dapat memberikan efek positif dalam hal kemajuan perekonomian masyarakat setempat. Terhadap persepsi ini, skor yang diberikan adalah 1.
2. Biasa Saja; masyarakat menganggap bahwa kegiatan pariwisata bagian dari aktivitas manusia yang membutuhkan kesenangan dan lumrah apabila dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan terhadap norma-norma sosial dan sistem nilai sepanjang hal tersebut tidak mengganggu ketenangan
masyarakat setempat. Skor untuk persepsi ini adalah 2. 3. Buruk; kegiatan dan tempat pariwisata merupakan sarana melakukan
tindakan maksiat yang lambat laut ikut merusak budaya masyarakat setempat serta merusak lingkungan sumberdaya alam yang ada. Tingkatan
persepsi ini diberikan nilai 3. Kondisi saat ini, persepsi masyarakat Kota Sabang pada umumnya dan
secara khusus dari masyarakat yang tinggal di sekitar TWA terhadap kegiatan pariwisata yang berlangusung adalah baik skor 3. Hal ini karena relatif tidak
ada atau jarang ditemukan kegiatan yang melanggar norma atau sistem nilai oleh wisatawan yang berkunjung ke sana. Kondisi yang demikian diasumsikan juga
akan terjadi pada altenatif kebijakan “MPA”. Dalam kondisi “PP” upaya diarahkan kepada tujuan menarik minat
wisatawan yang sebanyak-banyaknya untuk berkunjung ke lokasi wisata TWA. konsekuensinya, selain mengandalkan daya tarik wisata alamnya, infrastruktur
pendukung dan berbagai jenis hiburan mutlak harus disediakan sesuai tuntutan. Dengan demikian, potensi terjadinya atau berlangsungnya kegiatan yang “abu-
abu” dan bertentangan dengan sistem nilai dan tradisi masyarakat setempat pasti akan sangat besar dan untuk kondisi ini, diberikan skor 1.
4.2.11.5. Partisipasi Masyarakat
Tingkat partisipasi dapat dipahami melalui suatu kontinum yang menggambarkan seberapa jauh keterlibatan orang-orang atau masyarakat dalam
suatu kegiatan tertentu. Tingkatannya dapat saja dimulai dari yang terendah hingga ke yang lebih tinggi dan bersifat transfomasional. Dalam hal ini, juga
dapat dijelaskan melalui tingkatan-tingkatan sebagai berikut Setiawan 2003 : 1. Manipulasi; menggambarkan non-participation
2. Informasi; stakeholders masyarakat diberikan informasi tentang hal-hal yang menyangkut hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan.
3. Konsultasi; telah dilakukan komunikasi dua arah masih sebatas konsultasi
4. Consensus -Building; stakeholders telah mengelompok untuk menciptakan posisi negosiasi
5. Decision-Making; stakeholders terlibat dalam proses pengambilan keputusan 6. Risk-Sharing; stakeholders turut mengambil risiko terhadap keputusan yang
diambil 7. Partnership; stakeholders telah memiliki kedudukan pada level yang sama
8. Self-Management; merupakan bentuk dari partisipasi yang sesungguhnya dimana stakeholders harus bertanggung jawab terhadap seluruh proses.
Berdasarkan konsepsi tersebut, maka untuk kepentingan penetapan nilai skor dari tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh,
tingkatan partisipasi di atas golongkan menjadi tiga kelas, yaitu : 1. Tingkatan partisipasi “pasif”, merupakan penggolongan dari tingkatan
partisipasi pertama, kedua, dan ketiga. Nilai dari tingkat ini diberikan skor 1. 2. Tingkatan partisipasi “aktif”, merupakan ciri dari tingkatan partisipasi keempat.
Nilai dari partisipasi ini diberikan skor 2. 3. Tingkatan partisipasi kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan digolongkan
dalam tingkatan partisipasi “penentu”. Dengan demikian, skor yang diberikan adalah 3.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, keterlibatan masyarakat pada saat ini kondisi SQ di sekitar lokasi wisata berdasarkan konsepsi yang dibangun di
atas dapat digolongkan dalam partisipasi penentu skor 3. Selama ini, dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh untuk kegiatan pariwisata, masyarakat
memegang peranan penting dimana seluruhnya ditentukan berdasarkan berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat. Misalnya, dalam usaha
menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang menjadi salah satu daya tarik TWA Laut Pulau Weh, masyarakat memiliki komitmen untuk tidak merusaknya
dan berperan aktif melindunginya dari gangguan pihak luar. Selain itu, kearifan lokal dari masyarakat setempat dalam memanfaatkan seluruh potensi
sumberdaya alam masih dipengang secara teguh. Untuk kondisi alternatif kebijakan “MPA”, partisipasi masyarakat nantinya
hanya akan berada pada tingkat aktif karena di banyak negara, pengelolaan MPA berada dibawah otoritas suatu lembaga. Misalnya, di Inggris, Wales, dan
Skotlandia yang termasuk dalam United Kingdom Marine Nature Reserves Programme, pengelolaan kawasan MPA yang dinamai dengan Marine Nature
Reserve dikelola oleh Nature Conservation Council Gubbay 1995. Begitu juga
dengan institusi pengelolaan MPA di Kenya Kisite Marine National Park dan Mpunguti Marine National Reserve yang dikelola oleh Kenya Wildlife Service
Emerton dan Tessema 2000. Dengan demikian, peran masyarakat hanya dalam tataran berpartisipasi
aktif dengan tidak merusak sumberdaya alam yang berada dalam situs atau area yang menjadi kawasan MPA. Skor yang diberikan untuk altenatif kebijakan
“MPA” berdasarkan kriteria ini adalah 2. Kebijakan pengelolaan dengan mengembangkan kawasan TWA Laut Pulau
Weh untuk kegiatan pariwisata yang berorientasi pasar membutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas dan berkompeten. Dihadapkan pada
permasalahan tersebut, maka kemungkinan masyarakat setempat untuk ikut terlibat didalamnya sangatlah kecil.
Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa masyarakat di sekitar TWA Laut Pulau Weh tidak siap secara kualitas karena tingkat pendidikan mereka yang
rendah serta tidak berpengalaman dalam pengelolaan kegiatan pariwisata secara modern. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi masyarakat akan sangat rendah dan untuk kondisi tersebut diberikan skor 2.
4.2.11.6. Illegal Fishing