Economic Value Analysis of Weh Island Marine Tourism Park in Sabang City

(1)

ANALISIS NILAI EKONOMI TAMAN WISATA ALAM LAUT

PULAU WEH DI KOTA SABANG

MUHAMMAD IQBAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006


(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD IQBAL . Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau

Weh di Kota Sabang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan MOCH. PRIHATNA

SOBARI

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh di Kota Sabang dan merumuskan sekaligus menetapkan priortas kebijakan pengelolaan kawasan tersebut. Pengembangan TWA Laut Pulau Weh dihadapkan dan dipengaruhi oleh beberapa aspek, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, geografis, dan teknis. Penelitian ini menggunakan metode survai yag mengacu kepada penilaian terhadap pariwisata yang berlangsung di alam. Untuk menganalisis nilai ekonomi menggunakan metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual dan zonasi. Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan dilakukan dengan analisis multikriteria. Terdapat tiga alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, yaitu status

quo, marine protected area, dan pengembangan pasar. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa nilai ekonomi kawasan dengan pendekatan individual lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan zonasi. Pada saat ini, kebijakan terbaik

pengelolaan TWA Laut Pulau Weh adalah menetapkannya sebagai marine

protected area yang didasarkan pada manfaat ekonomi yang diperoleh dan

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaannya. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan menjamin kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut.

Kata kunci : TWA Laut Pulau Weh, nilai ekonomi, biaya perjalanan, analisis multikriteria, kebijakan pengelolaan.


(4)

MUHAMMAD IQBAL . Economic Value Analysis of Weh Island Marine Tourism

Park in Sabang City. Under the supervision of AKHMAD FAUZI and MOCH.

PRIHATNA SOBARI

The aim of the research is to analyze the economic value of Weh Island Marine Tourism Park (TWA Laut Pulau Weh) in Sabang City and to formulate and assign the policy of its management. The development of TWA Laut Pulau Weh faces some aspects such as economic, social, ecology, politic, geografic, and technical. To analyze this area, the method of area survey is used; it refers to standard criteria of assessing the object and the interest of natural tourism. To analysis economic value, techniques of travel cost is used. This research uses two approach of travel cost techniques (individual and zonation) including strategic plan of tourism development through multicriteria decision making analysis. There are three policy alternative to manage TWA Laut Pulau Weh which is status quo, marine protected area, and market development. The result of this research shows that the economic value of TWA Laut Pulau Weh with individual approach is more accurate than zonation approach. At present, the best policy alternative is assignment TWA Laut Pulau Weh as marine protected area on bases the economic benefit and utilization of the area for protection that involves active participation of the community and that serves educational products and learning activities, and also minimizes the negative impact of the activities in this area.

Keywords : Weh Island Marine Tourism Park, economic value, travel cost, multicriteria decision making, policy of management.


(5)

© Hak cipta milik Muhammad Iqbal, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk


(6)

ANALISIS NILAI EKONOMI TAMAN WISATA ALAM LAUT

PULAU WEH DI KOTA SABANG

MUHAMMAD IQBAL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(7)

Judul Tesis : Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang

Nama : Muhammad Iqbal

NRP : C451020021

Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua

Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah valuasi ekonomi sumberdaya alam dengan judul “Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. H. Achmad Fahrudin selaku penguji luar komisi, penulis ucapkan terima kasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Abulyatama Banda Aceh, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama Banda Aceh, Teuku Ridwan, S.Pi., M.Si., Kepala Bappekot Sabang, dan Kepala Dinas Pariwisata Kota Sabang.

Khusus kepada Dr. Ir. H. Mustafa Abubakar, M.Si. dan Ir. Iskandar Jafar, M.M., penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dorongan, semangat, dan harapan yang diberikan sehingga memacu penulis untuk menyelesaikan pendidikan secepat mungkin. Ungkapan terima kasih yang tulus dan penghormatan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak-kakak, dan adik-adik tercinta, serta sahabat-sahabat terdekat atas doa, dukungan, cita-cita, dan kasih sayangnya. Kepada Mawardi Jalil yang membantu selama penelitian dan Fauziah Alhasanah yang telah mendampingi dan banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu, baik pada saat penelitian maupun dalam tahap analisis dan pengelolahan data, penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.

Bogor, April 2006


(9)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Iqbal dilahirkan di Jurong Mesjid (Aceh) pada 24 Juli 1979, putra kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Muhammad Gade Ali dan Rosmiati Sabi. Pada tahun 1997, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas pada SMU Negeri 1 Kembang Tanjong. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut (USMI) dan lulus pada tahun 2002. Sejak Maret 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama Banda Aceh. Pada Agustus 2002, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas biaya dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS).


(10)

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 9

1.4. Kegunaan Penelitian ... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1. Pengertian-pengertian... 12

2.1.1. Pariwisata... 12

2.1.2. Wisatawan... 14

2.1.3. Pariwisata Bahari ... 14

2.1.4. Taman Laut ... 15

2.2. Pariwisata Bahari sebagai Ekoturisme... 15

2.3. Pembangunan Berkelanjutan... 16

2.4. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam ... 17

2.5. Jenis-jenis Nilai Ekonomi... 18

2.6. Konsep dan Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam ... 20

2.7. Tingkat Keinginan Membayar (Willingness to Pay)... 22

2.8. Analisis Biaya Perjalanan ... 25

2.9. Model Pengambilan Keputusan dengan Analisis Multikriteria ... 28

III. METODOLOGI PENELITIAN... 32

3.1. Waktu Penelitian ... 32

3.2. Lokasi Penelitian ... 32

3.3. Metode Penelitian... 32

3.4. Jenis dan Sumber Data... 33

3.5. Metode Pengambilan Responden ... 35

3.6. Teknik Pengumpulan Data... 36

3.7. Teknik Analisis Data... 36

3.7.1. Travel Cost Methode... 36

3.7.2. Weight Sum Methode... 39

3.8. Konsep dan Batasan... 40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 42

4.1. Hasil... 42

4.1.1. Sejarah Kota Sabang... 42

4.1.2. Gambaran Umum Wilayah Kota Sabang ... 44

4.1.2.1. Keadaan Penduduk... 45

4.1.2.2. Pekerjaan dan Mata Pencaharian ... 46

4.1.2.3. Tingkat Pendidikan... 47

4.1.3. Keragaan Ekonomi Kota Sabang ... 47

4.1.4. Gambaran Umum TWA Laut Pulau Weh ... 50

4.1.4.1. Letak Geografis ... 50


(11)

Halaman

4.1.4.3. Topografi ... 50

4.1.4.4. Geologi dan Tanah... 51

4.1.4.5. Hidrologi ... 51

4.1.4.6. Aksesibilitas ... 52

4.1.4.7. Daerah Tujuan Wisata Utama... 52

4.1.4.8. Potensi Pariwisata... 53

4.1.5. Karakteristik Responden ... 56

4.1.5.1. Karakteristik Sosial Ekonomi ... 56

4.1.5.1.1. Umur... 56

4.1.5.1.2. Jenis Kelamin ... 57

4.1.5.1.3. Status Perkawinan ... 58

4.1.5.1.4. Tingkat Pendidikan... 58

4.1.5.1.5. Pekerjaan dan Tingkat Pendapatan . 59 4.1.5.1.6. Daerah Asal Responden ... 61

4.1.5.1.7. Alat Transportasi ke Lokasi... 62

4.1.5.2. Persepsi Responden... 64

4.1.5.2.1. Kelebihan dan Keunggulan ... 64

4.1.5.2.2. Kekurangan dan Kelemahan ... 65

4.1.5.2.3. Peluang dan Tantangan... 65

4.1.5.2.4. Ancaman ... 66

4.2. Pembahasan ... 68

4.2.1. Jumlah Kunjungan ... 68

4.2.2. Biaya Perjalanan ... 69

4.2.3. Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh... 71

4.2.3.1. Pendekatan Individual ... 72

4.2.3.2. Pendekatan Zonasi ... 74

4.2.4. Ukuran Kebaikan Model... 75

4.2.5. Surplus Konsumen dan Tingkat Keinginan Membayar ... 77

4.2.6. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh ... 79

4.2.7. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dan PDRB Sektor Pariwisata... 80

4.2.8. Distribusi Nilai Ekonomi ... 82

4.2.9. Penerimaan TWA Laut Pulau Weh... 84

4.2.9.1. Nilai Aktual... 84

4.2.9.2. Nilai Potensial... 85

4.2.10. Analisis Alternatif Kebijakan... 85

4.2.11. Analisis Penentuan Skor untuk Masing-masing Kriteria ... 87

4.2.11.1. Produk Domestik Regional Bruto... 88

4.2.11.2. Penyerapan Tenaga Kerja ... 90

4.2.11.3. Konflik Pemanfaatan ... 91

4.2.11.4. Persepsi Masyarakat... 93

4.2.11.5. Partisipasi Masyarakat ... 94

4.2.11.6. Illegal Fishing ... 96

4.2.11.7. Fenomena Alam ... 98

4.2.11.8. Keamanan ... 100

4.2.11.9. Kebijakan Pemerintah ... 101

4.2.11.10. Aksesibilitas ... 103

4.2.11.11. Objek Daya Tarik Wisata ... 104

4.2.11.12. Sarana dan Prasarana ... 106

4.2.12. Prioritas Kebijakan ... 108


(12)

