Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia

dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi- koalisi. Karakteristik LSM yang beragam ini juga diikuti dengan beragamnya pola dan metodologi pendampingan, isu-isu yang diangkat dan dikembangkan serta sebaran program yang dijalankan. Keberagaman ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan di masing-masing wilayah.

2.1.2. Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia

Tradisi untuk membangun organisasi masyarakat untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat dimulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. Tradisi ini menguat pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat Korten, 1993. Menurut Malik 2004 di Indonesia, kelahiran dari beberapa organisasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat atau populer disebut LSM pada tahun 1970-an dilihat dari krisis yang terjadi pada negara Indonesia, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik, kekerasan oleh negara, pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran LSM Internasional. Pada tahun 1970-an, pembangunan di Indonesia terus melaju dengan cepat, dan dampak positifnya perkembangan ekonomi pun meningkat. Namun, pembangunan ternyata juga menimbulkan dampak negatif, terutama meningkatnya kemiskinan, represi terhadap hak-hak asasi manusi, dan perusakan lingkungan hidup. Upaya untuk menanggulangi dampak negatif kemudian melahirkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang semula dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Ornop SMERU, 2002. Istilah Ornop adalah terjemahan dari Non-Governmental Organization atau NGO Sejak tahun 1990-an, perkembangan LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia SMERU, 2000. Namun Malik 2004 mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim 2004, jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang sangat parah, yang kemudian diikuti dengan proses transisi menuju demokrasi telah membawa perubahan-perubahan antara lain berupa pertumbuhan yang sangat lura biasa dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil OMS. Jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil OMS yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu. Berdasarkan Halim 2000, menjamurnya LSM merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah dalam konteks ini, bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis dan dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan esensial komunitas rakyat. Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untk dicermati. Menurut Abidin 2004, pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara. Melalui organisasi yang didirikannya, salah satunya berbentuk LSM, masyarakat mampu tampil sebagai elemen di luar struktur formal kenegaraan yang turut menjadi pihak yang melakukan kontrol terhadap proses kebijakan publik. Selain itu organisasi juga berperan sebagai lembaga non-partisan yang memiliki peluang untuk menjadi kelompok penengah. Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan perilaku miring sebagian LSM telah menodai reputasi lembaga nirlaba lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi lembaga nirlaba yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya. Dengan diberlakukannya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai tanggal 6 Agustus 2002 maka diharapkan dalam jangka panjang akan berdampak kepada pengelolaan sektor nirlaba yang didasarkan kepada prinsip-prinsip good governance . Meskipun UU ini belum diimplementasikan secara penuh, namun UU ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap governance sektor nirlaba di Indonesia, termasuk LSM. Hal ini mengingat bahwa, menurut Ibrahim 2004 lebih dari 95 LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan dan sedikit sekali yang mempunyai badan hukum perkumpulan. Sayangnya, pemberlakuan UU ini tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri. Penolakan ini terjadi karena sebagian besar aktivis LSM menilai UU ini telah menempatkan LSM dalam posisi canggung, ketat dan intervensif, kurang cocok dengan peran dan fungsi ideal LSM. Menurut Abidin 2004, UU ini juga dinilai bisa membuhun ribuan yayasan kecil yang berada di daerah-daerah, yang secara riil memang melakukan kegiatan penyantunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan keluarnya UU tersebut, disamping menghadapi persoalan tentang citra dan jati dirinya sendiri, LSM saat ini juga menghadapi dilema status hukum yang berimplikasi pada hubungannya dengan negara. Menyikapi berbagai fenomena diatas, beberapa aktivis LSM berpendapat bahwa persoalan akuntabilitas dan transparansi sudah selayaknya diangkat menjadi agenda bersama dan urgent untuk diperbincangkan. Fenomena-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaganya dan LSM secara umum. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mengatasi persoalan tersebut. Karenanya, beberapa LSM dan jaringan LSM tengah mencoba menggagas program dan kajian yang bertujuan mengningkatkan internal governance LSM dan meningkatkan kredibilitas di kalangan konstituen di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism. Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia.

2.1.3. Strategi Penggalangan Dana