Pengaruh penambahan komponen fenolik teroksidasi terhadap karakteristik gel surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

(1)

i

PENGARUH PENAMBAHAN KOMPONEN FENOLIK TEROKSIDASI TERHADAP KARAKTERISTIK GEL SURIMI IKAN LELE DUMBO

(Clarias gariepinus)

IMA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

ii


(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Ima Wijayanti


(4)

(5)

v

ABSTRACT

IMA WIJAYANTI. Adding Effect of Phenolic Compound on the Gel Properties of Catfish (Clarias gariepinus) Surimi. Supervised by JOKO SANTOSO and AGOES M. JACOEB.

Catfish (Clarias gariepinus) has potential as raw material of surimi because the production is abundant. However, research is needed to enhance the gel strength of catfish surimi. The effect of leaching times on the proximate composition and gel properties of catfish surimi were studied. Three times of leaching produced better characteristics of the gel rather than leaching 1 and 2 times. Commercial tannic acid and tea leaf extract were added in producing surimi gel. Ethanol extracts from tea leaves powder 100 mesh size used in surimi since had higher total phenol content (47.34 mg/g) than 60 mesh. The effects of different oxidised phenolic compounds (tannic acid (K) and tea leaf extract (T) at different levels (0–0.50%) of protein content) on the properties of gels from catfish (Clarias gariepinus) surimi were investigated. Gels with addition of 0.50% tannic acid and 0.4% tea extract increased in WHC by 27.27 % and 20.5% and decreased in EMC by 34.55% and 44.85% respectively. The highests deformation, gel strength and breaking force had been reached by 0.5% tannic acid and 0.4% tea leaf extract. Whiteness decreased slightly with the increasing of phenolic concentration. Tannic acid 0.5% and tea leaf extract 0.4% gave the best textural properties on gel surimi. Result of sensory evaluation indicated that addition of oxidised phenolic compounds had positive impact in folding test and teeth cutting test however there were no effect in taste of surimi gels. Gels with addition of all oxidised phenolics exhibited fibrillar structures which were more compact in compared to control. Optimum concentration of phenolic compound to enhance catfish surimi gel are 0.5 % for tannic acid and 0.4% for tea leaf extract.


(6)

(7)

vii RINGKASAN

IMA WIJAYANTI. Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO and AGOES M. JACOEB.

Budidaya lele cukup mudah sehingga terus dikembangkan di Indonesia dan termasuk komoditas yang dikembangkan pada kebijakan minapolitan. Bertambahnya jumlah ikan lele hasil budidaya bisa menjadi pilihan sebagai bahan baku bagi produk olahan hasil perikanan misalnya surimi. Teknologi pengolahan surimi dari bahan baku ikan air tawar masih terus dikembangkan karena kualitas gel yang dihasilkan masih rendah. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi telah dikaji pada beberapa spesies ikan laut, namun demikian penggunaannya pada ikan air tawar belum pernah dilakukan. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi ikan lele diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas gel. Penelitian ini bertujuan memperoleh teknologi pembuatan surimi dari ikan lele dengan penambahan komponen fenol teroksidasi untuk peningkatan kekuatan gel. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu penentuan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi, ekstraksi fenol dari daun teh serta penentuan jenis fenol dan konsentrasi yang ditambahkan pada surimi lele.

Frekuensi pencucian yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1x, 2x, 3x dan 4x. Frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap komposisi kimia dan karakteristik gel surimi lele. Frekuensi pencucian meningkatkan kandungan air, menurunkan kadar protein, lemak dan mineral surimi lele. Nilai WHC dan deformasi meningkat seiring bertambahnya frekuensi pencucian. Kekuatan gel dan pH cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya frekuensi pencucian meskipun secara statistika tidak berbeda nyata. Pencucian 3 kali memberikan hasil karakteristik gel lebih baik dibandingkan pencucian 1 dan 2 kali.

Ekstraksi fenol dilakukan pada daun teh kering yang telah dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran berbeda (100 mesh dan 60 mesh). Ekstraksi dengan kandungan total fenol terbaik akan diaplikasikan pada surimi lele. Kandungan total fenol terbaik dihasilkan pada ekstrak dari serbuk dengan ukuran 100 mesh yaitu 47,34 mg tanin/g bubuk kering atau setara dengan 4,73%.

Secara umum penambahan komponen fenol teroksidasi baik asam tanat komersial maupun ekstrak fenol daun teh berpengaruh nyata terhadap karakteristik gel dibanding kontrol kecuali pada nilai pH. Penambahan asam tanat teroksidasi dengan konsentrasi 0,5% dan ekstrak teh teroksidasi 0,4% memberikan perlakuan terbaik dibandingkan perlakuan yang lain. Konsentrasi fenol teroksidasi berpengaruh nyata terhadap nilai protein larut garam (PLG) meskipun tidak terdapat interaksi. Nilai PLG menurun seiring meningkatnya konsentrasi fenol teroksidasi. Penambahan asam tanat 0,5% dan ekstrak teh 0,4% meningkatkan WHC masing-masing 27,27% dan 20,5% dan menurunkan EMC masing-masing 34,55% dan 44,85%. Nilai deformasi, kekuatan gel dan break force tertinggi pada gel surimi yang ditambah asam tanat 0,5% dan ekstrak teh 0,4%. Nilai whiteness kamaboko lele menurun seiring dengan penambahan konsentrasi fenol teroksidasi. Penambahan asam tanat komersial (K) menurunkan derajat putih 3,9% sampai 8,5% pada konsentrasi 0,1-0,5%. Penurunan derajat


(8)

viii

putih lebih rendah pada kamaboko dengan penambahan ekstrak fenol daun teh yaitu 1,5-8,3%. Penambahan asam tanat dan ekstrak fenol teh teroksidasi berpengaruh nyata pada uji lipat dan uji gigit gel surimi lele, namun tidak berpengaruh nyata pada tingkat kesukaan (hedonic scale). Gel dengan penambahan fenol teroksidasi baik pada asam tanat komersial maupun ekstrak teh menunjukkan struktur serat yang lebih kompak dan lebih halus dibanding kontrol. Gel dengan penambahan asam tanat teroksidasi (K) dan ekstrak teh (T) pada konsentrasi 0,4% dan 0,5% menunjukkan struktur mikro yang terbaik.

Penambahan senyawa fenol teroksidasi pada surimi lele berpengaruh nyata terhadap karakteristik gel surimi lele dibandingkan kontrol. Konsentrasi optimum yang dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik gel surimi lele adalah 0,5% pada asam tanat dan 0,4% pada ekstrak teh.


(9)

ix

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

xi

PENGARUH PENAMBAHAN KOMPONEN FENOLIK TEROKSIDASI TERHADAP KARAKTERISTIK GEL SURIMI IKAN LELE DUMBO

(Clarias gariepinus)

IMA WIJAYANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains

pada Program Studi Teknologi Hasil perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

xii


(13)

xiii

Judul Tesis : Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Nama : Ima Wijayanti

NRP : C351100011

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Joko Santoso, M.Si Dr.Ir.Agoes M.Jacoeb,Dipl-Biol Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana, Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr.Tati Nurhayati, S.Pi,M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(14)

(15)

xv PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang berjudul Pengaruh Penambahan Komponen Fenolik Teroksidasi terhadap Karakteristik Gel Surimi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Terima kasih atas ilmu yang Bapak berikan, semoga bermanfaat bagi saya pribadi maupun institusi tempat saya bekerja.

2. Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberi masukan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.

3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku ketua program S2 Teknologi Hasil Perairan IPB dan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas masukan dan saran untuk perbaikan penulisan tesis.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2.

5. Seluruh staf pengajar program studi Teknologi Hasil Perairaan FPIK IPB, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang diberikan selama penulis studi S2.

6. Suamiku tercinta, Setianto yang telah sabar serta penuh pengertian dan kasih sayang mendukung penulis untuk melanjutkan tugas belajar meskipun harus jauh dari keluarga. Putri kami Delisha yang menjadi semangat penulis untuk segera menyelesaikan studi.

7. Ibu (Purwati) dan Ayah (Sugiharto) serta adik-adik (Priyo, Nana, Anto dan Vivi), terima kasih untuk doa yang selalu mengiringi dan kasih sayang yang tidak terputus serta dukungan selama ini.

8. Ibu mertua (Darmi), Bapak mertua (Suwardi) dan adik Nia, terima kasih atas doa dan dukungannya serta telah menjaga putri kami dengan penuh kasih sayang selama penulis menjalankan studi.

9. Prof. Dr. Ir. YS. Darmanto, M.Sc dan Dr. Ir. Tri Winarni, M.Sc (Ketua dan Sekretaris Laboratorium THP FPIK UNDIP) atas segala dukungan selama penulis penelitian serta seluruh staf pengajar THP FPIK UNDIP atas doa dan motivasinya.

10. Vina, Erwin, Ibnu, Ruth, Selfi dan mbak Widyaningsih yang membantu penulis selama penelitian di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan UNDIP Semarang.


(16)

xvi

11. Mbak Lastri, mbak Dini, Bu Ema dan mas Ipul terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

12. Seluruh staf administrasi Teknologi Hasil Perairan atas kerjasama dan bantuan yang diberikan.

13. Teman-teman sekelas THP 2010 (Mbak Yenni, Mbak Nani, Vivi, Tyas, Fikri, Wiwit, Dewi, Eka, Tia, Pak Agus, Kak Leny dan Usi Kristin) terima kasih atas kebersamaan kita selama ini, semoga jalinan silaturahmi kita tetap terjaga.

Penulis menyadari masih ada kekurangan di dalam penyusunan tesis ini, meskipun demikian semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2012


(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jepara, pada tanggal 5 April 1981. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Sugiharto dan Ibu Purwati. Pada tahun 1999, setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Jepara, penulis diterima di Universitas Diponegoro melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Diponegoro pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2004.