4.2.14.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat... 113

4.2.14.2. Nilai Ekonomi Kawasan ... 114

4.2.14.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 115

4.2.14.4. Pengembangan Wilayah ... 115

4.2.14.5. Institusi Pengelola ... 116

4.2.14.6. Pendanaan ... 118

V. SIMPULAN DAN SARAN... 123

5.1. Simpulan... 123

5.2. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA... 126


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota

Sabang pada Tahun 2000-2005 ... 3

2. Penyebaran Wisatawan Mancanegara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Berdasarkan Daerah Kunjungan Tahun 1999-2003 ... 4

3. Matrik Keputusan MCDM... 29

4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Perkembangan Jumlah Penduduk di Kota Sabang Tahun 1985-2003... 46

5. Jumlah Rumah Tangga Menurut Mata Pencaharian di Kota Sabang Tahun 2003 ... 47

6. Klasifikasi Umur Responden Tahun 2005 ... 57

7. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 ... 57

8. Status Perkawinan Responden Tahun 2005 ... 58

9. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2005 ... 59

10. Jenis Pekerjaan Responden Tahun 2005 ... 60

11. Tingkat Pendapatan Responden Tahun 2005... 60

12. Jumlah Responden Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005... 61

13. Alat Trasportasi yang Digunakan Responden dari Banda Aceh ke Kota Sabang dan dari Kota Sabang ke Lokasi TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ... 63

14. Frekuensi Kunjungan Responden ke TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ... 68

15. Total Biaya Perjalanan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005 ... 70

16. Jumlah Kunjungan dan Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Pengunjung TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Zona Tahun 2005 ... 74

17. Ukuran Kebaikan Model (Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh) Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi... 76

18. Perkiraan Jumlah Hari Kunjungan Efektif dan Biasa serta Jumlah Pengunjung TWA Laut Pulau Weh dalam Setahun ... 85

19. Atribut dan Skor dari Setiap Kriteria untuk Analisis MCDM Tahun 2005.. 88

20. Kriteria Objek Daya Tarik Wisata Berbentuk Perairan Tahun 2005 ... 105

21. Standar Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam Tahun 2005 ... 107

22. Data Masukan (Input) untuk Analisis MCDM Tahun 2005 ... 109

23. Utilitas Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ... 110

24. Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot Lima Variabel Penting Tahun 2005 ... 111


(14)

1. Kategori Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam... 8

2. Diagram Alir Kerangka Penelitian ... 11

3. Klasifikasi Teknik Valuasi Non-Market Sumberdaya Alam ... 21

4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP... 24

5. Klasifikasi dan Jenis MCDM... 28

6. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan dengan Metode MCDM... 30

7. Kurva Permintaan dan Surplus Konsumen ... 38

8. Distribusi Persentase PDRB Kota Sabang Tahun 2003 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 ... 49

9. Kurva Permintaan Pengujung (Pendekatan Individual) ... 78

10. Perbandingan Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dengan PDRB Sektor Pariwisata... 82

11. Grafik Hasil Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot Lima Variabel Penting ... 112


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003 ... 131 2. Peta Wilayah Administrasi Kota Sabang dan Lokasi Penelitian ... 132 3. Data Jumlah Kunjungan dan Biaya Perjalanan Responden

Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi... 133 4. Contoh Perhitungan Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Pulau TWA

Laut Pulau Weh Berdasarkan Pendekatan Zonasi ... 135 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan

Individual dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows .... 136 6. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan

Zonasi dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows... 140 7. Teknik Perhitungan Besaran CS dari Fungsi Permintaan Berdasarkan

Pendekatan Individual dengan Menggunakan Software Maple 9,5... 144 8. Kesesuaian Kondisi Alam TWA Laut Pulau Weh dengan Kriteria

Objek Wisata Alam Berbentuk Kawasan Perairan ... 145 9. Kesesuaian Kondisi Sarana dan Prasarana di TWA Laut Pulau Weh

dengan Standar Sarana dan Prasarana Parawisata Alam ... 147 10. Hasil Perhitungan Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan

Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dengan Menggunakan

software Sanna ... 148 11. Pemandangan Alam di Kawasan TWA Laut Pulau Weh ... 150


(16)

1.1. Latar Belakang

Kota Sabang merupakan salah satu daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang wilayahnya berbentuk kepulauan dan berada di wilayah paling barat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Posisi geografis Kota Sabang berada pada jalur perdagangan dunia dari Samudera Hindia menuju Selat Malaka, sekaligus sebagai pintu gerbang masuk wilayah Indonesia di wilayah barat.

Sebagai wilayah kepulauan, Kota Sabang memiliki lima pulau, yaitu Pulau Weh, Seulako, Rondo, Klah, dan Rubiah. Dari kelima pulau tersebut, Pulau Weh

merupakan pulau terbesar dengan luasan sekitar 118,72 km2 dan menjadi pusat

pemerintahan dan perdagangan Kota Sabang. Dengan luas wilayah 153 km2,

secara administrasi pemerintahan Kota Sabang terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya yang meliputi 18 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 29.564 jiwa pada 2003.

Dengan wilayah yang berbentuk kepulauan dan topografi wilayah yang berbukit, menjadikan Kota Sabang sebagai daerah yang indah dan menarik. Hal ini ditandai dengan tersebarnya objek wisata alam di hampir seluruh sudut Kota Sabang. Di samping itu, Kota Sabang juga memiliki banyak objek wisata sejarah/budaya, karena daerah ini memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat perdagangan pada masa kolonial Belanda.

Secara rinci, potensi objek wisata alam dan objek wisata sejarah/budaya di Kota Sabang terdiri atas Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh, Hutan Wisata Iboih, Pantai Pasir Putih, Pantai Gapang, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Pantai Paradiso, Pantai Anoi Itam, Sumber Air Panas Keuneukai, Tugu Kilometer Nol, Bunker Perang Dunia Kedua, Terowongan Bawah Tanah, Benteng, dan Pondasi Karantina Haji di Pulau Rubiah.

Keseluruhan objek wisata tersebut selama ini telah menjadi andalan bagi Pemerintah Kota Sabang dalam menggalakkan pembangunan sektor pariwisata Kota Sabang. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga telah menjadikan sekaligus menetapkan Kota Sabang sebagai kota pariwisata sekaligus icon pariwisata provinsi tersebut.

Pada masa kolonial Belanda, Kota Sabang merupakan pusat perdagangan yang ramai dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang yang melintas dari


(17)

2

kawasan Timur Tengah munuju Selat Malaka. Setelah Indonesia merdeka atau tepatnya pada tahun 1970, status Kota Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberlakukan oleh pemerintah. Sektor perdagangan merupakan penggerak utama perekonomian Kota Sabang dan daerah Aceh daratan pada masa itu. Status tersebut kemudian dicabut oleh pemerintah pada tahun 1985 karena alasan ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1985.

Pembangunan Kota Sabang mulai menggeliat kembali pada era tahun 1990-an seiring dengan ditetapkannya Sabang sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) untuk wilayah barat Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 171 Tahun 1998 tentang KAPET Sabang. Pada tahun 2001, KAPET Sabang berganti nama menjadi KAPET Bandar Aceh Darussalam, karena cakupan wilayahnya juga meliputi Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie. Selanjutnya, pemberlakuan Kota Sabang dan gugusan Pulau Aceh (termasuk wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar) sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Dalam rencana pembangunan Kota Sabang, Pemerintah Kota Sabang bersama-sama dengan KAPET Bandar Aceh Darussalam dan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (selaku pelaksana pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang), telah menetapkan empat sektor ekonomi unggulan dalam pembangunan ekonomi Kota Sabang. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan, di samping tiga sektor lainnya, yaitu jasa dan trasportasi, perikanan, dan industri.

Langkah tersebut dalam indikator ekonomi sangat jelas terlihat, yaitu dengan maraknya kegiatan pariwisata di Kota Sabang. Kontribusi sektor

pariwisata1 dalam perekonomian Kota Sabang selama tahun 1999-2003 sekitar

8,36% per tahun2. Angka tersebut relatif lebih besar jumlahnya dari kontribusi sektor ekonomi unggulan lainnya seperti perikanan, sekitar 3,84% per tahun.

1

Dalam PDRB Kota Sabang merupakan gabungan dari beberapa sub lapangan usaha yang terdiri atas Hiburan/Rekreasi/Kebudayaan, Restoran/Rumah Makan, Hotel, Pengangkutan Jalan Raya/Darat, Pengangkutan Laut/Sungai/Danau, dan Angkutan Udara

2

Berdasarkan PDRB Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003


(18)

Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003 secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.

