Dalam konteks pembangunan daerah, pengembangan institusi yang dapat memfasilitasi berbagai proses perubahan kebijakan dalam rangka optimalisasi
capaian-capaian PHBM maupun memfasilitasi PHBM yang lestari itu sendiri menjadi kebutuhan tersendiri. Institusi yang akan mengambil peran sebagai
fasilitator di wilayah ini akan lebih baik jika dibangun dengan prinsip-prinsip keterlibatan multi pihak multistakeholders involment, partisipatif, transparan,
dan demokratis.
7.1. Kasus di Lampung Barat
Pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh LSM di Lampung ini difokuskan pada upaya memperoleh kepastian pengelolaan kawasan hutan
lindung, melalui ijin hutan kemasyarakatan HKm. Kebijakan HKm yang menempatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya alam selain bertujuan untuk perbaikan fungsi lingkungan juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui skema
HKm, masyarakat membuat rencana pengelolaan dan melaksanakan kegiatan pemulihan sumberdaya hutan, menjaga kawasan yang masih berhutan secara
swadaya serta melakukan pengamanan terhadap areal yang menjadi tanggung jawab masyarakat.
Munculnya beberapa kebijakan pemerintah daerah tidak terlepas dari diterbitkannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum
UU tersebut disahkan, pemerintah daerah Lampung Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah Perda No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat. Beberapa faktor pendukung dari terbitnya Perda ini diantaranya adalah adanya dukungan dari berbagai pihak,
adanya kelancaran komunikasi antar pihak, serta adanya mekanisme yang tidak menyulitkan masyarakat dalam berperan serta. Sementara faktor penghambatnya
diantaranya adalah kapasitas atau pengetahuan masyarakat yang minim tentang materi dan muatan peraturan daerah, belum adanya pendanaan yang kongkrit dari
pemerintah, kebutuhan yang ingin diakomodir terlalu ideal dan tidak melihat realitas dari sisi pemerintah, serta tidak terlibatnya birokrasi dalam penyusunan
Perda tersebut. Semua permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat dan LSM untuk lebih kreatif dan tanggap.
Pada saat ini masyarakat bersama LSM tengah menyusun rancangan Perda tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Kabupaten Lampung Barat. Perda ini
diharapkan dapat lebih mendorong terwujudnya pembangunan yang adil, lestari, dan berkelanjutan melalui tata kelola hutan yang baik sebagai upaya pengentasan
kemiskinan. Terselenggaranya kegiatan tersebut tidak lepas dari intensifnya dukungan dan peran aktif dari para pihak.
Berkembangnya peran dan keberadaan kelompok-kelompok HKm di Lampung Barat pada akhirnya memberikan pelajaran akan pentingnya peran
pemerintah desa. Ketika pengaturan pada tingkat kelompok tidak dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang terjadi, maka peran pemerintah desa
muncul sebagai lembaga yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
Upaya yang dilakukan untuk melaksanakan otonomi daerah dilakukan dengan cara memperkuat otonomi desa dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui fasilitasi masyarakat dalam menyusun peraturan desa Perdes tentang pengelolaan sumberdaya alam. Kegiatan fasilitasi
ini lebih ditekankan pada upaya belajar bersama dalam menyusun sebuah peraturan yang dapat dipertanggungjawabkann yang mengatur tentang
pengelolaan sumberdaya alam yan ada dalam wilayah desa. Salah satu desa yang telah berhasil membuat Perdes adalah Desa Gunung Terang, Kecamatan Way
Tenong, Kabupaten Lampung Barat. Perdes No 03 Tahun 2006 ini berisi tentang peran serta masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan dan air di pekon
desa Gunung Terang. Dalam prakteknya, masyarakat telah terbukti mampu memanfaatkan dan
melestarikan sumberdaya hutan secara swadaya. Masyarakat desa juga telah mampu mengatur dirinya sendiri dan menyusun aturan yang sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Dukungan para pihak merupakan hal penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat.
Untuk pelaksanaan otonomi desa dalam pengelolaan sumberdaya hutan, masih terdapat permasalahan, yaitu wilayah administrasi desa yang berada di luar
kawasan hutan negara. Kawasan hutan negara ini belum menjadi bagian dari wilayah administrasi desa sehingga agak sulit mengharapkan desa berperan penuh
dalam pengelolaan sumberdaya hutan di sekitar wilayahnya. Melalui dasar hukum pada Permenhut No. P.37Menhut-II2007 tentang
Hutan Kemasyarakatan, beberapa kelompok HKm di Lampung Barat telah menerima ijin HKm secara definitif selama 35 tahun dari pemerintah daerah.
Pemberian ijin kepada masyarakat ini merupakan tonggak sejarah baru di Indonesia karena untuk pertama kalinya sejak peraturan tersebut di luncurkan,
pemerintah pusat dan daerah telah melaksanakan amanat peraturan tentang HKm tersebut untuk wilayah Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta.