Pada tahun 2005 sampai dengan sekarang (tahun 2012), penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan FPIK UNDIP Semarang. Pada tahun 2010, penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (tugas belajar) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Hipotesis Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ikan Lele (Clarias gariepinus)... 7

2.2 Struktur Daging Ikan... 8

2.3 Protein Ikan ... 9

2.3.1 Sarkoplasma ... 9

2.3.2 Protein miofibrilar... 10

2.3.2.1 Miosin ... 11

2.3.2.2 Aktin... 12

2.3.3 Stroma ... 12

2.4 Sifat Fungsional Protein... 13

2.4.1 Pembentukan gel/gelasi (gelation)... 14

2.4.2 Water holding capacity (WHC) ... 16

2.5 Surimi... 16

2.5.1 Standar kualitas surimi... 18

2.6 Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Surimi ... 20

2.6.1 Spesies... 20

2.6.2 Kematangan seksual atau musim ... 20

2.6.3 Kesegaran atau rigor ... 21

2.6.4 Faktor pengolahan... 22

2.7 Bahan Penguat Gel pada Surimi ... 22

2.7.1 Air ... 23

2.7.2 Pati ... 23

2.7.3 Protein aditif... 24

2.7.4 Hidrokoloid ... 25

2.7.5 Senyawa kimia food grade... 25

2.8 Texture Profile Analysis... 26

2.9 Senyawa Fenolik ... 29

2.9.1 Metabolisme senyawa fenol... 31

2.9.2 Asam tanat... 32

2.10 Oksidasi Senyawa Fenolik ... 33

2.10.1 Oksidasi enzimatik komponen fenolik... 33

2.10.2 Auto oksidasi komponen fenolik (non enzimatik) ... 35


(20)

xx

2.11 Daun Teh ... 39

3 BAHAN DAN METODE... 41

3.1 Waktu dan Tempat... 41

3.2 Bahan dan Alat ... 41

3.2.1 Bahan ... 41

3.2.2 Alat ... 41

3.3 Tahapan Penelitian ... 42

3.3.1 Persiapan bahan ... 42

3.3.2 Penelitian tahap 1... 42

3.3.3 Penelitian tahap 2... 43

3.3.4 Penelitian tahap 3... 44

3.4 Persiapan Gel (Kamaboko)... 44

3.5 Prosedur Analisis ... 48

3.5.1 Analisis fisik ... 48

(1) Analisis tekstur (Balange 2009)... 48

(2) Derajat putih (Lanier dan Martin 1991)... 48

3.5.2 Analisis kimia ... 49

(1) Kadar air (AOAC 2005)... 49

(2) Kadar protein (AOAC 2005) ... 49

(3) Kadar lemak (AOAC 2005) ... 50

(4) Kadar abu (AOAC 2005) ... 50

(5) Expressible moisture content(Benjakul et al.2001) ... 51

(6) pH (suzuki 1981)... 51

(7) PLG (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Wahyuni 1992)... 51

(8) Water holding capacity (Honikel dan Hamm 1994)... 52

3.5.3 Analisis sensorik/organoleptik ... 52

(1) Uji organoleptik ikan segar... 52

(2) Uji lipat ... 53

(3) Uji gigit ... 53

(4) Uji kesukaan... 54

3.5.4 Analisis mikrostruktur (Balange dan Benjakul 2009a) ... 54

3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 54

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Pengaruh Frekuensi Pencucian terhadap Kualitas Surimi Lele... 57

4.1.1 Komposisi kimia... 57

4.1.2 pH ... 61

4.1.3 Water holding capacity dan expressible moisture content... 64

4.1.4 Protein larut garam ... 66

4.1.5 Deformasi dan kekuatan gel ... 67

4.1.6 Sensorik ... 69

4.2 Ekstrak Fenol dari Daun Teh... 70

4.3 Pengaruh Penambahan Senyawa Fenol Teroksidasi pada Surimi Lele ... 72

4.3.1 Nilai organoleptik dan komposisi kimia ikan segar ... 73

4.3.2 pH ... 74

4.3.3 Protein larut garam ... 75


(21)

xxi

4.3.5 Karakteristik gel ... 79

4.3.6 Texture profile analysis... 83

4.3.7 Derajat putih... 86

4.3.8 Sensorik... 89

4.3.9 Scanning electron microscope(SEM) ... 91

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 95

5.1 Simpulan ... 95

5.2 Saran... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Standar mutu surimi berdasar pengujian kamaboko ... 19 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku ... 19 3 Komposisi polifenol pada teh hijau dan teh hitam (% berat/berat)... 40 4 Lembar pengujian uji lipat ... 53 5 Lembar pengujian uji gigit ... 53 6 Lembar penilaian uji kesukaan/hedonik... 54 7 Komposisi kimia ikan lele segar ... 58 8 Komposisi kimia surimi dengan frekuensi pencucian berbeda... 59 9 Komposisi kimia kamaboko dengan frekuensi pencucian berbeda ... 59 10 Nilai water holding capacitydan expressible moisture contentgel surimi

dengan frekuensi pencucian yang berbeda... 65 11 Nilai deformasi dan kekuatan gel (gel strength) surimi lele ... 68 12 Kadar air, rendemen dan total fenol serbuk daun teh ... 71 13 Nilai organoleptik ikan lele segar ... 73 14 Komposisi kimia ikan segar dan surimi lele ... 74 15 Komposisi asam amino ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 77 16 Nilai water holding capacity(WHC) dan expressible moisture content

(EMC) gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dan

konsentrasi yang berbeda ... 78 17 Nilaitexture profile analysis(TPA) gel surimi lele dengan penambahan

jenis fenol teroksidasi dan konsentrasi berbeda... 84 18 Nilai warna gel surimi dengan dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dan konsentrasi berbeda ... 87 19 Nilai uji lipat, uji gigit dan tingkat kesukaan terhadap gel surimi dengan


(24)

(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)... 7 2 Molekul miosin (King 2011)... 11 3 Kurva texture profile analysisGF Texturometer(Bourne 2002)... 27 4 Beberapa jalur biosintesis grup utama senyawa fenol (Michalak 2006) ... 32 5 Oksidasi sebuah ortho-difenol menjadi kuinon (Prigent 2005 diacu dalam

Balange 2009) ... 34 6 Mekanisme kresolase dan katekolase dari polifenol oksidase (Matheis dan

Whitaker 1984 diacu dalam Balange 2009)... 35 7 Oksidasi 1,4-dihidroksibenzena menjadi -kuinon (Vermerris dan Nicholson

2006)... 35 8 Auto oksidasi katekol membentuk dimer yang berbeda (Vermerris dan

Nicholson 2006) ... 36 9 Mekanisme reaksi fenol teroksidasi dengan protein (Kroll dan Rawel 2001) 37 10 Mekanisme monodentatedan multidentate(Haslam 1989 diacu dalam

Balange 2009) ... 38 11 Diagram alir penelitian tahap pertama ... 45 12 Diagram alir penelitian tahap kedua ... 46 13 Diagram alir penelitian tahap ketiga ... 47 14 Nilai pH surimi dengan frekuensi pencucian berbeda ... 63 15 Nilai pH kamaboko dengan frekuensi pencucian berbeda... 63 16 Nilai protein larut garam gel surimi dengan pencucian berbeda ... 67 17 Nilai uji lipat gel surimi lele dengan frekuensi pencucian berbeda ... 69 18 Nilai uji gigit gel surimi lele dengan frekuensi pencucian berbeda... 70 19 Nilai pH gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi dengan

konsentrasi berbeda ... 75 20 Nilai protein larut garam gel surimi dengan penambahan jenis fenol

teroksidasi dengan konsentrasi berbeda ... 76 21 Nilai deformasi gel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 80 22 Kekuatan gel kamaboko dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 81 23 Nilai breaking forcegel surimi dengan penambahan jenis fenol teroksidasi

dengan konsentrasi berbeda ... 82 24 Scanning electron microscopy(SEM) gel surimi dengan penambahan


(26)

(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Score sheetorganoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) ...109 2 a. Analisis ragam kadar air surimi... 111 b. Uji beda kadar air surimi ... 111 c. Analisis ragam kadar air kamaboko ... 112 d. Uji beda kadar air kamaboko ... 112 3 a. Analisis ragam kadar protein surimi... 113 b. Uji beda kadar protein surimi... 113 c. Analisis ragam kadar protein kamaboko ... 114 d. Uji beda kadar protein kamaboko ... 114 4 a. Analisis ragam kadar lemak surimi ... 115 b. Analisis ragam kadar lemak kamaboko ... 115 c. Uji beda kadar lemak kamaboko ... 115 5 a. Analisis ragam kadar abu surimi ... 116 b. Uji beda kadar abu surimi ... 116 c. Analisis ragam kadar abu kamaboko... 116 6 a. Analisis ragam kadar karbohidrat surimi ... 117 b. Analisis ragam kadar karbohidrat kamaboko... 117 7 a. Analisis ragam pH surimi... 118 b. Analisis ragam pH kamaboko ... 118 c. Uji beda pH kamaboko ... 118 8 a. Analisis ragam WHC kamaboko... 119 b. Uji beda WHC kamaboko ... 119 9 a. Analisis ragam expressible moisture content (EMC) kamaboko ... 120 b. Uji beda expressible moisture content (EMC) kamaboko ... 120 10 Analisis ragam protein larut garam ... 120 11 a. Analisis ragam deformasi kamaboko ... 121 b. Uji beda deformasi kamaboko... 121 12 Analisis ragam kekuatan gel kamaboko... 121 13 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji gigit ... 122 b. Uji beda Multiple Comparisonpada uji gigit kamaboko ... 122 14 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji lipat ... 123 b. beda Multiple Comparisonpada uji lipat kamaboko... 123 15 Kurva standar total fenol (mg/kg asam tanat)... 124 16 Uji t kadar air serbuk teh dengan ukuran yang berbeda ... 124


(28)

xxviii

17 Uji t rendemen ekstrak fenol serbuk teh dengan ukuran yang berbeda ...125 18 Uji t kandungan total fenol serbuk teh dengan ukuran yang berbeda...125 19 Analisis ragam pH kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...126 20 a. Analisis ragam protein larut garam kamaboko dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...127 b. Uji beda protein larut garam kamaboko pada level konsentrasi ...127 21 a. Analisis ragam WHC kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...128 b. Uji beda WHC kamaboko dengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...128 22 a. Analisis ragam EMC gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...129 b. Uji beda EMC gel surimidengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ...129 23 a. Analisis ragam deformasi gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...130 b. Uji beda deformasi kamaboko pada level konsentrasi... 130 24 a. Analisis ragam gel strengt gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...131 b. Uji beda gel strength gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...131 25 a. Analisis ragam break forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ...132 b. Uji beda break forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...132 26 a. Analisis ragam hardnessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...133 b. Uji beda hardnessgel surimi pada level konsentrasi...133 27 Analisis ragam cohesivenessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...134 28 a. Analisis ragam springinessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...135 b. Uji beda springinessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...135 29 a. Analisis ragam adhesive forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ...136 b. Uji beda adhesive forcegel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...136 30 a. Analisis ragam gumminessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol

teroksidasi yang berbeda...137 b. Uji beda gumminessgel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol


(29)

xxix

31 a. Analisis ragam Whiteness gel surimi dengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ... 138 b. Uji beda Whiteness gel surimi pada level konsentrasi ... 138 32 a. Analisis ragam Lightness(L*) gel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ... 139 b. Uji beda Lightness(L*)gel surimi pada level konsentrasi ... 139 33 a. Analisis ragam redness/greennes(a*) gel surimi dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda... 140 b. beda redness/greennes(a*) gel surimi dengan jenis dan konsentrasi

fenol teroksidasi yang berbeda ... 140 34 a. Analisis ragam yellowness/blueness(b*) gel surimi dengan jenis dan

konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda... 141 b. Uji beda yellowness/blueness(b*) gel surimi pada level konsentrasi... 141 35 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji lipat gel surimi dengan

jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ... 142 b. Uji beda Multiple Comparison pada uji lipat gel surimi ... 143 36 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji gigit gel surimi dengan

jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda ... 145 b. Uji beda Multiple Comparison pada uji gigit gel surimi... 146 37 a. Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji kesukaan gel surimi dengan


(30)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi perikanan nasional pada tahun 2009 mencapai 9,8 juta ton dan hingga akhir tahun 2010 ditaksir mencapai 10,83 juta ton atau mencapai 100,56% dari target sebesar 10,76 juta ton. Sektor perikanan budidaya memberi kontribusi peningkatan terbesar yakni 50,55% (KKP 2011). Lele termasuk dari 10 jenis komoditas unggulan yang dibudidayakan dan termasuk komoditas yang dikembangkan pada kebijakan minapolitan (Ditjen Perikanan Budidaya KKP 2009).