Indikator lainnya dari kegiatan pariwisata di Kota Sabang dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan (domestik dan mancanegara). Selama tahun 2000-2005 (Juni), jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kota Sabang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota Sabang pada Tahun 2000-2005

Jumlah Wisatawan (Orang) Tahun

Domestik Mancanagera Total (Orang)

2000 71.736 2.664 74.400

2001 87.217 4.747 91.964

2002 75.400 2.968 78.368

2003 81.532 1.659 83.191

2004 100.004 81 100.085

2005 (Juni) 30.378 754 31.132

Sumber : Dinas Pariwisata Kota Sabang, 2005

Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Sabang pada umumnya berasal dari negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Adapun untuk wisatawan domestik pada umumnya merupakan wisatawan yang berasal dari daerah lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, dan Langsa. Selama kurun waktu tersebut, Kota Sabang merupakan salah satu tujuan wisata favorit untuk dikunjungi di Nanggroe Aceh Darussalam, selain karena daya tarik wisatanya yang tinggi juga karena faktor keamanan yang kondusif.

Di daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meskipun banyak terdapat daerah yang menjadi tujuan wisata (seperti dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah dengan pesona dan panorama Danau Laut Tawar-nya yang menawan), tetapi kondisi keamanannya tidak kondusif akibat terjadinya konflik bersenjata antara Tentara Nasional Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.


(19)

4

Tingginya tingkat kunjungan wisatawan mancanegara ke Kota Sabang dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dilihat berdasarkan data penyebaran wisatawan mancanegara ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menurut daerah kunjungan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Penyebaran Wisatawan Mancanegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Berdasarkan Daerah Kunjungan Tahun 1999-2003

Jumlah Kunjungan per Tahun (Orang) Kabupaten/Kota

1999 2000 2001 2002 2003

Banda Aceh 1.425 749 1176 824 380

Sabang 3.698 2.428 9.510 2.457 1.644

Aceh Besar 1.072 602 202 142 45

Pidie 77 290 160 112 49

Aceh Utara 5.775 2.958 1.808 1.266 570

Aceh Timur 117 131 184 129 62

Aceh Tengah 188 158 116 82 112

Aceh Tenggara 927 1.484 1.374 962 328

Aceh Barat 669 279 266 187 88

Aceh Selatan 821 199 400 280 159

Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa potensi pariwisata di Kota Sabang memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan sebagai sektor

penggerak utama (prime mover sector) dalam perekonomian Kota Sabang. Hal

ini karena berdasarkan data di atas, adanya faktor permintaan terhadap kegiatan pariwisata yang tinggi di Kota Sabang dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu, sektor pariwisata Kota Sabang juga memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif yang dapat menjadi modal dasar untuk dikembangkan.

Beberapa keunggulan kompetitif yang dapat diandalkan antara lain memiliki banyak wisata objek yang menarik (wisata alam dan sejarah/budaya) serta ketersediaan infrastrukstur yang relatif lengkap dibandingkan dengan daerah lain. Adapun keunggulan komparatif yang dimiliki adalah letaknya yang sangat


(20)

strategis pada jalur perdagangan dunia, sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas serta kondisi keamanannya yang kondusif.

Pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata Kota Sabang sebagai salah satu sektor unggulan kiranya perlu mendapat perhatian dan prioritas, karena kontribusinya yang signifikan dalam menggerakkan perekonomian daerah. Dibandingkan dengan ketiga sektor unggulan lainnya, sektor pariwisata dapat dikatakan lebih siap dan prospek untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari beberapa keunggulan yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Berdasarkan realitas dan proses pembangunan Kota Sabang saat ini, keberadaan sektor pariwisata relatif tidak membutuhkan investasi dalam skala besar untuk mengembangkannya. Kondisinya sangat berbeda dengan tiga sektor ekonomi unggulan lainnya (sektor-sektor ekonomi unggulan lainnya seperti jasa dan perdagangan, perikanan, dan industri) yang membutuhkan infrastruktur lengkap, modal yang besar, kesiapan sumberdaya manusia, dan permasalahan tata ruang wilayah.

Dengan demikian, pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata dirasakan sangat realistis untuk dilakukan pada saat ini di Kota Sabang. Daya tarik wisata alam, situasi keamanan yang kondusif, promosi yang kuat, dan keanekaragaman sumberdaya alam yang dimiliki adalah tolok ukur besarnya prospek sektor pariwisata Kota Sabang.

Upaya dalam pembangunan dan pengembangannya bukanlah pekerjaan yang mudah, karena tantangan yang dihadapi pada saat ini dan ke depan tidaklah kecil. Perencanaannya secara menyeluruh dan keterpaduan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya merupakan tantangan besar yang terlebih dahulu harus dikerjakan.

Dalam pelaksanaannya, hendaknya mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, karena yang dijual dalam sektor pariwisata di Kota Sabang adalah sumberdaya alam, yang menjadi objek daya tarik wisata. Untuk itu, diperlukan analisis ilmiah yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sistem nilai terhadap keberadaan objek-objek wisata yang mengandalkan sumberdaya alam tersebut.

Dalam penelitian ini, akan mengkaji aspek ekonomi dari salah satu objek wisata alam di Kota Sabang yang selama ini telah menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh. Keberadaan TWA Laut Pulau Weh dalam peta pariwisata Kota Sabang begitu


(21)

6

penting, karena pesona alam dan kekayaan sumberdaya hayatinya yang sangat besar. Bahkan, ada slogan yang menyatakan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang belumlah dikatakan sudah pernah berwisata ke Kota Sabang apabila tidak melihat dan menikmati keindahan TWA Laut Pulau Weh.

Secara lebih khusus, kajian ekonomi terhadap TWA Laut Pulau Weh dititikberatkan pada analisis nilai ekonomi berdasarkan biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh wisatawan untuk berkunjung ke lokasi wisata tersebut. Hal ini dibatasi untuk menghindari kesalahpahaman dalam mempersepsikan arti dari nilai ekonomi total yang ada di TWA Laut Pulau Weh tersebut. Selanjutnya, juga akan dilihat bagaimana rumusan kebijakan yang tepat dalam rangka pengelolaan TWA Laut Pulau Weh agar lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan pada masa mendatang dan dapat meningkatkan kontribusi dalam perekonomian daerah serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya.

1.2. Rumusan Masalah

Selama ini, aktivitas ekonomi dominan yang berlangsung di sekitar TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang adalah sektor pariwisata dengan mengandalkan daya tarik wisata bahari dan hutan lindung. TWA Laut Pulau Weh memiliki luas perairan 2.600 hektar dan ditambah dengan luas hutan lindung (Hutan Iboih) sekitar 1.200 hektar. Perairan laut dan kawasan hutan lindung merupakan kawasan berikat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh. Hal ini karena letak kawasan perairan laut berbatasan langsung dengan hutang lindung.

Upaya pemanfaatan TWA Laut Pulau Weh melalui kegiatan pariwisata secara nyata dapat dikatakan belumlah dilakukan secara optimal. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya perencanaan dalam pengelolaan yang diakibatkan belum adanya kebijakan pengelolaan yang terpadu. Diantaranya, keragaan aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam TWA Laut Pulau Weh belum diidentifikasikan secara jelas, terperinci, dan lengkap, misalnya, berapa nilai ekonomi setiap tahunnya yang dapat diperoleh dari pemanfaatan TWA tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Selanjutnya, tindakan bagaimana yang mesti dilakukan agar upaya pemanfaatannya dapat berjalan dengan optimal tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang.


(22)

Permasalahan-permasalahan tersebut di atas adalah tanda tanya besar yang harus dijawab, bukan saja oleh pengelola TWA tersebut dan Pemerintah Kota Sabang, tetapi oleh seluruh komponen masyarakat yang berkepentingan terhadap kelestarian dan kesinambungan wilayah perairan laut yang dilindungi tersebut. Manfaat dari jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan nyatanya telah dinikmati oleh masyarakat yang berdomisili di sekitarnya dan pemerintah daerah setempat melalui geliat ekonomi kegiatan pariwisata.

Selama ini, besarnya manfaat ekonomi yang diperoleh dari TWA Laut Pulau Weh belumlah diketahui. Dengan demikian, upaya menghitung nilai ekonomi sumberdaya alam yang ada di TWA Laut Pulau Weh mutlak harus dilakukan. Hal ini sangat relevan dengan kondisi dan keberadaan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang, karena wilayah laut yang memiliki luasan perairan 2.600 hektar ini sarat dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi.

