Konsep dan Batasan METODOLOGI PENELITIAN

Beberapa kebijakan tersebut adalah : i kondisi status quo; ii penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai Marine Protected Area; dan iii pengembangan kawasan yang berorientasi pasar lokal, domestik, dan luar negari. Bobot dari berbagai alternatif W j , atau dalam hal ini bobot dari kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ditentukan sama nilainya untuk masing- masing kriteria. Menurut Rahardjo 2003, jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu. Pada setiap kriteria, pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang dibandingkan dengan kriteria yang lain berdasarkan pertimbangan penting atau tidaknya kriteria tersebut menjadi penilai di dalam pengambilan keputusan. Formula di atas persamaan 11 secara matrik dapat ditulis sebagai berikut :                             =             j ij i i j ij i W W W a a a a a a a a a P P P ... .. .. .. .. .. .. .. ... 2 1 2 1 2 22 21 12 11 2 1 Pendekatan WSM ini memerlukan persyaratan bahwa nilai setiap kriteria mempunyai satuan yang sama atau tidak mempunyai satuan sama sekali dimensionless. Pada perangkat lunak yang telah dikembangkan di beberapa tempat, proses menyamakan satuan ini dilakukan dengan cara pemberian bobot pembobotan pada setiap kriteria antara nol sampai dengan satu 0x1.

3.8. Konsep dan Batasan

1. Nilai ekonomi yang dihitung bukan merupakan nilai ekonomi total yang ada di TWA Laut Pulau Weh, tetapi hanya sebatas pada nilai ekonomi yang didekati berdasarkan biaya perjalanan yang keluarkan oleh wisatawan untuk mengunjungi kawasan tersebut. 2. TCM dengan dua pendekatan individual dan zonasi merupakan teknik penilaian ekonomi tidak langsung untuk nilai dari sumberdaya alam yang tidak dipasarkan. 3. Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh diperoleh berdasarkan proxy dari tingkat keinginan membayar WTP konsumen atau wisatawan yang terungkap melalui model yang dikembangkan fungsi permintaan. 4. Fungsi permintaan pengujung TWA Laut Pulau Weh ditentukan melalui teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana yang dibuat dalam bentuk fungsi logaritma. 5. Alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ditentukan berdasarkan kemungkinan penerapannya. 6. Prioritas kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ditentukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kriteria dan menggunakan metode penjumlahan bobot. 7. Dengan menggunakan metode penjumlahan bobot, setiap alternatif kebijakan akan memperoleh nilai utilitas berdasarkan skor dan bobot yang diberikan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai utilitas tertinggi merupakan altenatif kebijakan terbaik. 8. Kriteria-kriteria yang digunakan memiliki skor dan bobot. Skor ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan dan adjustment peneliti yang didasarkan pada kerangka teoritis yang ada. Bobot dari setiap kriteria diberikan nilai yang sama karena seluruh kriteria dianggap sama penting. Nilai total bobot dari seluruh kriteria harus sama dengan satu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 4.1.1. Sejarah Kota Sabang Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, Kota Sabang merupakan wilayah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dan dipimpin oleh seorang walikota. Kota Sabang sebagai pusat perdangangan dan pemerintahan sejak zaman pra-kemerdekaan sampai dengan pasca-kemerdekaan memiliki sejarah yang panjang. Kota Sabang di Pulau Weh yang terletak di ujung paling barat Negara Republik Indonesia dengan luas 153 km 2 , telah berkembang sebagai pelabuhan bebas sejak zaman penjajahan Belanda. Sejarah Pelabuhan Bebas Sabang dimulai tahun 1873 ketika Belanda berusaha untuk menjajah daerah Aceh. Dalam rangka usaha ini, pada tahun 1884, Belanda mulai merintis pendirian Pelabuhan Bebas Sabang dengan mendirikan sebuah “Kolen Station” di Balohan Pulau Weh yang selesai dibangun pada tahun 1895 oleh Firma “De Lange” yang berkedudukan di Batavia dengan konsesi dari Nederlansche Hendel Maatschappij NHM yang dilanjutkan dengan pendirian “Sabang Hoven”. Dalam tahun 1896 resmilah Pelabuhan Sabang diproklamirkan sebagai pelabuhan bebas Vrij HavenFreeport yang pengurusan pertamanya dilakukan oleh Firma “De Lange” dan Coy dengan nama “Aceh Assosiatie” selanjutnya pengurusan dan pengaturan administrasi pelabuhan bebas dilaksanakan oleh sebuah badan yang bernama Maatschappij Zeehaven en Kolenstation yang lazim disebut Sabang Maatschappij. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1910, pemerintah Belanda memberi hak “pacht” atau kontrak kepada Sabang Maatschappij untuk mengelola Pelabuhan Bebas Sabang untuk jangka waktu 50 tahun. Berdasarkan hak kontrak tersebut, pada dasarnya jangka waktu Pelabuhan Bebas Sabang baru akan berakhir dalam tahun 1960. Dengan pengertian lain, sesungguhnya Pelabuhan Bebas Sabang itu belum pernah ditutup secara resmi oleh pemerintah Belanda. Dengan masuknya Jepang ke Aceh pada tahun 1942, maka Pelabuhan Bebas Sabang terpaksa ditutup, karena terjadinya perang dunia kedua. Keinginan masyarakat untuk menghidupkan kembali Sabang sebagai pelabuhan bebas telah timbul sejak adanya sistem perdagangan barter 1957- 1962 antara daerah Aceh dengan Malaya Malaysia, tetapi tidak diperkuat oleh