Meningkatnya jumlah ikan lele hasil budidaya diharapkan dapat menjadi alternatif sumber protein hewani. Permasalahan sekarang dan masa depan adalah kurangnya alternatif pemanfaatan ikan lele hasil budidaya. Keadaan ini akan mengakibatkan adanya penahanan panen atau penundaan panen bagi sebagian petani atau pengusaha budidaya ikan, menunggu giliran pemasaran bagi ikan segarnya (Hustiany 2005). Bertambahnya jumlah ikan lele hasil budidaya bisa menjadi pilihan sebagai bahan baku bagi produk olahan hasil perikanan. Dengan demikian ikan tersebut tidak hanya dijual segar namun dapat diolah lebih lanjut menjadi produk diversifikasi sehingga dapat memberikan nilai tambah.

Salah satu diversifikasi produk olahan hasil perikanan adalah surimi. Surimi adalah lumatan daging ikan, yang dicuci untuk menghilangkan sebagian besar lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma serta distabilkan dalam kondisi beku dengan menambahkan cryoprotectant (Balange dan Benjakul 2009a). Surimi adalah protein miofibril yang distabilisasi dan diperoleh dari daging ikan yang telah dibuang tulangnya, dicuci dengan air serta dicampur dengan cryoprotectant. Surimi merupakan produk intermediate yang digunakan dalam berbagai variasi produk, mulai dari produk kamaboko tradisional di Jepang sampai sebagai substitusi atau pengganti shellfish/kerang-kerangan (Park dan Morrissey 2000).

Bahan baku surimi biasanya dari spesies ikan laut yang berdaging putih,

misal ikan Alaska pollack (Theragra chalcogramma), Pacific whiting (Miraculous productus), threadfin bream (Nemipterus japonicus), mata besar


(31)

2

(Priachantus tayenus) dan beloso (Saurida tumbil). Namun spesies-spesies tersebut mulai mengalami overfishing. Produksi ikan air tawar cukup besar dengan nilai komersialnya masih rendah. Oleh karena itu ikan air tawar berpotensi sebagai bahan baku surimi. Teknologi pengolahan surimi dari bahan baku ikan air tawar masih terus dikembangkan karena kualitas gel yang dihasilkan masih rendah.

Wang et al. (2001) melaporkan bahwa pembentukan gel surimi dari

Japannese common carp lebih rendah dibandingkan dengan surimi dari Alaska pollack. Demikian pula pada surimi dari silver carp, grass carp dan common carp(Luo et al.2001). Namun demikian beberapa perlakuan, misalnya pencucian dan penggunaan bahan tambahan (TGase, bovine plasma, protein kedelai, putih telur), dapat meningkatkan kualitas gel kamaboko pada Japannese common carp. Li dan Xia (2010) membuktikan kekuatan gel ikan mas (silver carp) dapat ditingkatkan dengan penambahan kitosan. Rendahnya kualitas gel surimi dari ikan tawar juga disebabkan adanya fenomena modori oleh enzim endogenous serin proteinase. Penambahan soybean tripsin inhibitorpada crucian carpdapat menurunkan aktivitas enzim tersebut (Jiang et al. 2006). Hossain et al. (2004) menyatakan bahwa surimi dari silver carp dan pangasius (ikan patin) dapat diproduksi dengan penambahan 0,1% NaCl pada proses pencucian dalam waktu 10 menit. Gel yang kuat dapat diperoleh dengan penambahan garam 3% serta dengan pemanasan dua tahap.

Usaha untuk meningkatkan kekuatan gel surimi banyak dilakukan. Penambahan zat pengoksidasi pada proses pencucian dapat meningkatkan kualitas gel surimi terutama pada ikan dengan kualitas rendah (Patcharat et al. 2006). Penggunaan temperatur settingmedium (25 °C) pada beberapa spesies ikan tropis dapat meningkatkan kekuatan gel ketika waktu setting dinaikkan (Benjakul et al.

2003). Selain itu berbagai bahan ditambahkan untuk memperbaiki kekuatan gel pada surimi. Penambahan gelatin ikan dapat meningkatkan kualitas gel Alaska Pollock(Briones et al. 2009); isolat protein kedelai 10% meningkatkan kekuatan gel silver carp yang diinkubasi pada suhu 50 °C selama 60 menit (Luo et al.

2008); penambahan kalsium klorida 0,4% meningkatkan sifat mekanis gel pada


(32)

3

gel surimi cumi-cumi yang berkualitas rendah (Otero et al. 2010); pada konsentrasi 1% konjak glukomanan dapat mengurangi denaturasi protein surimi

grass carpyang disimpan pada -18 °C (Xiong et al. 2009).

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki satu atau lebih grup hidroksil yang terikat secara langsung pada sebuah cincin aromatik fenol dalam cincin karbon. Meskipun demikian grup hidroksil fenol dipengaruhi oleh keberadaan cincin aromatik. Karena merupakan cincin aromatik, hidrogen dari hidroksil fenolik bersifat labil dan membuat fenol bersifat asam lemah. Senyawa polifenol didefinisikan sebagai senyawa yang memiliki grup hidroksil fenolik lebih dari satu yang melekat pada satu atau lebih cincin benzena (Vermerris dan Nicholson 2009). Polifenol terdistribusi luas sebagai komponen minor tetapi berfungsi penting pada jaringan tanaman, berada pada jaringan yang keras atau kaku misalnya pada sekam dari butir-butir sereal, dinding sel buah (apel, anggur), biji kopi, daun teh dan umbi akar (kentang) (Naczk dan Shahidi 2004 diacu dalam Balange dan Benjakul 2009a).

Oksidasi senyawa fenolik dapat menghasilkan kuinon (Balange 2009). Autooksidasi mengacu pada pembentukan struktur ikatan silang (cross-linked) sebagai akibat dari terpapar cahaya dan oksigen. Di bawah pengaruh cahaya, oksigen dapat memisahkan proton dan menghasilkan radikal. Hal ini mungkin terjadi jika proton berdekatan dengan ikatan rangkap, karena elektron radikal dapat terdelokalisasi sehingga menurunkan energi. Mengingat sifat aromatiknya, senyawa fenolik mudah teroksidasi secara otomatis. Radikal yang dihasilkan kemudian dapat bereaksi dengan radikal lain untuk membentuk dimer (Vermerris dan Nicholson 2009). Kuinon dapat membentuk sebuah dimer dalam satu sisi reaksi atau bereaksi dengan asam amino atau dengan sisi rantai sulfhidril dari polipeptida untuk membentuk kovalen ikatan C-N atau C-S dengan regenerasi hidrokuinon. Selanjutnya bisa direoksidasi dan mengikat polipeptida dengan cepat menghasilkan sebuah ikatan silang (Balange dan Benjakul 2009a).

Penggunaan komponen fenolik teroksidasi sebagai bahan untuk meningkatkan kekuatan gel pada surimi telah dilakukan pada surimi dari ikan kembung dan ikan mata besar. Penambahan komponen asam ferulat, asam kafeat, asam tanat dan katekin teroksidasi dengan konsentrasi masing-masing 0,20%,


(33)

4

0,15%, 0,05% dan 0,05% pada surimi ikan mata besar menunjukkan peningkatan gel yang signifikan dibanding kontrol (Balange dan Benjakul 2009a). Pada ikan berdaging merah misalnya kembung (Rastrelliger kanagurta) penambahan komponen fenol teroksidasi meningkatkan breaking force hingga 70,3% dibanding kontrol (Balange dan Benjakul 2009b). Penambahan asam tanat teroksidasi sampai 0,2% menunjukkan pembentukan agregasi natural actomiosin

(NAM) ketika diinkubasi pada temperatur 40 °C (Balange Benjakul 2009c). Balange dan Benjakul (2009c) melaporkan bahwa komponen fenolik bereaksi dengan protein menghasilkan ikatan silang sehingga mampu meningkatan kekuatan gel dari surimi.

Tanin merupakan komponen fenolik yang terdapat pada kulit dan buah beberapa tanaman. Ekstraksi tanin pada kayu kiam telah digunakan untuk meningkatkan kekuatan gel surimi ikan mackerel. Konsentrasi 0,30% tanin kayu kiam yang dikestrak dengan air meningkatkan breaking force 134,81% dan

deformation 52,6%, sedangkan pada konsentrasi 0,15% tanin yang diekstrak dengan etanol meningkatkan breaking force dan deformation masing masing 136,09% dan 54,96% (Balange 2009). Daun teh dikenal mengandung komponen fenolik yang cukup tinggi. Bajaj dan Devsharma (1977) melaporkan bahwa daun teh hijau mengandung tanin 23%. Teh banyak dimanfaatkan sebagai minuman kesehatan dengan aktivitas antioksidan tinggi terutama yang dimanfaatkan adalah pucuk daunnya, sedangkan daun teh tua belum banyak dimanfaatkan. Penggunaan ekstrak tanin pada daun teh sebagai agen pembentuk ikatan silang dengan protein ikan belum dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan ketersediaan bahan baku pada pembuatan surimi di Indonesia disebabkan oleh menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan akibat overfishing. Selain itu ikan yang berasal dari laut bersifat musiman, sehingga stock untuk bahan baku tergantung dari musim ikan yang ada. Sekarang ini budidaya ikan air tawar terus ditingkatkan di Indonesia sehingga produksinya semakin meningkat. Oleh arena itu penggunaan ikan air tawar hasil budidaya sebagai bahan baku surimi bisa menjadi alternatif baru dalam penyediaan bahan baku industri surimi.