Dari sisi sosial, keberadaaan TWA Laut Pulau Weh ini merupakan salah satu identitas dari masyarakat yang hidup di sekitarnya. Kearifan masyarakat

(local wisdom) dalam menjaga dan memelihara TWA Laut Pulau Weh telah

menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan dan eksistensi dari TWA itu sendiri sampai dengan saat ini.

Selanjutnya dari sisi ekonomi, terlihat dari banyaknya penduduk yang berdomisili di sekitar TWA Laut Pulau Weh yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan pariwisata. Dalam skala yang lebih luas, kegiatan pariwisata Kota Sabang yang mengandalkan TWA Laut Pulau Weh sebagai daya tarik wisatanya telah memberikan kontribusi dalam perekonomian Kota Sabang.

Adapun dari sisi ekologi, TWA Laut Pulau Weh merupakan wilayah perairan yang kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga menjadi modal utama dalam mempromosikannya sebagai kawasan pariwisata bahari. Keanekaragaman hayati meliputi keragaan fisik dan biota lautnya.

Selama ini, pemanfaatan TWA Laut Pulau Weh dirasakan masih belum optimal yang diantaranya disebabkan oleh belum terpenuhinya seluruh aspek yang menjadi prasyarat dalam pengelolaannya. Salah satu aspeknya adalah belum diketahuinya nilai ekonomi secara menyeluruh yang ada di TWA ini.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan suatu studi dan kajian yang mendalam untuk mengetahui nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh. Nantinya, hasil kajian tersebut dapat dijadikan dasar dan pijakan ilmiah untuk menyusun rumusan kebijakan dalam rangka pengelolaan TWA Laut Pulau Weh


(23)

8

berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan khususnya untuk sektor pariwisata.

Nilai ekonomi dari TWA Laut Pulau Weh merupakan jumlah keseluruhan dari keragaan ekonomi yang berada dalam wilayah tersebut, baik barang/jasa yang dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui jenis-jenis nilai ekonomi yang terdapat di TWA Laut Pulau Weh, dapat mengacu pada pembagian jenis nilai dari sumberdaya alam sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

Sumber : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi (Darusman et al. 2003)

Gambar 1. Kategori Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam

Berdasarkan Gambar 1, dapat terlihat bahwa untuk mendapatkan nilai ekonomi total dari TWA Laut Pulau Weh, meliputi banyak aspek yang harus dihitung, yaitu nilai pemanfaatan atau penggunaannya (baik langsung maupun tidak langsung) dan nilai non-pemanfaatan (seperti nilai pewarisan dan keberadaannya). Dalam penelitian ini, akan dilakukan analisis terhadap nilai ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan tidak langsung (indirect use value), yaitu kegiatan pariwisata.

Nilai ekonomi dari kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh dikategorikan dalam nilai ekonomi yang dimanfaatkan secara tidak langsung karena konsumen atau manusia tidak mengambil manfaat langsung dari TWA tersebut. Oleh karena itu, perhitungan-perhitungan yang dilakukan untuk memperoleh nilai ekonominya juga harus melalui metode tersendiri, karena tidak


(24)

dalam pengukurannya berbeda dengan menghitung nilai pemanfaatan langsung yang memiliki nilai pasar (market value), seperti ikan, kayu, burung, dan beragan manfaat sumberdaya alam lainnya.

Dengan demikian, untuk menghitung nilai ekonomi dari kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh, didekati dengan mengetahui tingkat keinginan membayar dari konsumen/wisatawan/pengunjung yang berkunjung ke kawasan tersebut. Dengan kata lain, besaran biaya yang dikeluarkan oleh seorang pengunjung untuk melakukan kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh dapat dijadikan sebagai proxy untuk mengetahui nilai ekonomi yang dimiliki oleh TWA Laut Pulau Weh tersebut.

Berdasarkan gambaran dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pemasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1). Berapa nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke sana?

2). Selanjutnya, bagaimana rumusan dan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh ke depan berdasarkan analisis nilai ekonomi yang ada?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah :

1). Mengetahui nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan yang dikeluarkan/dihabiskan pengunjung atau wisatawan selama berkunjung ke lokasi wisata tersebut.

2). Merumuskan sekaligus menentukan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh agar wisatawan yang berkunjung dapat meningkat, baik dalam jumlah maupun frekuensinya pada masa mendatang.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam :

1). Memberikan informasi mengenai karakteristik pengunjung dan objek daya tarik wisata yang ada di TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang.

2). Mendapatkan gambaran tentang adanya nilai ekonomi dari TWA Laut dari aspek perjalanan yang dilakukan oleh pengunjung atau wisatawan.


(25)

10

3). Memperkenalkan teknik valuasi tidak langsung terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam.

4). Menghasilkan rumusan dan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh secara berkelanjutan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan di Kota Sabang. Hal ini didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang memiliki daya tarik wisata yang sangat tinggi berupa keindahan bawah laut, pantai, dan panorama alam pengunungan yang terdiri atas hutan lindung yang masih terjaga dengan baik. Kegiatan pariwisata telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap perekonomian Kota Sabang yang dapat dilihat dari persentase kontribusi dalam PDRB Kota Sabang yang mencapai rata-rata 8,36% per tahun selama 1999-2003. Untuk jumlah kunjungan wisatawan, selama enam tahun terakhir (2000-2005), jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Kota Sabang rata-rata mencapai 76.523 orang per tahun.

Salah satu objek wisata yang paling menarik dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah TWA Laut Pulau Weh yang memiliki keindahan alam bawah laut dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selama ini, pengelolaan TWA Laut ini masih belum dilakukan secara profesional dan keragaan nilai ekonomi yang terkandung atau yang ada belum diketahui. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan penghitungan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh yang didekati dengan menganalisis biaya perjalanan yang dikeluarkan pengunjung atau wisatawan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Travel Cost Methode

sebagai salah satu teknik pengukuran nilai ekonomi dari sumberdaya alam yang tidak memiliki nilai pasar. Dalam analisisnya, nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh

diperoleh melalui proxy tingkat keinginan membayar dari pengunjung

berdasarkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk sampai ke TWA Laut Pulau Weh dan untuk kembali ke tempat tinggal tetap pengunjung serta seluruh biaya yang dihabiskan selama berada di lokasi kunjungan.

Setelah diperoleh besaran nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan, langkah selanjutnya adalah merumuskan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ke depan yang mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Analisis kebijakan ini pada prinsip-prinsipnya untuk


(26)

menentukan langkah-langkah pengelolaan TWA Laut Pulau Weh yang tepat berdasarkan berbagai kriteria (multikriteria), yang meliputi aspek ekonomi, sosial, ekologi, politik, geografi, dan teknis.

Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Multi Criteria

Decision Making (MCDM). Dalam analisis MCDM, pendekatan yang digunakan

sebagai fungsi agregasi dalam perhitungannya adalah Weighted Sum Methode

(WSM) atau Metode Penjumlahan Bobot sebagai alat analisis (tool analyze) yang didasarkan pada keragaan fisik dan non-fisik serta permasalahan lainnya yang ada pada TWA Laut Pulau Weh. Kerangka pemikiran dari keseluruhan tahapan penelitian ini secara skematis digambarkan dalam diagram alir Gambar 2.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1. Pariwisata

Pariwisata pada dasarnya mengandung lima unsur pokok baik dalam sifat maupun kegiatannya, yaitu meliputi unsur manusia (wisatawan), unsur kegiatan (perjalanan), unsur motivasi (menikmati), unsur sasaran (objek dan daya tarik), dan unsur usaha. Kelima unsur tersebut selaras dengan ketentuan tentang pariwisata sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

Menurut Kodyat dan Ramaini (1992:85), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek wisata dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dalam bidang tersebut. Selanjutnya, Yoeti (1996:177-178) memberikan pengertian pariwisata sebagai suatu perjalanan yang dilakukan sementara dari suatu tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang dimaksud bukan untuk berusaha mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut. Tujuan perjalanan tersebut adalah untuk bertamasya dan rekreasi dalam memenuhi keinginan-keinginannya.

Selain kelima unsur di atas, kegiatan pariwisata itu sendiri terdiri atas tiga unsur sebagaimana dikemukakan oleh Munasef (1995:10-11), yaitu :

1). Manusia (man), adalah orang yang melakukan perjalanan dengan maksud

menikmati keindahan suatu tempat (alam).

2). Ruang (space), adalah daerah atau ruang lingkup tempat melakukan

perjalanan.

3). Waktu (time), adalah waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan

tinggal di daerah tujuan wisata.

Lebih lanjut, Munasef (1995) mengatakan bahwa pengertian tentang pariwisata akan semakin jelas dipahami jika didekati dari jasa atau produk yang dihasilkan atau pelayanan yang diharapkan oleh wisatawan dalam perjalanannya.

Dengan pendekatan ini, akan diketahui jenis-jenis pelayanan (services) yang

diperlukan konsumen (wisatawan).

