kegiatan wisata akan kehilangan mata pencaharian yang selama ini digeluti sehingga menimbulkan tekanan ekonomi untuk mencukupi kebutuhannya.
Pilihan satu-satunya adalah mengeksploitasi sumberdaya perikanan dan laut lainnya secara besar-besaran dan dengan cara apapun, termasuk illegal fishing.
4.2.11.7. Fenomena Alam
Wilayah Kota Sabang yang terdiri dari gugusan beberapa pulau besar dan kecil dan terletak pada posisi di bagian barat atas Pulau Sumatera merupakan
daerah rentan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Menurut Peta Tsunami Indonesia sebagaimana dirilis oleh Badan Meteorologi dan Geofisika 2005
6
, di seluruh wilayah Indonesia terdapat tiga pergerakan lempeng yaitu pergerakan
Indo-Australia dengan Eurasia, Indo-Australia dengan Pasifik dan Pasifik dengan Indo-Australia. Pertemuan lempeng ini adalah lokasi gempa-gempa yang besar
dan berada di lautan yang berjarak 100-150 km dari pantai barat Sumatera, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, Maluku dan pantai utara Papua.
Berdasarkan data tersebut, maka wilayah Kota Sabang yang terletak di bagian barat atas Pulau Sumatera juga termasuk dalam daerah-daerah yang
perlu diwaspadai terhadpa bencana alam tersebut. Kondisi terakhir, pada 26 Desember 2004 telah terjadi gempa bumi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam termasuk Kota Sabang yang berkekuatan 8,9 pada Skala Richter SR. Di Kota Sabang, gempa bumi tersebut disusul dengan gelombang laut
dengan ketinggian sekitar tujuh meter yang menerjang daratan Kota Sabang. Di lokasi TWA Laut Pulau Weh, berdasarkan informasi yang diperoleh di
lapangan, kondisi kerusakan baik lingkungan perairan dan daratan yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami tidaklah separah dengan kondisi di
tempat lain, misalnya Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan Calang atau bahkan di Kota Sabang sendiri. Hal ini karena kontur tanah atau daratan di wilayah TWA
Laut Pulau Weh yang curam berbentuk lereng dan berbatasan langsung dengan perbukitan.
Adapun tingkat kerusakan lingkungan bawah laut yang banyak terdapat terumbu karang dan ikan hias, sangatlah kecil. Berdasarkan pengamatan
langsung secara kasat mata terhadap kondisi terumbu karang, tidak terlalu banyak terjadi perubahan dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya
gempa bumi dan tsunami. Sebelumnya, peneliti telah beberapa kali mengunjungi
6
http:www.bmg.or.id
TWA Laut Pulau Weh dan turut melakukan kegiatan snorkling untuk menikmati keindahan alam bawah laut TWA Laut Pulau Weh, meskipun dengan peralatan
yang sederhana. Data ini dikuatkan berdasarkan pengamatan oleh Tim Ekspedisi dari Metro
TV beberapa minggu setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami. Hasil pengamatan tersebut ditayangkan dan terlihat bahwa kondisi terumbu karang
yang rusak tidak dalam kondisi yang parah. Hasil penelitian Fiheries Diving Club-Institut Pertanian Bogor FDC-IPB bekerja sama dengan United Nations for
Economic, Social, and Cultural Organization UNESCO pada 4-11 Maret 2005 yang menyebutkan bahwa berdasarkan observasi di lima lokasi di seluruh Pulau
Weh, tutupan karang keras pada kelima lokasi tersebut tidak mengalami kerusakan secara signifikan. Jumlah kerusakan tutupan karang keras yang yang
paling tinggi terjadi sebesar 36,39 di Benteng pada kedalaman tiga meter. Di lokasi TWA Laut Pulau Weh, penelitian dilakukan di sebelah timur Pulau Rubiah,
dimana tingkat kerusakan tutupan karang keras sebesar 30,80 pada kedalaman tiga meter. Untuk jumlah ikan karang termasuk ikan hias, sebelum
terjadinya tsunami terdapat 155 spesies ikan dari 31 famili. Dua bulan setelah tsunami, jumlahnya berkurang menjadi 72 spesies dari 22 famili.
Dalam konteks merumuskan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh di masa mendatang yang didasarkan pada gambaran fenomena alam gempa
bumi dan tsunami sebagaimana digambarkan di atas, maka faktor ini dimasukkan sebagai salah satu variabel yang harus dipertimbangkan. Hal ini
dikarenakan potensi terjadinya gempa bumi dan tsunami seperti yang pernah terjadi pada 26 Desember 2005 masih tetap ada pada masa mendatang.
Menurut Ikatan Ahli Geologi Indonesia
7
, tidak akan muncul tsunami sebesar yang muncul pada 26 Desember 2004 dalam kurun waktu 150-200 tahun ke
depan di Aceh dan sekitarnya. Hasil tersebut dirumuskan dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral dan diikuti oleh instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sejumlah pakar
gempa. Dengan demikian, peluang terjadinya gempa bumi dan tsunami dengan
kekuatan besar khususnya di TWA Laut Pulau Weh dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum sangat kecil dalam jangka waktu beberapa tahun
7
http:www.iagi.or.id
mendatang. Berdasarkan pendapatan tersebut, maka dalam menentukan skor dari kriteria fenomena alam untuk seluruh alternatif kebijakan status quo,
pemberlakukan Marine Protected Area, dan Pengembangan Pasar ditetapkan skor yang sama, yaitu 1 peluang terjadinya kecil. Adapun skor untuk peluang
yang besar peluang terjadi dalam 50-100 tahun dan sangat besar terjadi dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun masing-masing adalah 2 dan 3.
4.2.11.8. Keamanan