(34)

5

Jepang dan Cina mulai mengembangkan surimi dari beberapa ikan air tawar hasil budidaya misal ikan mas dan nila.

Dibandingkan dengan ikan air laut, tekstur ikan air tawar lebih berair, sehingga untuk bahan baku surimi diperlukan cara pengolahan yang baik untuk meningkatkan kualitas gelnya. Lele salah satu jenis ikan air tawar yang produksinya cukup melimpah sehingga dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku surimi. Namun pembuatan surimi dari ikan tersebut belum banyak dikaji.

Sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas surimi telah dikembangkan teknologi ingredientmisalnya penambahan air, pati, protein additive, hidrokoloid dan komponen bahan kimia food grade (Park 2000); komponen fenol teroksidasi (Balange dan Benjakul 2009a). Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi telah dikaji pada beberapa spesies ikan laut yakni ikan kembung dan ikan mata besar. Namun demikian penggunaannya pada ikan air tawar belum pernah dilakukan. Penambahan komponen fenolik teroksidasi pada surimi ikan lele diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas gel yang dihasilkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh teknologi pembuatan surimi dari ikan lele dengan penambahan komponen fenol teroksidasi untuk peningkatan kekuatan gel. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

(1) menentukan frekuensi pencucian terbaik dalam pembuatan surimi ikan lele;

(2) menentukan kandungan total fenol pada ekstraksi daun teh dengan etanol dengan ukuran serbuk yang berbeda;

(3) menentukan jenis dan konsentrasi fenolik teroksidasi yang terbaik pada pembuatan surimi dari ikan lele.

Manfaat penelitian ini adalah dapat mengoptimalkan pemanfaatan ikan lele menjadi produk bernilai tambah melalui teknologi pembuatan surimi. Sebagai sumber informasi bahwa komponen fenol teroksidasi dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan gel surimi.


(35)

6

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

(1) Frekuensi pencucian berpengaruh terhadap karakteristik surimi dari pengkomposisian ikan lele.

(2) Ukuran serbuk berpengaruh terhadap nilai kandungan fenol total daun teh kering.

(3) Jenis dan konsentrasi komponen fenolik teroksidasi berpengaruh terhadap kualitas surimi ikan lele.


(36)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mempunyai 4 pasang kumis, mulut besar, warna kelabu sampai hitam (Gambar 1). Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah. Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada usia benih lebih bersifat omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan dapat memijah sepanjang tahun (Margolang 2009).

Klasifikasi ikan lele menurut Beaufort (1965) diacu dalam Suyanto (1999) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias

Spesies : Clarias gariepinus

Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di Indonesia ikan lele mempunyai beberapa nama daerah, antara


(37)

8

lain: ikan kalang (Padang), ikan maut (Gayo, Aceh), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar), ikan cepi (Bugis), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama mali (Afrika), plamond

(Thailand), ikan keli(Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish

(Prihatman 2000).

Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan (Prihatman 2000).

Olayemi et al. (2011) melaporkan bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) segar dengan ukuran rata-rata 332,48 gram mempunyai kandungan air 78,7%; protein 16,24%; lemak 0,5%; abu 1,33% dan karbohidrat 0,92%. Ikan lele ini termasuk dalam kategori berprotein tinggi (15-20%) dan berlemak rendah (<5%).

2.2 Struktur Daging Ikan

Daging ikan dibagi menjadi tiga tipe yaitu daging yang bergaris melintang/lurik, daging polos dan otot jantung. Daging ikan hampir seluruhnya terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-serabut daging. Daging ikan bergaris melintang dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu daging putih dan daging merah (Adawayah 2008).

Warna merah pada daging ikan disebabkan adanya gurat sisi (lateral line)

yang padat saraf. Saraf tersebut dilapisi dengan lemak dan dialiri pembuluh-pembuluh darah dan banyak mengandung lemak serta mioglobin. Perbedaan warna pada daging ikan disebabkan adanya kandungan pigmen daging yang dikenal dengan mioglobin (Adawayah 2008).

Otot/daging yang terletak di bagian punggung dan perut, merupakan jaringan pengikat yang terbanyak, dan tersusun oleh segmen-segmen yang disebut miomer atau miotoma yang tampak seperti garis-garis zigzag. Miotoma sebenarnya merupakan jaringan pengikat, sedangkan miosepta adalah jaringan pengikat yang lebih besar ukurannya, yang merupakan kumpulan-kumpulan


(38)

9

miotoma-miotoma. Penyusun miotoma adalah satu bendel daging yaitu endomiosin yang merupakan sel otot/daging ikan. Satu sel daging ikan tersusun oleh benang-benang halus yang disebut miofibril. Antara miofibril satu dengan lainnya terdapat cairan sel yang disebut sarkoplasma (Hadiwiyoto 1993).

2.3 Protein Ikan

Protein ikan, misal kebanyakan otot daging bahan pangan lainnya diklasifikasikan menjadi tipe sarkoplasma, miofibril, dan stroma. Protein sarkoplasma, terutama albumin menyusun kira-kira 30% dari total protein otot. Proporsi sarkoplasma yang besar tersebut tersususun atas haemoprotein. Daging anjing laut terdiri dari 10% mioglobin dan haemoglobin, akibatnya dagingnya berwarna sangat gelap. Protein miofibril dalam daging terdiri dari miosin, aktin, aktomiosin dan troponin dan berjumlah 40-60% dari kandungan total protein ikan. Protein otot yang terakhir adalah stroma yang merupakan penyusun bahan kolagen (Shahidi dan Botta 1994).

2.3.1 Sarkoplasma

Protein sarkoplasma terdiri dari protein larut air yang disebut miogen. Protein ini dapat diperoleh dengan cara yang sederhana yaitu dengan melakukan

pressing pada daging ikan atau melalui ekstraksi dengan larutan garam berkekuatan ion rendah. Kandungan protein sarkoplasma pada ikan bervariasi tergantung pada spesies ikan, tetapi pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis misalnya sarden dan mackerel, dan rendah pada ikan demersal misal ikan kakap (Suzuki 1981). Keberadaan jumlah mioglobin, haemoglobin, dan cytochrome C yang lebih besar pada daging merah menyebabkan kecenderungan daging berwarna lebih gelap. Lebih jauh lagi, spesies ikan dari perairan/laut dingin mengandung protein dengan karakteristik tertentu yang berfungsi sebagai protein antibeku (antifreeze protein) dan glikoprotein yang termasuk dalam grup sarkoplasma (Shahidi dan Botta 1994).

Protein sarkoplasma kebanyakan mempunyai berat molekul yang rendah, pH isoelektrik yang tinggi dan struktur yang globular. Karakteristik fisik tersebut kemungkinan bertanggung jawab terhadap kelarutan protein yang tinggi pada air dan larutan garam (Nakai dan Modler 2000). Enzim pada sarkoplasma


(39)

10

bertanggung jawab terhadap proses pembusukan ikan setelah mati. Enzim ini terdiri dari golongan enzim glikolisis dan hidrolisis. Berbagai enzim proteinase ditemukan pada fraksi sarkoplasma yang mungkin bertindak sebagai katalisator dalam degradasi komponen nitrogen jaringan daging. Aktivitas enzim ini tergantung pada spesies ikan, tipe jaringan otot, faktor musim, dan lingkungan (Shahidi dan Botta 1994).

Konformasi, denaturasi termal, dan sifat reologi dinamis protein sarkoplasma sangat dipengaruhi oleh pH. Protein sarkoplasma ikan patin mengalami unfolding dan terkena residu hidrofobik lebih besar pada pH yang sangat basa (10-12) dibandingkan pada pH asam (pH 2-3). Interaksi hidrofobik protein sarkoplasma meningkat pada pH sangat asam (pH 2-4). Selain itu, pembentukan ikatan disulfida sangat baik pada kondisi asam (pH 2-4) maupun basa (pH 10-12). Denaturasi panas protein sarkoplasma pada pH 7,0 terjadi pada suhu yang relatif tinggi 67,7 dan 85,8 °C (Tadpitchayangkoon 2010).

2.3.2 Protein miofibrilar

Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari miosin, aktin dan protein regulasi misal tropomiosin, troponin dan aktinin (Suzuki 1981). Menurut Nakai dan Modler (2000), berdasarkan peranannya dalam fisiologis dan struktur jaringan hidup, protein miofibril dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

1) Protein kontraktil utama, termasuk di dalamnya adalah miosin dan aktin yang bertanggung jawab secara langsung pada kontraksi otot dan sebagai rangka/kekuatan bagi protein miofibril.

2) Protein regulasi, terdiri dari tropomiosin, troponin kompleks dan beberapa protein minor lainnya yang terlibat dalam inisiasi dan kontrol pada kontraksi.

3) Protein sitoskeletal/rangka, termasuk diantaranya titin atau konektin, C-protein, desmin dan beberapa komponen minor lainnya, protein ini menyediakan struktur pendukung dan bisa berfungsi untuk menjaga deretan miofibril.

Kandungan potein miofibrilar sebesar 66-77% dari total protein daging ikan dan berperan penting dalam pembentukan gel dan koagulasi ketika daging ikan diproses atau diolah. Daging ikan mengandung protein miofibrilar yang


(40)

11

lebih tinggi dibandingkan daging mamalia (Suzuki 1981). Protein ini dapat diekstrak dari ikan dengan menggunakan larutan garam dengan kekuatan ion 0,3-1 Debye. Protein miofibrilar mengalami perubahan selama proses rigor mortis, resolusi rigor mortis dan penyimpanan beku dalam waktu yang lama. Tekstur produk perikanan dan kemampuan pembentukan gel pada daging lumat dan surimi juga dipengaruhi oleh kondisi tersebut (Shahidi dan Botta 1994). Protein miofibril terutama terdiri dari miosin rantai berat (myosin heavy chain) (MHC) (200 kDa) dan aktin (42 kDa) serta protein kecil lainnya, misalnya α -aktinin (100 kDa) dan tropomiosin (34 kDa) (Cao et al.2006).