Perkembangan pariwisata dewasa ini telah tumbuh menjadi salah satu sektor ekonomi penting di Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusinya dalam perekonomian nasional, bahkan telah menjadi sektor ekonomi unggulan dalam


(28)

menggerakkan perekonomian di suatu daerah. Fenomena sangat jelas terlihat di Provinsi Bali yang telah terkenal di seluruh dunia dengan industri pariwisatanya yang sudah demikian maju dan mendapat pengakuan dari sebuah lembaga internasional sebagai daerah tujuan wisata yang paling disukai oleh wisatawan mancanegara (Anonim 2005).

Menurut Yoeti (1996), industri pariwisata merupakan kumpulan dari bermacam -macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan selama dalam perjalanan, misalnya, perusahan transportasi, perhotelan, rumah makan dan restoran, serta industri rumah tangga dan sektor ekonomi informal lainnya. Di samping itu, keberadaan industri pariwisata juga sangat tergantung dari regulasi pemerintah, seperti imigrasi, visa dan fiskal, serta pajak dan retribusi.

Pengembangan pariwisata sebagai suatu industri secara ideal harus berlandaskan pada empat prinsip dasar, sebagaimana dikemukakan Purwanto (2002:86), yaitu :

1). Kelangsungan ekologi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus menjamin terciptanya pemeliharaan dan proteksi terhadap sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti lingkungan laut, hutan, pantai, danau, dan sungai.

2). Kelangsungan kehidupan sosial dan budaya, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus mampu meningkatkan peran masyarakat dalam pengawasan tata kehidupan melalui sistem nilai yang dianut masyarakat setempat sebagai identitas masyarakat tersebut.

3). Kelangsungan ekonomi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus dapat menciptakan kesempatan kerja bagi semua pihak untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi melalui suatu sistem ekonomi yang sehat dan kompetitif. 4). Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat melalui

pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pengembangan pariwisata.

Dengan demikian, menurut (Meutia 2004), pengembangan pariwisata (yang berkelanjutan) perlu didukung dengan perencanaan yang matang dan harus mencerminkan tiga dimensi kepentingan, yaitu industri pariwisata, daya dukung lingkungan (sumberdaya alam), dan masyarakat setempat dengan sasaran untuk peningkatan kualitas hidup. Konsekuensi dari ketiga kepentingan tersebut, pengembangan pariwisata yang berbasiskan lingkungan (sumberdaya alam)


(29)

14

harus mampu mendukung terciptanya dua keuntungan sekaligus secara berimbang dan proporsional, yaitu :

1). Keuntungan bagi penduduk lokal (setempat) untuk terlibat dalam usaha

pariwisata guna memperoleh penghasilan (multiplier effect-nya adalah

memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah).

2). Pelestarian terhadap aset wisata yang dimiliki (terpeliharanya kualitas lingkungan sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata).

Selain itu, pengembangan pariwisata dari sisi ekonomi sebagaimana dikemukakan Saifullah (2000) bermanfaat bagi :

1). Peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak.

2). Peningkatan devisa negara sehingga mendukung pembangunan sektor-sektor ekonomi lainnya.

3). Peningkatkan dan pemerataan pendapatan masyarakat.

4). Penyerapan produk lokal di pasar ekspor melalui promosi kepada wisatawan. 5). Peningkatan pembangunan di daerah yang menjadi tujuan wisata.

2.1.2. Wisatawan

Wisatawan adalah setiap pengunjung yang tinggal lebih dari 24 jam dan kurang dari enam bulan di tempat yang dikunjunginya dengan maksud kunjungan untuk berlibur, rekreasi, olah raga, bisnis, mengunjungi teman/keluarga, menghadiri pertemuan, konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar dan atau kegiatan keagamaan (Kusmayadi dan Sugiarto 2000:4). Menurut Yoeti (1996:184), wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan sementara waktu ke tempat atau daerah yang sama sekali masih asing baginya.

Spillane (2001) juga memasukkan individu atau perorangan yang mengadakan perjalanan dengan tujuan usaha atau untuk urusan bisnis ke dalam kategori wisatawan. Dasarnya adalah mengacu kepada jenis-jenis pariwisata sebagaimana ditetapkan dalam Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 870 tahun 1963, yang salah satu jenisnya adalah pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism).

2.1.3. Pariwisata Bahari

Ditjen Pariwisata (1998) memberikan pengertian pariwisata bahari sebagai kegiatan wisata yang berkaitan langsung dengan sumberdaya kelautan, baik di


(30)

atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut. Jenis-jenis kegiatan yang termasuk didalamnya berdasarkan pengertian tersebut adalah memancing atau sport fishing, snorkling, diving, dan lain-lain.

2.1.4. Taman Laut

Taman laut didefinisikan sebagai kawasan perairan (lautan) yang

diperuntukkan sebagai ”showroom” keindahan alam bawah air dan habitat satwa

air serta dipelihara dan dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan (penelitian) dan rekreasi (pariwisata). Adapun Munasef (1995:200) memberikan pengertian taman laut sebagai wilayah laut yang memiliki ciri khas berupa keindahan atau keunikan yang diperuntukkan secara khusus sebagai kawasan konservasi laut, untuk dibina dan dipelihara yang berguna bagi perlindungan plasma nutfah, rekreasi, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan.

2.2. Pariwisata Bahari sebagai Ekoturisme

Ekoturisme dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap kegiatan pariwisata yang dipandang cenderung merusak sumberdaya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat yang menjadi objek wisata. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan ekoturisme. Alasan-alasan penggunaan konsep ini adalah karena dapat mengambarkan kegiatan pariwisata yang termasuk bukan pariwisata berskala besar atau massal dan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya alam (Dephutbun 2000).

Diantara konsep-konsep tersebut, ekoturisme dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi lingkungan dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktik pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu, didukung dengan adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup “kembali ke alam” (back to nature). Oleh karena itu, menurut (Dephutbun 2000), gerakan konservasi lingkungan menganggap konsep ekoturisme ini sebagai suatu instrumen konservasi yang bersifat mandiri karena beberapa alasan, yaitu :

1). Dapat memodali sendiri kegiatan usahanya.


(31)

16

3). Sarana pendidikan bagi masyarakat dalam menjaga dan memelihara kelestarian sumberdaya alam.

Dalam perkembangannya, beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekoturisme digalakkan agar dapat memenuhi tujuan dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterapkan. Kriteria-kriteria tersebut sebagaimana ditetapkan (Dephutbun 2000) adalah harus :

1). Melestarikan lingkungan; karena apabila ekoturisme bukan merupakan suatu instrumen konservasi maka hancurlah landasan sumberdayanya.

2). Menguntungkan secara ekonomis; jika tidak menguntungkan, maka tidak akan ada modal yang kembali untuk kepentingan konservasi dan tidak akan ada insentif bagi pemanfaatan sumberdaya alternatif.

3). Memberikan manfaat bagi masyarakat; karena akan berdampak pada bergulirnya kegiatan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya dapat mensejahterakannya.

2.3. Pembangunan Berkelanjutan

TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang ditetapkan sebagai salah kawasan pelestarian alam yang utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Dalam ilmu ekonomi sumberdaya alam, kawasan konservasi berupa perairan laut lebih dikenal dengan istilah marine protected area atau daerah laut yang dilindungi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Gubbay (1995) yang mengatakan bahwa pada pada prinsipnya, penetapan kawasan konservasi laut ini dimaksudkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikannya untuk keberlanjutan keanekaragaman hayati sumberdaya alam laut tersebut. Dengan demikian, sumberdaya alam tidak hanya untuk dinikmati dan dimanfaatkan pada saat sekarang ini, tetapi juga untuk masa mendatang.

Prinsip di atas sangat terkait dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dimana aspek keberlanjutan sumberdaya alam merupakan tujuan utama yang hendak diwujudkan. Prinsip dasar dari konsep pembangunan berkelanjutan adalah dicapainya alokasi optimum dari pemanfaatan sumberdaya alam pada saat ini tanpa mengurangi dan atau menghilangkan manfaatnya pada masa yang akan datang (Fauzi dan Anna 2002).

Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan dan Lingkungan diacu dalam Conrad (1999) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengabaikan


(32)

ketersediaannya untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, isu pembangunan berkelanjutan sudah menjadi permasalahan di seluruh dunia karena ancaman terhadap lingkungan sudah sedemikian besar akibat setiap negera berpacu mencapai kemajuannya dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan.

2.4. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam

TWA Laut Pulau Weh menghasilkan barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung serta menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan. Adapun jenis barang atau jasa yang terdapat di wilayah perairan TWA Laut Pulau Weh adalah terumbu karang, ikan (hias dan konsumsi), mangrove, dan lain-lain (Saifullah 2005).

Selain menghasilkan nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan secara langsung, juga memiliki nilai non-ekonomi yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan wilayah perairan laut tersebut. Manfaat tersebut, diklasifikasikan

sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological function) yang sering tidak

terkuantifikasikan dalam perhitungan nilai ekonomi total dari sumberdaya alam dan lingkungan (Saifullah 2005).

