Respon Masyarakat pada Isu Advokasi

Sampai dengan berakhirnya proyek UNDP ini, LSM bersama dengan masyarakat yang mengusung isu ekowisata telah menghasilkan draf MoU tentang Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Tahura Wan Abdurrahman di Lampung. Penyusunan draf ini sebenarnya diharapkan dapat disetujui oleh pemerintah daerah namun terkendala dengan adanya pergantian kepemimpinan pada Dinas Kehutanan Kabupaten. Kondisi ini membuat rencana awal untuk bisa menghasilkan MoU yang disepakati dan disetujui bersama menjadi gagal. Masyarakat kemudian merasa usaha dan kerja keras yang selama ini dilakukan bersama dengan LSM sebagai lembaga pendamping dalam memperoleh pengakuan dari pemerintah kurang memberikan manfaat nyata. Untuk itu, saat ini masyarakat telah membuat strategi baru yaitu tidak akan fokus pada advokasi untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah namun akan lebih fokus pada peningkatan ekonomi masyarakat yang berada di dalam Tahura melalui pengembangan hasil hutan nonkayu seperti kopi, kemiri, dan lain-lainnya.

6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi

Untuk isu advokasi, masyarakat meresponnya dengan positif. Kasus di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat mempunyai semangat yang tinggi dalam memperjuangkan tanah simpen yang sejak dulu memang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pada proyek UNPD ini, bersama dengan LSM, masyarakat telah berhasil menandatangani MoU antara masyarakat dengan Perum Perhutani tentang Pemanfaatan tanah Simpen di Hutan Produksi. Program advokasi di Jawa Tengah ini tergolong sukses karena sebenarnya inisiasi dan pendampingan masyarakat oleh LSM telah dilakukan sejak lama. Masyarakat merasa telah mendapatkan manfaat yang besar karena telah mendapatkan akses ke dalam hutan Perum Perhutani dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Di dalam MoU tidak dicantumkan secara tegas batas waktu pemanfaatannya. Bagi masyarakat, MoU ini menjadi dasar utama bagi mereka untuk melakukan kegiatan di hutan produksi milik Perhutani yang selama ini masih menimbulkan banyak konflik. Dengan MoU ini, masyarakat menjadi aman dan tidak diganggu lagi oleh pihak-pihak yang selama ini dirasakan mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Respon positif juga ditunjukkan oleh masyarakat dampingan LSM di Lampung. Pada akhir proyek UNDP ini, masyarakat telah memperoleh ijin definitif dari pemerintah daerah dalam bentuk ijin Hutan Kemasyarakatan HKm selama 35 tahun. Ini berarti bahwa selama ini program advokasi yang dilakukan oleh masyarakat bersama LSM sebagai lembaga pendamping telah sukses mengantarkan masyarakat untuk memperoleh hak akses terdapat sumberdaya hutan yang selama ini selalu diperjuangkan. Meskipun dalam prakteknya masyarakat masih harus bekerja keras untuk memperbaiki kondisi hutannya, namun langkah awal ini merupakan bentuk hasil dari perjuangan yang panjang. Bersama dengan LSM, masyarakat tidak henti-hentinya bekerja keras untuk memenuhi persyarat dari pemerintah terkait dengan HKm. Masyarakat telah merasa lega dan senang dengan terbitnya ijin HKm tersebut. Masyarakat merasa mendapatkan amanah dan tanggung jawab yang besar dalam mengelola hutan justru setelah mendapatkan ijin HKm ini. Hal ini disebabkan dalam perjanjian disebutkan bahwa bila dalam waktu tertentu masyarakat tidak mampu mengelola hutannya maka pemerintah berhak menghentikan dan mencabut ijin HKm di hutan lindung tersebut. Namun aturan tersebut oleh masyarakat bahkan dijadikan sebagai cambuk yang memang harus ditaati sehingga dapat memacu semangat masyarakat dalam mengelola hutan yang lebih baik termasuk untuk memperkuat fungsi kelembagaannya. Kasus di Jawa Barat juga mendapatkan respon positif dari masyarakat. Pada akhir proyek UNDP, bersama dengan LSM, masyarakat telah menghasilkan draf 4 Surat Keputusan SK Bupati Lebak tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek di Taman Nasional Halimun-Salak. Sebenarnya hasil proyek UNDP ini diluar yang direncanakan. Target pada awal penyusunan program hanya membuat draf awal untuk diajukan ke pihak pemerintah daerah, namun dalam perjalanannya, program ini berjalan lancar dan dari pihak pemerintah daerah cukup akomodatif terhadap inisiasi ini. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat bersama dengan LSM untuk terus maju dan memperjuangkan aspirasi masyarakat melalui adanya pengakuan yang kongkrit dari pemerintah daerah untuk memberikan hak akses kepada masyarakat yang memang telah lama tinggal dan hidup di hutan adat tersebut. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari adanya proyek UNDP ini karena telah berhasil untuk menegosiasikan kebutuhan masyarakat meskipun belum optimal. Program ini merupakan langkah awal untuk kembali memberikan advokasi dan pemahaman bagi pemerintah utnuk segera menyetujui MoU yang telah dibuat oleh masyarakat. Selama ini masyarakat telah terbukti dapat mengelola hutannya secara lestari berdasarkan aturan-aturan adat yang memang selama ini menjadi rambu- rambu dalam mengelola hutan. Masyarakat telah memiliki kearifan tradisional yang cukup kuat dan ditaati oleh seluruh warganya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak independen mengenai keberadaan masyarakat hukum adat Kasepuhan. Hal inilah yang menjadi dasar utama dan alat advokasi bagi masyarakat dan LSM sebagai lembaga pendamping. BAB VII PERAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PHBM DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN DAERAH Proyek UNDP yang dilakukan oleh LSM banyak bersentuhan dengan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah mempunyai keragaman metode dan pendekatan yang dilakukan bersama dengan LSM. Pemerintah daerah yang terlibat dalam program diantaranya adalah Dinas Kehutanan Kabupaten dan Propinsi, Taman Nasional, Taman Hutan Raya Tahura, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Propinsi, Departemen Kehutanan, Perum Perhutani, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Tujuan dan manfaat program PHBM akan dicapai secara optimal apabila terdapat kebijakan-kebijakan yang mendukung ke arah pencapaian tujuan dan manfaat tersebut. Kebijakan-kebijakan yang merupakan political will dari pemerintah haruslah merupakan upaya mewujudkan kepentingan publik, sekaligus melindungi hak individu dan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan pemerintah tidak hanya menekankan untuk kepentingan publik, melainkan juga bersamaan dengan itu melindungi hak-hak individu dan komunitas. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. P.26Menhut-II2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23Menhut-II2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49Menhut-II2007 tentang Hutan Desa. Kebijakan pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Dalam konteks pembangunan daerah, pengembangan institusi yang dapat memfasilitasi berbagai proses perubahan kebijakan dalam rangka optimalisasi capaian-capaian PHBM maupun memfasilitasi PHBM yang lestari itu sendiri menjadi kebutuhan tersendiri. Institusi yang akan mengambil peran sebagai fasilitator di wilayah ini akan lebih baik jika dibangun dengan prinsip-prinsip keterlibatan multi pihak multistakeholders involment, partisipatif, transparan, dan demokratis.

7.1. Kasus di Lampung Barat