2.3.2.1 Miosin

Miosin adalah fraksi protein miofibril yang paling besar pada daging ikan dan memberi kontribusi sebesar 50-60% dari jumlah total. Molekul miosin terdiri dari 2 rantai berat (heavy chains) (200 dan 240 kD) yang berhubungan secara non kovalen dengan 2 pasang rantai ringan (light chains) (16-28 kD) (Shahidi dan Botta 1994).

Setengah karboksil terminal dari rantai berat terdiri dari kumparan melingkar-urutan yang membentuk homodimerizes untuk membentuk batang yang panjang yang biasanya diakhiri dengan segmen non-heliks pendek (Hodge

et al. 1992 diacu dalam Wang 2011) dan memiliki dua kepala globular yang terpasang pada salah satu terminal yang terbentuk oleh amino-terminal MHCs (myosin heavy chains) dan MyLCs (myosin light chains) (Wang 2011). Gambar 2 menjelaskan molekul miosin yang terdiri dari rantai ringan LMM (light meromyosin) dan rantai berat HMM (heavy meromyosin).


(41)

12

Pemecahan myosin heavy chain (MHC) diketahui sebagai penyebab utama fenomena modori (degradasi gel pada produk jeli ikan yang disebabkan oleh suhu sekitar 55 °C. Myiosin heavy chain berperan penting dalam pembentukan gel. Degradasi MHC biasanya disebabkan oleh enzim endogenous proteinase.

Myiosin heavy chain lebih mudah terdegradasi oleh endogenous proteinase dibandingkan protein miofibril yang lain (Cao et al.2006).

2.3.2.2 Aktin

Aktin menyusun kurang lebih 22% dari massa miofibril dengan berat molekul 42.000 dalton. Biasanya, dalam jaringan otot aktin dikaitkan dengan troponin dan tropomiosin kompleks. Protein miofibrilar ini juga terdiri dari sebuah sisi pengikat miosin (miosin binding site), yang memungkinkan untuk membentuk kompleks miosin yang bersifat sementara selama kontraksi otot atau kompleks aktin miosin yang permanen selama rigor mortis di dalam post mortem (Xiong 1997 diacu dalam Balange 2009). Bentuk monomer aktin disebut G-aktin dan setelah polimerisasi, filamen aktin terbentuk dan disebut sebagai F-aktin. Dua F-aktin dalam bentuk heliks disebut super heliks (Foegeding et al. 1996 diacu dalam Balange 2009).

Di dalam otot, aktomiosin berada dalam bentuk aktin dan miosin. Aktin dan miosin mudah diekstrak dari daging ikan dengan larutan garam karena keduanya bergabung membentuk aktomiosin di dalam larutan (Suzuki 1981). Yongsawatdigul dan Sinsuwan (2007) melaporkan bahwa gelasi aktomiosin ikan nila dipengaruhi oleh ion Ca2+ melalui 2 cara yang berbeda. Pertama, Ca2+ mengaktifkan endogenous TGase yang mendorong pembentukan ikatan silang ε-(γ-glutamil)lisin. Kedua, Ca2+ menyebabkan struktur aktomiosin terbuka (unfolding myosin) dan mengakibatkan meningkatnya permukaan hidrofobik. Keduanya berperan penting dalam pembentukan gel pada suhu seting 40 °C dan meningkatkan tekstur gel pada ikan.

2.3.3 Stroma

Sebagaimana protein miofibrilar, protein stroma juga merupakan protein struktural dan terdiri dari jaringan yang menghubungkan sel otot, bundel serat dan otot. Protein ini juga menyediakan struktur pendukung dalam pembentukan tulang, ligamen dan tendon (Nakai dan Modler 2000).


(42)

13

Residu dari ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril adalah stroma yang terdiri dari kolagen dan elastin pada jaringan ikat. Stroma larut dalam larutan HCl dan NaOH dan memberi kontribusi 10% dari protein kasar (crude muscle protein). (Shahidi dan Botta 1994). Stroma ini sering disebut protein jaringan pengikat yang banyak terdapat pada miosepta dan endomiosin, tetapi ada pula yang terdapat pada sarkolema atau bagian-bagian tubuh yang lain tapi jumlahnya tidak banyak. Kolagen dan elastin merupakan protein jaringan pengikat yang berguna untuk mempertahankan struktur fisik. Jika kolagen dipanaskan dalam air, maka kolagen dapat berubah menjadi gelatin. Penyusun kolagen adalah asam-asam amino penyusun protein, tetapi tidak mengandung triptopan, sistin dan sistein. Meskipun demikian protein stroma tidak larut walaupun dalam cairan berkekuatan ion tinggi. Protein stroma banyak terdapat pada daging merah daripada daging putih (Hadiwiyoto 1993).

Kandungan kolagen tergantung pada spesies, kebiasaan makan dan tingkat kematangan ikan. Pada umumnya, daging ikan terdiri dari 0,2 sampai 2,2% kolagen (Sato et al. 1986 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Meskipun kandungan kolagen yang lebih tinggi akan memberi kontribusi pada kekerasan daging, namun pada ikan tidak cukup berarti. Akan tetapi, pada beberapa spesies cumi-cumi dapat meningkatkan tekstur keras dan kenyal pada proses pemanasan (Shahidi dan Botta 1994).

2.4 Sifat Fungsional Protein

Protein adalah komponen fungsional dasar dari berbagai produk olahan makanan yang berprotein tinggi dan menentukan sifat tekstur, sensorik dan nutrisi bahan pangan. Bahan pangan menghasilkan berbagai jenis protein yang berbeda struktur, sifat fisik, kimia dan fungsionalnya serta derajat sensitifnya terhadap panas dan perlakuan lainnya. Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang mempengaruhi perilaku di dalam sistem bahan pangan selama persiapan, proses, penyimpanan, konsumsi dan menyumbangkan sifat kualitas dan sensorik pada sistem bahan pangan. Sifat fungsional protein yang paling penting dalam aplikasi pangan adalah hidrofilik, contohnya kelarutan protein, swelling


(43)

14

(gelling capacity); hidrofilik-hidrofobik, contohnya emulsifikasi dan foaming; hidrofobik, contohnya fat binding properties(Zayas 1997).

Sifat fungsional protein dapat diartikan sebagai sifat fisikokimia protein selama proses yang mempengaruhi kualitas dan stabilitas produk akhir makanan. Pada proses pengolahan daging, fungsionalitas protein biasanya dijelaskan dalam istilah hidrasi, sifat permukaan, ikatan dan kinerja rheologi. Sifat fungsional protein ini ditentukan oleh interaksi antara protein, lemak, air dan komponen makanan lainnya atau oleh faktor lingkungan. Kemampuan untuk membentuk gel yang kompak dan untuk mengemulsi lemak adalah dua hal terpenting dalam sifat fungsional protein pada proses pengolahan makanan yang berbahan baku daging (Nakai dan Modler 2000).

2.4.1 Pembentukan gel/gelasi (gelation)

Kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) protein bahan pangan merupakan sebuah atribut fungsional yang penting dalam produksi makanan.

Gelling capacity adalah kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi protein makanan. Karakteristik dari beberapa bahan pangan khususnya tekstur dan juicinessditentukan oleh kemampuan pembentukan gel (gelling capacity) dari protein (Zayas 1997).

Pembentukan struktur gel protein dapat terjadi di bawah kondisi yang mengganggu struktur protein alami yang tersedia dimana konsentrasi protein, kondisi termodinamika dan kondisi lainnya optimal untuk pembentukan matriks tersier. Teknik proses pangan yang paling penting berhubungan dengan gelasi protein melibatkan kation divalent (kalsium) dan atau perlakuan panas. Gel akan terbentuk ketika sebagian dari protein terbuka/tidak terlipat (unfolded) menjadi ruas-ruas polipeptida yang tidak berbelit (uncoiled) kemudian bereaksi pada titik tertentu membentuk sebuah jaringan ikatan silang tiga dimensi. Sebagian protein yang tidak berlipat (unfolding) dengan sedikit perubahan struktur sekunder diperlukan untuk pembentukan gel/gelasi. Terbentuknya bagian yang tidak terlipat dari struktur alaminya bisa berhubungan dengan beberapa faktor, pemanasan dan perlakuan asam, basa dan urea (Zayas 1997).

Gelasi protein adalah proses fisikokimia yang terjadi karena interaksi protein dengan protein yang tersusun secara teratur sehingga terbentuk atau


(44)

15

dihasilkan jaringan tiga dimensi viskoelastis yang mampu menahan air dalam jumlah besar. Gelasi protein daging biasanya disebabkan oleh panas, sebagai contoh terjadi pada proses pengolahan daging selama pemasakan dan didahului dengan pendinginan. Pembentukan matriks gel hasil dari ikatan silang atau agregasi dari polipeptida yang tidak terlipat melalui interaksi hidrofobik dan elektrostatik, jembatan/ikatan disulfida dan ikatan hidrogen (Nakai dan Modler 2000).

Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi antara protein dengan protein dan protein dengan pelarut (solvent). Interaksi dan gelasi ini dipercepat pada konsentrasi protein yang tinggi karena kontak intermolekuler lebih kuat. Gel dengan kekuatan dan stabilitas yang tinggi dapat dibentuk sebagai hasil ikatan silang yang memberikan sifat fluiditas, elastisitas dan aliran gel. Pembentukan gel adalah sebuah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ionik, kekuatan Van der Waals dan ikatan kovalen disulfida (Zayas 1997).

Struktur gel protein bertanggung jawab pada pola pemecahan yang disebut sebagai tekstur makanan. Misalnya, kekerasan (hardness), dianggap sebagai kekuatan menggigit yang diperlukan untuk menyebabkan suatu bahan menjadi patah merupakan atribut sensorik umum pada makanan dengan struktur gel, misal keju, makanan penutup berbahan gelatin, tahu dan daging olahan (surimi, sosis dan lain-lain). Fungsionalitas protein untuk gelasi terdiri dari a) kondisi untuk gelasi termasuk konsentrasi protein dan faktor-faktor untuk meningkatkan interaksi antarmolekul; b) interaksi protein dengan komponen lain misal polimer di atas atau di bawah binodal; dan c) interaksi protein dan protein yang mengarah ke fase mikro atau sistem fase tunggal. Kondisi tersebut tergantung pada ukuran dan bentuk protein, titik isoelektrik, jenis interaksi antarmolekul dan distribusi struktural bermuatan, asam amino hidrofobik dan lainnya, serta kondisi pelarut (Foegeding dan Davis 2011).