Secara umum, nilai ekonomi didefiniskan sebagai pengukuran jumlah maksimun seseorang untuk mengorbankan barang atau jasa guna memperoleh barang atau jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut sebagai keinginan

membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang atau jasa yang

dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Djijono 2002).

Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari ekosistem atau sumberdaya alam akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai monoter dari barang atau jasa. Misalnya, apabila suatu ekosistem pantai atau perairan mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan dapat diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali menjadi seperti semula atau kondisi sebelum terjadinya pencemaran (Fauzi 2004).

Konsep dan teknik pengukuran nilai ekonomi seperti yang diuraikan di atas dalam implementasi dan aplikasinya tetap masih mengandung kelemahan dan kendala. Untuk barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, maka

nilainya akan dengan mudah dapat diukur dengan melihat harga pasar (market


(33)

18

barang dan jasa yang tidak diperdagangkan, maka akan kesulitan dalam mengatahui nilainya (Fauzi 2002a).

Jenis-jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelompok ini adalah keindahan pantai atau perairan laut, kebersihan, keaslian dari alam, tradisi dan budaya masyarakat setempat, dan lain-lain yang abstrak sifatnya. Hal ini disebabkan, pengguna atau konsumen tidak membayar secara langsung untuk menikmatinya. Di samping itu, dalam sistem dan praktek ekonomi yang ada, konsumen tidak familiar bahkan tidak mengetahui terhadap harus adanya pembayaran untuk jasa seperti itu (Fauzi 2002b).

Untuk menjawab besaran nilai ekonomi sumberdaya alam yang berasal dari jasa-jasa lingkungan seperti yang disebutkan di atas, Fauzi (2000) mengemukakan bahwa dalam pengukuran nilai monoter sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai dari barang atau jasa sumberdaya alam tersebut harus diperdagangkan. Untuk menghitungnya, yang diperlukan adalah mengukur

seberapa besar keinginan dan kemampuan membayar (purchasing power) dari

konsumen atau pengguna untuk memperoleh barang atau jasa dari sumberdaya alam. Selain itu, dapat pula diukur dari sisi seberapa besar pengguna/konsumen harus diberikan kompensasai untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang atau jasa dari sumberdaya alam.

2.5. Jenis-jenis Nilai Ekonomi

Menurut Darusman et al. (2003), secara umum nilai ekonomi sumberdaya

alam dibagi ke dalam dua komponen, yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non-use values). Use values adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang atau jasa, seperti menangkap ikan, menebang kayu, dan lain-lain. Nilai kegunaan ini juga terdiri atas pemanfaatan secara komersial terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, seperti ikan dan kayu yang dapat dijual atau untuk konsumsi langsung. Dalam pengukurannya, nilai ini lebih mudah dilihat (tangible). Berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan secara lebih terperinci klasifikasi dan pengertian jenis-jenis nilai ekonomi sumberdaya alam

sebagaimana dijelaskan Darusman et al. (2003) dalam buku Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah (Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi).


(34)

Pertama, use values diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu nilai pemanfaatan langsung (direct use value) dan nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use values). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya alam, seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan baker, dan lain-lain, baik secara komersial maupun non-komersial.

Indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan atau dimanfaatkan secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Keberadaan sumberdaya alam untuk fungsi-fungsi seperti

pencegahan banjir dan nursery ground dari ekosisitem juga termasuk dalam

kategori indirect use value (Darusman et al. 2003).

Kedua, non-use values merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan

pemanfaatan aktual dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan dalam perhitungannya lebih bersifat sulit diukur (less tangible). Hal ini karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan langsung. Secara lebih rinci, kategori non-use value ini dibagi lagi ke dalam beberapa subkelas, yaitu existence value, bequest value, dan option value (Darusman et al. 2003).

Existence value atau nilai keberadaan adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, meskipun masyarakat atau komsumen tidak memanfaatkannya atau mengunjunginya. Nilai keberadaan ini juga sering dikenal sebagai intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam tersebut (Darusman et al. 2003).

Bequest value atau nilai pewarisan didefinisikan sebagai nilai yang

berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu

sumberdaya alam agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang dari generasi sekarang. Dengan demikian, generasi mendatang dapat mengambil, memanfaatkan, menggunakan sumberdaya alam tersebut sebagai manfaat yang telah diambil/dimanfaatkan oleh generasi sebelumnya (Darusman et al. 2003).

Option value atau nilai manfaat pilihan adalah potensi langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi bahwa sumberdaya alam tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanent. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat


(35)

20

memanfaatkan potensi sumberdaya alam tersebut di waktu mendatang (Darusman et al. 2003).

2.6. Konsep dan Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam

Konsep valuasi ekonomi konvensional mendefiniskan nilai ekonomi sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai pemanfaatan (use values) dan nilai-nilai non-pemanfaatan (non-use values). Secara umum,

memang sulit mengukur dengan pasti konsep use value dan non-use value di

atas, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi atau ketepatan dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2000).

Salah satu kesulitan dalam mengukur nilai dari barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya alam adalah terdapat barang atau jasa dari sumberdaya alam yang tidak memiliki harga pasar dan tidak dapat diobservasi, sehingga nilai riil-nya tidak dapat diukur dengan baik. Menyikapi permasalahan tersebut, Krutila (1967) memperkenalkan konsep valuasi ekonomi total, yaitu sebuah usaha untuk memasukkan seluruh nilai dari kedua komponen nilai ekonomi sumberdaya alam, yaitu use value dan non-use value.

Banyak metode yang tersedia untuk melakukan teknik valuasi ekonomi

sumberdaya alam. Dixon et al. (1988) diacu dalam Fauzi (2000), telah

menjelaskan secara detail tentang konsep ini. Teknik valuasi ini disempurnakan oleh Turner et al. (1993) diacu dalam Fauzi (2000) yang mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, yaitu nilai barang atau jasa melalui sebuah kurva permintaan dan tanpa melalui kurva permintaan.

Untuk kategori pertama, Garrod dan Willis (1999) mengklasifikasikannya

dengan menggunakan dua metode, yaitu revealed preference dan

expressed/state preference. Revealed preference adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik valuasi yang termasuk dalam

revealed preference ini adalah : (i) travel cost methode yang diperkenalkan oleh Hotelling (1941) yang selanjutnya dikembangkan oleh Wood dan Trice (1958);

dan (ii) hedonic price methode yang didasarkan pada teori atribut yang

dikembangkan oleh Lancaster (1966) diacu dalam (Fauzi 2000).

Menurut Garrod dan Willis (1999), expressed atau state preference adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survai dimana keinginan membayar atau


(36)

WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup popular dalam kelompok ini

adalah Contingent Valuation Methode (CVM) atau Metode Valuasi Kontingensi.

CVM adalah motede teknik survai untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market).

Dari uraian kedua teknik penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) tersebut di atas, terdapat perbedaan paling

mendasar antara keduanya. Revealed preference bekerja secara tidak langsung

dalam pengukuran nilai ekonomi yang tidak dipasarkan. Adapun expressed/state

preference merupakan teknik pengukuran langsung. Menurut Fauzi (2004),

secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat dalam diagram alir Gambar 3.

Sumber : Fauzi 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi

Gambar 3. Klasifikasi Teknik Valuasi Non-Market Sumberdaya Alam

Untuk kategori kedua, yaitu teknik valuasi tanpa melalui kurva permintaan,

salah satu teknik yang terkenal adalah effect on production (EOP) atau

pendekatan opportunity cost. Teknik ini menguji efek produktivitas sumberdaya terhadap intervensi atau campur tangan manusia. Dengan demikian, teknik ini memandang kualitas sumberdaya alam sebagai salah satu faktor produksi, sehingga perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas sumberdaya dan biaya produksi yang pada akhirnya turut menentukan perubahan harga dan produk. Sebagai contoh, polusi yang dilepaskan ke sungai akan mempengaruhi kualitas lingkungan sungai tersebut menjadi buruk,

sehingga akan menurunkan produksi perikanan (Turner et al. 1993 diacu dalam

Fauzi 2000).

Pendekatan EOP dalam penggunaannya dapat mengukur nilai pemanfaatan langsung (direct use value). Banyak aplikasi dari teknik ini telah


(37)

22

digunakan dalam studi atau kajian sumberdaya pesisir di negara berkembang. Ruitenbeek (1991) diacu dalam Fauzi (2000) telah menggunakan pendekatan ini untuk menduga nilai mangrove dan hubungannya dengan perikanan di Irian Jaya (Papua), Indonesia.

Menurut Fauzi (2000), metode lainnya yang termasuk dalam pendekatan

non-marked based adalah preventinve expenditure dan replacement cost.

Preventinve expenditure menempatkan nilai sumberdaya alam dan lingkungan

dari seseorang atau individu yang memiliki keinginan membayar untuk mencegah degradasi lingkungan atau untuk mengurangi pengaruh buruk terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.

Adapun dalam teknik replacement cost, nilai sumberdaya alam didekati dari biaya atau pengeluaran untuk restorasi sumberdaya alam. Sebagai contoh, berkurangnya produktivitas sumberdaya perikanan dapat ditunjukkan dari hilangnya hutan mangrove, sehingga dalam teknik ini, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kembali hutan mangrove yang hilang dapat dikonversikan sebagai sebuah pendugaan minimum dari manfaat yang dihasilkan sumberdaya (Fauzi 2000).

2.7. Tingkat Keinginan Membayar (Willingness to Pay)

Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa tersedia banyak macam teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik yang ada adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya alam.

Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan

sekitar (Hufschmidt et al.1987). Kesediaan membayar atau kesediaan menerima

merefleksikan preferensi individu terhadap pemanfaatan sumberdaya (alam). Selanjutnya, Pearce dan Moran (1994) mengemukakan bahwa kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah “bahan mentah” dalam penilaian ekonomi.

Dalam memahami konsep nilai ekonomi untuk sumberdaya alam, tidak

terlepas dari konsep keinginan membayar (Willingness to Pay/WTP) dan


(38)

definisi nilai ekonomi itu sendiri sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang/jasa. Menurut Fauzi (2004), dengan menggunakan pengukuran ini, maka nilai ekologis ekosistem akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang/jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Lebih lanjut, Fauzi (2004) mengemukakan bahwa keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang

menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan

eksogenous. Perubahan eksogenous ini terjadi karena perubahan harga atau

perubahan kualitas sumberdaya alam. Dalam teori permintaan, konsep WTP ini terkait erat dengan Compensating Variation dan Equivalent Variation.

Dalam pengukuran nilai ekonomi, juga dapat menggunakan WTA yang didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktiknya, WTP lebih sering digunakan daripada WTA karena WTA merupakan bukan pengukuran yang lebih berdasarkan insentif, sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi 2004).

Penggunaan WTP dan WTA juga ditentukan oleh ada tidaknya hak

kepemilikan (property right) seseorang/individu terhadap sumberdaya alam.

Apabila individu yang menjadi responden dalam penelitian tidak memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, maka pengukuran yang

relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum WTP) untuk

memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila individu yang dijadikan responden memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka penggunaan keinginan menerima (WTA) adalah yang sangat relevan, karena menghitung/mengukur kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya barang/jasa yang dimiliki (Fauzi 2004).

Dengan menggunakan kurva permintaan, telaahan lebih lanjut mengenai WTP dan WTA dapat dilakukan. Menurut Djijono (2002), kurva permintaan dapat mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Selanjutnya, Djijono (2002) mengemukakan bahwa penetapan kurva permintaan sebagai jadwal keinginan konsumen untuk membayar sejumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Gambar 4 menggambarkan kurva permintaan dan hubungannya dengan keinginan membayar serta besarnya surplus konsumen.


(39)

24

Sumber : Djijono (2002). Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung

Gambar 4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP

Dari Gambar 4, terlihat bahwa total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang (Djijono 2000), atau merupakan ukuran keinginan membayar secara total (Hufschmidt 1987; James 1991). Hal ini karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. Dengan mengurangkan biaya produksi dari suatu barang yang dibeli konsumen (ONEM), maka diperoleh nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE (Djijono 2000) dan merupakan ukuran keinginan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt 1987). Dengan demikian, maka kesediaan membayar berada pada area di bawah kurva permintaan (Munangsihe 1993).

Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu barang/jasa dan kesediaan untuk membayar (Djijono 2000). Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Dengan demikian, maka secara sederhana surplus


(40)

konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (NRE).

2.8. Analisis Biaya Perjalanan

Travel CostMethode (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua

untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaaan terhadap rekreasi di alam terbuka, seperti memancing, berburu, dan hiking (Fauzi 2004).

Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi, misalnya untuk menyalurkan hobi memancing atau berekreasi di pantai, seseorang akan mengorbankan biaya dalam bentuk waktu dan uang untuk mendatangi tempat tersebut. Dengan mengetahui pola

ekspenditure dari konsumen ini, maka akan dapat dikaji barapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan.

Dengan demikian, menurut Fauzi (2004) metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari : (i) perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi; (ii) penambahan tempat rekreasi baru; (iii) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; dan (iv) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengatahui nilai kegunaan dari

sumberdaya alam melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang

dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai

proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut.

Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya bersifat dapat dipisahkan (separable). Artinya, fungsi permintaan dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lokasi yang menjadi obyek penelitian tidak dipengaruhi (independent) oleh permintaan kegiatan rileks lainnya, seperti menonton televisi, dan belanja atau shopping (Fauzi 2004).

Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu : (i) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (ii) pendekatan individual. Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif lebih banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survai. Dalam teknik ini, tempat rekreasi pantai dibagi dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per


(41)

26

tahun untuk memperoleh data kunjungan per seribu penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), maka akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata (Fauzi 2004).

TCM berdasarkan pendekatan individual menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survai di lapangan. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survai dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode TCM dengan pendekatan individu adalah hasil yang diperoleh relatif akurat daripada metode zonasi (Fauzi 2004).

Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haab dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), antara lain : (i) biaya perjalanan

dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu

perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel).

Selain itu, menurut Fauzi (2004), TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata).

Untuk melihat total biaya yang dikeluarkan wisatawan dan selanjutnya

untuk digunakan sebagai proxy dalam menentukan harga dari sumberdaya alam

(TWA Laut Pulau Weh), dilakukan melalui penetapan fungsi permintaan. Fungsi permintaan ditentukan dengan menggunakan teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana (Ordinary Least Square/OLS).

Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif (Fauzi 2004). Secara sederhana, fungsi permintaan di atas dapat ditulis sebagai berikut :


(42)

) , , , ,

( ij ij ij ij ij ij f c T Q S M

V = ......(1) dimana :

Vij = jumlah kunjungan oleh individu i ke tempat j

cij = biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j Tij = biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j

Qij = persepsi responden terhadap kualitas lingkungan lokasi yang dikunjungi

Sij = karakteristik substitusi yang mungkin ada di tempat lain

M = pendapatan dari individu i

Dari persamaan (1), dapat disimpulkan bahwa jumlah kunjungan ke suatu lokasi wisata dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : (i) biaya perjalanan; (ii) biaya waktu; (iii) persepsi terhadap kualitas lingkungan; (iii) karakteristik substitusi; dan (iv) pendapatan. Persamaan (1) merupakan model umum yang dipakai untuk menentukan jumlah kunjungan ke suatu lokasi wisata tertentu. Dalam aplikasinya, tidak semua faktor-faktor atau variabel perubah tersebut sesuai dengan lokasi yang diteliti.

Selanjutnya, agar lebih operasional, maka persamaan (1) di atas dibuat dalam fungsi linear dan fungsi logaritma, masing-masing dituliskan sebagai berikut :

Q

T

M

S

c

V

=

α

0

+

α

1

+

α

2

+

α

3

+

α

4

+

α

5 .....(2) dan

Q

T

M

S

c

V

ln

ln

ln

ln

ln

ln

=

α

0

+

α

1

+

α

2

+

α

3

+

α

4

+

α

5 ...(3)

atau 5 4 3 2 1 0 α α α α α

α c S M t Q

V = ...(4)

Setelah mengatahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus

konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi.

Surplus konsumen tersebut dapat diukur melalui formula :

1 2

2

α

N

CS

WTP

=

(untuk fungsi permintaan linear) ...(5) dan 1 2 α N CS

WTP≈ = (untuk fungsi permintaan logaritma)...(6) dimana :

CS = Consumer Surplus atau surplus konsumen


(43)

28

Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haad dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), yaitu : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel).

Selain itu, Fauzi (2004) juga mengemukakan bahwa oleh karena TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata).

2.9. Mode l Pengambilan Keputusan dengan Analisis Multikriteria

Model Pengambilan Keputusan Berbasis Multikriteria atau Multi-Criteria

Decision Making (MCDM) adalah teknik pengambilan keputusan multi-variabel

berbasis non-parametrik. Dalam operasionalnya, model MCDM menempatkan pembobotan sebagai faktor kunci, karena didalamnya melibatkan beragam kriteria atau variabel. Selain kriteria, MCDM juga melibatkan alternatif atau pilihan yang dapat diambil. MCDM dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan karena dalam pemilihan alternatif terbaik mempertimbangkan setiap kriteria atau variabel dari alternatif-alternatif tersebut (Fauzi 2005b).

