Alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh untuk ditetapkan sebagai “MPA” diperkirakan akan menambah daya serap tenaga kerja. Hal ini
dikarenakan selain dapat menyerap tenaga kerja atas pelaksanaan kegiatan wisata sebagaimana dalam kondisi “SQ”, ditambah lagi dengan adanya
keharusan untuk melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan MPA. Berdasarkan asumsi tersebut, maka skor yang diberikan untuk kriteria ini dalam
alternatif kebijakan “MPA” adalah 2 lebih banyak. Kenchington 1988 diacu dalam Gubbay 1995 mengatakan bahwa dengan turut melibatkan masyarakat
setempat dalam pengelolaan MPA akan mengeliminasi konflik yang sering muncul karena daerah yang paling baik untuk konservasi adalah kawasan yang
memiliki nilai ekonomi paling tinggi. Daya serap tenaga paling banyak skor 3 diperkirakan akan terjadi dalam
alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh secara “PP”. Penentuan skor tersebut didasarkan pada asumsi bahwa dengan semakin berkembangnya
kegiatan wisata, akan membuka peluang usaha dan kesempatan kerja sehingga daya serap tenaga kerjanya juga akan semakin banyak paling banyak
dibandingkan dengan dua alternatif kebijakan sebelumnya SQ dan MPA.
4.2.11.3. Konflik Pemanfaatan
Konflik dapat terjadi antarkelompok masyarakat maupun antarindividu di dalam kelompok yang sama. Robbins 1993 diacu dalam Tadjudin 2000
memberikan definisi konflik sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau
tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya.
Tadjudin 2000 mengatakan bahwa menurut pengertian di atas, wujud konflik mencakup rentang yang sangat luas, mulai dari aspek ketidaksetujuan
yang samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Dengan demikian, maka intensitas konflik sebagaimana dikemukakan Robbins 1974 adalah sebagai
berikut : 1. Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau kesalahpahaman.
2. Mempertanyakan hal-hal yang berbeda 3. Mengajukan serangan-serangan verbal
4. Mengajukan ancaman dan ultimatum 5. Melakukan serangan fisik secara agresif
6. Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain
Dalam menentukan tipologi konflik pemanfaatan terhadap TWA Laut Pulau Weh guna penetapan skor dari masing-masing tingkatan konflik, maka intensitas
konflik di atas dibagi menjadi tiga kelas, yaitu : 1. Kategori ketiga, keempat, kelima, dan keenam digolongkan dalam konflik
terbuka, sehingga nilai skor yang diberikan adalah 3. 2. Kategori konflik pertama dan kedua merupakan konflik terselubung, sehingga
nilai skor yang diberikan adalah 2. 3. Skor 1 diberikan untuk kondisi dimana tidak ada konflik sama sekali.
Konflik pemanfaatan terhadap TWA Laut Pulau Weh terkait dengan pemanfaatan lokasi tersebut sebagai kegiatan pariwisata dan perikanan
tangkap. Hal ini karena terdapat di sekitar kawasan TWA tersebut terdapat pemukiman penduduk yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai
nelayan. Sebagian diantaranya juga berprofesi sebagai pedagang rumah makan, penjaja makanan, dan penjual minuman di lokasi TWA Laut Pulau Weh.
Kondisi saat ini SQ, kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh berlangsung dengan aman dan tertib. Tidak ada gesekan antara pihak-pihak
yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran wisatawan di lokasi dan hubungannya dengan masyarakat sekitar berlangsung
dengan baik dan saling menguntungkan mutualisme simbiosis. Wisatawan dapat menikmati keindahan dan panorama alam yang ada di
TWA laut Pulau Weh dengan tenang dan nyaman. Di lain pihak, penduduk sekitar mendapatkan keuntungan ekonomi dari wisatawan, karena barang
dagangannya dibeli oleh wisatawan. Dengan demikian, dalam kondisi “SQ” belum ada konflik yang timbul di TWA Laut Pulau Weh dan untuk kondisi tersebut
diberikan skor 1. Selanjutnya, dalam kondisi “MPA”, diperkirakan kondisinya tidak jauh
berbeda dengan “SQ”, karena pada dasarnya kedua kegiatan tersebut pariwisata dan perikanan dapat berlangsung secara bersama-sama. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Salm dan Clark 2000 diacu dalam Satria et al. 2002 yang menyatakan bahwa secara sosial, kawasan MPA dapat digunakan
untuk kegiatan rekreasi dan masyarakat lokal dapat merasakan manfaatnya dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. Berdasarkan asumsi tersebut, maka
tidak akan terjadi konflik pemanfaatan space di TWA Laut Pulau Weh, sehingga diberikan skor 1.
Untuk kondisi “PP”, dinamika yang tinggi dalam pelaksanaannya karena terkait dengan pengembangannya akan menimbulkan konflik dalam
pemanfaatannya. Diperkirakan konflik yang terjadi berupa pembatasan akses masuk penduduk sekitar ke area atau lokasi TWA, kebebasan untuk
memanfaatkan sumberdaya yang ada, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TWA, dan relokasi pemukiman penduduk di sekitar TWA. Kategori
konflik yang akan terjadi dalam kondisi yang demikian lebih mengarah kepada konflik terbuka, sehingga untuk skor dari alternatif kebijakan “PP” berdasarkan
kriteria ini adalah 3.
4.2.11.4. Persepsi Masyarakat