Gelasi adalah sifat fungsional penting dari protein ikan yang mempengaruhi sifat rheologi dan tekstur produk perikanan. Pembentukan gel melibatkan denaturasi parsial protein diikuti dengan agregasi ireversibel yang menghasilkan jaringan tiga dimensi. Miosin jumlahnya berlimpah pada protein


(45)

16

otot dan berperan penting dalam pembentukan gel pada ikan dan produk daging. Selama pemanasan pada kecepatan 1 °C/menit, miosin silver carp

(Hypophthalmichthys molitrix) membentuk gel hanya pada pH 5,5-7,5, tetapi tidak pada pH 8,0 dan pH 9,0. Ketika pH dinaikkan, kecepatan gelasi dan kekuatan gel menurun dan WHC meningkat. Pemanasan menyebabkan transformasiα-heliks menjadi β-sheet dan β-turn. Transformasi berperan penting dalam proses gelasi. Gel kompak dan seragam diperoleh pada pH 7,0 sementara terjadi penurunan dalam susunan tiga dimensi ketika pH diubah (Liu et al.2010). 2.4.2 Water holding capacity(WHC)

Water holding capacity (WHC) atau kapasitas mengikat air pada makanan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menahan air yang ada di dalam makanan tersebut maupun yang ditambahkan selama aplikasi gaya, tekanan, sentrifugasi atau panas.Water holding capacitymerupakan sifat fisik dan kemampuan suatu struktur makanan untuk mencegah air terlepas dari struktur tiga dimensi protein dan merupakan kemampuan protein menahan air dalam melawan gaya berat secara fisika maupun fisikokimia (Zayas 1997).

Mekanisme WHC berpusat pada protein dan struktur yang mengikat dan memerangkap air, khususnya protein miofibril. Terdapat bukti nyata yang menunjukkan efek langsung dari pH, kekuatan ionik, dan oksidasi pada kemampuan protein miofibril dan sel-sel otot untuk menahan air. Secara bebas, jelas bahwa faktor yang sama (penurunan pH, kekuatan ionik, oksidasi) juga mempengaruhi proteolitis protein sitoskeletal kunci dalam post mortem otot. Variasi WHC pada pH dan suhu penyimpanan sebagian disebabkan oleh variasi proteolisis dan berakibat pada penyusutan sel otot serta mobilisasi air ke ruang ekstraseluler (Lonergan dan Lonergan 2005).

2.5 Surimi

Surimi adalah daging ikan yang dihilangkan kulit, tulang dan isi perut secara mekanis yang dicuci dengan air atau larutan garam pada suhu 5-10 °C dan dengan penambahan cryoprotectant (Lee 1984 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Pembuangan protein larut air termasuk enzim, haemoprotein dan komponen nitrogen non protein (NPN) lainnya menghasilkan rendemen sebesar


(46)

17

50-60%. Kandungan bahan kolagen sebagaimana protein miofibril kandungannya lebih besar pada surimi dibandingkan pada daging ikan. Meskipun demikian, komposisi asam amino surimi yang dihasilkan kemungkinan sama dengan bahan awal sebagaimana dilaporkan pada surimi dari anjing laut (Synowiecki et al.1992 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994).

Surimi dapat diproduksi dari ikan air laut maupun ikan air tawar, termasuk daging putih maupun daging merah misalnya Alaska pollock, blue whiting, croaker, beloso, sardin, nila dan mata besar. Biasanya spesies tertentu yang digunakan karena alasan mudah penangkapannya dan murah harganya. Penggunaan spesies alternatif untuk memperoleh surimi dengan kualitas pembentukan gel yang baik merupakan salah satu tujuan industri perikanan (Nopianti et al.2011).

Industri surimi dunia terutama menggunakan ikan Alaska pollock untuk produksi surimi, yang mencapai 50-60% produksi total surimi dunia, tetapi proporsi tersebut secara berkelanjutan berkurang. Sejak tahun 1991, usaha untuk menggunakan spesies lain telah sukses dilakukan dengan pengembangan teknik dan pemasaran di Jepang. Sekarang ini, sejumlah spesies yang berbeda telah digunakan dalam produksi surimi secara komersial. Spesies ikan yang paling cocok untuk pembuatan surimi adalah ikan daging putih dengan kandungan lemak rendah (Park dan Morrissey 2000).

Permintaan dunia akan protein ikan meningkat lebih cepat dibandingkan persediaan sumberdaya yang ada. Permintaan tersebut menyebabkan overfishing,

terlebih pada spesies yang biasa digunakan sebagai bahan baku surimi oleh sebab itu dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk mencegah eksploitasi berlebihan spesies tersebut. Spesies ikan daging merah mencapai 40-50% dari total tangkapan dunia. Hal tersebut menimbulkan ketertarikan untuk menggunakan spesies ini yang jumlahnya cukup besar, harganya murah, berlemak dan merupakan ikan pelagik yang cukup tersedia untuk pangan manusia. Namun demikian diperlukan cara dan biaya yang efektif untuk meningkatkan kualitas bahan (Park dan Morrissey 2000).

Metode pembuatan surimi beku menurut Suzuki (1981) terdiri dari pemilihan bahan baku, penyimpanan dan penanganan bahan baku, pengumpulan


(47)

18

daging ikan, pencucian dengan air dan pembuangan air, penyaringan dan pelumatan, penambahan anti denaturasi, pengemasan, pembekuan dan penyimpanan.

Teknologi surimi telah berkembang secara luas. Berbagai usaha nyata telah dilakukan untuk mengembangkan produk baru, misalnya teknologi baru untuk penanganan air limbah; penggunaan spesies lain; pengawetan produk berbasis surimi; penggunaan berbagai cryoprotectant dan peningkatan pembentukan gel (Nopianti et al.2011).

2.5.1 Standar kualitas surimi

Kualitas produk surimi terjamin oleh standar praktis masing-masing perusahaan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan konsumen/pelanggan. Produsen dan konsumen bekerja sama untuk memastikan kualitas surimi yang diinginkan. Banyak pelanggan melakukan inspeksi dan audit langsung pada pemasok. Praktek ini rutin dilakukan dalam industri dan termasuk fokus pada

traceabilitydari semua produk (Anonim 2012).

Dari berbagai review yang telah dipublikasikan menunjukkan kriteria mutu surimi diantara perusahaan di Jepang tidak seragam. Terdapat dua asosiasi besar di Jepang yang mempunyai standar surimi berbeda yaitu All-Japan Frozen Fish Meat Association (AJFFMA) dan Hokaido Surimi Association (HSA). All-Japan Frozen Fish Meat Association (AJFFMA) membagi mutu surimi menjadi 6 kelas sedangkan HSA 4 kelas. Kadar air surimi yang ditetapkan oleh standar AJFFMA adalah 79-82%, sedangkan HSA 75-78%. Alasan perbedaan kadar air tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jumlah cryoprotectant yang ditambahkan yaitu 5% untuk skala AJFFMA dan 10% untuk skala HSA (Lanier 1992).

Kriteria untuk penentuan kelas mutu surimi yang diproduksi di laut maupun di darat telah ditetapkan oleh Surimi Workshop di Seattle pada tahun 1984. Tingkatan standar mutu kualitas surimi berdasar pengujian kamaboko dengan atau tanpa penambahan pati dijelaskan pada Tabel 1.


(48)

19

Tabel 1 Standar mutu surimi berdasar pengujian kamaboko

Tingkatan Mutu (Grade)

Dengan penambahan pati Tanpa penambahan pati Kekuatan gel (gcm) Nilai uji gigit Derajat putih Kekuatan gel (gcm) Nilai uji gigit Derajat putih

1 >900 10 >60 >680 10 >46

2 >900 10 >59 >680 10 >45

3 >850 >8,5 >58 >640 8,5 >43

4 >700 >7,5 >55 >520 7,5 >38

5 >600 >7,0 >52 >440 7,0 >35

6 >450 >6,5 >50 >310 6,5 >32

Sumber : Lanier (1992)

Spesifikasi mutu surimi beku di Indonesia ditetapkan oleh Badan Standar Nasional (BSN) dengan menyusun Standar Nasional Indonesia tentang surimi beku (SNI 01-2694.1-2006) yang merupakan revisi SNI 01-2694-1992. Penyusunan standar tersebut dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan pangan komoditas ikan segar yang akan dipasarkan di dalam dan di luar negeri (BSN 2006a). Spesifikasi standar surimi beku SNI 01-2694.1-2006 tidak menetapkan kekuatan gel sebagai salah satu jenis uji dalam persyaratan mutu. Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku berdasarkan SNI 01-2694.1-2006 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

a. Organoleptik Angka (1-10) minimal 7

b. Cemaran mikroba - ALT

- Escherichia coli

- Salmonella

- Vibrio cholerae

- Vibrio parahaemolyticus*

(Kanagawa positif) Koloni/g APM/g APM/g APM/g APM/g

maksimal 5,0 x 105 maksimal <2

negatif negatif maksimal <3 c. Cemaran kimia

- Raksa (Hg)* - Timbal (Pb)* - Histamin* - Cadmium (Cd)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg maksimal 1 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,1

d. Kadar air % 80-82

e. Fisika

- Suhu pusat °C maksimal -18

f. Filth potong 80-82

Catatan * Bila diperlukan Sumber : BSN (2006a)


(49)

20

2.6 Faktor yang Berpengaruh pada Kualitas Surimi 2.6.1 Spesies

Sifat fungsional dan komposisi surimi sangat beragam tergantung pada spesies yang digunakan. Sifat fungsional surimi tergantung dari komposisi tetapi tidak dapat secara umum diprediksi melalui analisis komposisi. Oleh sebab itu pengolah harus memahami hubungan antara fungsi fisikokimia ikan dan sifat fungsional dan komposisi surimi (Park dan Morrissey 2000).

Surimi dari beberapa ikan tropis misalnya threadfin bream (Nemipterus bleekeri), big eye snapper (Priacanthus tayenus), baracuda (Sphyraena jello) dan

bigeye croacker(Pennahai macrophthalamus) mempunyai sifat gel yang berbeda ketika dilakukansettingpada suhu medium (Benjakul et al. 2003).

Surimi dari ikan berdaging merah atau berlemak tinggi misalnya sarden, kembung dan salmon memerlukan tahapan tertentu untuk menghilangkan pengaruh minyak dan hemeprotein (mioglobin dan hemoglobin). Pada pembuatan surimi dari daging merah dianjurkan menambahkan NaHCO3 0,1-0,5% pada proses awal pencucian (Park dan Morrissey 2000).

Fukuda et al. (2001) melaporkan surimi dari ikan air tawar antara lain silver carp(Hypopthalmichthys molitri),big head carp(Aristichthys nobilis), grass carp

(Ctenopharyngodon idellus), common carp(Cyprinus carpio), blunt snout bream

(Megalobrama amblycephala), chinnese snake head (Ophicephalus argus) dan nila (Tilapia nilotica) mempunyai nilai kekuatan gel yang berbeda.