MCDM terdiri atas beberapa jenis yang dibagi berdasarkan ada atau tidaknya informasi terhadap permasalahan yang dilihat. Secara skematis, pembagian MCDM disajikan dalam Gambar 5.

Sumber : Fauzi (2005b). Modeling with Multi-Criteria Decision Making


(44)

MCDM merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut sumberdaya alam. Pendekatan MCDM mengakomodasikan berbagai kriteria yang dihadapi, namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi (Rahardjo 2003). Secara umum, struktur MCDM disusun berdasarkan matrik seperti Tabel 3 (Fauzi dan Anna 2001).

Tabel 3. Matrik Keputusan MCDM

Kriteria

C1 C2 C3 .. Cn

Alternatif W1 W2 W3 .. Wn

A1 a11 a12 a13 .. a1n

A2 a21 a22 a23 .. a2n

A3 a31 a32 a33 .. a3n

.. .. .. .. .. ..

.. .. .. .. .. ..

Am am1 am2 am3 .. amn

Keterangan :

Ai (i=1,2,3,....m) : alternatif pilihan yang ada

Cj (j=1,2,3,....n) : kriteria dengan bobot Wj

a12 (i=1...m; j=1...n) : pengukuran keragaan dari satu alternatif Ai berdasarkan

kriteria Cj

Menurut Fauzi (2005b), operasionalisasi MCDM terdiri atas tiga tahapan berikut, yaitu :

1). Menentukan kriteria dan alternatif yang relevan atau sesuai

2). Menentukan pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan alternatif 3). Memproses nilai numerik menjadi alternatif terbaik

Secara skematis, proses pengambilan keputusan dengan Metode MCDM digambarkan sebagai berikut :


(45)

30

Sumber : Rahardjo (2003). Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu

Gambar 6. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan dengan Metode MCDM

Berdasarkan Gambar 6, analisis MCDM dimulai dengan menetapkan alternatif keputusan yang mungkin akan diambil. Selanjutnya, analisis memerlukan penetapan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai pemilihan alternatif tersebut di atas. Setiap kriteria pada alternatif keputusan tertentu akan mendapatkan nilai skor tertentu pula.

Kemudian, pada setiap kriteria, seorang pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang dibandingkan dengan kriteria yang lain berdasarkan pertimbangan penting atau tidaknya kriteria tersebut menjadi penilai di dalam pengambilan keputusan. Tahapan ini disebut juga sebagai tahapan preferensi kriteria atau pembobotan kriteria, yang mana jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu (W1, W2, W3,…., Wn =1).


(46)

Tahapan pokok di dalam analisis MCDM disebut sebagai tahapan fungsi agregasi (aggregation function). Tahapan ini merupakan perhitungan matematis untuk memberikan penilaian akhir terhadap setiap alternatif keputusan dengan rumus matematis tertentu. Fungsi agregasi yang digunakan di dalam penelitian

ini adalah Weighted Sum Methode (WSM).

Dengan menggunakan WSM sebagai fungsi agregasi, akan diperoleh nilai akhir dari setiap alternatif keputusan. Besaran nilai akhir dari setiap alternatif keputusan tersebut merupakan dapat digunakan untuk menentukan prioritas dari berbagai alternatif yang ada.


(47)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama dua minggu, mulai 6 sampai dengan 15 Agustus 2005. Waktu tersebut seluruhnya digunakan untuk pengumpulan data primer di lapangan atau lokasi TWA Laut Pulau Weh. Pengumpulan data sekunder dilakukan sebelum dan sesudahnya di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Bogor, dan Jakarta.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah TWA Laut Pulau Weh, berada di Kelurahan Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peta wilayah administrasi Kota Sabang dan lokasi penelitian disajikan dalam Lampiran 2.

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian ekonomi TWA Laut Pulau Weh adalah metode deskriptif. Digunakannya metode tersebut menurut Nazir (1983) adalah untuk mendapatkan realitas dan kebenaran pada kawasan tersebut, sehingga dapat memberikan gambaran dari kondisi kekiniannya (current condition).

Nazir (1983) memberikan pengertian metode deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Adapun tujuan penggunaannya adalah untuk memberikan deskripsi, gambaran atau fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik, dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan, penelitian deskriptif dibagi atas beberapa jenis, salah satunya adalah metode survai. Lebih lanjut, Nazir (1983) mendefinisikan metode survai sebagai kegiatan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual. Metode ini membedah serta mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.


(1)

147

Lampiran 9. Kesesuaian Kondisi Sarana dan Prasarana di TWA Laut Pulau

Weh dengan Standar Sarana dan Prasarana Parawisata Alam

Sarana /Prasarana Ya Tidak Keterangan Akomodasi

a. Pondok Wisata Alam/Pondok Apung v

b. Bumi Perkemahan v

c. Karava n v

d. Penginapan v

e. Fasilitas Akomodasi

- Ruang pertemuan v

- Ruang makan/minum v

- Fasilitas bermain anak v

- Gudang v

f. Fasilitas Pelayanan Umum dan Kantor

- Pelayanan Informasi v

- Pelayanan Telekomunikasi v

- Pelayanan Administrasi v

- Pelayanan Angkutan v

- Pelayanan Penukaran Uang v

- Pelayanan Cucian v

- Telepon Umum v

- Musholla v

- Poliklinik/Pos P3K v

- Menara Pengawas v

- Tempat sampah v

- Kantor v

- Mess karyawan v

1

- Pemadam kebakaran v

Rumah Makan dan Minuman

a. Restoran v

b. Kedai v

2

c. Kios-kios makanan/minuman v

3 Wisata Tirta v

4 Wisata Budaya v Tugu 0 Kilometer

5 Angkutan Umum v Jarang sekali

6 Kios Cinderamata v

7 Jalan

a. Jalan utama v

b. Jalan cabang v

c. Jalan setapak v

d. Jalan patroli v

e. Jalan pengaman v

8 Jembatan v

9 Areal Parkir v

10 Jaringan Listrik v

11 Jaringan Air Minum v

12 Jaringan Telepon v Seluler

13 Jaringan Drainase/Saluran v

14 Sistem Pembuangan Limbah v

15 Dermaga Pelabuhan Tambat v

16 Helipad v

Jumlah 18 25


(2)

148

Lampiran 10. Hasil Perhitungan Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dengan Menggunakan software Sanna

The decision problem with 3 alternatives and 12 criteria date 12/30/2005 - 9:26:34 PM

Input data set:

MAX MAX MIN MIN MAX MIN MIN MAX MAX MAX MAX MAX

PDRB Naker Konflik Persepsi Partisipasi Illegal Fishing Alam Keamanan Kebijakan Aksesibilitas ODTW Sar-Pras

SQ 2 1 1 1 3 2 1 3 2 1 3 1

MPA 3 2 1 1 2 1 1 3 2 2 3 2

PP 3 3 3 3 1 3 1 3 3 3 2 3

Weights 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300 0.08300

Modified input data set:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

PDRB Naker Konflik Persepsi Partisipasi Illegal Fishing Alam Keamanan Kebijakan Aksesibilitas ODTW Sar-Pras

SQ 2 1 2 2 3 1 0 3 2 1 3 1

MPA 3 2 2 2 2 2 0 3 2 2 3 2

PP 3 3 0 0 1 0 0 3 3 3 2 3

Weights 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333

Ideal 3 3 2 2 3 2 0 3 3 3 3 3

Basal 2 1 0 0 1 0 0 3 2 1 2 1

Normalised criterion matrix R:

MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX MAX

PDRB Naker Konflik Persepsi Partisipasi Illegal Fishing Alam Keamanan Kebijakan Aksesibilitas ODTW Sar-Pras u(alt) SQ 0.00000 0.00000 1.00000 1.00000 1.00000 0.50000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.37500 MPA 1.00000 0.50000 1.00000 1.00000 0.50000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.50000 1.00000 0.50000 0.58333 PP 1.00000 1.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 1.00000 1.00000 0.00000 1.00000 0.41667 Weights 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333 0.08333


(3)

149

Lanjutan Lampiran 10.

FINAL RANKING:

Ranking Alternative Utility

1 MPA 0.58333

2 PP 0.41667

3 SQ 0.37500

Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan

0.37500

0.58333 0.41667

0.00000 0.10000 0.20000 0.30000 0.40000 0.50000 0.60000 0.70000 SQ

MPA MD

Alternatif Kebijakan


(4)

150

Lampiran 11. Pemandangan Alam di Kawasan TWA Laut Pulau Weh

Sumber : Dokumen Pribadi

a. Pemandangan di Pantai Gapang

Sumber : Dokumen Pribadi


(5)

151

Sumber : Dokumen Pribadi

c. Monumen Tugu Kilometer Nol

Sumber : Bappekot Sabang


(6)

152

Sumber : Ramadian Bachtiar (FDC-IPB)

e. Hypothermal: Salah Satu Keunikan Alam Bawah Laut di Sekitar Perairan

Pulau Rubiah