Tingkat Keinginan Membayar Willingness to Pay

digunakan dalam studi atau kajian sumberdaya pesisir di negara berkembang. Ruitenbeek 1991 diacu dalam Fauzi 2000 telah menggunakan pendekatan ini untuk menduga nilai mangrove dan hubungannya dengan perikanan di Irian Jaya Papua, Indonesia. Menurut Fauzi 2000, metode lainnya yang termasuk dalam pendekatan non-marked based adalah preventinve expenditure dan replacement cost. Preventinve expenditure menempatkan nilai sumberdaya alam dan lingkungan dari seseorang atau individu yang memiliki keinginan membayar untuk mencegah degradasi lingkungan atau untuk mengurangi pengaruh buruk terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Adapun dalam teknik replacement cost, nilai sumberdaya alam didekati dari biaya atau pengeluaran untuk restorasi sumberdaya alam. Sebagai contoh, berkurangnya produktivitas sumberdaya perikanan dapat ditunjukkan dari hilangnya hutan mangrove, sehingga dalam teknik ini, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kembali hutan mangrove yang hilang dapat dikonversikan sebagai sebuah pendugaan minimum dari manfaat yang dihasilkan sumberdaya Fauzi 2000.

2.7. Tingkat Keinginan Membayar Willingness to Pay

Munasinghe 1993 mengemukakan bahwa tersedia banyak macam teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik yang ada adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya alam. Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar Hufschmidt et al.1987. Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Selanjutnya, Pearce dan Moran 1994 mengemukakan bahwa kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah “bahan mentah” dalam penilaian ekonomi. Dalam memahami konsep nilai ekonomi untuk sumberdaya alam, tidak terlepas dari konsep keinginan membayar Willingness to PayWTP dan keinginan menerima Willingness to AcceptWTA. Hal ini berkaitan dengan definisi nilai ekonomi itu sendiri sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barangjasa. Menurut Fauzi 2004, dengan menggunakan pengukuran ini, maka nilai ekologis ekosistem akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barangjasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Lebih lanjut, Fauzi 2004 mengemukakan bahwa keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini terjadi karena perubahan harga atau perubahan kualitas sumberdaya alam. Dalam teori permintaan, konsep WTP ini terkait erat dengan Compensating Variation dan Equivalent Variation. Dalam pengukuran nilai ekonomi, juga dapat menggunakan WTA yang didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktiknya, WTP lebih sering digunakan daripada WTA karena WTA merupakan bukan pengukuran yang lebih berdasarkan insentif, sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia Fauzi 2004. Penggunaan WTP dan WTA juga ditentukan oleh ada tidaknya hak kepemilikan property right seseorangindividu terhadap sumberdaya alam. Apabila individu yang menjadi responden dalam penelitian tidak memiliki hak atas barangjasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum maximum WTP untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila individu yang dijadikan responden memiliki hak atas barangjasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka penggunaan keinginan menerima WTA adalah yang sangat relevan, karena menghitungmengukur kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya barangjasa yang dimiliki Fauzi 2004. Dengan menggunakan kurva permintaan, telaahan lebih lanjut mengenai WTP dan WTA dapat dilakukan. Menurut Djijono 2002, kurva permintaan dapat mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Selanjutnya, Djijono 2002 mengemukakan bahwa penetapan kurva permintaan sebagai jadwal keinginan konsumen untuk membayar sejumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Gambar 4 menggambarkan kurva permintaan dan hubungannya dengan keinginan membayar serta besarnya surplus konsumen. Sumber : Djijono 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung Gambar 4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP Dari Gambar 4, terlihat bahwa total bidang di bawah kurva permintaan OREM menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang Djijono 2000, atau merupakan ukuran keinginan membayar secara total Hufschmidt 1987; James 1991. Hal ini karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. Dengan mengurangkan biaya produksi dari suatu barang yang dibeli konsumen ONEM, maka diperoleh nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE Djijono 2000 dan merupakan ukuran keinginan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi Hufschmidt 1987. Dengan demikian, maka kesediaan membayar berada pada area di bawah kurva permintaan Munangsihe 1993. Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu barangjasa dan kesediaan untuk membayar Djijono 2000. Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Dengan demikian, maka secara sederhana surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga NRE.

2.8. Analisis Biaya Perjalanan