2.6.2 Kematangan seksual atau musim

Komposisi kimia ikan bervariasi terhadap perubahan musim penangkapan. Alaskan Fisheries Development diacu dalam Park dan Morrissey (2000) melaporkan bahwa komposisi ikan Alaska pollockbervariasi berdasarkan musim. Hasil pengamatan menunjukkan kandungan protein tertinggi (19%) terjadi pada bulan November dan terendah (16%) di bulan Mei, sementara kandungan air tertinggi (82,3%) di bulan Juli dan terendah (80,2%) di bulan November. Demikian pula terjadi pada spesies ikan yang lain misalnya Pacific waiting

dengan kandungan air tertinggi (84,5%) di bulan April dan terendah (80-82%) di akhir bulan Oktober. Protein terendah (14-15%) terekam pada bulan April kemudian naik dan relatif stabil (15,5-16,5%) setelah bulan Juni. Kandungan


(50)

21

lemak cenderung stabil (0,5-1,5%) sampai bulan Agustus dan mulai meningkat (1,5-2,5%) di bulan Oktober (Park dan Morrissey 2000).

Secara umum, ikan yang dipanen selama periode mencari makan menghasilkan kualitas surimi tertinggi. Selama musim tersebut daging ikan mengandung air dan pH terendah namun kandungan protein tertinggi, sedangkan ikan yang dipanen selama atau sesudah masa pemijahan menghasilkan surimi dengan kualitas terendah. Pada musim tersebut kandungan pH lebih tinggi dan cenderung mempertahankan lebih banyak air. Sebagai konsekuensinya, sukar menghilangkan air berlebih pada proses pencucian daging. Untuk memudahkan penghilangan air berlebih tersebut, karakteristik jaringan otot harus diubah dengan menurunkan nilai pH atau meningkatkan salinitas pada pencucian akhir (Park dan Morrissey 2000).

2.6.3 Kesegaran atau rigor

Kekuatan pembentukan gel surimi utamanya tergantung pada spesies dan kesegaran ikan yang akan diproses dan keduanya saling berkaitan. Kemampuan pembentukan gel beberapa spesies ikan menurun dengan mudah seiring dengan penurunan kesegaran ikan bahkan tidak terbentuk gel segera setelah proses rigor berakhir (Chen et al. 2001).

Perubahan biokimia dan biofisika selama perkembangan rigor mortis menyebabkan perubahan yang nyata pada sifat fungsional protein otot. Ikan sebaiknya segera diproses sesegera mungkin setelah melalui rigor. Sebelum melewati fase ini, kurang dari 5 jam pada kasus surimi Alaska pollock sukar menghilangkan bau amis, beberapa membran dan kontaminan lainnya yang akhirnya berpengaruh pada kualitas produk (Pigot 1986 diacu dalam Park dan Morrissey 2000).

Kesegaran ikan dianggap sebagai faktor penting yang menentukan kualitas surimi (Benjakulet al. 2002; MacDonald et al. 1990 diacu dalam Benjakul et al.

2005). Ikan segar atau yang disimpan dengan es biasanya digunakan untuk produksi surimi di seluruh dunia. Akibat sebagai eksploitasi sumberdaya yang berlebih, armada perikanan harus melakukan perjalanan jarak jauh, yang menyebabkan bahan baku yang diperoleh berkualitas lebih rendah. Tanpa penanganan pasca panen yang tepat, ikan secara drastis mengalami penurunan,


(51)

22

terkait dengan degradasi dan denaturasi protein miofibril. Sebagai akibatnya, kualitas surimi yang diperoleh rendah (Benjakul et al. 2002; Benjakulet al. 2003 diacu dalam Benjakul et al. 2005).

Chen et al. (2001) melaporkan bahwa surimi ikan silver carp dengan beberapa variasi kesegaran yang dipanaskan pada suhu 60 °C selama 10 menit,

breaking strength gel mencapai maksimum, namun nilainya menurun seiring dengan penurunan kualitas kesegaran ikan.

2.6.4 Faktor pengolahan

Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap kualitas surimi menurut Park dan Morrissey (2000) antara lain: pemanenan dan penanganan ikan, air, waktu dan temperatur pencucian, siklus pencucian dan rasio air pencucian, pH, dan salinitas.

Beberapa faktor di dalam penangkapan ikan dapat pula berpengaruh pada kualitas produk akhir, termasuk kondisi cuaca di laut, metode penangkapan, ukuran alat tangkap, pemberian garam dan temperatur ikan setelah penangkapan. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan terkadang susah untuk mempertimbangkan pentingnya setiap faktor secara terpisah (Park dan Morrissey 2000).

Secara teoritis air dengan kesadahan rendah mengandung mineral dalam jumlah minimal misalnya Ca2+, Mg2+, Fe2+ dan Mn2+ direkomendasikan untuk pencucian surimi. Air dengan kesadahan tinggi dapat menyebabkan kerusakan kualitas tekstur dan warna selama penyimpanan beku. Mineral Ca2+ dan Mg2+ bertanggung jawab pada perubahan tekstur sementara Fe2+ dan Mn2+ berpengaruh terhadap perubahan warna (Park dan Morrissey 2000).

2.7 Bahan Penguat Gel pada Surimi

Sifat fungsional utama surimi dari seafood adalah warna, rasa dan tekstur. Pengendalian warna dan rasa relatif lebih mudah, sementara penambahan aditif yang berpengaruh terhadap sifat tekstur produk kebanyakan tidak linear, oleh karena itu lebih susah mengendalikan tekstur dibanding lainnya. Konsekuensinya, terdapat kisaran yang luas pada sifat tekstur ini. Bahan aditif utama yang digunakan untuk mengembangkan dan memodifikasi karakteristik tekstur surimi dari seafood antara lain: air, pati, aditif protein dan hidrokoloid (Park 2000).


(52)

23

2.7.1 Air

Penambahan air pada surimi dibutuhkan untuk menjaga penerimaan tekstur dan meminimalkan biaya bahan baku. Sifat polar dari air menyokong gugus residu hidrofobik di dalam rantai polipeptida yang terlipat untuk meminimalkan entropi sebagai hasil dari terpaparnya residu hidrofobik dengan air di permukaan. Air juga memberi kontribusi pada stabilitas konformasional molekul protein sebelum pemanasan dan bisa menjadi dasar untuk ikatan intermolekul ketika sisi hidrofobik pada molekul protein yang berdekatan terpapar pada permukaan selama proses pemanasan. Dengan demikian air berfungsi untuk menyebarkan molekul protein miofibril, sehingga memungkinkan jaringan yang lebih diperluas untuk memperkuat bentuk ikatan protein-protein selama pemanasan (Park 2000).

Air sering kali tidak dianggap sebagai sebuah bahan makanan di beberapa negara. Oleh karena itu, di negara-negara Asia tidak ditemukan air terdaftar sebagai bahan di dalam label makanan. Namun di kebanyakan negara barat, air adalah bahan terbesar kedua di dalam surimi seafood(Park 2000).

2.7.2 Pati

Pati berperan penting dalam pembentukan struktur jaringan gel surimi-pati dan oleh karena itu pati merupakan bahan aditif fungsional penting di dalam surimi seafood. Sumber pati yang paling umum digunakan adalah terigu, jagung, kentang, maizena jagung dan tapioka. Fungsi pati-pati tersebut berbeda. Pati dengan amilose tinggi misalnya jagung, terigu dan kentang, membentuk gel yang agak rapuh, sedangkan pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi misalnya tapioka dan maizena membentuk gel yang lekat dan kompak (Park 2000).

Pati biasa ditambahkan pada surimi untuk meningkatkan sifat tekstur dari gel ikan. Selama gelatinisasi pati, beberapa perubahan terjadi. Perubahan ini termasuk pembengkakan granula, pemisahan daerah kristal, meningkatnya viskositas dan pemisahan granul. Gelatinisasi pati di dalam surimi selama proses pemanasan telah dilaporkan dapat meningkatkan elastisitas gel. Gel daging ikan dengan tambahan pati 0,5% menunjukkan nilai modulus yang lebih tinggi pada suhu 80 °C dibanding pada suhu 90 °C (Kong et al. 1999).

Cueto et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan modifikasi pati singkong pada surimi menghasilkan produk burger ikan dengan karakter keras,


(53)

24

lekat dan kenyal berdasarkan instrumen. Evaluasi sensorik menunjukkan penambahan pati singkong modifikasi menghasilakan produk yang keras dan kenyal.

2.7.3 Protein aditif

Protein aditif merupakan protein globular, sedangkan surimi merupakan protein fibrillar. Sehubungan dengan sifat fungsional protein aditif, interaksi protein-air, protein-protein dan protein-lemak-air adalah penting untuk formulasi struktur jaringan gel yang stabil (Park 2000). Park (1994) diacu dalam Park (2000) mengevaluasi 7 protein aditif yang tersedia secara komersial (1% berat kering) untuk meneliti interaksinya dengan gel surimi yang ditambah garam 2%. Putih telur beku, putih telur kering, plasma protein sapi bertindak sebagai pengikat, sedangkan gluten gandum, isolat protein kedelai, konsentrat whey protein dan isolat whey protein berfungsi sebagai pengisi. Pengikat fungsional meningkatkan nilai shear stress dan shear strain gel surimi, sementara pengisi fungsional menaikkan nilai shear stressnamun menurunkan nilai shear strain.

Protein aditif dapat pula berfungsi sebagai inhibitor proteinase. Inkubasi surimi silver carp yang ditambah isolat protein kedelai 10% pada temperatur 50 °C selama 60 menit, diikuti dengan pemasakan pada 85 °C selama 30 menit, menghasilkan kekuatan gel lebih besar dibandingkan kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai menurunkan pembentukan 'modori' pada surimi silver carp. Isolat protein kedelai menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap proteinase yang menyebabkan modori pada silver carp

(Luo et al. 2008).

Eakpetch et al. (2008) melaporkan bahwa putih telur, konsentrat whey protein dan protein plasma sapi pada jumlah yang tepat secara efektif meningkatkan kekuatan gel surimi udang putih. Pada umumnya jumlah aditif protein yang berlebihan menyebabkan penurunan kekuatan gel. Protein plasma sapi pada konsentrasi 0,5% (b/b) menunjukkan aktivitas penghambatan tertinggi terhadap autolisis gel udang putih, namun menunjukkan efek buruk pada rasa dan warna gel.


(54)

25

2.7.4 Hidrokoloid

Sifat protein miofibril dapat diubah dengan menggunakan aditif yang berbeda. Hidrokoloid tumbuhan atau hewan, misal tepung, pati, gum atau protein dapat mempengaruhi pembentukan matriks kontinu dari otot selama pembentukan pasta atau selama gelasi akibat panas. Beberapa aditif berinteraksi dengan protein untuk membentuk sistem yang lebih terstruktur, sementara yang lain bertindak sebagai pengisi yang hanya mengikat air dan memodifikasi viskositas dari sistem. Hidrokoloid tumbuhan biasanya ditambahkan ke dalam produk turunan daging, unggas dan ikan untuk meningkatkan sifat fungsional mereka (Urestet al. 2003).

Karagenan dan konjak adalah hidrokoloid yang sering digunakan dalam industri surimi. Karagenan merupakan agen pembentuk gel yang diekstrak dari alga merah spesies tertentu. Iota karagenan dapat meningkatkan kekuatan dan stabilitas gel pada surimi Atlantic pollock dan Alaska pollock (Park 2000). Penambahan konjak glukomanan dengan konsentrasi 1% dapat mencegah denaturasi protein pada surimi grass carp selama penyimpanan beku -18 °C (Xiong et al. 2009).

2.7.5 Senyawa kimia food grade

Zat pengoksidasi secara umum digunakan di dalam adonan roti untuk meningkatkan sifat teksturnya dengan pembentukan ikatan S-S melalui oksidasi grup sulfhydril (-SH) (Park 2000). Zat pengoksidasi anorganik KBrO3 terbukti mampu meningkatkan kekuatan gel surimi walleye pollack melalui polimerisasi MHC dengan oksidasi grup sulfhidril khususnya selama proses pengadukan dan

settingdibandingkan pada proses pemanasan (Banlue et al. 2010).

Senyawa kalsium berperan penting hanya ketika zat ini ditambahkan pada pencampuran pasta surimi dan pada proses setting. Kalsium dapat berakibat negatif apabila ditambahkan pada surimi kemudian disimpan beku. Penambahan senyawa kalsium selama produksi surimi tidak dianjurkan tetapi dapat digunakan ketika surimi diproduksi dengan proses setting(Park 2000).

Fosfat telah secara luas diterima sebagai aditif potensial pada ikan dan makanan laut untuk meningkatkan sifat fungsional produk dengan meningkatkan retensi air pada ikan segar dan mengurangi hilangnya air ikan beku pada proses pencairan (Chang dan Regenstein 1997 diacu dalam Julavittayanukuet al. 2006).


(1)

Perbandingan perlakuan differents of mean rank λ ( Zhitung) Z score (p)

Kontrol K0,1 -41,46 -1,091922 0,137434

K0,2 -51,50 -1,356203 0,087517

K0,3 -33,59 -0,884541 0,188202

K0,4 -20,93 -0,551134 0,290771

K0,5 -66,32 -1,746511 0,040361*

T0,1 -74,20 -1,953891 0,025357*

T0,2 -49,11 -1,293189 0,097973

T0,3 -61,30 -1,614370 0,053224

T0,4 -56,29 -1,482230 0,069140

T0,5 -69,18 -1,821751 0,034246*

K0,1 K0,2 -10,04 -0,264281 0,395782

K0,3 7,88 0,207381 0,582144

K0,4 20,54 0,540788 0,705673

K0,5 -24,86 -0,654589 0,256366

T0,1 -32,73 -0,861969 0,194352

T0,2 -7,64 -0,201267 0,420245

T0,3 -19,84 -0,522448 0,300679

T0,4 -14,82 -0,390308 0,348154

T0,5 -27,71 -0,729829 0,232747

K0,2 K0,3 17,91 0,471661 0,681416

K0,4 30,57 0,805069 0,789610

K0,5 -14,82 -0,390308 0,348154

T0,1 -22,70 -0,597688 0,275024

T0,2 2,39 0,063014 0,525122

T0,3 -9,80 -0,258168 0,398139

T0,4 -4,79 -0,126027 0,449855

T0,5 -17,68 -0,465548 0,320770

K0,3 K0,4 12,66 0,333408 0,630587

K0,5 -32,73 -0,861969 0,194352

T0,1 -40,61 -1,069350 0,142456

T0,2 -15,52 -0,408648 0,341399

T0,3 -27,71 -0,729829 0,232747

T0,4 -22,70 -0,597688 0,275024

T0,5 -35,59 -0,937209 0,174325

K0,4 K0,5 -45,39 -1,195377 0,115970

T0,1 -53,27 -1,402757 0,080345

T0,2 -28,18 -0,742055 0,229027

T0,3 -40,38 -1,063237 0,143837

T0,4 -35,36 -0,931096 0,175902

T0,5 -48,25 -1,270617 0,101932

K0,5 T0,1 -7,88 -0,207381 0,417856

T0,2 17,21 0,453322 0,674841

T0,3 5,02 0,132140 0,552563

T0,4 10,04 0,264281 0,604218

T0,5 -2,86 -0,075240 0,470012

Keterangan : Z score(p)<0,05 maka berbeda nyata; tanda (*) berarti pasangan perlakuan berbeda nyata


(2)

Lanjutan Lampiran 35b

Perbandingan perlakuan differents of mean rank λ ( Zhitung) Z score (p)

T0,1 T0,2 25,09 0,660702 0,745598

T0,3 12,89 0,339521 0,632891

T0,4 17,91 0,471661 0,681416

T0,5 5,02 0,132140 0,552563

T0,2 T0,3 -12,20 -0,321181 0,374037

T0,4 -7,18 -0,189041 0,425030

T0,5 -20,07 -0,528562 0,298555

T0,3 T0,4 5,02 0,132140 0,552563

T0,5 -7,88 -0,207381 0,417856

T0,4 T0,5 -12,89 -0,339521 0,367109

Keterangan : Z score(p)<0,05 maka berbeda nyata; tanda (*) berarti pasangan perlakuan berbeda nyata


(3)

jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

Ujigigit Kontrol 28 106.88

K0,1 28 148.34

K0,2 28 158.38

K0,3 28 140.46

K0,4 28 127.80

K0,5 28 173.20

T0,1 28 181.07

T0,2 28 155.98

T0,3 28 168.18

T0,4 28 163.16

T0,5 28 176.05

Total 308

Test Statisticsa,b

Ujigigit Chi-Square 22.029

df 10

Asymp. Sig. .015 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan

Kesimpulan : Signifikan (Asymp. Sig) < 0,05 artinya paling sedikit ada sepasang

perlakuan yang berbeda nyata.


(4)

Lampiran 36b Uji beda

Multiple Comparison

pada uji gigit gel surimi

Perbandingan perlakuan differents of mean rank λ ( Zhitung) Z score (p)

Kontrol K0,1 -41,46 -1,091922 0,137434

K0,2 -51,50 -1,356203 0,087517

K0,3 -33,59 -0,884541 0,188202

K0,4 -20,93 -0,551134 0,290771

K0,5 -66,32 -1,746511 0,040361*

T0,1 -74,20 -1,953891 0,025357*

T0,2 -49,11 -1,293189 0,097973

T0,3 -61,30 -1,614370 0,053224

T0,4 -56,29 -1,482230 0,069140

T0,5 -69,18 -1,821751 0,034246*

K0,1 K0,2 -10,04 -0,264281 0,395782

K0,3 7,88 0,207381 0,582144

K0,4 20,54 0,540788 0,705673

K0,5 -24,86 -0,654589 0,256366

T0,1 -32,73 -0,861969 0,194352

T0,2 -7,64 -0,201267 0,420245

T0,3 -19,84 -0,522448 0,300679

T0,4 -14,82 -0,390308 0,348154

T0,5 -27,71 -0,729829 0,232747

K0,2 K0,3 17,91 0,471661 0,681416

K0,4 30,57 0,805069 0,789610

K0,5 -14,82 -0,390308 0,348154

T0,1 -22,70 -0,597688 0,275024

T0,2 2,39 0,063014 0,525122

T0,3 -9,80 -0,258168 0,398139

T0,4 -4,79 -0,126027 0,449855

T0,5 -17,68 -0,465548 0,320770

K0,3 K0,4 12,66 0,333408 0,630587

K0,5 -32,73 -0,861969 0,194352

T0,1 -40,61 -1,069350 0,142456

T0,2 -15,52 -0,408648 0,341399

T0,3 -27,71 -0,729829 0,232747

T0,4 -22,70 -0,597688 0,275024

T0,5 -35,59 -0,937209 0,174325

K0,4 K0,5 -45,39 -1,195377 0,115970

T0,1 -53,27 -1,402757 0,080345

T0,2 -28,18 -0,742055 0,229027

T0,3 -40,38 -1,063237 0,143837

T0,4 -35,36 -0,931096 0,175902

T0,5 -48,25 -1,270617 0,101932

K0,5 T0,1 -7,88 -0,207381 0,417856

T0,2 17,21 0,453322 0,674841

T0,3 5,02 0,132140 0,552563

T0,4 10,04 0,264281 0,604218

T0,5 -2,86 -0,075240 0,470012

Keterangan : Z score(p)<0,05 maka berbeda nyata; tanda (*) berarti pasangan perlakuan berbeda nyata


(5)

Perbandingan perlakuan differents of mean rank λ ( Zhitung) Z score (p)

T0,1 T0,2 25,09 0,660702 0,745598

T0,3 12,89 0,339521 0,632891

T0,4 17,91 0,471661 0,681416

T0,5 5,02 0,132140 0,552563

T0,2 T0,3 -12,20 -0,321181 0,374037

T0,4 -7,18 -0,189041 0,425030

T0,5 -20,07 -0,528562 0,298555

T0,3 T0,4 5,02 0,132140 0,552563

T0,5 -7,88 -0,207381 0,417856

T0,4 T0,5 -12,89 -0,339521 0,367109

Keterangan : Z score(p)<0,05 maka berbeda nyata; tanda (*) berarti pasangan perlakuan berbeda nyata


(6)

Lampiran 37 Analisis nonparametrik Kruskal Wallis uji kesukaan gel surimi

dengan jenis dan konsentrasi fenol teroksidasi yang berbeda

Ranks

Perlakuan N Mean Rank

UjiHedonik Kontrol 28 130.29

K0,1 28 151.21

K0,2 28 149.07

K0,3 28 149.61

K0,4 28 141.96

K0,5 28 157.39

T0,1 28 162.36

T0,2 28 154.04

T0,3 28 161.82

T0,4 28 172.29

T0,5 28 169.46

Total 308

Test Statisticsa,b

UjiHedonik

Chi-Square 6.576

df 10

Asymp. Sig. .765

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan