Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis

Ketergantungan ini akan menimbulkan dampak yang lebih besar ke depannya karena tidak selamanya LSM akan berada pada lokasi dampingan tersebut. LSM sendiri juga harus mempunyai strategi untuk membuat masyarakat tidak bergantung pada LSM. Program-program yang telah lama dijalankan pada suatu lokasi dengan isu dan fokus yang sama mestinya diarahkan untuk membuat kemandirian bagi masyarakat untuk mengelolanya sendiri. Selain rehabilitasi lahan, program yang dijalankan juga berupaya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budidaya ternak dan tambak. Kegiatan ini bertujuan untuk menjadi income generating bagi masyarakat yang menjalankannya. Hal ini dilakukan agar selain program rehabilitasi lahan yang berorientasi jangka panjang, masyarakat juga dapat memperoleh hasil ekonomi lainnya dalam jangka pendek melalui budidaya ternak dan ikan. Meskipun kegiatan ini bukan merupakan kegiatan utama namun dirasa mampu memberikan perhatian dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Apabila pola ini dilakukan maka keberlanjutan program dari yang telah dijalankan saat ini menjadi fokus perhatian baik oleh masyarakat maupun LSM.

6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis

Bentuk pendampingan teknis yang dilakukan oleh LSM bersama dengan masyarakat meliputi pendampingan pada teknis pengelolaan hutan milik masyarakat, pendampingan dalam mengembangkan pola kemitraan, dan pendampingan dalam mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Respon masyarakat mempunyai jawaban yang hampir sama. Masyarakat merasa mendapatkan manfaat dari pendampingan yang dilakukan oleh LSM meskipun dirasakan belum optimal. Kasus di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat telah mampu memperoleh penghargaan sertifikasi ekolabel pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari PHBML dari lembaga independen yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia LEI melalui penilaian yang dilakukan oleh PT Mutu Agung Lestari MAL. Penghargaan ini dirasakan oleh masyarakat berbeda dengan penghargaan lain karena mempunyai masa berlaku yaitu 15 tahun. Melalui penghargaan ini juga akan dilakukan monitoring oleh lembaga sertifikasinya yaitu PT MAL untuk setiap 5 tahun sekali. Melalui pendampingan teknis pengelolaan hutan yang lestari, masyarakat merasa mendapatkan manfaat yang besar karena sekarang telah mampu mengidentifikasi sumberdaya hutan yang dimilikinya. Masyarakat telah mempu menghitung sendiri jumlah dan potensi sumberdaya hutan baik berupa kayu maupun non kayu. Pendampingan ini juga mampu membuat masyarakat menjadi bersatu untuk mengelola sendiri hutannya. Sebelum ada pendampingan, masyarakat lebih fokus pada tanaman pertanian yang ditanam pada sela-sela pohon di hutan maupun didalam hutannya tersebut. Melalui lembaga pendampingnya, masyarakat diorganisir untuk memikirkan dan memperhatikan kondisi hutan yang dimilikinya. Ketertarikan masyarakat terhadap program sertifikasi ekolabel ini salah satunya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh LSM bahwa melalui sertifikasi ekolabel, harga kayu akan menjadi naik karena telah memenuhi standar pengelolaan hutan lestari yang dinilai oleh lembaga independen. Selain itu, LSM juga memberikan informasi bahwa dengan sertifikasi ekolabel maka hutan akan tetap terjaga sampai anak cucu karena banyak pihak yang akan menaruh perhatian besar terhadap hutan tersebut. Sebenarnya banyak perusahaan besar yang berminat untuk membeli kayu bersertifikat ekolabel dengan harga tinggi tersebut namun perusahaan tersebut meminta pasokan yang berkualitas tinggi, kontinu, dan dalam jumlah yang besar. Syarat tersebut akan sulit dipenuhi oleh masyarakat karena yang belum mempunyai tingkat kualitas kayu yang diharapkan oleh perusahaan, pola penebangan yang masih berdasarkan kebutuhan masyarakat bukan kebutuhan perusahaan, dan jumlah penebangannyapun masih dalam skala kecil karena luasan hutannya juga tidak luas. Kondisi ini membuat transaksi perdagangan yang diharapkan belum terjadi hingga saat ini. Respon positif juga disampaikan oleh masyarakat yang mendapatkan pendampingan melalui kegiatan ekowisata berbasis masyarakat. Masyarakat merasa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru mengenai cara mengelola ekowisata di daerahnya. Namun salah satu kendala yang dilakukan dalam mempromosikan lokasi ekowisata yang berupa air terjun pada beberapa titik lokasi adalah letak kawasan ekowisata yang relatif jauh dari pusat kota dan jalan menuju ke lokasi masih sulit untuk ditempuh terutama pada saat musim hujan. Sampai dengan berakhirnya proyek UNDP ini, LSM bersama dengan masyarakat yang mengusung isu ekowisata telah menghasilkan draf MoU tentang Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Tahura Wan Abdurrahman di Lampung. Penyusunan draf ini sebenarnya diharapkan dapat disetujui oleh pemerintah daerah namun terkendala dengan adanya pergantian kepemimpinan pada Dinas Kehutanan Kabupaten. Kondisi ini membuat rencana awal untuk bisa menghasilkan MoU yang disepakati dan disetujui bersama menjadi gagal. Masyarakat kemudian merasa usaha dan kerja keras yang selama ini dilakukan bersama dengan LSM sebagai lembaga pendamping dalam memperoleh pengakuan dari pemerintah kurang memberikan manfaat nyata. Untuk itu, saat ini masyarakat telah membuat strategi baru yaitu tidak akan fokus pada advokasi untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah namun akan lebih fokus pada peningkatan ekonomi masyarakat yang berada di dalam Tahura melalui pengembangan hasil hutan nonkayu seperti kopi, kemiri, dan lain-lainnya.

6.3. Respon Masyarakat pada Isu Advokasi