Dalam konteks pembangunan daerah, program HKm telah memberikan beberapa solusi dalam pengelolaan sumberdaya hutan. HKm dapat dijadikan
sebagai salah satu alat untuk memberikan pengakuan kepada masyarakat dalam mengelola hutan, serta memberikan alternatif pendapatan dari hasil hutan, baik
dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Ini berarti bahwa melalui program HKm, selain kondisi lingkungan dapat diperbaiki kualitasnya, juga mampu memberikan
harapan akan tingkat kesejahteraan yang meningkat melalui usaha hasil hutan. Selain itu, melalui program HKm, terjadi kesepakatan win-win solution antara
masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat merasa mendapatkan kepastian akan berusaha dan bekerja di dalam hutan, sementara pemerintah merasa terbantu
karena hutannya dapat kembali dihijaukan dan dijaga oleh masyarakat. Melalui HKm juga, terjadinya sengketa atau konflik lahan dapat dikurangi atau bahkan
dihilangkan. Kondisi yang kondusif ini dapat dijadikan sebagai modal dalam mengelola hutan dalam suatu wilayah dengan konsep pengelolaan hutan berbasis
masyarakat melalui skema HKm. Skema HKm merupakan salah satu solusi yang
dapat diterapkan pada wilayah lain. 7.2. Kasus di Jawa Tengah
Sertifikasi ekolabel merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan hutan lestari. Masyarakat di 4 desa di Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo
telah sukses dalam memperoleh sertifikasi ekolabel dengan menggunakan skema dari LEI. Artinya hutan milik yang dikelola oleh masyarakat sekitar 1.700 ha
tersebut telah dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara lestari dengan memperhatikan kelestarian fungsi hutan yaitu aspek produksi,
ekologi, dan sosial. Melalui sertifikasi ekolabel telah dapat dijamin bahwa pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat mampu memberikan nilai
tambah bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini memang belum muncul insentif yang signifikan yang
diterima oleh masyarakat melalui sertifikasi ekolabel. Insentif ini seharusnya muncul dari berbagai pihak khususnya dari pemerintah daerah. Hal ini
disebabkan hutan-hutan yang ditanami oleh masyarakat tersebut merupakan lahan milik yang memang dari sisi aturan hukum tidak dibebani menjadi hutan. Atas
kesadaran dari masyarakat sendiri, mereka telah mampu menghutankan kembali hutannya sehingga dapat memberikan nilai tambah baru bagi masyarakat sebagai
pengelola hutan. Sertifikasi ekolabel pada hutan rakyat sebenarnya sangat strategis bila
dibawa pada level pemerintah daerah dalam konteks pembangunan daerah. Melalui sertifikasi ekolabel, pemerintah dapat berperan lebih besar untuk ikut
menghijaukan kembali dengan pelibatan yang penuh dari masyarakat. Dari sisi lingkungan, pemerintah daerah dapat terbantu melalui skema sertifikasi ekolabel
dengan karena secara mandiri dan swadaya masyarakat telah mampu menghutankan kembali sehingga kualitas lingkungan menjadi lebih baik tanpa
campur tangan dari pemerintah. Melihat kondisi ini, sampai saat ini pemerintah belum memberikan insentif yang nyata bagi masyarakat yang terbukti menjaga
hutannya dengan lestari. Dari sisi kesejahteraan sosial, melalui sertifikasi ekolabel masyarakat telah dijamin atas kelestarian fungsi sosial dalam
pengelolaan hutannya. Ini berarti bahwa relasi sosial yang terjadi antar masyarakat pengelola hutan telah terbukti mampu dijaga dan dipelihara bersama
serta telah sepakat dan berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas sumberdaya hutannya. Pemerintah juga belum berperan nyata dalam mendukung
kesejahteraan sosial terhadap masyarakat pengelola hutannnya. Sampai saat ini pemerintah daerah masih belum melihat peluang yang dapat
dimanfaatkan dengan adanya sertifikasi ekolabel. Dalam konteks pembangunan daerah, sertifikasi ekolabel dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang mendera masyarakat. Sertifikasi ekolabel dapat dijadikan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi masalah sosial yaitu
ketahanan pangan, krisis energi, kemiskinan, dan perbaikan lingkungan. Sertifikasi ekolabel merupakan jaminan bahwa kelestarian sumberdaya hutan
yang dikelola oleh masyarakat senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian fungsi hutannya, yaitu fungsi produksi, fungsiekologi, dan fungsi
sosial. Dengan demikian, sertifikasi ekolabel merupakan sebuah instrumen yang mempunyai dua tujuan utama yaitu melestarikan hutan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang
harus dilakukan saat ini oleh semua pihak dalam rangka menuju pengelolaan hutan yang lestari dan bertanggung jawab. Menurut Raharjo 2003, merujuk dari
makna bahwa “berbasis masyarakat” adalah proses sebuah pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, untuk menggeser perubahan sikap dan orientasi,
mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen maka yang perlu dipersiapkan pada praktik-praktik pengelolaan sumberdaya hutan berbasis
masyarakat, seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Adat, Sistem Hutan Kerakyatan, sistem pengelolaan lokal maupun social forestry adalah :
1. Kepastian wilayah kelola jangka panjang. Kepastian wilayah kelola berkaitan dengan lahan dan akses masyarakat
pada kawasan yang saat ini dinyatakan sebagai Hutan Negara, serta status dan fungsi lahan dan atau kawasan. Kepastian wilayah kelola yang dimaksud
bukan membagi-bagikan kepemilikan lahan owneship tapi lebih pada kepastian akses pengelolaan jangka panjang. Persoalan kepastian kelola
sampai saat ini belum dituntaskan oleh Pemerintah, seperti bentuk-bentuk pengelolaan oleh masyarakat yang diamanahkan dalam UU 41 Tahun 1999.
2. Kelembagaan unit usaha PSHBM. Kelembagaan unit usaha menjadi sangat penting sebagai alat bukti
bahwa PHBM dapat mempunyai aturan main yang jelas dan dapat membangun mekanisme pertanggung-jawaban atas hak kelola yang diberikan.
Aspek ini menjadi prasyarat yang harus dikembangkan berdasarkan kelembagaan lokal dari praktik-praktik pengelolaan hutan yang berbasis
masyarakat. Kejelasan tata kelola hak, kewajiban dan tanggung-jawab serta insentif dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, menjadi
dasar pengembagan kapasitas kelembagaan unit usaha PHBM. 3. Kepastian unit usaha PHBM sebagai bentuk pengelolaan.
Kepastian unit usaha berkaitan dengan skim ekonomi dimana modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar
menjadi substansi dasar dalam praktik PHBM di lapangan. Kepastian unit usaha digunakan juga sebagai instrument dalam memlakukan mandate usaha
ekonomi yang layak untuk dikelola dan memberikan kepastian hasil dan peningkatan ekonomi masyarakat.
4. Kapasitas sumberdaya manusia. Dalam pengembangan PHBM maka sumberdaya manusia pengelola dan
pendamping teknis menjadi kebutuhan yang kuat, baik dari skill praktik praktik ekonomi, ekologi maupun equity dalam pembagian resiko dan
manfaat. Persiapan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia adalah prasyarat mutlak karena pengelolaan berbasis masyarakat saat ini sudah tidak
lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat tetapi lebih besar pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
5. Mekanisme penyelesaian sengketa lahan dan sosial dalam memberikan kepastian dan perlindungan hak pengelolaan dan unit usaha kelola.
Penyelesaiakan sengketa yang berkaitan dengan akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dapat dijadikan isntrument untuk melakukan tahapan
pergeseran perubahan sikap dan orientasi, mekanisme institusional dan administratif, dan metode manajemen
6. Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak dan insentif pengelolaan jangka panjang.
PHBM juga dihadapkan pada kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan mengemban amanah untuk memperbaiki dari kerusakan kerusakan yang
telah terjadi. Lebih lanjut LEI 2001 menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan pokok
yang menjadi prasyarat menuju PHBM yang lestari adalah:
1. Adanya kepastian dalam penetapan kawasan atau penetapan tata ruang dalam suatu lingkungan daerah wilayah tertentu. Penetapan kawasan secara
bersama ini akan dengan jelas menentukan mana saja kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan budidaya kehutanan KBK, kawasan non
budidaya kehutanan KBNK, dan kawasan-kawasan yang dilindungi. 2. Adanya kepastian hak penguasaan atas lahan.
3. Perlindungan terhadap pengetahuan lokal indigenous intelectual property rights
yang berkaitan dengan PHBM; mulai dari sistem budidaya, pengolahan produk products processing, sampai pemasaran.
4. Perlindungan terhadap intervensi, dominasi, dan monopoli dari perusahaan- perusahaan skala besar dalam sistem produksi dan perdagangan baik pada
level nasional maupun internasional. 5. Mendorong persaingan yang sehat, transparan, dan berkeadilan dalam sistem
perdagangan hasil-hasil hutan. 6. Menghilangkan hambatan-hambatan prosedural bureaucracy barrier dalam
perdagangan produk-produk PHBM. Di samping sejumlah intervensi kebijakan, dalam konteks pengembangan
PHBM juga diperlukan proses pendampingan masyarakat yang intensif, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Pendampingan
masyarakat ini diperlukan untuk menutup berbagai kelemahan dalam soal penetapan kawasan, pemenuhan kriteria-kriteria kelestarian pengelolaan hutan
yang lestari, hingga mendorong pihak pembuat kebijakan untuk melahirkan sejumlah kebijakan yang dapat mengoptimalkan hasil-hasil dan manfaat PHBM.
BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS
8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM