dengan institusi pengelolaan MPA di Kenya Kisite Marine National Park dan Mpunguti Marine National Reserve yang dikelola oleh Kenya Wildlife Service
Emerton dan Tessema 2000. Dengan demikian, peran masyarakat hanya dalam tataran berpartisipasi
aktif dengan tidak merusak sumberdaya alam yang berada dalam situs atau area yang menjadi kawasan MPA. Skor yang diberikan untuk altenatif kebijakan
“MPA” berdasarkan kriteria ini adalah 2. Kebijakan pengelolaan dengan mengembangkan kawasan TWA Laut Pulau
Weh untuk kegiatan pariwisata yang berorientasi pasar membutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas dan berkompeten. Dihadapkan pada
permasalahan tersebut, maka kemungkinan masyarakat setempat untuk ikut terlibat didalamnya sangatlah kecil.
Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa masyarakat di sekitar TWA Laut Pulau Weh tidak siap secara kualitas karena tingkat pendidikan mereka yang
rendah serta tidak berpengalaman dalam pengelolaan kegiatan pariwisata secara modern. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi masyarakat akan sangat rendah dan untuk kondisi tersebut diberikan skor 2.
4.2.11.6. Illegal Fishing
Secara umum, illegal fishing dipahami sebagai praktik penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah lingkungan dan cenderung
merusak dan menguras sumberdaya ikan. Menurut Fauzi 2005a, illegal fishing merupakan serangkaian tindakan yang disebabkan oleh faktor penurunan stok
dan produksi sumberdaya ikan serta tingginya kompetisi pada suatu fishing ground, sehingga bereaksi dengan mencari fishing ground yang lebih produktif
baik secara legal maupun illegal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi dilakukannya illegal
fishing sangat beragam, diantaranya : i kelangkaan sumberdaya ikan; ii memperoleh rente ekonomi sebesar-besarnya; iii tingginya persaingan; dan
iv kurangnya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan. Praktik illegal fishing dilakukan dengan modus sebagai berikut, yaitu :
i penggunaan bahan kimia berbahaya biasanya sianida untuk meracun ikan; ii penggunaan bahan peledak dinamit untuk membius ikan; iii pelarangan
wilayah penangkapan; dan iv merusak terumbu karang sebagai tempat pemijahan, pembesaran, dan sumber makanan ikan. Modus-mudus tersebut
adalah yang sudah umum dilakukan dan masih banyak modus lainnya yang digunakan, baik secara terselubung maupun terbuka.
Berdasarkan konsepsi di atas, maka dalam menentukan skor dari kegiatan illegal fishing yang terjadi di sekitar TWA Laut Pulau Weh, ditentukan
berdasarkan intensitas kegiatannya. Kegiatan illegal fishing yang dilakukan secara terbuka dan telah merusak sumberdaya pada suatu wilayah perairan
yang ditandai dengan rusaknya terumbu karang, hilangnya spesies ikan dalam jumlah yang besar, dan dilakukan secara massal, termasuk dalam illegal fishing
dengan intensitas yang tinggi dan diberikan skor 3. Untuk praktik illegal fishing yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan
dengan frekuensi yang jarang terjadi serta tidak dilakukan secara massal oleh penduduk setempat digolongkan dalam kegiatan illegal fishing dengan intensitas
yang rendah dan diberikan skor 2. Skor 1 diberikan untuk kondisi dimana tidak terjadinya praktik illegal fishing.
Kondisi SQ di TWA Laut Pulau Weh terhadap praktik illegal fishing terjadi dalam intensitas yang rendah dan dilakukan oleh masyarakat di luar kawasan
tersebut, sehingga diberikan skor 2. Menurut informasi dari masyarakat setempat, pada umumnya, praktik illegal fishing tersebut untuk menangkap ikan dilakukan
pada malam hari dan hanya sekali-kali saja terjadi. Alasannya adalah untuk mendapatkan ikan yang diinginkan dari perairan TWA Laut Pulau Weh yang
notabene-nya kaya dengan ikan hias dan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dalam kondisi “MPA”, diasumsikan tidak akan terjadi praktik illegal fishing di TWA Laut Pulau Weh karena MPA sebagai daerah perlindungan akan
“memasok” ikan ke zona pemanfaatan, sehingga masyarakat tidak perlu menangkap ikan di dalam kawasan MPA. Di samping itu, dengan pemberlakuan
zonasi suatu kawasan, MPA sebagai zona perlindungan merupakan zona pelarangan pemanfaatan sumberdaya Satria et al. 2002. Berdasarkan asumsi
tersebut, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi illegal fishing di dalam kawasan TWA, sehingga diberikan skor 1.
Pengembangan kawasan menjadi kawasan pariwisata dengan alternartif kebijakan “PP” baik secara langsung maupun tidak langsung memicu maraknya
praktik illegal fishing, sehingga diberikan skor 3. Hipotesisi ini didasarkan pada uraian sebelumnya bahwa ketidaksiapan masyarakat di sekitar TWA dengan
kebijakan tersebut. Masyarakat yang tidak dapat terlibat dalam pengelolaan
kegiatan wisata akan kehilangan mata pencaharian yang selama ini digeluti sehingga menimbulkan tekanan ekonomi untuk mencukupi kebutuhannya.
Pilihan satu-satunya adalah mengeksploitasi sumberdaya perikanan dan laut lainnya secara besar-besaran dan dengan cara apapun, termasuk illegal fishing.
4.2.11.7. Fenomena Alam