak Tanah dan Hasilnya 11.741 9.711 13.093 12.031 12.240 9.135 3. Timah Putih 1.499 1.571 851 1.424 1.710 1.395 4. Kopra Bungkil Kopra 1.801 816 1.463 1.256 990 1.125 5. Kopi 619 563 893 1.195 1.395 1.485 6. Teh 1.156 928 800 765 765 765 7. Tembakau 1.107 727 952 982 855 1.080 8. Minyak Sawit dan Biji Sawit 1.111 944 1.061 1.350 1.215 1.665 9. Gula - 85 986 677 135 45 10. Lada dan Rempah lainnya 968 561 619 568 405 585 11. Lainnya 1.648 1.337 597 1.693 2.115 3.195 Jumlah Ekspor 35.467 0.676 31.337 32.5589 31.815 30.510 23.726 20.956 19.244 20.558 19.578 21.375 1 Tahun 1966 menggunakan uang baru dengan perbandingan Rp 1 uang baru = Rp 1000 Sumber : Unit Khusus Museum Bank Indonesia 2005: 112 lxxxiv Dipihak lain, kebutuhan masyarakat akan barang-barang impor terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1960 nilai impor tidak termasuk perusahaan- perusahaan minyak sebesar Rp 24.842 juta, pada tahun 1961 naik sebesar Rp 33.380 juta, hal ini karena keperluan perjuangan Trikora. Walaupun pada tahun 1962 nilai impor nonmigas turun sebesar Rp 6.056 juta menjadi Rp 27.324 juta, tetapi nilai tersebut masih tetap berada pada nilai yang tinggi, melihat ekspor tahun 1962 hanya berjumlah Rp 20.965 juta. Pada umumnya impor tahun 1960-1966 yang meliputi bahan-bahan baku menempati posisi terbesar, kemudian disusul oleh impor bahan konsumsi, lalu barang modal. Memasuki tahun 1964 dan 1965 impor Indonesia cenderung menunjukkan comsumption oriented yaitu impor barang-barang konsumsi merupakan bagian terbesar dari impor tersebut, yakni pada tahun 1964 sebesar Rp 11.115 juta 39,7 dan tahun 1966 sebesar Rp 10.305 juta 40. Impor barang- barang konsumsi di tahun 1966 ditandai dengan banyaknya impor beras, tepung gandum, dan tekstil sebagai tindakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi-sosial dan politik. Berikut ini adalah tabel nilai impor Indonesia tahun 1960-1966. Tabel 9: Nilai Impor Indonesia Tahun 1961-1966 dalam jutaan rupiah Tahun Barang Konsumsi Bahan Baku Barang Modal Jumlah 1960 9.645 10.642 5.714 26.001 1961 11.547 15.553 8.733 35.833 1962 7.952 11.462 9.706 29.120 1963 6.938 9.367 6.301 22.606 1964 11.120 7.647 9.206 27.973 1965 10.395 11.970 9.945 32.310 1966 10.305 8.280 7.200 25.785 Sumber : Unit Khusus Museum Bank Indonesia 2005: 115 Defisit neraca perdagangan mengakibatkan tekanan terhadap nilai rupiah. Depresiasi rupiah ditandai dengan penurunan kurs rupiah terhadap dolar dari tahun ke tahun. Pemerintah telah beberapa kali devaluasi rupiah yaitu menjelang pertengahan dekade 1960-an, Pemerintah telah mengalami beberapa lubang anggaran yang besar. Untuk membiayai kebiasaan menghamburkan uang, lxxxv Pemerintah mengikis cadangan devisa. Hal ini dimaksudkan untuk kestabilan moneter, nilai tukar rupiah dijaga pada tingkat artifisial yang tinggi. Kebijakan ini menyebabkan harga produk Indonesia melonjak, sehingga daya saingnya dalam pasar internasional menurun. Dampak buruk ini diperparah dengan kebijakan yang mencoba membangun industri dengan memajak ekspor hasil pertanian. Selain minyak, produk perdagangan yang utama adalah karet, kopi, minyak kelapa, dan beberapa produk pertanian lainnya. Pemajakan ekspor pertanian membuat para pedagang Indonesia memiliki tiga pilihan: mereka bisa menyerap biaya pajak dan membuat biaya mereka menjadi mahal, atau mencoba meneruskan biaya ini kepada pemasok atau pelanggan mereka. Bila pedagang menaikkan harga untuk mengkompensasi ketidaktepatan mata uang dan tarif ekspor, harga mereka tidak akan laku. Oleh karena itu pedagang tidak bisa meneruskan biaya tambahan ini kepada para pedagang mereka. Para pedagang tidak mau menyerap biaya itu sendiri, karena biaya biasanya mereka hanya mendapatkan laba tipis dari barang mereka. Hal ini berarti bahwa para petani Indonesia akan tergencet: produk pertanian Indonesia bisa berhasil di pasar internasional hanya bila petani mau menjual dengan merugi atau dengan untung yang sangat tipis. Rupiah yang mahal dan pajak ekspor menghalangi petani untuk memasuki sektor ekspor, dan hal ini kemudian berperan menciutkan cadangan devisa. Radius Prawiro, 1998: 10

4. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara